"Gimana rasanya panas-panas san."
Pertanyaan sinis dengan nada mengejek itu membuat empat orang siswa laki-laki yang sedang melakukan hukuman nya itu mengetatkan rahang mereka emosi.
Keempat laki-laki dengan penampilan siswa SMA berandal itu tak memperdulikan, mereka menulikan telinga dan fokus menjalani hukuman mereka. Hormat pada bendera selama 2 jam. Dan sialnya guru BK mereka menyerahkan pengawasan nya pada sosok perempuan bermulut lantam ini.
"Makanya jangan tampang doang yang dibagusin, otak juga diseimbangi." ketus Adhira dari atas podium upacara yang teduh.
"Kelakuan kok kayak sampah, nyusahin orang aja" Sinis Adhira, perempuan dengan almameter osis itu menaikkan dagunya, seolah memperjelas posisinya yang tinggi.
"Eh, anj*ng, mulut lo itu lantam banget, kayaknya minta dicabe ya lo." Dean, salah satu siswa laki-laki itu berteriak emosi. Cuaca yang panas benar-benar membuatnya tak tahan dengan mulut serta tingkah ketua osis mereka itu.
"Eh, eh, berani ngelawan ya. Yang nyuruh lo ngomong siapa ha?" Bentak Adhira nyalang, mata nya menyala emosi. Tak suka saat salah satu dari kakak kelas berandalannya itu melawannya.
"Stt, uda, jangan cari masalah lagi"Bisik Bastian, laki-laki berdarah Amerika itu menyenggol Dean yang hampir kembali memaki. Dean mengeraskan rahangnya, memilih bungkam dan menuruti Bastian saat kedua temannya yang lain memberi kode diam untuknya.
"B*ngsat! Kalau gak cewek uda gue hantam juga tuh cewe." Neo yang ikut emosi hampir menghampiri Adhira jika saja Bastian dan Zeo tidak mencegahnya.
Zeo, selaku ketua dari geng itu menggerakkan tangannya memberi kode diam pada ketiga temannya yang langsung dituruti oleh mereka.
Adhira turun dari podium, perempuan beralmamater Osis itu berjalan dengan lagak angkuh menghampiri mereka. Tak memperdulikan keempat kakak kelas berandalan yang sedang menatapnya penuh dendam.
"Hei, sampah" Adhira menepuk pelan pundak tegap Zeo, Laki-laki berdarah Jepang itu melirik tangan Adhira tajam, seolah memberi perintah kalau ia tak suka tingkah ketua Osisnya itu.
Adhira yang menyadari tatapan tak suka kakak kelasnya itu tergelak sinis, "Duh. seremnya" Ejeknya jenaka.
"Ck, sebenernya gue mau liat kalian dihukum sampai jam pulang sih, tapi berhubung gue lagi dalam kondisi baik jadi kalian boleh deh bubar." katanya Santai.
Perempuan itu menepuk tangannya sekali, "Udah sana bubar, gak mau bubar? Atau mau tambah hukuman? duh, terserah lah ya, gue mau kekelas dulu. Bay-bay sampah" Adhira melambaikan tangannya sekali sebelum berjalan santai meninggalkan keempat laki-laki itu.
Sepeninggalan Adhira, Zeo terkekeh sinis, Adhira benar-benar memancing emosi mereka.
"Eh njing, lo jangan berani pas disekolah doang ya. DasarTukang ngadu!" Teriak Dean saat Adhira sudah melangkah beberapa jarak didepan mereka.
Ah, omong-omong mereka mendapat hukuman karena Adhira melaporkan mereka yang sedang merokok pada guru BK saat jam pertama tadi.
Adhira menelengkan kepalanya, perempuan itu datang lebih dekat sehingga sehingga kembali didepan mereka. "Gue denger-denger kalian masuk sekolah ini melalui jalur licik ya. Eh kenapa gak usah nyolot gitu matanya." Adhira menunjuk Zeo yang langsung memalingkan wajahnya.
Tangan keempat pemuda itu sudah terkepal kuat, mereka tak mungkin sesabar ini jika saja pak Wisnu tak mengancam akan melaporkan mereka keorang tua mereka.
"Dikeluarkan karena kasus memalukan ya? Minum alkoh*l disekolah kalau gak salah. Tapi Liat tampang kalian gak kaget sih, tau kenapa? Tampang-tampang sampah sih."
Kata Adhira lalu berlalu pergi, meninggalkan keempat pemuda yang menandainya penuh permusuhan.
***
"Anj*ng, cewek sialan itu ngelapori kita bolos lagi." Amuk Dean melempar botol minuman dingin kedinding dengan keras.
Sekarang mereka ada dikantin belakang sekolah. Memilih bolos karena enggan mengikuti pelajaran yang memuakkan.
"Bokap gue nelpon, kalau kali ini gue dapet masalah lagi, gue bakal diseret pulang ke Amerika buat jadi boneka bisnis dia" Kata Bastian gamang, tangannya mengepal kuat. Agak terbawa emosi oleh percakapannya dengan ayahnya beberapa menit yang lalu.
Zeo, selaku orang yang paling bertanggung jawab akan teman-temannya itu menipiskan bibirnya.
Kali ini Adhira benar-benar kelewatan, perempuan itu mengadu lagi pada guru Bk kalau mereka bolos dijam pelajaran. Selain itu perempuan itu dengan gampangnya menambah-nambah kan cerita kalau mereka akan pergi tawuran. Alhasil keempat pemuda itu mendapat teguran langsung dari orang tua mereka.
Selain angkuh, sombong, sok suci dan lantam perempuan itu juga bermuka dua. Zeo berdecih ketika mengingat wajah Adhira dibenaknya.
"Dia cewek Panji bukan sih?" tanya Bastian yang langsung membuat Zeo mengerutkan keningnya. Begitupun dengan Dean dan Neo.
"Panji siapa?" tanya Dean bingung.
"Panji Erlangga, anak geng Cobra yang dulu pernah bentrok sama geng kita." kata Bastian kalem.
"Panji? Siapa sih gue nggak inget." kata Neo menelengkan kepalanya.
"Coba kalian inget-inget, Geng Cobra yang pernah nyerang kita waktu kita mau naik kelas dua kalau gak salah. Tapi habis itu dia pindah sekolah. Lo inget gak Ze?"
Zeo mengangguk ragu, "Panji yang ngelempar batu kekaca mobil gue kan?"
"Nah iya, bener, bener banget." kata Bastian semangat.
"Oh, Panji itu. Ceweknya rupanya." kata Dean mengangguk-angguk kan kepalanya
"Pantesan, cewek-cowok sama aja bejatnya." kata Neo terkekeh.
"Kayak lo gak bejat aja." kata Zeo telak dan membuat mereka tertawa.
"Eh, tapi lo tau darimana Bas?" tanya Dean penasaran. Kali ini laki-laki itu duduk serius dengan mode fokus.
"Ngestalking IG nya lah, sok suci banget ini cewek." kata Bastian menunjukkan postingan Adhira yang rata-rata berisi motivasi meraih cita-cita.
"IG? Lo tau namanya?" Tanya Neo bingung, pasalnya mereka tak begitu mengenal sosok ketua osis disekolah baru mereka ini.
"Hm, gak sengaja dengar dari anak cewek-cewek. Namanya Adhira Aliandra. Ini IG nya" Sahut Bastian menunjukkan ponselnya yang langsung dikerubuni teman-temannya.
"Cewek Panji ya, gue kok pingin ngerjai nih cewek. Itung-itung bales dendam. " kata Dean tertawa pelan.
Zeo, Neo dan Bastian mengerutkan kening mereka bingung.
"Ngapain?" kata Neo penasaran begitupun Zeo dan Bastian.
"Gue mau mancing nih cewek ke Bar, terus gue foto dan gue kirim ke pak Wisnu. Biar guru BK itu tau Adhira itu gak selugu pemikiran mereka. Gimana setuju nggak lo pada?" kata Dean semangat.
"Caranya?" Tanya Zeo agak ragu.
"Ck, gampang itu. Nih ya, Dia itu kan punya Ego untuk menang sendiri, gue bakal ambil kartu pelajar atau barang dia gitu. Terus nantangi tuh cewek ke bar. Kalian tunggu aja. Pokoknya malam ini juga beres." Kata Dean menjentik jarinya tanda mudah.
Zeo dan kedua temannya saling pandang.
"Gimana Ze?" Tanya Neo meminta persetujuan. Mau bagaimana pun Zeo adalah ketua mereka.
Zeo mengedikkan bahunya. "Gue ngikut aja"
Dan hari itu mereka menyusun rencana yang luar biasanya untuk membalaskan dendam mereka.
****
Hai-hai, Atmosfera kembali menyapa.
Gimana sama bab satunya?
Adhira nyebelin bat ya.
Zeo dan kedua temannya saling pandang.
"Gimana Ze?" Tanya Neo meminta persetujuan. Mau bagaimana pun Zeo adalah ketua mereka.
Zeo mengedikkan bahunya. "Gue ngikut aja"
Dan hari itu mereka menyusun rencana yang luar biasanya untuk membalaskan dendam mereka.
***
Sore sepulang sekolah, Keempat pemuda itu benar-benar melancarkan aksinya. Dean-selaku pembuat rencana pun mendatangi kelas Adhira, mengambil name tag Adhira dengan kasar yang langsung dibalas bentakan marah si ketua osis itu.
"Balikin!" Bentak Adhira menyodorkan tangannya, memberi gesture meminta.
Dean terbahak, "Balikin? Apa itu balikin? Ambil sendiri dong, Eitss nggak segampang itu" Dean mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Perbedaan tinggi badan antara keduanya benar-benar menguntungkan Dean.
"Bast*rd!" Desis Adhira emosi.
Dean terkekeh, ia lalu menggoyang-goyangkan name tag itu, "Kalau lo emang punya nyali, ambil sendiri ya ditempat gue, eh, tapi kan lo cupu ya kan, yang berani disekolah pas pakai almameter Osis doang. Mana berani lo-
"Siapa bilang!"
"Oke, gue kirim alamat dari DM ntar, bay-bay galak" Dean melambaikan tangannya sambil berlalu, menyisahkan Adhira yang menggeram penuh emosi.
***
Sekarang disinilah mereka. Di Bar yang ramai.
Suara hingar bingar musik disco menyemarakkan manusia-manusia yang butuh kesenangan sementara, termasuk sekelompok anak muda yang duduk melingkar dimeja yang berisi banyak botol alkoh*l diatasnya. Menandakan sudah berapa banyak alkohol yang mereka konsumsi bersama.
"Dateng nggak tuh cewek Yan?" tanya Neo.
"Nggak dateng mabuk parah nih gue, lumutan nunggu tuh cewek gak dateng-dateng." kata Neo lagi hampir seperti meracau.
"Yoi, gue kali ini mabuk lah. Pusing gue mikirin bokap gue yang ngamuk-ngamuk mulu." kata Bastian mengambil botol Alkoh*l. Menenggaknya santai.
"Gue juga," kata Zeo yang langsung meminum alk*hol dari botolnya langsung. Membuat ketiga temannya semakin bersemangat untuk menghabiskan banyak minuman haram itu karena ketua mereka melakukannya.
"Kalian minun gue juga minun lah, daripada jamuran gue nunggu tuh cewek." kata Dean mengikuti. Ia yang awalnya hanya berani meminum satu dua gelas karena ingin menunggu Adhira untuk melancarkan aksinya pun akhirnya longsor juga pertahanannya.
"Gue pusing banget njir," keluh Dean, setelah satu jam berlalu mereka mulai meminum-minuman keras itu.
"Gila, gue mau muntah!" teriak Neo memegangi tengkuk lehernya. Bersendawa karena terlalu banyak alkoh*l yang ia minum.
"Gue-nyerah" racau Bastian melambaikan tangannya pasrah. Kepalanya pusing sekali, mereka sering minum, namun tak pernah separah ini.
Sedangkan seorang pemuda lagi, Zeo . Sudah tampak tak mampu bersuara. Ia mabuk lebih parah dibanding ketiga temannya yang lain. Ketua dari ketiga pemuda lainnya itu memang lebih banyak diam, tak banyak berkomunikasi, ia bertingkah seolah tak memiliki masalah, padahal bebannya lah yang paling berat.
Keempat pemuda itu meracau masing-masing, seolah meluapkan semua emosi yang mereka pendam selama ini. Menjadi berandalan juga membuat tekanan psikis mereka agak terganggu tampaknya.
"Gila, ini jam berapa sih? Gue gak bisa liat." keluh Neo mengucek-ucek matanya sambil menatap jam tangannya.
"Gak tau, pusing akh" Dean yang sejak awal mengeluh pusing makin terlihat tak berdaya.
"Eh, Ze, cewek songong itu kemana? Belum dateng?" tanya Neo yang masih setengah sadar, mengingat tujuan utama mereka datang ketempat ini. Menemui ketua Osis mereka untuk memenuhi tantangan.
Zeo melambai tanda tak tau, "Paling gak berani dateng!" racaunya. "Jam segini mah, anak mami kayak dia uda bobo manis dirumah."
Jawaban yang hampir menyerupai racauan Zeo itu membuat ketiga temannya tertawa dan membenarkan dalam anggukan kepala.
Namun belum juga tawa mereka selesai, mereka semua dibuat tersentak saat suara teriakan Zeo terdengar karena jambakan seseorang.
Adhira pelakunya, Cewek songong yang baru saja mereka bahas.
"Siapa bilang gue gak berani datang kesini ha!" kata nya bengis, melepas jambakan nya. Lalu menatap keempat pemuda itu menantang.
"Berani juga lo dateng? Heh" kata Dean mengangguk-angguk kan kepalanya. Sebelum terbatuk dan berlari keluar ruangan mencari kamar mandi, ia mau muntah.
"Gak dicariin nyokap kesayangan lo itu heh ?" Ejek Neo menatap Adhira dari atas kebawah dengan kepala pusing. Tampaknya ia juga akan muntah.
"Lo pakai Baju tidur!" Kata Neo lagi tak habis pikir, Adhira memakai piyama tidur berlengan panjang bergambar marsha and the baer yang bahkan mampu membuat Zeo dan Bastian yang sudah teler tertawa.
"Uluh-uluh, aturnya lo bobo manis aja dirumah gi sana. Gue-"
"Gak usah banyak omong lo, balikin name tag gue dan ya Gue uda berani dateng buat nepati janji gue. Sekarang giliran kalian yang nepati janji buat angkat kaki dari sekolah gue. Najis gue liat berandal kayak kalian."
"Mulut lo itu manis banget ya, tenang aja kita-kita bakal angkat kaki kok dari sekolah lo, tapi nanti kalau uda lulus." kata Neo terbahak.
"Berandal, mana name tag gue hah! balikin!"
"Santai dong, nih ambil," Kata Bastian setengah terpejam.
Adhira menarik name tag nya paksa, ia lalu menendang kaki meja bundar itu sebelum berlalu pergi yang menimbulkan pecahnya beberapa botol alkoh*l karena ulahnya.
Ketiga pemuda itu memaki. Sedangkan Adhira berjalan angkuh melewati kerumunan orang-orang itu, namun belum terlalu jauh ia melangkah lengannya ditarik tak sopam oleh salah seorang pria paruh baya. Adhira memberontak sambil memaki.
"Sial, lepasin gue gila." Berontak Adhira.
"Ck, mulut kamu ini pedes juga rupanya, gak ada sopan-sopannya." kata pria paruh baya itu hampir memeluk Adhira.
Adhira mendorong Pria gila itu lalu menghadiahinya tinjuan dan beberapa gerakan bela diri yang ia dapat dari les Karatenya.
Dan saat pria gila itu memanggil temannya. Adhira tak dapat berpokir selain memutar arah kembali keruangan dimana keempat pemuda yang ia sebut berandalan itu tadi berada, hanya meeka yang Adhira kenal dan mau tak mau Adhira pergi kesana.
Saat tiba disana Adhira bisa melihat hanya Zeo yang teler dimeja mereka. Ntah kemana ketiga temannya yang lain, mungkin pergi kekamar mandi untuk muntah atau ntahlah Adhira tak peduli.
Adhira menelan ludahnya ketika pria paruh baya tadi mengejaranya bersama kedua temannya yang tak mungkin Adhira lawan sendiri. Seperti nya pria paruh baya itu bos besar, karena ia membawa teman bertubuh tegap seperti bodyguard.
"Zeo, tolongin gue, " panik Adhira mendekati Zeo, agak mengguncang bahu pemuda mabuk itu dengan ketakutan. Lalu menarik pemuda itu untuk bangun.
Zeo agak linglung saat Adhira menariknya. matanya mengerjap, mencoba fokus.
"Ngapain lo" bentak pemuda itu saat sadar Adhira lah yang mengganggunya.
Adhira menormalkan wajah ketakutannya, ia tak mau disebut lemah oleh pemuda dihadapannya. "Ada yang ketinggalan, " Katanya pura-pura mencari sesuatu. Ia lalu bersembunyi dibalik punggung tegap Zeo.
Zeo yang setengah sadar menelengkan kepalanya, merasa bingung dengan tingkah gadis gadus itu, namun saar ia melihat pria paruh baya yang seperti mencari seseorang.
Zeo tersenyum devil, ia menutupi Adhira dengan jaketnya. Lalu memberi gelengan pada pria paru baya itu bahwa tak ada orang lain diruangan ini selain dirinya.
Adhira terkejut bukan main, saat Zeo tiba-tiba menjatuhkan jaketnya diatas kepalanya. Lalu Adhira mendengar langkah kaki seseorang menjauh.
"Udah pergi, " Kata Zeo menarik kembali jaketnya.
Adhira berdehem, "Pergi apanya?" Kata Adhira mencoba menormalkan ketakutannya, sehebat apapun ia, rasanya dikejar tiga orang bertubuh tegap tetap membuat nyalinya ciut. Apalagi ditempat asing ini.
Zeo mendengus, "Gak usah mancing emosi lo. Apa salahnya bilang makasih." Kata pemuda Jepang itu santai.
"Dih, najis gue gak ngerasa terhutang apa pun."
Zeo bangkit dari duduknya, pemuda itu berdiri dengan sempoyongan.
"Mulut cabe lo ini kayaknya emang perlu dikasih pelajaran ya." kata Zeo yang membuat Adhira berjengit kaget karena Zeo yang tiba-tiba menciumnya.
Mata Adhira membulat, ia memberontak dan memaki semampunya. Malam itu untuk pertama kalinya Adhira tak mampu membela dirinya sendiri.
-
Adhira mematut dirinya didepan cermin dengan tatapan bringas. Selalu, selalu saja begitu.
Rasanya Adhira tak ingin menatap pantulan dirinya sendiri dikaca. Ia merasa terpojok kan dengan penghakiman dirinya sendiri.
Ia merasa dirinya adalah sampah dan sampah.
Bahkan terkadang Adhira tanpa sadar menusuk tangannya sendiri dengan benda-benda kecil disekitarnya seperti pensil atau pena. Itu semua ia lakukan untuk membuat kepercayaan dirinya kembali karena-
Karena-
Adhira menelan ludahnya ketika mengingat kejadian tiga hari yang lalu. Ingatan buruk tentang bagaimana Zeo menatapnya nyalang, bagaimana Zeo menciumnya.
Adhira mengetatkan rahangnya, gadis itu tanpa sadar mengambil pena yang ada dimeja belajarnya, menusuk-nusuk kan ujungnya pada lengannya. Adhira butuh pelampiasan emosi. Ia tak mau mengingatnya, tak mau. Bahkan mengingat wajah pemuda berandalan itu saja sudah membuat darahnya mendidih.
Oh ayolah, itu sudah tiga hari berlalu tapi Adhira semakin menggila dikamarnya. Ia bahkan tak berani berangkat kesekolah karena takut bertemu pemuda sialan itu disana.
"Dhira? Kamu didalam kan kak?"
Adhira menyembunyikan tangannya yang terdapat beberapa tancapan bekas pena. Itu mamanya.
"Iya ma" sahutnya.
"Mama boleh masuk nggak kak?"
Adhira memperbaiki tatanan rambut dan ekspresinya, ia harus terlihat baik-baik saja didepan mamanya itu.
"Boleh ma," katanya setelah memastikan lengannya tertutup rapat oleh baju lengan panjangnya.
Mira, mama sambung Adhira itu langsung masuk begitu mendapat jawaban dari anak sulungnya. Yah, Adhira memang bukan anak kandungnya, tapi ia lah yang membesarkan Adhira sejak gadis itu berusia dua tahun. Dan sebagai ibu, Mira merasa ada yang aneh dengan Adhira yang mengurung diri dikamar selama tiga hari penuh.
Karena itu bukan Adhira sekali, gadis bermulut pedas dan bertingkah angkuh itu tak pernah tampak sesedih ini. Bahkan dulu saat mengetahui fakta bahwa ia bukan anak kandung Mira saja Adhira tak separah ini. Gadis itu terbiasa dengan pembawaannya yang kaku. Sulit sekali membuatnya merasa kalah. Adhira adalah sosok antagonis yang keluar dari sebuah film.
"Kakak, kakak lagi ngapain?" tanya Mira lembut, ia membelai rambut Adhira penuh kasih sayang.
"Lagi nyisir rambut, habis mandi." Kata Adhira tersenyum. Ia memegang sisir untuk memperkuat alasannya.
Mira ikut tersenyum, "Kakak kenapa sih tiga hari ini ngurung dikamar? Masih marah sama Ayah yang marahin kakak semalam?"
Adhira mengernyit sebelum mengingat kejadian tiga hari yang lalu, begitu kejadian buruk itu terjadi, Adhira langsung pulang kerumah dan sialnya saat itu ayahnya yang menyadari ia pergi dari rumah tanpa pamit menunggunya sampai dini hari didepan pintu.
Adhira ingat sekali bagaimana ayahnya mengamuk. Memarahinya karena telah membuat semua orang khawatir. Dan Sebenarnya yang membuat ia malas keluar dari kamar selain masalah nya dengan Zeo adalah memang karena ayahnya. Ia dan ayahnya itu sama-sama berkepala batu. Jadi jika ada masalah jarang terselesaikan dengan baik pula.
Melihat Adhira yang diam, Mira pun merasa tebakannya benar, maka ia pun melanjutkan, "Ayah kayak gitu karena sayang sama kakak, karena Ayah khawatir sama kakak, kakak kan tau kakak itu satu-satu nya anak gadis Ayah."
Adhira merapat kan bibirnya, kalimat mamanya itu terngiang dikepalanya.
kakak itu satu-satunya anak gadis ayah.
"Jadi wajar dong ayah semarah itu semalam, " Mira mengelus rambut lembab Adhira, "Ya kak, jangan marah lagi sama ayah"
Adhira tersenyum kecil, ia mengangguk ragu,
"Nah gitu dong, jadi uda gak marahan lagi kan sama ayah?" Tanya Mira semangat.
Adhira diam saja,
"Uda nggak dong, gitu harusnya jawabnya. Eh yaudah, sekarang turun kebawah yuk, Ayah, Devan, sama temen-temen kamu uda nungguin tuh dibawah kita mau makan bareng, mama tadi juga uda buatin kare ayam kesukaan kamu"
"Hah temen? Windi, Intan, Febi?" tanya Adhira terkejut.
Mamanya tertawa sambil mengangguk, "Iya, makanya itu turun yuk. Gak bosen apa makan sendirian dalam kamar tiga hari ini."
"Beneran ada mereka bertiga?" Tanya Adhira lagi yang dibalas anggukan mamanya.
Adhira memejamkan matanya jengkel, ia sudah dapat membayangkan keributan apa yang akan terjadi jika ketiga temannya berkumpul dirumahnya. Pasti sangat kacau, dan hal itu benar-benar tak baik untuk dirinya yang sedang butuh ketenangan.
Dan benar saja, begitu Adhira menginjak undakan tangga terakhir, kehebohan ketiga temannya langsung menyambutnya.
"Yaelah akhirnya putri keraton turun juga," ujar Windi tak tau sopan santun. Teman Adhira yang satu ini memang tingkah sopan santunya sebelas dua belas dengan Adhira.
"Stt, mulut lo" ujar Febi menjawil Windi, menegur malu karena ada ayah dan adik Adhira yang memperhatikan.
"Apasih, kan emang iya, tuh putri keraton baru turun" Kata Windi tak terima ditegur.
"Ngapain sih kalian pada kemari? Numpang makan kan lo pada" Ketus Adhira mendudukkan dirinya disebelah Devan, adiknya.
"Hust, kakak, temennya kemari bukannya seneng kok malah gitu sih." tegur Mira sambil menyusun makanan buatannya dimeja makan.
Windi tersenyum pongah, "Tuh dengerin nyokap lo Dhir, harusnya lo itu husnuzon sama kita-kita. Mulut lo itu ya pedes nya gak ilang-ilang." Sungut Windi.
"Halah, husnuzon sama kalian malah nambah dosa tau gak." Kata Adhira lagi.
"Eh, Lo itu ya-
"Wlee, wlee gak dengar" Adhira memeletkan lidahnya. Mengejek Windi yang wajahnya sudah kesal tingkat akhir.
Windi sudah akan kembali mencela namun urung karena mama Adhira memotong ucapannya.
"Udah-udah, kita mau makan ini loh. Pamali ribut didepan makanan."
"Iya, makan dulu baru nanti ngobrolnya." Tambah Deni berdehem. Membuat ruang makan yang awalnya ribut menjadi senyap sampai selesai makan. Mereka mungkin akrab dan terbiasa dengan anggota keluarga Adhira, tapi hal itu tak berlaku untuk ayah Adhira yang kakunya luar biasa itu.
Dan begitu selesai makan, Intan yang merupakan satu-satunya teman Adhira yang paling pengertian itu membantu mama Adhira membereskan piring kotor bekas makan sedangkan Febi dan Windi mengikuti Adhira yang kekamar.
"Jadi gimana?" Tanya Windi begitu pintu kamar tertutup.
Adhira menaikkan alisnya, "Gimana apa nya?"
Windi berdehem, "Jangan lo pikir kita bodoh ya Dhir, lo ada masalah kan? Cerita dong sama kita?"
Ujaran Windi itu diangguki dengan kuat oleh Febi,
"Iya Dhir cerita dong jangan ngurung diri dikamar gitu. Gak baik tau." Tambah Febi menggebungkan pipinya.
Adhira mengedikkan bahunya acuh, "Jangan sotoy deh. Gue mana ada masalah"
"Ck, gue gak ngerti harus ngomong apalagi ma lo Dhir, lo ada masalah apa sih sebenernya." Kekeh Windi memaksa.
"Gue gak ada masalah gue bilang, gue cuma salah paham sama bokap gue dong uda cuma itu."
"Lo pikir kita percaya? Sejak kapan bokap lo bisa buat lo segalau ini? Biasanya juga lo bahkan sanggup tengkar berminggu-minggu tuh dan lo biasa aja" bentak Windi marah, oh, jangan lupakan sikeras kepala ini digeng mereka selain Adhira tentu saja.
"Apa sih, gak usah sok tau kenapa" Kesal Adhira lalu membaringkan tubuhnya disebelah Febi.
"Adhira Alindra!"
"Apa sih!"
"Woy, ngapa deh ini teriak-teriak," Intan yang baru masuk kamar langsung menegur, " Kalau didenger om, tante kan gak enak. Malu tau uda hampir magrib"
"Temen lo ini." kata Winda mendudukkan dirinya diranjang Adhira. Sedangkan Adhira diam saja tak bersuara.
"Karena Kita-kita diam aja, lo pikir kita gak peduli gitu? " kata Febi tiba-tiba agak serius.
"Kita kayak gini karena kita sayang sama lo Dhir,"
"Kita uda diem aja loh lo ngurung diri dikamar dan jauhin kita tiga hari ini" Kata Febi lagi.
" Dan Masalah lo seberat apa sih sampai lo lukain tangan lo gitu?" kata Intan pelan, agak prihatin sambil menarik baju lengan panjang Adhira.
Adhira makin membisu, ia tak sanggup untuk sekedar mengatakan sepatah kata pun. Saat matanya menatap ketiga teman yang menatapnya khawatir dalam hati ia mengutuk dirinya. Ia sampah, benar-benar sampah.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!