Indira Pertiwi, 30 tahun seorang janda dengan satu anak. Ditinggal mati suaminya karena penyakit kronis. Mencari pekerjaan kemana-mana untuk dapat menghidupi anak semata wayangnya. Ini adalah perusahaan kelima yang dia masuki.
"Permisi, saya mau wawancara untuk posisi sekretaris," kata Indi pada front office di depan.
"Langsung masuk saja Bu, naik lift ke lantai 5," kata front office.
"Terima kasih," Indi melangkah memasuki lift.
Di dalam lift penuh dengan orang. Indi terdesak ke belakang. Di depannya seorang pria muda yang kelihatan seperti eksekutif.
Lift berhenti di lantai 5. Indi turun dari lift dan bertabrakan dengan pria muda tadi, yang turun juga di lantai 5.
"Sorry," kata Indi.
Namun permintaan maaf Indi tidak digubris oleh pria muda tersebut. Indi mengumpat dengan suara sedikit keras.
"Anak jaman sekarang gak tahu sopan santun, dasar," umpat Indi yang sebenarnya didengar oleh pria muda tersebut.
Indi akhirnya mendapat giliran untuk wawancara. Dia masuk ke dalam kantor sang Boss. Dan dia sedikit terkejut karena yang di dalam adalah pria muda yang tadi.
"Gawat nih tadi gue ngomong sembarangan, sial," umpat Indi dalam hati.
Setelah menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Boss dan asistennya, Indi memilih untuk diam. Karena dia belum dipersilahkan untuk keluar.
"Jadi, saya anak jaman sekarang yang tidak punya sopan santun?" kata si Boss dingin. Yang diketahui namanya adalah Arya Wijaya.
"Maaf Pak, saya tidak bermaksud menyinggung Bapak," kata Indi tegas tapi ada sedikit rasa gugup.
"Baik, kamu boleh keluar sekarang. Saya tidak akan menerima karyawan yang suka mengumpat di belakang saya," kata Arya dingin.
Indi merasa alasannya ditolak tidak masuk akal. Diapun langsung naik darah.
"Saya juga merasa tidak pantas kerja bersama Bapak yang dingin dan sombong. Tidak akan ada karyawan yang betah bekerja dengan Bapak. Permisi," Indi langsung keluar dan membanting pintu.
Indi keluar kantor Arya dengan hati panas. Sepanjang perjalanan keluar perusahaan, dia mengumpat. Di depan pintu lift keluar, dia menabrak seseorang.
"Sorry," Indi hendak pergi, tapi ada yang memanggilnya.
"Indi," panggil seseorang.
Indi menengok dan ternyata Ardi, teman kuliahnya dulu.
"Hai Di, apa kabar?" kata Indi menyapa.
"Hai, baik Ndi. Kamu kerja di sini?" tanya Ardi tersenyum ramah.
"Amit-amit deh kerja di sini. Untung 'gak diterima," kata Indi sambil bergidik.
"Hahahaha, emang kenapa Ndi?" tanya Ardi lagi.
"Bossnya sombong, kaya' kulkas juga. Dingin," Indi menjelaskan.
Setelah bertukar nomor, Indi langsung keluar dari perusahaan.
Pov Arya.
"Sialan tuh cewek, berani banget ngatain gue," Arya ngamuk.
"Tapi dia memang bener bro, lo terlalu sombong dan dingin," kata Dimas, asisten sekaligus sahabat Arya.
"Diem lo," Arya mengusap rambutnya kasar. Dimas hanya tersenyum.
Arya Wijaya, umur 27 tahun tapi sudah memegang perusahaan sendiri. Dia anak pertama dari dua bersaudara keluarga Wijaya. Dia memang mempunyai kepribadian yang dingin dan tidak memperdulikan sekitarnya.
Satu minggu kemudian.
Indi sedang berjalan-jalan dengan anaknya di sebuah taman bermain. Anak Indi laki-laki berumur 5 tahun, Evan namanya. Dia anak yang sangat penurut dan pengertian. Hidup berdua bersama Ibunya membuat Evan menjadi anak yang mandiri.
"Sayang udah selesai mainnya? Kita pulang yuk," ajak Indi pada Evan.
"Evan mau naik kuda lagi Mah," kata Evan meminta.
"Ya udah, tapi satu kali lagi aja ya," kata Indi mencubit pipi Evan. Evan mengangguk senang.
Setelah selesai bermain, Indi mengajak Evan pulang. Saat hendak menunggu taksi, ada banyak orang berkerumun tidak jauh dari tempat Indi berdiri. Ternyata ada kecelakaan. Indi hendak mengabaikan kejadian itu, tapi tiba-tiba Evan berteriak.
"Mah lihat, Omnya kasihan Mah, berdarah," kata Evan menarik-narik tangan Indi.
Indi melihat ke arah yang ditunjukkan Evan. Indi langsung kaget karena ternyata itu Arya. Indi langsung berlari menghampiri Arya diikuti Evan.
"Arya, kamu 'gak apa?" tanya Indi sambil mencoba menghubungi ambulans.
"Mah, Omnya mau mati," kata-kata Evan membuat Indi semakin gugup.
"'Gak mati sayang, Omnya cuma kesakitan," kata Indi menjelaskan.
Indi jadi teringat suaminya yang mengalami sakit. Dan sekarang telah tenang di atas sana.
Tidak berapa lama, ambulans datang dan membawa Arya ke Rumah Sakit. Karena tidak ada yang mau mengikuti, Indi terpaksa ikut.
Di rumah sakit.
"Mohon maaf siapa keluarga Bapak Arya?" tanya seorang suster.
"Maaf suster saya hanya menolongnya. Mungkin keluarganya sebentar lagi sampai," kata Indi.
"Mah ngantuk," Evan menguap beberapa kali.
"Evan tidur di kursi dulu ya sayang," Indi menidurkan Evan.
"Permisi Mba, apa kamu yang menolong Arya?" kata seorang Bapak yang baru saja sampai.
"Iya Pak, Aryanya masih ditangani Dokter," kata Indi menjelaskan.
"Terima kasih ya, Nak. Nama kamu siapa?" tanya seorang Ibu.
"Saya Indi Bu. Karena Bapak sama Ibu sudah datang, saya permisi. Kasihan anak saya ketiduran," kata Indi sambil hendak menggendong Evan.
"Ini anak kamu?" tanya Bapaknya Arya.
"Iya Pak, permisi Pak,Bu," Indi pamit.
Setelah kepergian Indi, Dokter keluar dan memberitahukan keluarga Arya tentang keadaannya.
Pov Arya.
"Aauuwww, kepala gue," Arya mengaduh memegang kepalanya yang berbalut perban.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Mama Arya.
"'Gak apa Mah," Arya menatap sang Mama.
"Bagaimana kejadiannya? Kenapa sampai kecelakaan?" Papah Arya bertanya.
"Untung aja ada Indi, jadi kamu bisa cepat dibawa ke RS," Mama bicara lagi.
"Indi?" Arya bertanya-tanya.
"Iya Indi, katanya karyawan kamu," kata Papah. Arya semakin tak paham.
Indi mengaku sebagai karyawan Arya karena dia tidak mau banyak pertanyaan dari orang tua Arya.
"Udah gak usah dipikirin, kamu istirahat," kata Mama Arya.
Arya memejamkan matanya sambil memikirkan apakah Indi yang itu atau bukan.
Pov Indira.
Sudah dua minggu semenjak terakhir Indi melakukan wawancara pekerjaan. Dia masih belum dapat pekerjaan itu. Selama menunggu pekerjaan yang lebih bagus, Indi bekerja di minimarket dekat rumahnya.
"Mah, Om yang waktu itu gimana ya?" tanya Evan tiba-tiba.
"Mama juga gak tahu sayang. Mungkin sudah sembuh," kata Indi bingung.
"Besok kita jenguk yuk Mah," kata Evan meminta.
"Ngapain sayang, kita 'gak kenal," kata Indi, tidak ingin bertemu lagi dengan Arya.
"Ayolah Mah, Evan kasihan sama Om itu," Evan memohon.
"Ini anak kenapa sih?" batin Indi.
"Ya udah, besok kita jenguk Om itu," kata Indi akhirnya.
Esoknya di Rumah Sakit.
"Permisi," Indi mengetuk pintu, lalu membukanya.
Di dalam ada Ibunya Arya dan seorang gadis mirip dengan Ibunya Arya. Mungkin saja adiknya.
"Loh, Nak Indi kan. Silahkan masuk Nak," kata Ibu Arya mempersilahkan masuk.
"Permisi tante," Indi masuk dan Evan langsung berlari menuju Arya.
"Om gak papa kan? Udah gak berdarah lagi kan?" tanya Evan sambil melihat-lihat Arya.
Arya menatapku seakan bertanya.
"Ini Evan anak saya," Indi mengenalkan Evan.
"Om udah sembuh?" tanya Evan lagi.
"Udah," jawab Arya dengan senyum kaku.
"Sayang, Om Arya masih harus istirahat. Kita pulang yuk," kata Indi membujuk Evan.
"Iya Mah. Om cepat sembuh ya," Evan memegang tangan Indi hendak pamit. Arya hanya tersenyum kaku.
"Cih, sama anak kecil aja kaku," kata Indi dalam hati.
"Tante, saya pamit pulang, semoga Arya cepat pulih," pamit Indi lalu melangkah keluar.
Pov Arya.
Mengambil ponsel dan menelpon Dimas.
Call on.
"Hallo Ar, gimana keadaan lo?" tanya Dimas di seberang.
"Tolong urus supaya Indi bisa bekerja besok," kata Arya tanpa basa-basi.
"Indi? Yang mana ya?" tanya Dimas.
"Yang ngatain gue sombong dan dingin," kata Arya menjelaskan.
"Ooh itu, oke gampang. Tapi kenapa?" tanya Dimas penasaran.
"Gak usah banyak tanya," kata Arya lalu menutup telepon.
Call off.
Indi mendapatkan telepon dari Dimas. Dia disuruh datang ke perusahaan untuk tanda tangan kontrak kerja.
"Kenapa Pak Arya berubah pikiran?" tanya Indi pada Dimas.
"Saya juga tidak tahu. Tapi menurut saya, Ibu memang cocok menjadi sekretaris Pak Arya," kata Dimas menjelaskan.
"Terima kasih Pak Dimas," Indi menyerahkan dokumen kontrak yang sudah dia tanda tangani.
"Panggil Dimas saja Bu, saya belum Bapak-bapak," Dimas nyengir kuda.
"Kalau begitu, panggil saya Indi aja, saya belum terlalu tua," Indi tersenyum dan Dimas tertawa.
"Ada yang lucu?" Arya tiba-tiba muncul dan mengagetkan.
"Tidak ada Pak," Indi langsung menunduk sopan.
Arya menatap Dimas, tapi Dimas hanya mengangkat bahu.
"Baiklah, selamat bekerja. Dimas akan menjelaskan job desk kamu," Arya berjalan menuju tempat duduknya.
"Terima kasih Pak, saya permisi," Indi mengundurkan diri.
Indi harus bisa mengontrol emosinya karena dia tidak mau dipecat. Mempunyai atasan yang dingin seperti Arya harus banyak bersabar. Setelah Dimas menjelaskan semua yang harus dikerjakan, Indipun langsung memulai bekerja.
Pov Arya.
"Huufftt," Arya memejamkan mata sambil memijat pelipisnya.
"Kenapa lo?" tanya Dimas. Dimas itu selain asisten Arya, dia juga sahabat baik Arya.
"Gue pusing. Efek kecelakaan masih ada," kata Arya. "Gimana Indi?" tanya Arya.
"Gue udah jelasin semua job desknya. Dia udah paham karena dia berpengalaman. So, gak usah khawatir," jawab Dimas.
"Oke," Arya menjawab singkat.
Pov Indira.
Tok..tok..tok mengetuk pintu Arya.
"Masuk," Arya bicara dari dalam ruangan.
"Maaf Pak, saya mau ijin istirahat," kata Indi ragu.
"Iya," kata Arya masih sibuk dengan laptopnya.
"Permisi Pak," Indi hendak pergi tapi dicegat.
"Saya ikut," kata-kata Arya berhasil membuat Indi melongo.
"Saya hanya mau ke kantin kantor Pak," Indi mencoba menghindari Arya.
"Saya juga butuh istirahat, dan sekarang kamu adalah sekretaris saya," kata Arya lalu berjalan cepat di depan Indi.
Indi hanya bisa mengikuti kemana Bossnya pergi.
Di kantin kantor.
"Si Boss besar tumben makan di kantin?" bisik para karyawan yang lain, membuat Indi risih.
"Iya tuh boss besar gak biasanya," bisik yang lain.
"Itu sekretarisnya boss yang baru?" ada juga yang mengomentari Indi.
"Mau makan apa mau ngegosip nih?" tanya seseorang.
"Eh Pak Ardi, mau makan Pak," para penggosip langsung bubar. Ternyata Ardi, sang Manajer Pemasaran. Indi baru mengetahui setelah membaca semua profil perusahaan.
"Mau makan apa Pak?" tanya Indi pada Arya.
"Apa saja," jawab Arya.
Indi langsung mengambil makanan dan menyapa Ardi yang sedang mengambil makanan juga.
"Hai, Di," sapa Indi.
"Katanya gak mau kerja di sini," sindir Ardi masih mengingat ucapan Indi dulu.
"Demi sesuap nasi. Duluan ya," Indi membawa 2 piring makanan.
Indi makan dengan lahap. Tidak perduli dia sedang bersama siapa.
"Kalau sudah makan, langsung ke ruangan saya dan bawa kopi," kata Arya lalu meninggalkan Indi.
"Gue kerja apa sih sebenernya. Sekretaris apa kacung, heehh," Indi menghela nafas.
Hari pertama kerja begitu sibuk, karena pekerjaan yang harus diselesaikan dan penyesuaian juga.
"Mama pulang Nak," Indi memasuki rumah.
"Mama," Evan langsung berlari memeluk Indi.
"Sudah pulang tante?" tanya Nina, penjaga Evan.
"Makasih ya Nin buat hari ini," Indi menuntun Evan ke dalam.
"Nina pulang dulu ya tante," Nina pamit.
"Iya Nin, makasih ya," Indi mengantar Nina ke depan. Nina adalah anak tetangga rumah Indi. Setiap hari dia yang membantu menjaga Evan.
Setelah menidurkan Evan, Indi masuk ke kamar mandi. Berendam membuatnya sedikit lebih rileks.
Pov Arya.
Call on.
"Hallo Dim, lo tau yang namanya Ardi?" Arya sedang berbicara dengan Dimas di telepon.
"Ardi siapa? Lo yang jelas kalau ngomong," Dimas selalu sewot, kalau si Arya bicara 'gak jelas begitu.
"Ya udah deh gak jadi," Arya menutup teleponnya.
Call off.
"Gue kenapa nyariin si Ardi. Gak ada hubungannya juga sama gue," Arya membanting ponselnya ke kasur, lalu keluar kamar.
"Arya, sini deh," Mama memanggil Arya.
"Kenapa Mah?" tanya Arya.
"Itu si Indi beneran karyawan kamu?" tanya Mama kepo.
"Iya Mah, sekretaris Arya," jawab Arya, "Kenapa?"
"Anaknya baik, cantik juga. Tapi sudah punya anak ya," kata Mamah gak tahu maksudnya apa.
"Terus apa ada hubungannya sama Arya?" tanya Arya dingin.
"Gak ada, sewot aja," Mamah manyun.
"Kira-kira kamu tahu gak suaminya kemana?" tanya Mama lagi.
Arya cuma melirik Mama dan langsung pergi.
"Mama kan cuma nanya," teriak Mama.
Esok paginya di kantor.
"Selamat pagi, Pak," Indi menyapa sang Boss yang baru datang dan mengikutinya.
"Ngapain ngikutin saya?" tanya Arya dingin.
"Saya mau memberitahu Bapak jadwal hari ini," jawab Indi.
"Nanti saja," kata Arya mengusir Indi dengan lambaian tangan.
"Tapi Pak ..." belum selesai bicara, Indi langsung kaget karena bentakan Arya.
"Saya bilang nanti saja," kata Arya keras.
Dimas yang dari tadi mengikuti cuma memberi kode Indi supaya keluar ruangan. Indi langsung keluar ruangan.
"Sabar, sabar punya Boss kaya gunung es," kata Indi mengelus dada.
Di dalam ruangan Arya.
"Kenapa sih lo, pagi-pagi udah kaya singa," tanya Dimas.
"Lo udah cari tahu yang namanya Ardi?" tanya Arya.
"Ardi Manajer Pemasaran di perusahaan lo?" Dimas bertanya juga.
"Oh, Manajer Pemasaran," Arya tersenyum sinis.
"Ada masalah sama tim marketing?" tanya Dimas.
"'Gak ada," jawab Arya cepat.
Tok..tok..tok..
"Masuk," kata Arya.
"Pak, rapat akan segera dimulai," kata Indi memberitahu Bossnya.
"Kenapa baru kasih tahu?" tanya Arya.
"Bapak yang tidak mau saya kasih tahu tadi," jawab Indi santai.
"Kamu berani menjawab saya," kata Arya meninggikan suaranya.
"Saya punya hak menjawabnya Pak," kata Indi tidak mau kalah.
"Kamu ..." belum selesai bicara, sudah dipotong Dimas.
"Sudah, sudah, kita ke ruang rapat sekarang. Ayo Indi," kata Dimas menepuk bahu Arya.
Indi langsung buru-buru keluar dan menyiapkan bahan rapat.
Rapat selesai dengan cepat dan semua karyawan kena marah Pak Boss. Entah bagaimana, emosinya hari ini tidak bagus. Indi mencoba menghindar agar tidak terlibat adu mulut lagi dengan Arya. Tapi sepertinya tidak demikian dengan Arya.
"Indi, ke ruangan saya," kata Arya lewat interkom.
Tok..tok..tok.
"Hmm," Indi masuk dan Arya sibuk dengan laptopnya.
"Ada apa Pak?" tanya Indi mendekat ke meja Arya.
Tidak ada jawaban dari Arya. Dia tetap sibuk mengetik di keyboard.
"Pak?" Indi mencoba memanggil lagi.
"Kamu tidak lihat saya sedang ngapain?" Arya menjawab dengan dingin.
"Bapak manggil saya ada keperluan apa?" tanya Indi lagi.
"Apa saya perlu alasan untuk memanggil sekretaris saya?" kata Arya gak masuk akal.
"Maaf Pak, saya masih banyak pekerjaan. Kalau Bapak tidak membutuhkan saya, saya permisi," kata Indi hendak keluar.
"Kenapa kamu selalu membantah saya?" bentak Arya.
Indi menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Saya tidak membantah Bapak. Saya hanya melakukan apa yang benar menurut saya," kata Indi mencoba bersabar, "Bapak manggil saya ke sini tidak jelas maunya apa. Dan saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya tidak bisa mengurusi emosi Bapak yang tidak karuan seperti itu," kata Indi panjang lebar. "Permisi Pak," Indi langsung keluar dan sedikit membanting pintu.
"Haahhh," Arya menghembuskan nafas kasar.
Di luar ruangan Arya, Indi mencak-mencak meluapkan emosinya.
"Dasar Boss gila. Ada masalah sendiri, emosi dibawa ke kantor. Kalau gak butuh uang, gak mau gue kerja sama lo," kata Indi manyun ke pintu ruangan Arya.
Sudah satu minggu Indi bekerja di perusahaan Arya. Hampir setiap hari, ada saja yang bikin si Boss marah 'gak jelas. Indi masih mencoba bersabar dengan kelakuan Bossnya.
"Ke ruangan saya," Arya memanggil Indi lewat interkom.
Tok..tok..tok
"Masuk," Indi masuk dan mendekat ke meja Arya.
"Ada apa Pak?" tanya Indi.
"Nanti malam ada jamuan makan dengan mitra perusahaan. Kamu temani saya," kata Arya sambil memeriksa dokumen.
"Biasanya Bapak sama Dimas," kata Indi mencoba menolak.
"Saya mau, kamu temani saya nanti," kata Arya melihat Indi.
"Tapi Pak, anak saya sendirian di rumah," kata Indi lagi.
"Minta penjaganya menunggu lebih lama dari biasanya. Silahkan keluar," Arya mengusir Indi.
Indi langsung keluar dan mencoba menghubungi Nina.
Call on.
"Hallo, tante," sapa Nina di telepon.
"Nin, hari ini tante pulang telat, kamu jagain Evan ya," kata Indi.
"Iya tante, Nina akan temenin Evan sampe tante pulang," kata Nina.
"Makasih ya Nin, tolong sampein ke Evan, tante pulang telat."
"Iya tante."
Call off.
Indi menutup telepon dan menghela nafas berat.
"Kenapa?" tanya seseorang mengagetkan.
"Astaga Dimas," Indi menjengit kaget.
"Kenapa sih?" tanya Dimas lagi.
"Gue harus nemenin Boss lo ke acara makan malam. Males banget gue," kata Indi manyun.
"Makan malam?" Dimas tanya lagi. "Bukannya dia ... " belum selesai ngomong, Dimas udah dipanggil Arya.
"Dimas, masuk," panggil Arya dingin.
Dimas langsung masuk mengikuti Arya yang tadi berdiri di depan pintu.
"Sejak kapan Gunung Es pindah ke situ?" Indi bicara sendiri sambil tersenyum geli.
Pov Arya.
"Kenapa Ar?" tanya Dimas.
"Lo ngapain sama Indi?" tanya Arya dingin.
"'Gak ngapa-ngapain, cuma ngobrol," jawab Dimas santai.
"Belum jam istirahat udah ngobrol. Kurang kerjaan lo?" Arya melihat tajam ke Dimas.
"'Gak Boss. Kerjaan udah numpuk. Ampun," kata Dimas memelas.
"Lo cariin gaun buat Indi, yang biasa aja," kata Arya sambil berjalan ke kursinya.
"Gaun buat apa?" tanya Dimas.
"Acara makan malam nanti," jawab Arya.
"Bukannya lo ga mau pergi ya?" tanya Dimas penasaran.
"Berubah pikiran," Arya mulai mengetik di keyboardnya, "Udah sana lo," usir Arya.
"Gue gak tahu ukuran baju Indi Boss," Dimas menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Arya tidak mengomentari keluhan Dimas. Dimas langsung keluar dan sedikit membanting pintu. Indi yang sedang konsentrasi langsung kaget dan latah.
"Eh, copot, copot," Indi membungkam mulutnya, "Kenapa lo Dim?" tanya Indi.
"Noh, Boss lo, ada aja permintaannya. Gak masuk akal pula," kata Dimas menghela nafas berat.
"Emang dia minta apa?" tanya Indi penasaran juga.
"Minta dibeliin gaun," kata Dimas jujur.
Indi langsung ngakak parah denger si Boss minta dibeliin gaun.
"Wah, parah Boss lo, gaunnya mau dipake dia?" hahahaha Indi masih tertawa.
"Engga lah, dia minta gue beliin gaun buat lo makan malam nanti," kata Dimas keceplosan.
"Gaun buat gue?" tanya Indi gak percaya.
"Eh, engga, gue salah," kata Dimas langsung nyengir ragu.
"Dimaaaassss, lo 'gak ada kerjaan ya," teriak Arya dari dalam ruangannya.
"Ketahuan kan lo, hahaha," Indi mencibir Dimas.
Dimas langsung buru-buru pergi.
Malamnya, Indi sudah merapikan dandanannya dan siap untuk berangkat. Hanya menunggu Bossnya keluar dari sarangnya, eh ruangannya.
"Pakai ini," kata Arya tiba-tiba, sambil meletakkan bungkusan di atas meja Indi.
"Apa ini Pak?" tanya Indi.
"Makan malam nanti ada dresscode-nya, dan pakaian kerjamu tidak cocok untuk ke sana," kata Arya dingin.
"Kalau gitu saya tidak usah ikut ya Pak," kata Indi ada sedikit rasa sakit karena penampilannya dikritik.
"Kamu ikut temani saya, dan pakai baju itu. Saya tunggu di lobby," Arya hendak pergi. "Kalau dalam 15 menit kamu tidak muncul juga, akan saya tarik paksa kamu," Arya pergi meninggalkan Indi yang sudah dongkol.
Setelah berdebat dengan batin sendiri, akhirnya Indi sampai di lobby, memakai gaun yang diberikan oleh Arya. Gaun hitam panjang dengan belahan samping dan kerah sabrina. Indi benar-benar tidak nyaman dengan gaun itu, tetapi dia tetap memakainya.
"Pak," panggil Indi.
Arya melihat Indi dari atas sampai bawah. Walaupun sudah punya anak, tetapi Indi tetap memperhatikan bentuk tubuhnya. Jadi jangan ditanya bagaimana terpesonanya Arya melihat Indi.
"Pak, berangkat sekarang?" tanya Indi.
Arya masih terpaku dengan Indi. Dia tidak menjawab pertanyaan Indi.
"Pak," panggil Indi lagi lebih keras.
Arya langsung terperanjat dan kembali sadar.
"Ayo berangkat," kata Arya dingin dan langsung menuju mobil.
Acara makan malam ini memang benar-benar acaranya para Boss perusahaan. Ada yang datang dengan istrinya, ada yang datang dengan sekretarisnya juga. Seperti Arya dan Indi.
"Selamat malam Bapak Arya, selamat datang," sapa seseorang yang bertugas di depan pintu.
Arya hanya menatap dingin orang itu, Indi tersenyum sopan.
"Dasar gunung es, senyum dikit kek," Indi menggerutu dalam hati.
Arya bertemu dengan beberapa rekan bisnisnya. Indi hanya mengekor kemanapun dia pergi. Lelah mengekor, Indi meminta ijin untuk mengambil minuman.
"Pak, saya ke sana ya. Mau minum," Indi menunjuk ke tempat duduk sebelah kanannya.
"Jangan jauh-jauh nanti hilang," kata Arya datar.
Indi hanya memutar bola matanya dan langsung bergegas mengambil minum. Setelah meminum orange jusnya Indi mengirimkan chat ke Nina.
Chat Indi : 'Nin gimana Evan?udah tidur?'
Tidak ada balasan dari Nina, Indi memasukkan ponselnya ke tas. Indi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Terlihat Arya sedang berbincang dengan orang yang lebih tua. Tapi Indi tidak melihat orang yang seumuran dengan Arya.
"Wah, hebat juga si Boss, ternyata paling muda diantara yang lain," kata Indi sambil tersenyum bangga.
"Permisi, Indira bukan ya?" tanya seseorang.
"Iya, saya Indira. Maaf, siapa ya?" tanya Indi lupa-lupa ingat.
"Ilham, temen almarhum suami kamu," kata Ilham pada Indi.
"Oh iya, mas Ilham. Makanya tadi kaya pernah lihat dimana gitu," kata Indi tersenyum malu.
Ilham adalah salah satu teman suami Indi. Terkadang Indi bertemu tapi karena sudah lama jadi Indi lupa.
"Di sini sama siapa?" tanya Ilham.
"Sama Boss saya mas, Pak Arya Wijaya," jawab Indi sambil melihat ke arah Arya. Dan ternyata Arya juga sedang melihat ke arah Indi.
"Oh, kerja di Wijaya sekarang. Gimana kabar anak kamu?" tanya Ilham lagi.
"Baik mas. Mas Ilham ke sini sama siapa?" tanya Indi.
"Saya sendirian, sekretaris saya sedang tidak berangkat kerja," jawab Ilham tersenyum.
Tiba-tiba Arya datang dan langsung memegang tangan Indi.
"Ayo kita pulang," kata Arya dingin.
"Udah selesai Pak?" tanya Indi polos.
"Hmm," Arya hanya berdehem dan langsung menyeret Indi.
"Mas Ilham duluan ya," kata Indi sambil mengikuti langkah Arya.
Pov Arya.
Melihat Indi sedang mengobrol dengan pria lain rasanya Arya tidak rela. Arya langsung berpamitan dengan orang yang sedang mengobrol dengannya. Aryapun langsung mendekati Indi dan memegang tangannya.
Di parkiran.
"Cepat masuk mobil," kata Arya dingin.
Indi hanya menurut dan langsung masuk ke mobil. Arya menjalankan mobilnya dan mengantarkan Indi ke rumah.
"Acaranya belum selesai kenapa pulang Pak?" tanya Indi membuka obrolan.
"Kamu rugi saya ajak pulang?" Arya malah bertanya tidak masuk akal.
"Saya rugi kenapa Pak?" tanya Indi tidak mengerti.
"Tadi kan kamu sedang mengobrol dengan pria," Arya mendengus.
"Itu teman suami saya Pak. Saya tidak begitu mengenalnya," Indi menjelaskan.
"Kenapa menjelaskan ke saya," Arya semakin dingin.
"Karena Bapak sepertinya tidak suka saya mengobrol dengan Mas Ilham," kata Indi mulai jengah dengan kelakuan Arya.
"Buat apa saya tidak suka. Terserah kamu mau ngapain aja. Itu hak kamu," kata Arya meninggi.
Indi tidak menanggapi ucapan Arya. Dia hanya diam dan menatap jendela samping mobil. Tapi kenapa ada rasa sesak di dadanya. Kata-kata Arya benar-benar membuatnya merasa aneh. Walaupun Arya pria yang dingin tapi baru kali ini ucapannya begitu mengena di hati Indi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!