Gilang serasa disambar petir ketika pria tua di depannya meminta dirinya untuk menikahi putri semata wayangnya.
Bagiamana bisa Gilang menikahi putri pak Slamet yang tidak pernah Gilang lihat wujud dan bentuknya seperti apa.
"Dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, tolong nikahilah Putriku."
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit
Bunyi suara alat denyut jantung yang menunjukkan kalau pak Slamet telah berpulang ke Rahmatullah.
Gilang terdiam, bingung harus bagaimana. Ingin sekali mengabaikan wasiat pak Slamet tapi dia lah yang menyebabkan pak Slamet meninggal.
Suster dan dokter datang untuk mengecek keadaan pak Slamet, dokter mencoba melakukan usaha terakhir yaitu mengejutkan pak Slamet dengan alat kejut namun tidak membuahkan hasil, tubuh pak Slamet sudah tidak merespon.
"Innalilahi, bapak ini sudah meninggal," kata dokter pada suster suster yang mendampinginya.
Gilang nampak bingung dan juga takut, meskipun kejadian tadi tidak sengaja tapi tetap Gilang lah yang menyebabkan pak Slamet meninggal.
Gilang menghela nafas lalu berdiri, mau nggak mau suka nggak suka Gilang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Gilang meminta pihak rumah sakit membersihkan jenazah, setelah dikafani jenazah pak Slamet dimasukkan ke peti dan diantar ke rumah duka.
Setelah mengecek data diri pak Slamet lewat KTP nya, diketahui lah kalau pak Slamet adalah salah satu warga desa yang letaknya lumayan jauh dari rumah Gilang.
Kini mobil ambulans yang membawa jenazah pak Slamet tiba di rumah duka, peti jenazah pun diturunkan.
Gilang menghubungi asistennya untuk segera datang ke alamat yang dikirim. Dia meminta Veri asistennya supaya menghubungi perangkat desa setempat supaya penguburan jenazah bisa segera dilakukan.
Nindi, anak pak Slamet keluar untuk mengecek keadaan luar rumahnya karena terdengar ribut-ribut.
"Ada apa ini?" tanya nya
Gilang mendekati Nindi yang belum tau kalau ayahnya telah meninggal dunia.
"Kamu pasti anak pak Slamet," kata Gilang basa basi karena takut kalau Nindi histeris jika tau ayahnya telah meninggal.
"Iya, ada apa ini, ini peti apa?" tanya Nindi dengan perasaan tak enak.
"Mohon maaf, ayah kamu telah meninggal dunia," jawab Gilang.
Nindi terdiam, meskipun dia diam tapi air matanya mengalir deras membasahi pipinya.
"Tidak, baru saja ayahku berpamitan padaku untuk bekerja kenapa kamu bilang kalau ayahku telah meninggal," kata Nindi yang tidak percaya.
Gilang hanya bisa diam, atas kode Gilang sopir ambulance membuka peti. Perlahan Nindi mendekat, dia melihat kalau ayahnya sudah di pocong.
"Ayaaaaaah! tidak!" teriak Nindi, "Bagaimana bisa ayahku meninggal, padahal tadi baik-baik saja," kata Nindi tak percaya.
Gilang mencoba memenangkan Nindi yang histeris, terbesit rasa iba pada Nindi yang memeluk ayahnya dalam peti.
"Maafkan aku," batin Gilang.
Melihat Nindi memantapkan hati Gilang untuk menikahinya meskipun Nindi tidak prospek dan terlihat cupu dan culun.
"Jangan terlalu diratapi kasian ayah kamu di sana lebih baik kita berdoa supaya ayah kamu diterima di sisi Tuhan yang Mahakuasa," ucap Gilang.
Putri melepas pelukannya, sesaat kemudian datanglah Veri. Gilang menyuruhnya untuk segera mengurus prosesi pemakaman pak Slamet.
Beberapa waktu kemudian datanglah banyak orang yang berbondong-bondong untuk melayat, Gilang yang kasian hendak membantu Nindi.
"Kamu nggak punya sanak keluarga?" tanya Gilang
"Tidak," jawab Nindi.
"Aku bantu ya." Gilang menawarkan diri untuk membantu Nindi.
Nindi mengangguk.
Beberapa jam kemudian, proses pemakaman selesai kini Nindi duduk sambil menangis di depan pusara ayahnya.
"Kenapa ayah cepat sekali meninggalkan Nindi," kata Nindi sambil menaburkan bunga pada pusara ayahnya.
Gilang yang mendengarnya duduk di samping Nindi seraya berucap
"Aku akan menjagamu,"
Nindi menatap Gilang, bingung dengan maksud Gilang yang ingin menjaganya.
Seolah tau apa yang dipikirkan Nindi, Gilang berkata lagi
"Aku akan menikahi kamu sesuai wasiat dari ayah kamu sebelum meninggal."
Nindi dibuat bingung dengan kata-kata Gilang, kenapa ayah berwasiat seperti itu, Nindi dan Gilang tidak saling kenal mengapa ayahnya menyuruh Gilang untuk menikahinya.
Flashback
Siang itu, Gilang terburu-buru untuk menemui kliennya, karena tidak paham daerah tersebut Gilang menggunakan bantuan Gugel map, Gilang malah di arahkan ke jalan tikus, karena buru-buru Gilang menerobos pertigaan yang mendadak ada pak Slamet sehingga kecelakaan tidak bisa terelakkan, Pak Slamet terpental cukup jauh karena Gilang cukup kencang mengendarai mobilnya.
Keadaan jalan yang cukup sepi membuat Gilang harus sendirian mengurus tubuh pak Slamet ke dalam mobil lalu membawanya ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit Gilang memanggil para suster jaga untuk menolongnya membawa pasien.
Beberapa suster membara brankar dan menuju mobil Gilang dan mengeluarkan Pak Slamet.
Mereka segera memanggil dokter untuk melakukan tindakan pada pak Slamet.
Beberapa waktu kemudian dokter keluar, Gilang segera berdiri dan bertanya pada dokter.
"Bagaimana dok?" tanya Gilang
"Mohon maaf, keadaan pasien sekarang masih kritis berdoa saja semoga beliau bisa melewati masa kritisnya," kata dokter.
Gilang minta ijin untuk melihat keadaan Pak Slamet, terlihat beliau berbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya.
Perlahan Gilang mendekat, dia menggenggam tangan pak Slamet.
"Maafkan saya pak yang telah membuat bapak seperti ini," kata Gilang menyesal.
Seolah mendengar perkataan Gilang pak Slamet membuka matanya.
"Tolong, jaga anak saya," katanya lirih sekali.
"Bagaimana saya menjaganya pak?" tanya Gilang bingung
"Nikahi dia," jawab Pak Slamet.
Flashback off
Gilang masih belum berani memberitahukan kalau dia lah yang menabrak ayahnya, Gilang takut kalau Nindi tak terima dan membuat masalah ini jadi panjang.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Gilang.
Nindi bingung, bingung harus berkata apa. Awal pertama melihat Gilang Nindi sempat tertarik. Siapa yang tidak menyukai Gilang, pria dengan postur tubuh yang ok, memiliki otot Bisep dan Trisep yang kuat, outfit Gilang juga apalagi wajahnya yang super tampan.
Nindi melihat dirinya sendiri, lalu melihat Gilang
"Wanita mana yang mampu menolak kamu mas tapi permasalahannya saat ini apa kamu mau menikah denganku yang tidak prospek ini," jawab Nindi.
Gilang tersenyum tipis, memang benar yang dikatakan Nindi, sama sekali dia tidak tertarik dengan Nindi menatapnya pun malas namun demi wasiat ayah Nindi, Gilang mau menikahi Nindi meski dia tidak cinta.
"Aku mau karena ini adalah wasiat ayahmu sebelum meninggal," jawab Gilang.
Mendengar jawaban Gilang membuat Nindi mengangguk meski ada rasa khawatir dalam hatinya.
Gilang dan Nindi memutuskan untuk pulang karena hari semakin sore.
Waktu berjalan dengan cepat seminggu setelah kepergian ayahnya, Gilang menyuruh Veri asistennya untuk segera mempersiapkan pernikahannya dengan Nindi, tak lupa dia juga meminta Nindi untuk menyiapkan berkas-berkasnya.
"Siapkan berkas berkas kamu, seminggu lagi kita akan menikah" kata Gilang.
Hari pernikahan telah tiba, Gilang menikah tanpa memberitahu orang tuanya. Pernikahan mereka juga sederhana hanya di sebuah masjid kecil yang tak jauh dari kediamannya.
Gilang juga tidak menyebar undangan hanya segelintir orang yang tau akan pernikahannya.
Begitu pula dengan Nindi yang hanya memakai kebaya tanpa ada perias.
Dia merias dirinya sendiri dengan riasan minimalis, mas kawin yang diberikan Gilang lumayan banyak sehingga membuat Nindi kaget, pasalnya Gilang tidak memberitahu Nindi sebelumnya.
Setelah pernikahan mereka selesai Gilang dan Nindi pergi ke apartemen Gilang. Kenapa di apartemen? karena Gilang tidak ingin orang tuanya tau, Gilang belum siap jika memberitahu keluarganya pasal pernikahan yang terpaksa dia jalani.
"Mas apartemen kamu mewah sekali?" kata Nindi takjub.
"Iya," jawab Gilang singkat
"Mana kamar kita mas?" tanya Nindi.
Gilang membolakan matanya, dia belum siap jika sekamar dengan Nindi.
"Maaf Nin, untuk sementara kamar kita terpisah dulu ya," jawab Gilang.
Nindi hanya tersenyum, meski hatinya sangat sakit akan jawaban Gilang. Kalau tidak ingin kumpul bersama kenapa harus mengajak menikah?
Gilang menunjukkan kamar Nindi, setelah itu Gilang masuk kamarnya karena ingin istirahat.
Nindi duduk di tepi ranjangnya dengan menangis, dia merasa kalau dia adalah istri yang tidak dianggap oleh Gilang.
Semenjak menikah sikap Gilang agak berubah, dia seakan malas menemui Nindi, pagi sekali dia berangkat pulang sangat larut terkadang juga tidak pulang.
Pagi ini Nindi bangun pagi sekali, dia menunggu Gilang di ruang tamu.
Saat itu Gilang pergi tanpa pakaian kantornya.
"Mau berangkat mas," tanya Nindi
"Eh, iya Nin. Kamu kok sudah bangun?" tanya Gilang balik
"Sengaja nungguin kamu," jawab Nindi.
"Ngapain nungguin aku, sana balik tidur," suruh Gilang.
"Kalau dipikir- pikir kita bukan seperti suami istri melainkan seperti orang asing yang tinggal satu rumah, kalau begini mengapa kita melanjutkan hubungan seperti ini mas," kata Nindi dengan menatap Gilang.
Gilang nampak bingung, tapi bagaimana lagi Nindi sangat tidak prospek, tentu dia tidak mungkin bisa mencintai Nindi yang amat sangat tidak dia suka sedikitpun dan jujur saja Gilang malu memiliki istri seperti Nindi.
"Berikan aku waktu Nin, jujur aku menikahi kamu karena wasiat dari almarhum ayah kamu bukan karena cinta," ucap Gilang dengan menyesal.
Nindi meneteskan air matanya, tak tau lagi harus ngomong apa, Nindi pergi masuk kamar. Dia menumpahkan kekecewaannya pada Gilang. Kata-kata manis dan sikap perhatiannya hanya palsu.
Gilang mengusap rambutnya kasar, dia sungguh frustasi dengan hidupnya saat ini. Dia terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan.
Hari ini Nindi ingin mengunjungi tempat kerjanya dulu sebelum dia menikah.
Nindi terlihat senang bertemu dengan teman-temannya.
"Lama nggak jumpa Nin, apa kabar?" tanya salah satu temannya
"Baik kok," jawab Nindi.
Karena murid-murid sudah pada datang mereka semua ijin pada Nindi untuk mengajar dulu.
Nindi melihat para temannya mengajar tari sedangkan dia hanya duduk termenung dengan perasaan yang berkecambuk tak karu-karuan memikirkan nasib pernikahannya bersama Gilang yang tidak jelas.
Hingga ada salah satu temannya yang juga pemilik sanggar tari duduk di samping Nindi.
"Ada apa?" tanya nya
"Nggak ada apa-apa kak Ratna," jawab Nindi berbohong.
"Cerita lah Nin barang kali aku bisa membantu, raut wajahmu sedang tidak baik-baik saja soalnya.
Akhirnya Nindi menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi, Ratna menatap Nindi dengan lekat dia melepas kacamata tebal Nindi. Dia membolak balik badan Nindi lalu tersenyum.
"Nin, setiap lelaki itu suka dengan wanita cantik kalau penampilan kamu seperti ini siapa yang mau coba," kata Ratna yang membuat Nindi menatapnya.
"Cinta itu berawal dari mata turun ke hati, kalau matanya saja tidak suka bagaimana bisa turun ke hati," pesan Ratna.
Nindi membenarkan perkataan temannya, "Nanti aku make over dirimu supaya suami mu tergila-gila padamu."
Ratna mengajak Nindi ke salonnya, kebetulan dia juga memiliki Salon dan Spa yang letaknya nggak jauh dari rumahnya.
Dia memulai menggosok tubuh Nindi dengan body scrub, hingga kulit kusam Nindi terangkat semua.
"Tuh Nin, dakinya ikut ke angkat semua," kata Ratna.
Nindi tersenyum dan mengangguk.
Setelah perawatan badan kini gantian wajah Nindi yang akan di lulur juga oleh Ratna supaya sel sel kulit matinya terangkat.
Setalah selesai dengan perawatan dasar kini ke perawatan berikutnya, selama tiga jam Nindi di make over, kacamata tebal yang selalu dipakai Nindi telah dimusiumkan oleh Ratna, dia menggantinya dengan soft lensa berwarna coklat.
Ratna juga melepas kepangan rambut Nindi dan dengan sedikit sentuhan alat curly rambut Nindi kini nampak cantik dengan keriting yang menggantung seperti rambut para artis-artis papan atas.
Dasarnya rambut Nindi sangat indah dengan warna hitam pekat, namun Nindi kurang memperhatikan penampilannya.
Ratna kini mulai menggambar wajah Nindi dengan polesan natural. Perbedaan Nindi sebelum Mark over dan sesudah make over sangat berbeda bahkan perbedaanya lebih dari 180 derajat, "OMG Nindi, kamu cantik banget," kata Ratna takjub melihat perubahan Nindi.
Dia wanita saja sangat suka melihat wajah Nindi apalagi kaum Adam.
Ratna menyuruh Nindi bercermin.
Bola mata Nindi membesar, dia tak percaya kalau yang ada dalam pantulan kaca adalah dirinya.
Nindi menatap dirinya kelat, dia menangis dengan terisak.
"Bahkan menangis aku masih terlihat cantik," katanya yang sanggup membuat Ratna tertawa.
"Aku ingin tau sekarang, dia menolak dirimu lagi apa tidak, oh ya untuk biaya perawatan selanjutnya harus kamu tanggung sendiri, kalau aku aksih free terus bisa bangkrut aku," ujar Ratna dengan tertawa.
"Baiklah kak Ratna," sahut Nindi tersenyum.
Setelah cantik Ratna mengajak Nindi untuk makan di sebuah cafe, tak sengaja ada Gilang dan Veri yang kebetulan juga makan siang di situ namun mereka tidak tau kalau Nindi ada di situ juga mungkin lebih tepatnya tidak bisa mengenali Nindi.
Karena yang mereka kunjungi adalah cafe anak muda, jadi ada band di panggung untuk menghibur pada pengunjung.
Para pemain band di sana meminta pada pengunjung untuk menyumbang lagu, Ratna mengangkat tangannya namun saat dipanggil Nindi lah yang disuruh maju ke depan.
"Menyanyi lah Nin," titah Ratna dengan tersenyum.
"Tidak kak, batuk saja false apalagi menyanyi," tolak Nindi.
Ratna terus saja mendesak Nindi dan mau nggak mau Nindi naik ke panggung. Sebelum menyanyi Nindi menyapa para pengunjung.
"Saya akan menyanyikan lagu dari grub band seventeen yang berjudul Kemarin karena saya baru kehilangan ayah yang amat saya sayangi," kata Nindi.
Tepuk tangan riuh saat music mulai dimainkan, nampak Nindi memegangi Mic dan mulai bernyanyi
Kemarin engkau masih ada di sini
Bersamaku menikmati rasa ini
Berharap semua takkan pernah berakhir
Bersamamu
Bersamamu
Kemarin dunia terlihat sangat indah
Dan denganmu merasakan ini semua
Melewati hitam-putih hidup ini
Bersamamu
Bersamamu
Kini sendiri di sini
Mencarimu tak tahu di mana
S'moga tenang kau di sana
Selamanya
Aku s'lalu mengingatmu
Doakanmu setiap malamku
S'moga tenang kau di sana
Selamanya
Oh-wo-oh
Kini sendiri di sini
Mencarimu tak tahu di mana
S'moga tenang kau di sana
Selamanya
Aku s'lalu mengingatmu
Doakanmu setiap malamku
S'moga tenang kau di sana
Selamanya, oh-wo-wo-oh
Mendengar lalu yang dibawakan Nindi membuat semau pengunjung terhipnotis, mereka turut merasakan kesedihan Nindi, saking menghayatinya Nindi juga menangis bahkan terisak
Kenangan akan ayahnya kini menari-nari di kepalanya apalagi setelah ayahnya meninggal tidak ada yang menyayanginya bahkan suaminya Gilang sangat cuek dan acuh padanya.
Meskipun Gilang tidak pernah bicara kasar pada Nindi namun sikap cuek dan acuh Gilang sangat membuat Nindi merasa sakit hati.
Untuk apa dia menikahinya jika tidak bisa hidup bersama, jika tau seperti ini pasti Nindi tidak akan menikah dengan Gilang.
Seusai menyanyi Nindi berterima kasih pada seluruh pengunjung.
"Terima kasih, maaf jika lagunya sedih. Lagu tadi untuk almarhum ayah saya yang telah meninggal dan maaf jika suara saya merdu atau merusak dunia," kata Nindi dengan tertawa.
Tepuk tangan riuh terdengar, semua pengunjung sangat suka sekali dengan suara maupun lagu yang dibawakan oleh Nindi.
Nindi turun hendak kembali ke tempat duduknya, saat bersamaan dia berpapasan dengan Veri maupun Gilang.
Nindi nampak melihat Gilang yang sedari tadi juga curi-curi pandang padanya.
" Kak Ratna, itu tadi suamiku tapi kok dia nggak mengenaliku ya?" tanya Nindi heran.
Ratna membolakan matanya, "Jadi suami kamu lelaki cakep itu Nin?" tanya Ratna kaget dengan tangan menunjuk Gilang dan Veri yang hendak naik mobilnya.
"Iya kak Ratna," jawab Nindi dengan tersenyum.
"Pantes saja, tapi kalian seperti beauty and the beast, Suami kamu beauty nya sedangkan ku teh beastnya," goda Ratna dengan tertawa.
Nindi melemparkan tatapan mautnya pada Ratna, kesal dengan Ratna yang mengatai dirinya the beast.
"Tapi sekarang kan cantik, pake banget malah. Kamu tu seperti batu berlian yang terbungkus lumpur tau nggak, pantas suami kamu tidak mengenali kamu tadi," ucap Ratna.
Nindi tersenyum dia sungguh tidak percaya kalau dirinya sungguh prospek sekali.
"Aku akan membuat Gilang bertekuk lutut padaku," gumam Nindi dengan tertawa.
"Teruslah bedandan seperti ini, lambat laun dia pasti cinta ma kamu," sahut Ratna.
"Tapi inginku nggak gitu kak, bairlah dia mengenaliku sebagai Nindi si buruk rupa, aku ingin bertemu dengannya di luar rumah," kata Nindi penuh keyakinan.
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Nindi kemudian dengan raut wajah yang lesu karean bingung harus bagaimana bertemu dengan Gilang di laur rumah.
Ratna dan Nidni nampak berfikir, mereka membolak balikkan otak mereka bagaimana caranya.
Nindi yang tidak mendapatkan ide mengusap rambutnya kasar.
"Entahlah kak," sahutnya pasrah
Ide brilian muncul di otak Ratna, dia pun membisikkan idenya pada Nindi dan Nindi tersenyum puas akan ide Ratna.
"Kenapa tak terpikirkan olehku ya kak," kata Nindi
"Otakmu tak secanggih otakku," sahut Ratna terkekeh.
"Iya iya, kak Ratna the best," timpal Nindi
"Tapi ingat Nin, belum tentu ini berhasil jadi jika gagal kita tetap cari rencana yang lain, Ok," ujar Ratna.
Karena hari semakin sore mereka berdua memutuskan pulang, apartemen Nindi lebih dekat daripada rumah Ratna.
Namun sebelum kembali ke apartemennya Nindi memakai kembali peralatan cupunya, kacamata yang rencananya dimusiumkan kini dipakai kembali dan dalam sekejap Nindi berubah jadi the beast lagi.
Dengan langkah pelan, Nindi melangkahkan kaki menuju apartemen Gilang, sesampainya di rumah Nindi beres-beres lalu masak untuk dirinya sendiri karena Gilang tidak pernah makan di rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!