Dengan langkah cepat Sean melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit, pikirannya benar-benar kacau memikirkan nasib sang adik.
Sean menghentikan langkahnya ketika melihat Bunda Yasmin terduduk di depan salah satu ruangan. Pikiran buruk seketika terlintas dipikirannya saat melihat Bundanya menangis.
"Bunda ....." Panggilnya. Wanita itu menoleh, Sean melangkahkan kakinya mendekati Bunda Yasmin. Tangisnya semakin menjadi ketika Sean memeluknya.
"Bunda tenang ya...." Ucap Sean seraya mengusap punggung Bunda Yasmin.
"Ivan... Ivan..." Isak Bunda Yasmin dalam pelukan putra pertamanya.
"Bunda tenang dulu ya..." Sean berusaha menenangkan Bunda Yasmin.
Pintu ruangan terbuka, nampak sorang dokter keluar bersama perawat. Bunda Yasmin dan Sean segera menghampirinya.
"Dokter bagaimana keadaan putra saya...?" Tanya Bunda, ketakutannya bertambah ketika melihat raut wajah dokter. Sean yang berada disampingnya pun merasakan hal yang sama. Dokter menarik napasnya dalam, sebelum akhirnya membuka suara.
"Keadaan pasien pada saat sampai di sini sudah kritis, pasien mengalami luka serius di kepala dan kehilangan banyak darah. Kami telah mencoba melakukan yang terbaik, tapi maaf takdir berkehendak lain. Nyawa pasien tidak dapat kami selamatkan."
Seketika itu juga dunia seakan runtuh bagi Bunda Yasmin dan Sean.
"Tidak mungkin... Ivan tidak mungkin meninggal...." Lirih Bunda. Sean segera memeluknya, air matanya mengalir deras.
"Bunda..."
"Sean... Ivan...." Suara Bunda Yasmin tenggelam dalam tangisnya. Sean semakin erat memeluknya.
**********
Sean tak henti-hentinya merasa bersalah, karena ia sang adik harus pergi untuk selama-lamanya. Tak seharusnya ia membiarkan Ivan menjemputnya. Ya, hari itu ia memutuskan untuk kembali ke negaranya, Indonesia setelah Ivan memintanya untuk pulang. Ivan baru saja lulus SMA, ia meminta Sean kembali untuk hadir di acara kelulusan. Sean yang sangat menyayangi Ivan pun tak kuasa untuk menolak. Sean yang sedang kuliah meneruskan S1 nya di Melbourne pun sampai rela meminta izin dari kampusnya untuk menemui sang adik.
Sean duduk termenung di kamar Ivan, menatap fotonya bersama Ivan yang di ambil beberapa tahun yang lalu.
"Ivan... Maafin Kakak..." Di peluknya foto itu dengan air mata yang kembali mengalir.
**********
Kini sudah tiga hari dari kejadian naas yang menimpa Ivan, tapi aura kesedihan masih sangat terasa. Apalagi Bunda Yasmin yang selalu termenung sendiri, membuat Sean semakin merasa bersalah.
"Bunda, maafin Sean..." Lelaki itu duduk bersimpuh di bawah kaki sang Bunda.
"Bukan salahmu, Nak..." Lirih Bunda Yasmin.
"Tapi karena Sean..."
"Sean..." Bunda Yasmin menggeleng pelan, membuat Sean tak melanjutkan ucapannya.
"Bunda mau sarapan di mana? Di meja atau di kamar?" Sean mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Bunda sarapan di meja saja, Nak..." Jawab Bunda seraya bangkit dari duduknya.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita sarapan." Ajaknya lembut. Mereka kemudian menikmati sarapan berdua, tapi pikiran Bunda melayang jauh. Ia baru teringat tentang Syifa, gadis yang menjadi korban kecelakaan Ivan.
Ya, Ivan mengalami kecelakaan setelah kehilangan kendali karena rem mobilnya tiba-tiba blong, dan kemudian menabrak motor yang di kendarai oleh Syifa dan ayahnya. Ayah Syifa meninggal di tempat, dan Syifa dilarikan ke rumah sakit. Keadaan Syifa pada saat itu kritis, Bunda bahkan harus dimintai persetujuan agar rumah sakit bisa melakukan tindakan operasi pada Syifa.
"Bunda..." Panggilnya lagi.
"Eh... Iya... " Bunda tersadar dari lamunannya.
"Apa yang Bunda pikirkan?'' Tanyanya.
"Bunda..." Belum sempat Bunda menjawab, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Halo, iya saya sendiri..." Jawabnya. Bunda terus menelepon , raut wajahnya seketika berubah.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu, saya akan segera ke sana. Baik, terima kasih."
''Ada apa, Bunda?" Tanya Sean yang sedari tadi memperhatikan Bundanya bicara di telepon.
"Syifa sudah sadar...." Lirih Bunda.
"Siapa Syifa, Bun?'' Tanya Sean lagi yang memang belum mengetahui tentang Syifa.
"Syifa..." Ucap Bunda terputus.
"Bunda...." Sean menatap Bundanya, wajah Bunda Yasmin terlihat sedih.
"Syifa adalah korban kecelakaan Ivan. Motor yang dikendarai Ayah Syifa ditabrak oleh Ivan pada saat kecelakaan, karena rem mobil Ivan yang tiba-tiba blong..." Jelas Bunda Yasmin sambil menangis, mengingat bagaimana keadaan Syifa pada saat kecelakaan. Kondisinya sama parahnya dengan Ivan, tapi Syifa masih mampu bertahan.
"Ya Tuhan... Lalu bagaimana keadaan Syifa dan Ayahnya sekarang?'' Tanya Sean.
"Ayah Syifa meninggal di tempat kejadian...." Lirih Bunda Yasmin.
"Dan Syifa keadaannya kritis, bahkan koma. Dan baru saja Bunda dapat kabar dari rumah sakit kalau Syifa sudah sadar." Lanjut Bunda Yasmin.
"Inalillahi... " Hanya itu kata yang mampu keluar drai mulut Sean.
"Kita ke rumah sakit setelah sarapan."
"Iya Bunda."
**********
Sean dan Bundanya tiba di depan ruangan tempat Syifa di rawat bertepatan dengan dokter yang baru keluar dari sana. Tadi Bunda sudah menceritakan tentang keadaan Syifa yang sebenarnya pada Sean. Dan itu membuat Sean prihatin terhadap gadis muda itu.
"Dokter, bagaimana keadaan Syifa?" Tanya Bunda Yasmin.
"Keadaan Syifa sudah stabil. Syifa juga sudah tau tentang keadaannya yang sebenarnya."
"Syifa sudah tahu, dok? Lalu bagaimana? Apa Syifa baik-baik saja?" Bunda Yasmin terlihat cemas.
"Nyonya tenang saja, Syifa gadis yang kuat. Ia baik-baik saja, sepertinya Syifa bisa menerima keadaannya yang sekarang." Jelas dokter dengan senyumnya berusaha menenangkan Bunda Yasmin.
"Syukurlah kalau begitu." Bunda Yasmin menarik nafas lega.
"Boleh kami masuk ke dalam?" Tanyanya lagi.
"Tentu saja, silahkan. Saya permisi dulu." Dokter itu undur diri.
**********
Sean terdiam di depan pintu ketika melihat seorang gadis muda berhijab dengan perban di matanya.
"Assalamualaikum." Salam Bunda Yasmin.
"Walaikumsalam." Jawab gadis itu yang tak lain adalah Syifa.
"Perkenalkan saya Yasmin, saya ibu dari Ivan yang sudah..." Ucapan Bunda Yasmin terputus tak ingin membuat gadis di hadapannya bersedih.
"Oh Nyonya Yasmin..." Syifa tersenyum lembut.
"Jangan panggil Nyonya, panggil Tante saja." Pinta Bunda Yasmin.
"Iya Tante...." Syifa kembali tersenyum lembut. Bunda Yasmin memegang tangannya.
"Syifa, Tante mau minta maaf tentang apa yang sudah terjadi padamu dan Ayahmu. Maaf...." Bunda Yasmin tak bisa menahan air matanya. Syifa menggeleng pelan, walaupun tak bisa melihat Syifa bisa merasakan penyesalan dan kesedihan yang mendalam dari wanita paruh baya itu.
"Tidak Tante, semuanya sudah takdir..." Lirih Syifa.
"Aku juga turut berduka cita, karena Ivan..." Lanjut Syifa tapi terhenti karena Bunda Yasmin mengeratkan genggaman tangannya.
"Kita sama-sama kehilangan Tante, aku bisa merasakan apa yang Tante rasakan. Jadi Tante tidak perlu merasa bersalah. Dan lagi pula ini semua sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, kita sebagai hambanya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya dengan ikhlas...." Ucap Syifa dengan senyum lembut yang sedari tadi menghias wajahnya.
"Syifa, apa kamu sudah tahu tentang keadaanmu?" Syifa mengangguk pelan mendengar pertanyaan Bunda Yasmin.
"Syifa, apa kamu sudah tahu tentang keadaanmu?" Syifa mengangguk pelan mendengar pertanyaan Bunda Yasmin.
"Aku sudah tahu, Tante...." Syifa menghela nafas panjang.
"Maaf kalau Tante sudah lancang, tapi Tante tidak tahu harus berbuat apa lagi...." Sesal Bunda Yasmin.
"Kenapa minta maaf Tante? Seharusnya aku yang berterima kasih karena Tante bersedia menjadi waliku dan mengambil keputusan yang tepat."
"Kamu tidak apa-apa? Kamu sudah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupmu." Bunda Yasmin menatap dalam Syifa.
"Tidak Tante, aku baik-baik saja. Walau aku harus kehilangan rahim dan mataku, tapi aku percaya Allah tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hambaNya bukan?"
Bunda Yasmin menatap kagum pada Syifa, di usianya yang masih 19 tahun Syifa memiliki kesabaran yang luar biasa dan juga ia sangat dewasa.
Sama seperti Bunda Yasmin, Sean yang berdiri tak jauh dari mereka pun juga begitu kagum pada Syifa. Sedari tadi ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari gadis muda berhijab itu.
"Syifa, izinkan Tante tetap bertanggung jawab padamu." Bunda Yasmin menatap mata Syifa yang terbalut perban.
"Bertanggung jawab? Maksud Tante?" Tanya Syifa.
"Izinkan Tante untuk merawat mu. Kamu tidak punya siapa-siapa lagi, Tante ingin kamu tinggal bersama Tante."
Bunda Yasmin mengusap pelan rambut Syifa yang tertutup hijab.
Syifa menundukkan wajahnya, ia tak ingin merepotkan siapapun, tapi sekarang ia tidak punya siapa-siapa lagi. Di tambah lagi keadaannya sekarang yang tidak bisa melihat.
"Tidak perlu Tante, aku tak ingin menyusahkan Tante." Jawabnya pelan.
"Kamu sama sekali tidak menyusahkan Syifa." Ujar Bunda Yasmin, Syifa menggeleng pelan.
"Tidak Tante, aku..."
"Assalamualaikum...." Ucapan Syifa terhenti, Sean yang sedari tadi berdiri di depan pintu akhirnya memutuskan untuk masuk.
"Waalaikumsalam..." Jawab kedua wanita itu.
"Bunda..." Sean mendekati Bunda Yasmin.
"Eh, Sean." Bunda Yasmin baru ingat kalau tadi ia ke rumah sakit bersama Sean.
"Syifa, kenalkan ini Sean kakaknya Ivan. Tante lupa, tadi kesini bersama Sean." Bunda Yasmin memperkenalkan Sean, Syifa tersenyum sambil mengangguk.
"Asyifa." Syifa melipat tangannya di depan dada. Sean menatap dalam Syifa. Entah kenapa ada perasaan aneh menjalar di dalam hatinya ketika menatap gadis itu.
"Bunda bisa kita bicara sebentar?" Tanya Sean. Bunda Yasmin menatap Sean sambil mengerutkan keningnya.
"Ada apa Sean?" Tanyanya.
"Kita bicara di luar saja, Bun." Pinta Sean, Bunda Yasmin pun mengangguk.
"Syifa kami keluar sebentar ya..."
"Iya Tante, silahkan..."
**********
"Ada apa, Sean?" Tanya Bunda Yasmin
"Em... Bun, Aku..." Sean terlihat gugup.
"Kenapa Sean? Kamu sakit?" Bunda Yasmin terlihat cemas, ia bahkan meletakkan telapak tangannya di dahi anak sulungnya itu.
"Tapi tidak panas." Lanjutnya.
"Bunda... Aku.... Em..." Ucapan Sean terhenti.
"Sean, kamu baik-baik saja kan?" Tanya Bunda yang terlihat semakin cemas. Sean menarik nafas dalam dan perlahan menghembuskannya. Setidaknya itu bisa membuatnya lebih tenang sekarang.
"Bunda, apa boleh aku menikahi Syifa?" Sean akhirnya bisa mengucapkan apa yang sedari tadi ingin di diucapkannya. Bunda Yasmin tercengang mendengar ucapan putra sulungnya.
"Apa Sean?" Bunda Yasmin mengira ia salah dengar.
"Boleh aku menikahi Syifa?" Tanyanya sekali lagi.
"Sean, apa kamu sedang bercanda?" Tanyanya kemudian, ternyata dirinya tidak salah dengar. Sean menggeleng.
"Tidak Bunda. Bukankah Bunda sendiri yang bilang melarangku untuk pacaran. Dan saat aku menemukan wanita yang tepat, lebih baik untuk menikahi nya?" Jawab Sean. Wanita paruh baya itu kembali tercengang.
"Sean, kamu sudah tahu keadaan Syifa bukan? Syifa kehilangan penglihatan dan juga rahimnya. Apa kamu yakin mau menikahi Syifa?" Tanya Bunda Yasmin lagi.
Ya, saat kecelakaan tubuh Syifa terpental jauh hingga bagian perutnya terbentur trotoar dengan keras hingga mengakibatkan kerusakan pada rahimnya hingga terpaksa harus di angkat dan juga kedua matanya harus kehilangan penglihatannya karena terkena serpihan helm yang dipakainya.
Beruntung kebutaan yang di alami Syifa hanya sementara, jika ada donor kornea yang cocok kemungkinan besar Syifa dapat melihat lagi.
Sean menggenggam erat tangan Bunda seraya tersenyum.
"Aku yakin Bunda." Jawab Sean dengan yakin.
"Pada saat aku melihatnya tadi, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam hatiku. Entah kenapa, aku berfikir kalau Syifa adalah wanita yang tepat untukku." Sambung Sean dengan mata berbinar.
Bunda Yasmin menatap dalam mata Sean, tidak ada kebohongan di sana.
"Kamu yakin?" Tanya Bunda Yasmin sekali lagi.
"Insya Allah, yakin Bunda." Jawab Sean seraya menggenggam erat tangan sang Bunda.
"Bagaimana kalau Syifa menolak?" Tanya Bunda Yasmin dengan ragu.
"Bunda, kenapa tanya begitu? Harusnya Bunda memberiku semangat." Ucapan Bunda Yasmin seakan menghancurkan harapannya.
"Kalau Syifa bersedia, aku akan menikahinya hari ini juga." Sambung Sean.
"Ya sudah, kalau itu mau mu. Kamu lamar Syifa sekarang juga."
"Bunda tidak keberatan aku menikahi Syifa?" Tanya Sean, kali ini ia yang ragu.
"Tidak Sean. Syifa gadis yang baik. Dengan kamu menikahinya, Bunda juga bisa ikut menjaganya."
Senyum Sean terbit, Bundanya tak keberatan kalau ia menikahi Syifa.
**********
Kedua pasangan ibu dan anak itu kembali masuk ke ruangan Syifa.
"Syifa, Sean ingin bicara denganmu." Bunda Yasmin membuka suara.
"Bicara? Apa yang ingin Mas Sean bicarakan, Tante?" Tanya Syifa.
"Mas? Syifa memanggilku Mas?" Batin Sean, membuat hati pria itu kembali berdesir.
"Ehm, Sean?" Bunda Yasmin mengalihkan pandangannya pada Sean. Di lihatnya Sean yang sedang memandang Syifa tanpa berkedip.
"Sean!" Panggil Bunda Yasmin lebih keras.
"Astagfirullah." Sean tersadar dari lamunannya.
"Jaga pandanganmu Sean." Bisik Bunda Yasmin.
"Maaf Bun."
"Ayo, katanya kamu mau bicara sama Syifa."
"Eh, iya." Sean menegakkan badannya. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ini pertama kalinya ia akan melamar seorang gadis.
"Bismillah... Asyifa, aku ingin melamarmu. Apa kamu bersedia menikah denganku?" Tanya Sean, suaranya terdengar bergetar. Mungkin takut di tolak.
"Apa Mas? Melamar?" Tanya Syifa seakan tak percaya.
"Iya melamar. Kalau kamu terima, aku akan menikahimu hari ini juga."
"Kenapa Mas tiba-tiba melamarku?" Tanya Syifa lagi.
"Karena, karena aku berfikir kalau kamulah wanita yang tepat untukku." Jawab Sean dengan keyakinan yang meyakinkan. Syifa tersenyum tipis mendengarnya.
"Bukan karena Mas Sean kasihan melihat keadaanku?"
Sean tertegun mendengar pertanyaan Syifa, bukan rasa kasihan yang ia rasakan.
"Mas Sean kasihan dengan keadaanku, maka dari itu Mas Sean mau menikahiku?" Ulang Syifa karena tak ada jawaban dari Sean. Sedangkan Bunda Yasmin berdiri di sudut ruangan, menjadi penonton dan pendengar yang baik acara lamaran dadakan tersebut.
"Aku tidak pernah mengasihani mu..."
"Aku ingin menikahimu, karena menikah adalah bagian dari ibadah. Dan juga karena kamu satu-satunya wanita yang membuat hatiku berdesir untuk pertama kalinya. Pertama kali aku merasakan perasaan seperti ini, jadi apa salah jika aku ingin menikahimu?"
"Aku ingin menikahimu, karena menikah adalah bagian dari ibadah. Dan juga karena kamu satu-satunya wanita yang membuat hatiku berdesir untuk pertama kalinya. Pertama kali aku merasakan perasaan seperti ini, jadi apa salah jika aku ingin menikahimu?"
Syifa terdiam mendengar ucapan Sean. Ia sendiri tak tahu perasaan apa yang di maksud Sean.
"Jadi, apa kamu bersedia menikah denganku?" Tanya Sean penuh harap.
"Mas tahu keadaanku yang sebenarnya kan? Jika Mas menikah denganku, aku tidak akan pernah bisa memberikan Mas keturunan." Ujarnya pelan.
"Aku ingin menikahimu bukan untuk menghasilkan keturunan. Aku sudah tahu keadaanmu, dan itu bukan suatu masalah untukku." Jawab Sean, terdengar keyakinan dan ketulusan di sana.
Kini hati Syifa yang merasa berdesir, bagaimana bisa dengan keadaannya yang seperti sekarang ada pria yang tiba-tiba ingin menikahinya.
"Jika Mas ingin menikahiku karena ibadah, aku akan menerimanya." Jawab Syifa yang akhirnya menerima lamaran Sean.
**********
Ijab qobul berlangsung hari itu juga, di ruang rawat Syifa, beberapa perawat dan dokter menjadi saksi dari acara sakral itu.
Syifa hanya meminta mahar Surah Ar Rahman. Tentu itu bukan hal sulit bagi Sean. Dengan lancar ia membaca ayat suci Al Qur'an, membuat siapapun yang mendengar bergetar hatinya.
"Alhamdulillah, kalian sudah resmi menjadi suami istri. Sean perlakukan istrimu dengan baik, jangan pernah menyakiti dan melukai fisik dan juga batinnya. Dan Syifa, setelah kamu sembuh nanti kamu harus melayani suamimu dengan baik." Nasehat Bunda Yasmin pada kedua pasangan suami istri tersebut.
"Tentu, Bunda. Aku akan memperlakukannya dengan baik." Jawab Sean.
"Syifa, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Lusa aku akan kembali ke Melbourne untuk melanjutkan kuliahku, Dan aku akan kembali enam bulan lagi, jadi selama aku pergi Bunda yang akan menjagamu."
Sebelum ijab qobul, Sean sudah menceritakan tentang dirinya yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Dan ia kembali ke sini untuk menghadiri acara kelulusan adiknya. Tapi ternyata takdir berkata lain, Ivan pergi lebih dulu sebelum acara itu di mulai. Dan sekarang dirinya menikahi gadis yang menjadi korban kecelakaan adiknya.
"Iya Mas." Syifa mengangguk, sepertinya masih ada kecanggungan di antara mereka berdua.
"Sudah sore, Bunda pamit pulang ya. Sean, jaga istrimu malam ini." Pamit Bunda Yasmin.
"Tentu Bunda, aku akan menjaganya."
"Bunda pulang dengan siapa? Diantar Mas Sean?" Tanya Syifa.
"Tidak Syifa, Bunda sudah meminta supir untuk menjemput Bunda. Biar Sean di sini saja menjaga istrinya." Jawab Bunda Yasmin
Syifa menunduk malu mendengarnya, ia masih tak percaya kalau dirinya sudah menikah dengan Sean.
***********
Sean duduk di samping pembaringan Syifa, seakan tak bosan ia memandang terus wajah yang masih tertutup perban sebagian itu.
"Syifa, istirahatlah. Sebentar lagi masuk waktu maghrib, aku mau ke mushola dulu."
"Iya, Mas." Jawab Syifa malu-malu, membuat Sean gemas. Ia kemudian mengusap rambut Syifa yang tertutup hijab.
"Aku pergi dulu ya." Pamitnya, Syifa hanya mengangguk pelan.
"Kenapa dengan hatiku? Aku bahkan belum melihat wajahnya, hanya mendengar suaranya tapi mampu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Apa aku sudah jatuh cinta padanya? Karena itu aku setuju menikah dengannya? Tapi sepertinya tidak mungkin secepat itu aku jatuh cinta. Tapi, bukankah tidak ada yang tidak mungkin bila Allah sudah berkehendak? Lagipula tak ada salahnya mencintai suami sendiri, bukan?"
Batin Syifa berkecamuk, mencoba menampik perasaannya, tapi nyatanya tak ada yang bisa menolak ketika perasaan itu hadir dengan sendirinya.
Apalagi ketika Sean membacakan mahar untuknya tadi, hatinya benar-benar bergetar mendengarnya.
**********
"Assalamualaikum." Ucap Sean ketika memasuki ruang rawat istrinya. Dilihatnya Syifa yang tertidur dengan posisi duduk bersandar.
"Syifa..." Panggilnya dengan lembut. Tapi tak ada tanda dari Syifa.
"Syifa..." Kali ini jemarinya membelai pelan wajah Syifa membuat gadis itu terkejut karena merasakan sentuhan pada wajahnya.
"Astagfirullah! Siapa kamu berani menyentuhku?!" Syifa langsung terduduk tegak, Sean menahan tawanya melihat ekspresi istrinya.
"Syifa, tenanglah ini aku Sean. Suamimu."
"Mas Sean?"
"Iya, ini aku. Maaf aku membangunkanmu." Sean mendudukkan tubuhnya di kursi samping tempat tidur Syifa.
"Tidak apa Mas, tadi aku hanya terkejut saja."
"Ini makan malam sudah datang, kamu makan ya..."
"Iya Mas." Syifa mengangguk
"Di mana makanannya Mas?" Tangan Syfa mengadah ke udara. Sean malah menggenggam tangan itu dan menurunkannya.
"Biar aku saja yang menyuapimu." Ujarnya membuat Syifa menunduk malu.
"Aku makan sendiri saja, Mas." Tolaknya, namun tangan Sean masih menggenggamnya.
"Aku saja, ini sudah kewajiban seorang suami untuk merawat istrinya yang sedang sakit." Sean menerbitkan senyumnya, walau Syifa tak bisa melihatnya. Wajah Syifa nampak merona mendengarnya.
"I.. Iya, Mas..." Syifa tergagap, Sean melepaskan genggamnya. Mengambil makanan yang sudah di sediakan oleh rumah sakit.
"Ayo buka mulutmu." Dengan malu-malu Syifa membuka mulutnya, menerima suapan pertama dari sang suami.
"Apa Mas sudah makan?" Tanya Syifa di sela makannya.
"Belum, tapi aku sudah memesan makanan." Syifa hanya mengangguk, menerima kembali suapan dari suaminya.
Sean meraih tisu, dan membersihkan sisa makanan yang menempel di bibir Syifa. Dan lagi, Syifa di buat merona karenanya.
"Kenapa pipimu memerah?" Goda Sean, ia sebenarnya tahu kalau istrinya tengah malu.
"Oh ya?" Syifa memegang pipinya sendiri dengan kedua tangannya.
"Apa istriku sedang malu?" Godanya lagi.
"Mas..."
"Ini pertama kalinya aku dekat dengan seorang pria, tentu saja aku malu..." Ucapnya.
"Tapi aku suamimu, kamu tak perlu malu."
"Iya Mas..."
"Boleh aku tanya sesuatu?" Tanya Syifa begitu acara makan malamnya selesai.
"Tentu."
"Tapi Mas harus menjawabnya dengan jujur."
"Aku tidak pernah berbohong."
"Emmm... Apa Mas pernah berpacaran sebelumnya?" Tanya Syifa ragu-ragu.
"Kenapa memangnya?" Sean malah balik bertanya.
"Jawab saja Mas. Mas memperlakukan aku dengan sangat baik hari ini, apa sebelumnya Mas pernah melakukan hal yang sama dengan kekasih Mas?"
"Aku belum pernah berpacaran, Bunda dan agamaku melarang untuk berpacaran. Bunda juga selalu berpesan, kalau suatu hari nanti aku menemukan wanita yang tepat, aku langsung saja menikahinya. Maka dari itu aku menikahimu, karena aku pikir kamu adalah wanita yang tepat untukku." Jelas Sean panjang lebar.
"Tapi bukankah Mas tinggal di luar negeri, apa Mas tidak tergoda dengan wanita cantik di sana?" Tanya Syifa lagi, sepertinya istrinya itu penasaran tentang dirinya. Dan itu membuat Sean senang, setidaknya mereka bisa jadi lebih dekat.
"Aku memang tinggal di luar negeri, tapi aku ke sana untuk kuliah. Bukan untuk mencari wanita."
"Oh ya, aku punya teman seorang wanita di Melbourne, namanya Diana." Ucap Sean membuat Syifa sedikit terkejut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!