San Fransisco, 15 Desember
Kucoba untuk melupakan apa yang telah terjadi selama 3 minggu terakhir ini.
Mereka bukan untukku dan mereka adalah bagian yang hilang dalam diriku.
Berbagai sikap, kegiatan yang selama ini sengaja aku lakukan dengan harapan agar aku melupakan mereka semua, melupakan segala hal pada apa yang sudah terjadi di New York, awal musim panas lalu.
Di kota kelahiranku, San Fransisco aku kembali ke tempat kerja yang sempat aku tinggalkan beberapa bulan lamanya, kantor Real - Estate yang terletak 20 kilometer dari apartemen tempatku tinggal.
Tak ada yang berbeda, mereka semua menyambutku dengan penuh kehangatan. Scully Madison, Annie Whitney, Doronthy Raymond Gilchrest, Thommas Brown, dan Jay Grayer semua masih sama seperti yang terakhir aku tinggalkan 4 bulan lebih lamanya.
Potongan rambut mereka, wangi parfum, tawa dan lelucon - lelucon konyol yang selalu menjadi santapan kami setiap hari di dalam kantor kami, semua tampak tak berubah sama sekali.
4 bulan lebih lamanya, 122 hari tepatnya bukan waktu yang cukup lama namun juga bukan waktu yang cukup singkat untuk melupakan segala peristiwa yang terjadi di sana, New York City.
Kota kenanganku dan hanya tinggal sebuah kenangan untukku dan juga untuk mereka. Yach.., beginilah akhirnya.
Sebuah awal pasti juga akan ada sebuah akhir dan hal itu kini menimpaku.
...*****...
New York City, 13 July.
Tak bisa kupercaya Max meninggal hari ini.
"Bohong! itu semua bohong khan Nat?!" aku berseru tak percaya.
Ku tatap lekat - lekat Natasya dengan kedua mataku yang sembab, kupastikan sekali lagi mata dan ekspresi wajahnya kalau apa yang baru saja ia katakan adalah omong kosong.
Ia berbohong, entah apapun alasannya ia hanya mengarang cerita konyol ini padaku.
Namun tidak, yang kulihat dimatanya adalah kejujuran, kenyataan sebenarnya dan memang benar terjadi.
"Tenangkan dirimu Jeanny! semua terjadi diluar kemampuan kita, bagaimanapun juga kita harus menerima segala sesuatunya" tutur Natasya lembut dengan nada menghibur seraya memelukku erat.
Aku gemetar dan kami sama - sama gemetar. " Sulit kupercaya Nat, kemarin malam kami baru saja bertemu dan makan malam bersama. Apakah aku bermimpi?
Katakan Nat, apakah aku sedang bermimpi?!" aku berseru syok.
Kulihat Natasya menggelengkan kepalanya dengan kedua matanya yang berubah menjadi merah.
"Tidak, ini nyata Jeanny. Kau sudah bangun dari mimpimu" jawabnya lirih.
###
Saat menyaksikan pemakaman Max di Joins Eternal Cemetary, hatiku bagai diiris puluhan pisau.
Aku tak percaya, sama sekali tak menduga bahwa kematian Max Judas Bremmes akan secepat ini.
Meninggal dalam usia menjelang tiga puluhan. Masih dibilang cukup muda apalagi kematiannya yang masih menimbulkan tanda tanya.
Ia ditemukan meninggal di apartemen miliknya, overdosis itu dugaan sementara.
Saat aku mengantar jenazah Max, aku merasa banyak mata yang menatap dan memperhatikanku dengan penuh curiga.
Mereka mencurigai aku sebagai penyebab kematian Max Bremmes, kekasihku sendiri atau lebih tepatnya mantan kekasih.
Satu persatu dari orang - orang yang mengantarkan jenazah Max pergi meninggalkan pemakaman saat itu pula aku sanggup lagi untuk membendung kesedihanku, dengan posisi terduduk aku bersimpuh di tanah pemakaman Max yang masih merah itu. Bayangan kejadian di malam itu masih melekat dengan begitu jelas di otakku.
( Flash back )
"Aku tak menyangka kau terlibat dalam bisnis ilegal seperti itu Max.
Kau membuatku kecewa, sangat kecewa!" ucapku marah.
Malam itu kami berjanji bertemu di sebuah restoran kecil di Lexington Avenue, yang tak jauh di hotel tempatku menginap 4 hari terakhir ini.
"Mengertilah aku Jeanny, aku terjebak dalam bisnis mereka, aku terpojok.
Aku kalang kabut saat tahu perusahaan tempatku bekerja akan gulung tikar, aku sangat frustasi saat itu!" Max mencoba berkelit.
Ia menundukkan kepalanya dan kedua tangannya tampak gemetar seakan ia menahan beban yang ingin dilepaskannya.
Aku mengerti perasaannya sekarang dengan penuh rasa iba kugenggam jemari tangannya dengan lembut.
"Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya Max, kau masih bisa memilih jalan lain yang lebih baik dari bisnis terlarang itu, kau tahu maksudku bukan?" ucapku sedikit memberikannya dorongan.
Max menatapku, matanya yang biru tajam kini berubah menjadi sorotan mata yang mengandung kesedihan.
"Maafkan aku Jeanny, aku sangat menyesal dengan kejadian ini" ucapnya dengan suara tertahan.
Malam itu juga, saat pertemuan kami di sana ia menginginkan aku kembali padanya.
Namun aku tak bisa melangkah lebih jauh lagi, sudah berulang kali ia mengatakan menyesal namun sampai saat itupun ia masih tetap sama.
Kecanduan obat dan kini menjadi pengedar terlarang.
Sengaja aku datang ke New York untuk mengetahui keadaannya walaupun kami sudah hampir 1 bulan berpisah namun perasaan hatiku terdorong untuk tahu keadaannya selain untuk mengurusi urusan pekerjaan di kota New York dan entah bagaimana pagi itu Natasya Perrone, sahabatku membawa kabar duka dari Max bahwa ia meninggal di apartemen miliknya karena over dosis.
Benarkah itu? Apakah ada motif lain di balik kematian Max yang misterius selain over dosis?
"Tak perlu kau buang air mata buayamu di tempat ini!" suara itu terdengar ketus, dingin dan menusuk hati.
Aku menoleh ke belakang memastikan suara siapa itu, "Frank?!"
Ia berdiri tepat di belakangku, sorot matanya tajam, rambutnya yang hitam legam seakan menambah sosoknya yang terkesan dingin.
Aku menatapnya tak percaya, kuseka air mataku dengan jemari tanganku yang dingin.
"A...pa maksud ucapanmu itu?" tanyaku terbata.
Senyuman dingin menghias wajahnya kini, senyuman yang menyimpan sejuta arti bagiku. "Setidaknya kini harapanmu terkabul, Max mati sia - sia karena kau! Kau yang telah membunuhnya!" serunya lantang dan marah.
Aku berdiri, menggeleng berulang kali.
"Kenapa kau menyangka aku penyebab semua ini, Frank? Apa salahku, sehingga kau menuduhku sekejam itu?!" aku berseru dengan suara serak.
Bukannya memberikanku jawaban ia malah berbalik untuk pergi namun beberapa saat kemudian ia menoleh padaku.
"Kita lihat saja, setelah ini apa kau masih bisa menyangkal ucapanmu itu Miss Anderson."
Setelah mengucapkan itu kemudian Frank berlalu pergi meninggalkan aku yang hanya bisa menatapnya nanar.
Frank Jefferson adalah sahabat dekat Max Judas Bremmes, mantan kekasihku.
Kami sudah cukup lama saling mengenal, namun aku masih belum mengerti kenapa sejak dulu ia tak pernah menyukaiku.
Sejak dulu sikapnya selalu dingin dan tertutup kepadaku, sempat dulu aku mengeluhkannya pada Max tapi Max berkata jika sikapnya itu hanyalah sebagai bentuk rasa sayangnya pada persahabatan mereka.
Frank adalah pria yang baik dan bertanggung jawab namun disisi lain ia kadang bisa saja menjadi over protektif dengan orang yang dianggap spesial untuknya, itu yang selalu diucapkan Max dulu padaku tentang Frank Jefferson.
Namun aku tak menyangka, jika Frank bisa setega itu menuduhku sebagai pembunuh Max, orang yang pernah aku cintai.
Walaupun hubunganku dan Max sudah berakhir namun aku sama sekali tak pernah membenci Max ataupun Frank Jefferson.
Hingga Max terjerat dalam bisnis terlarang, sikap Frank pun semakin berubah dingin padaku.
Entah sebenci apa dalam pikirannya, dimatanya aku selalu dianggap salah oleh Frank Jefferson.
"Jeanny..., ayo pulang lah bersamaku."
Suara itu tiba - tiba mengejutkanku dalam lamunan sesaat.
Kulihat Natasya Perrone, berjalan menghampiriku yang masih tengah berdiri seorang diri di depan tanah pemakaman Max yang sudah tampak sepi.
"Tak perlu kau ambil hati dengan sikap arogan Frank Jefferson, ia memang tak pernah mengenalmu dengan baik seperti aku mengenalmu Jeanny..." tuturnya lirih menenangkan.
Kutatap Natasya dengan berlinang air mata karena masih merasakan sesak saat seseorang menuduhku sebagai pembunuh dari orang yang pernah aku cintai.
"Apa aku seburuk itu Nat? sehingga semua orang menyangka aku lah penyebab kematian Max.." aku bertanya dengan suara tertahan.
Nat memelukku dan berkata,
"Sudah kukatakan mereka semua tak mengenalmu sebaik aku mengenalmu Jeanny..., apa yang mereka lihat hanya sampul dan bukan hatimu.
Penyelidikan akan membuktikan siapakah yang bersalah dalam kasus Max, jadi kau tak perlu khawatir dan berpikir macam - macam karena polisi akan dengan tuntas mengusutnya, ok?!"
...🌺🌺🌺🌺🌺🌺...
Aku berencana untuk pulang kembali ke San Fransisco, setelah 1 minggu lebih lamanya kutinggalkan setumpuk pekerjaan kantor di sana.
Setelah aku memenuhi panggilan polisi perihal kematian Max aku berencana untuk mampir ke rumah Mrs Jefferson, ibu dari Frank Thommas Jefferson, sahabat dekat Max selama ini.
Statusku saat panggilan itu hanya sebagai saksi, polisi menanyakan beberapa hal tentang peristiwa yang terjadi saat sebelum kematian Max malam itu dan setelah diselidiki, kasus Max murni sebagai motif bunuh diri.
Selama beberapa kali berkunjung ke New York, hubunganku dengan Mrs Jefferson dan kedua putra putrinya yang masih beranjak remaja Kimmy dan Alex cukup erat.
Mrs Jefferson adalah wanita yang baik dan begitu anggun, usianya akhir 40 an.
Sangat muda untuk menjadi ibu dari Frank Jefferson dan memang begitulah kenyataannya.
Menurut cerita dari Max, Mrs Jefferson adalah ibu tiri dari Frank dan ibu kandung dari kedua putra putrinya.
Setelah ibu kandung dari Frank Jefferson meninggal saat usia Frank baru menjelang remaja, ayahnya menikah lagi dengan wanita yang 15 tahun lebih muda.
Mrs Jefferson telah berhasil menjadi ibu yang baik untuk Frank dan kedua putra putrinya, Kimmy dan Alex.
Saat baru melangkah beberapa langkah dari pintu yang telah dibuka Mrs Jefferson, kulihat Kimmy berlari ke arahku dan Alex menyusul santai di belakang.
"Ya ampun, kalian rindu aku ya?" ledekku setengah terkejut.
Kimmy, si gadis kecil pirang yang usianya baru akhir 9 tahunan meringis lebar didepanku dan langsung mencium kedua pipiku.
Bau harum khas anak gadis kecil langsung menyebar lembut di lubang hidungku, sedangkan si gemuk Alex dengan kedua pipinya yang montok dan matanya yang tajam dan indah seperti milik Frank mencoba menarik narik lenganku.
"Ayolah Jeanny, kutunjukkan gambarku yang baru! Aku baru saja selesai menggambar Liberty dan puluhan bangunan lainnya di New York" ajaknya bangga padaku.
"Anak - anak..., Jeanny baru saja datang pasti dia masih lelah sayang..." suara Mrs Jefferson lembut terdengar.
Aku berpaling padanya dan tersenyum,
"Tak apa Mrs Jefferson, saya sangat senang dengan sambutan khas anak seusia mereka" sahutku jujur dan Mrs Jefferson hanya tersenyum penuh keibuan.
Postur tubuhnya yang tinggi dan semampai dengan rambut warna pirang berpotongan pendek.
Wajahnya yang anggun dan pesona pancaran rasa percaya dirinya yang tinggi seakan mewakili kehidupan keluarganya yang tenang dan harmonis, walaupun sudah cukup lama ia menjadi janda.
Namun seingatku, Mrs Jefferson lebih ramping dari yang terakhir aku lihat beberapa waktu lalu.
Setelah bermain cukup lama dengan si kecil Kimmy dan si montok Alex yang berusia 12 tahunan, aku dan Mrs Jefferson terlibat perbincangan yang cukup serius.
Di beranda teras belakang rumah Mrs Jefferson yang terdapat kolam ikan berukuran 2 x 3 meter dengan beberapa pohon bonsai yang berjejer rapi di sepanjang kolam.
"Jadi kau akan pulang minggu ini?" Mrs Jefferson memulai setelah meneguk secangkir teh hangat.
"Saya berharap secepatnya Mrs Jefferson" jawabku.
"Sayang sekali Jeanny, aku berharap kau tinggal lebih lama lagi di New York, kami akan kehilanganmu" ucapnya pelan.
"Sayapun menginginkan demikian Mrs Jefferson tapi saya masih terikat dengan urusan pekerjaan kantor saya di San Fransisco" aku menyahut memberi jawaban.
Hening sejenak, tampak Mrs Jefferson menatap lurus ke depan, tatapannya kosong dan aku dapat menebak bahwa ia kini tampak berpikir tentang sesuatu.
Sesuatu yang mungkin menjadi beban pikirannya saat ini, sesuatu yang mungkin rahasia.
"Rasanya terlalu berat jika aku meninggalkan kedua putra putriku dan juga Frank..."
tiba - tiba saja ia mengucapkan hal itu.
Dengan penuh tanda tanya aku mencoba menyerap apa yang baru saja Mrs Jefferson ucapkan.
Disaat itu pula Mrs Jefferson berpaling padaku dan tersenyum tipis, "aku akan meninggal Jeanny, tak akan lama lagi..., kanker leher rahim telah memakan umurku" ucapnya setelah itu.
Aku tersentak kaget saat mendengar pengakuan itu, dengan pandangan sedikit tak percaya aku mencoba berkata.
"Ta...pi anda tampak baik - baik saja Mrs Jefferson?"
Ia tersenyum sedikit dipaksakan, senyuman keletihan.
"Semua orangpun tertipu dengan apa yang mereka lihat" ucapnya lirih.
"Saya turut bersedih Mrs Jefferson, seandainya saja saya bisa melakukan sesuatu untuk anda" tuturku tulus.
Aku sempat terkejut saat Mrs Jefferson menyentuh jemari tanganku.
"Kau mau khan menjaga anak - anakku Jeanny? Kimmy dan Alex adalah hidupku, mereka masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu dan aku tak sanggup lagi memberikannya pada mereka berdua" ia memohon dengan penuh harap.
Aku berkedip beberapa saat, mencoba menyesuaikan diri dari situasi yang cukup mengejutkan ini.
"Saya...tak mengerti" jawabku terbata dan bingung.
"Sederhana saja Jeanny, aku mohon dengan sangat padamu kau mau menjadi bagian dari mereka.
Bagian dari keluarga Jefferson dan memberikan kasih sayangmu pada Kimmy dan Alex, Frank pun akan membutuhkanmu" Mrs Jefferson menjelaskan dengan tatapan memohon.
"Ra..sanya permintaan itu terlalu berat untuk saya Mrs Jefferson" sahutku masih dalam kebingungan.
Kedua tangannya kini menggenggam erat tanganku, "aku memohon dengan sangat padamu Jeanny..." ucapnya sekali lagi.
"Ini adalah permintaan seorang ibu, setidaknya aku dapat meninggalkan mereka dengan tenang dengan adanya pendamping sepertimu yang memberikan mereka kasih sayang yang sama seperti aku, sebagai pengganti dari ibu mereka.
Kebahagiaan mereka ada di tanganmu Jeanny..., saat aku melihat sinar mata mereka ketika bersamamu aku dapat merasakan perasaan yang sama saat mereka memeluk, mencium dan tertawa bersamaku."
Mrs Jefferson tertahan kemudian melanjutkan kembali ucapannya.
"Sekali lagi aku memohon padamu Jeanny, untuk sekali ini dan untuk terakhir kalinya selama hidupku, kau bersedia bukan?" tanyanya penuh harapan jawaban dariku.
Lama aku berpikir dalam kebimbangan, keterkejutan dan kepanikan yang sama.
Akhirnya akupun mengambil keputusan yang sesuai dengan panggilan dan suara hati kecilku.
"Saya akan berusaha semampu saya Mrs Jefferson, menjadi bagian dari mereka untuk saat ini" jawabku sungguh - sungguh.
"Terima kasih Jeanny..., hanya kau lah harapanku, terima kasih karena kau mau mengorbankan dirimu sendiri untuk menjaga anak - anakku...," Mrs Jefferson berkata dengan kedua mata yang berubah menjadi berkabut, air mata mulai berlinang di matanya.
Sungguh aku merasa baru kali ini kulihat Mrs Jefferson seperti ini, tampak rapuh dan lemah seolah ini lah sosok yang sebenarnya selama ini namun dengan tegar dan susah payah ia berusaha menutupinya.
Namun tak banyak yang bisa kulakukan, kami hanya berpelukan dalam diam seolah kami saling mengerti dan percaya satu sama lain.
Ya, Mrs Jefferson percaya jika hanya aku yang bisa menjadi pengganti dirinya nanti jika ia sudah pergi meninggalkan cinta untuk anak - anaknya dan harapanku semoga aku bisa melakukannya karena hanya itu satu - satunya yang bisa kulakukan saat ini.
...🌺🌺🌺🌺🌺🌺...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!