PROLOG
Hari itu aku dan suami berniat mengunjungi kakak sepupu suamiku yang bernama Yu Darmi. Yu Darmi ini satu-satunya saudara suamiku yang rumahnya masih satu daerah denganku. Meskipun satu daerah, bukan berarti kita sering bertemu. Kami sama-sama memiliki kesibukan masing-masing, apalagi Yu Darmi. Dia sibuk sekali dengan usahanya di pasar. Aku pernah sekali mengunjungi toko Yu Darmi, ternyata tokonya lumayan lengkap dan laris. Ada satu orang karyawan yang sehari-hari membantu Yu Darmi di tokonya, namanya Siti. Dia anak gunung yang mencoba peruntungan di kota, anaknya cukup cantik dan ramah, jadi bisa mengimbangi karakter kakak sepupu suamiku yang terkenal judes dan anti sosial itu.
Aku mendapat info tentang karakter Yu Darmi itu dari tetanggaku, maklum kalau tinggal di desa, info sekecil apapun dengan sangat mudah tersebar dari mulut ke mulut. Itulah salah satu alasan mengapa aku jarang sekali mengunjungi rumah Yu Darmi. Aku takut salah ngomong atau apa yang dapat memicu terjadinya konflik di antara kita.
Akhirnya aku dan suami sudah hampir sampai di rumah Yu Darmi. Rumah perempuan itu agak terpisah dengan rumah penduduk yang lain, hanya ada satu tetangga yang ada di sebelahnya, yaitu Yu Painem. Seorang janda tua anak satu, tapi anaknya jauh tinggal di luar jawa, bekerja dan menetap di sana bersama anak istrinya. Aku sesekali datang mengunjungi Yu Painem kalau mau memberikan zakat saja.
Yu Darmi saat ini juga tinggal sendirian karena kedua anaknya, Yuli dan Fery harus tinggal kost di dekat sekolahnya di kota. Aku sudah bilang kepada kedua ponakan suamiku itu untuk pulang minimal sebulan sekali, untuk menjenguk ibunya yang sudah agak tua.
Betapa terkejutnya aku dan suami ketika mendapati Yu Darmi sedang sakit di rumahnya. Kondisinya benar-benar drop waktu itu, tidak ambil pusing, suami langsung menelpon ambulan untuk membawa kakak sepupunya itu ke rumah sakit. Aku menghubungi Yuli dan Fery yang saat itu sedang menempuh ujian untuk pulang melihat kondisi ibunya yang semakin parah.
Meskipun Yu Darmi sudah mendapatkan pertolongan medis, namun secara penanganan itu cukup terlambat, seharusnya Yu Darmi dibawa beberapa hari sebelumnya. Akhirnya dokterpun menyerah dengan penyakit yang diderita Yu Darmi. Yu Darmi meninggal tepat ketika Yuli dan Fery datang ke kamarnya. Yuli dan Fery menangis tersedu-sedu mendekap jenazah ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi. Aku peluk kedua ponakan suamiku itu, kuusap air mata merek dengan mengatakan bahwa aku akan berjanji menjaga dan merawat mereka seperti anakku sendiri. Tangis kami pecah waktu itu.
Sebelum Fery dan Yuli datang, Yu Darmi yang kondisinya sudah kritis itu, yang awalnya tidak boleh ditemani olehku dan suami, akhirnya boleh ditemani. Ternyata kondisi kakak sepupu suamiku itu sudah sangat kritis alias sedang sakratul maut. Aku dan suami bergantian mentalkin Yu Darmi dengan kalimat thoyhibah. Bibir Yu Darmi hanya bisa bergerak sedikit, tatapan matanya sudah kosong saat itu. Tapi yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini adalah tangan Yu Darmi menggenggam erat lenganku. Aku membiarkan hal itu sambil mengatakan aku berjanji akan menjaga Yuli dan Fery seperti anakku sendiri. Barulah genggaman tangannya melemah ... melemah ... dan melemah seiring dengan lepasnya roh dari tubuh saudara suamiku itu.
Selamat membaca kisah MARANTI ini, semoga bermanfaat. Ambil sisi positifnya, buang sisi negatifnya.
PART 1 : KEISENGAN MEMBAWA PETAKA
Yu Darmi adalah kakak sepupu suamiku. Orangnya dikenal ketus kepada para tetangga, sehingga pada saat kematiannya tidak banyak orang yang datang melayat ke rumahnya. Wanita paruh baya tersebut tidak memiliki saudara dekat yang lain selain suamiku. Otomatis dengan meninggalnya perempuan itu, aku dan suamilah yang mengurusi segala ***** bengek pengurusan pemakaman dan selamatannya. Kasihan juga kalau harus membebankan semuanya kepada Yuli dan Fery, dua kakak beradik anaknya Yu Darmi. Biarlah mereka berkonsentrasi pada kuliah dan sekolahnya saja. Yuli mahasiswa semester 3 jurusan psikologi sedangkan adiknya, Fery masih SMK kelas 11.
Pemakaman Yu Darmi dipersiapkan mulai jam lima pagi dan selesai pukul sepuluh pagi, waktu yang cukup panjang untuk ukuran desa ini. Untunglah tadi Mang Karjo dan Wak Giman masih mau membantu menggali makam Yu Darmi. Jika mengingat apa yang pernah dilakukan mendiang terhadap mereka, tentunya mereka tidak akan mungkin bersedia membantu kami. Almarhum pernah ngelabrak Mang Karjo gara-gara ayam peliharaannya makan gabah yang dijemur ibunya Yuli tersebut. Sedangkan Wak Giman pernah dibentak-bentak di depan umum karena membakar sampah, asapnya tanpa sengaja masuk ke rumah kakak sepupu suamiku itu. Aku memohon dengan sangat kepada mereka berdua untuk membantu pemakaman Yu Darmi, mereka rupanya tak tega melihatku kesulitan sekali mencari orang lain yang mau membantu.
Kendala tidak hanya kami hadapi dalam hal persiapan mengubur jenazah, untuk acara selamatannya juga begitu. Mula-mula tidak ada satupun ibu-ibu yang mau membantu memasak. Lagi-lagi aku dan suami yang bergerak, mungkin karena tidak enak dengan kami akhirnya ada beberapa tetangga Yu Darmi yang memutuskan untuk membantu.
"Mbak Sin, sayurnya sudah saya beri bumbu barusan. Coba sampean cicipi sedikit!" ucap Bu Titi padaku
"Jangan saya, Mbak." Jawabku kebingungan bercampur takut.
"Loh ! Emang kenapa dengan Mbak Sin?" tanya perempuan gemuk tetapi cantik tersebut dengan rasa penasaran.
"Saya nggak bisa makan makanan orang mati, Mbak." Jawabku jujur.
"Ooooooooo. Ya deh, biar Yu Mimin saja nanti yang nyicipi. Sekarang orangnya masih sholat di belakang." Kata perempuan yang tinggal pas di baratnya Yu Darmi tersebut.
Aku merasa lega sekali dengan jawabannya. Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku yaitu ngeliwet nasi. Tiba-tiba Bu Titi berkata lagi
"Banyak ya orang yang nggak bisa makan makanan orang mati? Aku jadi heran, kenapa ya?" tanya perempuan itu agak interogatif dan terkesan sinis.
"Iya, Mbak banyak. Alasannya macem-macem kayaknya, ada yang pusing kalau habis makan makanan orang mati, ada yang mual, ada juga yang rejekinya jadi seret, dan masih banyak alasan yang lain." Jawabku asal saja.
"Kalau Mbak Sin sendiri, kenapa kok nggak mau makan makanan orang mati?" selidik Bu Titi lagi. Lama-lama aku merasa risih juga dengan pertanyaan istrinya Pak Ramlan ini, tetapi karena takut dia sensi terpaksa aku jawab pertanyaannya.
"Emmmmmm, kalau saya karena-"
"Eh, Mbak Titi.Mana sayur yang mau saya cicipi?" Tiba-tiba Bu Mimin datang menyelamatkanku dari cecaran pertanyaan Bu Titi.
"Itu Yu Mimin, di panci lorek yang besar." Jawab Bu Titi.
Aku maunya buru-buru ngacir supaya tidak diwawancarai lagi oleh Bu Titi. Tapi Bu Titi meraih tanganku dengan sigap.
"Mau kemana, Mbak Sin? Ini minum dulu teh buatan saya,! Kamu pasti haus kan mulai tadi berdiri di depan tungku?"
Aku terdiam seperti penjahat yang tertangkap tangan oleh polisi. Bu Titi melanjutkan perkataannya.
"Tenang Mbak. Ini saya bawa dari rumah kok. Tidak termasuk makanan orang mati kan?"
Karena tak enak hati menolak kebaikan Bu Titi, akupun mereguk sedikit teh pemberian Bu Titi yang ditaruh di dalam botol bermerek Tumhodilware, selera Bu Titi banget dech pokoknya. Entah mengapa ada rasa cemas ketika air teh itu masuk ke tenggorokanku,
"Nah! Gitu dong, sekali-kali harus dicoba minum teh orang mati." Kata Bu Titi sambil tertawa cekikikan.
"Maksud Bu Titi teh ini-?" tanyaku penasaran sambil menoleh ke arahnya, kali ini aku agak marah dengannya.
"Iya, teh itu tadi dibuat di sini kok, Mbak Sin. Bukan dibawa dari rumahku." Jawab Bu Titi enteng.
CENTAAAAAAR!!!!
"Ya Allah ..." Mendengar jawaban Bu Titi, aku mendadak limbung tak sadarkan diri.
- - - - -
"Mbak Sin ... Bangun, Mbak!" suara Bu Titi terngiang di telingaku
"Aku ada di mana, Mbak?" tanyaku kebingungan, sedangkan tubuhku banjir dengan keringat.
"Kamu sekarang berada di kamar. Maafkan aku ya, Mbak Sin. Tadi kamu pingsan habis minum air teh pemberianku." Jawab Bu Titi di antara ibu-ibu yang lain yang sedang mengerumutiku.
DEG
SER
Aku kembali teringat dengan kejadian sebelum pingsan. Iya, tadi aku minum teh yang seharusnya tidak aku lakukan. Dan sekarang aku sedang rebahan di kamar, tentunya ini bukan kamarku sendiri. Karena aku sedang di rumah Yu Darmi. Aku baru menyadari kalau aku sekarang sedang berada di kamar pribadi Yu Darmi.
"OH TIDAAK!!!!" batinku.
Tiba-tiba hidungku mencium wangi sabun mandi, sama persis dengan sabun yang tadi pagi digunakan untuk memandikan jenazah Yu Darmi pagi tadi. Aku hafal betul karena aku turut memandikan jenazahnya. Gara-gara sebotol teh tadi, aku kembali harus mengalami kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Makanan orang mati memang akan memicu indera kasat mataku untuk dapat melihat dan merasakan kehadiran dunia lain di sekitarku. Hal itu biasanya bertahan selama dua atau tiga hari.
Melihatku sudah sadarkan diri, ibu-ibu satu persatu kembali ke dapur melanjutkan tugasnya masing-masing. Takut nggak nutut mungkin, karena hari sudah mulai beranjak petang. Sedangkan aku masih terbaring di ranjang Yu Darmi sendirian dalam perasaan yang sangat tidak enak. Aroma kehadiran makhluk lain di kamar, semakin lama semakin kentara kurasakan. Akupun beranjak dari tempat tidur karena sudah jengah dengan suasana kamar yang semakin tidak kondusif lagi.
Perlahan kuayunkan langkah ke luar kamar Yu Darmi. Ketika pintu kamar akan ku tutup, aku sempat melihat pemandangan tak lazim di dalam kamar. Tepat di pinggiran kasur yang telah kutinggalkan barusan, terlihat seseorang berkebaya hijau dan berjarik coklat tua sedang menoleh ke arahku. Wajahnya pucat pasi, lingkaran di sekeliling kedua matanya nampak hitam, sedangkan kedua lubang hidungnya tersumbat dengan kapas. Meskipun agak jauh berbeda dengan kesehariannya, aku masih mengenali betul siapa pemilik tubuh itu, dia tidak lain adalah Yu Darmi.
"YU DARMI!!!!" pekikku tertahan.
Jantungku berdegup dengan kencang, sedangkan darahku mendesir dengan kuat. Badanku menjadi lemas seketika karena membayangkan dalam beberapa waktu ke depan, arwah Yu Darmi akan muncul tiba-tiba di hadapanku, gara-gara aku sudah melanggar pantanganku sendiri, yaitu makan makanan orang mati.
Bersambung
Aku berjalan meninggalkan kamar menuju ke dapur. Tidak enak rasanya bagiku jika harus membiarkan ibu-ibu memasak, sedangkan aku sebagai tuan rumahnya malah rebahan.
"Kalau mereka ntar butuh apa-apa bagaimana?" pikirku.
Sesampai di dapur kulihat semua masakan sudah siap untuk disajikan. Bu Mimin sedang menakar nasi ke piring-piring kemudian dijejer di amben. Sedangkan Bu Titi yang menyendoki sambalnya. Mereka berdua menoleh ke arahku,
"Kok sudah bangun, Mbak? Apa sudah enakan?" tanya Bu Mimin.
"Sudah lumayan, Mbak." Jawabku sambil menahan nyeri di kepala.
"Kalau masih geliyeng mending dibawa tiduran saja. Nggak usah khawatir urusan dapur, pasti selesai kok." Jawab Bu Mimin
"Iya, Mbak Sin. Sudah selesai semua kok." Tambah Bu Titi.
"Kalau dibawa tiduran, tambah pusing, Mbak. Enak dibuat gerak saja nanti pasti ilang-ilang sendiri." Jawabku meyakinkan.
Aku mengambil ruang di sebelah mereka berdua, lalu aku mengambil alih menata piring, sehingga Bu Mimin cukup menyentongi nasinya saja.
"Mbak Sin, Yu Painem nggak ada nongol loh mulai tadi pagi. Padahal rumahnya gandeng tembok sama Yu Darmi" lapor Bu Titi.
"Mungkin beliau lagi nggak enak badan, Mbak. Namanya juga sudah agak sepuh" belaku
"Tapi mau bagaimanapun, Mbak. Yang meninggal kan tetangga pas. Harusnya dibetah-betahin lah." Bu Titi ngeyel
"Kalau nanti ambruk di sini, emangnya Mbak Titi mau nolongin?" godaku ke Bu Titi
"OGAAAAH, Mbak. Kalau Yu Darmi sich masih mending meskipun judes, tapi orangnya bersihan. Lah kalau Yu Painem ... JIJAAAAAY! ..., Mbak Sin!" jawab Bu Titi dengan ekspresi lebbaynya.
Aku dan Bu Mimin geli melihat ekspresi Bu Titi. Yu Painem memang terkenal jorok di kalangan warga sini. Saking joroknya, kalau pas ada kendurian di musholla, berkat Yu Painem selalu dihapalkan dan tidak ada warga yang mau menerima berkat dari Yu Painem.
Pas lagi enak-enaknya ngobrol dengan mereka berdua tiba-tiba bau sabun jenazah Yu Darmi kembali menyeruak di hidungku. Aku yang sudah sedikit melupakannya dengan mengobrol bareng Bu Titi dan Bu Mimin kembali teringat bahwa aku masih harus berhadapan dengan hal mistis. Kedua mataku secara otomatis melirik ke kiri dan ke kanan untuk memeriksa di manakah arwah Yu Darmi akan menampakkan diri.
Ketika yang kucari tidak ada di hadapanku. Perasaanku bertambah was-was, jangan-jangan Yu Darmi ada di belakangku. Membayangkan hal tersebut aku menjadi ngeri, tapi bukan Sinta namanya jika tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi. Secara perlahan aku memutar kepalaku untuk menoleh ke belakang, sederajat demi sederajat. Aku melakukannya dengan rasa yang campur aduk antara takut dan ingin tahu. Setiap derajat putaran leherku kusapu pemandangan di belakang tubuhku. Sampai kepalaku memutar ke belakang, arwah Yu Darmi tak kunjung terlihat, tapi tiba-tiba ada yang memegang lenganku.
"ASTAGFIRULLAH." Aku terkejut
"Kamu kok muter-muter kepala begitu, kayak orang sawanen saja?" Ucap Bu Mimin
"Eh, anu Bu. Biasa ... peregangan leher, biar nggak kaku" jawabku pura-pura
"Oalah"
Bau sabun Yu Darmi masih begitu tajam menusuk hidungku, tapi anehnya sosok seram itu tidak ada di sekitarku.
"Tidak biasanya seperti ini. Apakah ini pertanda pengaruh teh orang mati itu sudah mulai hilang? Masih belum sehari padahal? Entahlah." batinku
"Alhamdulillah, Mbak Sin. Nasi dan sambalnya sudah siap, lauknya dipasang habis maghrib saja takut dimakan kucing, kalau kuahnya nanti dipasang pas sudah doa saja biar tetap segar." Kata Bu Mimin kemudian
"Aku mau peregangan juga ah, kayak Mbak Sin tadi" kata Bu Titi sambil memutar badannya ke kiri dan ke kanan. Dasar orang aneh, dia melakukannya sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Aku dan Bu Mimin tidak bisa menahan tawa menyaksikan tingkah konyol perempuan itu. Semakin diperhatikan, tingkah Bu Titi semakin menjadi. Masih dengan mulut monyongnya, dia tidak lagi memutar badannya ke kiri dan ke kanan saja seperti seorang pelatih senam, tetapi juga ke atas dan ke bawah.
"WUAAAAAAAAAAAAAAAAA ..." jeritku keras sekali karena sebelum aku menjerit, aku tertawa terbahak-bahak. Otomatis suara jerit yang dihasilkan sekeras suara tawaku.
Kedua wanita di depanku menjadi cemas. Mbak Titi menghentikan aksinya secara mendadak terkejut dengan suara jeritanku yang mendadak.
"Ada apa, Mbak Sin?" tanya Mbak Mimin meraih lenganku.
Bagaimana aku tidak menjerit keras, saat geli-gelinya melihat bahasa tubuh Mbak Titi, tiba-tiba Arwah Yu Darmi muncul di belakang Mbak Titi. Lengkap dengan gulungan kapas di lubang hidungnya. Sedangkan kedua matanya lurus menatap ke arahku.
"Ada apa, Mbak?" tanya Mbak Mimin kembali.
Yu Darmi masih menatap ke arahku dengan tatapan hampanya. Aku berusaha untuk menenangkan diri dengan melihat ke arah yang lain.
"Aku nggak apa-apa, Mbak Min. Tadi cuma mendadak lambungku perih" jawabku pura-pura memegangi perutku.
"Sepertinya kamu memang butuh istirahat, Mbak Sin." ucap Bu Titi.
Arwah Yu Darmi sudah tidak ada lagi di belakangnya, bau sabun jenazah juga sudah tidak tercium lagi.
"Enggak kok, Mbak. Aku tidak apa-apa. Kalau lambungku kumat, memang sakit sekali. Maaf ya, Mbak sudah mengagetkan kalian berdua." Jawabku kembali
Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada mereka berdua, karena kalau mereka sampai tahu yang sebenarnya, tentunya mereka tidak mau membantuku lagi. Bahkan ibu-ibu yang lain yang tadi sudah datang membantu dijamin takkan kembali lagi keesokan harinya. Kasihan Yu Darmi kalau tidak didoakan oleh para tetangga.
"Ojo ngetok-ngetok terus lah, Yu. (Jangan muncul-muncul terus lah, Yu)" pekikku dalam hati
"Mbak Sin, aku pamit mandi dulu ya?" ucap Mbak Titi
"Aku mau pulang bentar juga, Mbak Sin" ujar Mbak Mimin
Aku tidak mungkin menahan mereka di sini, toh pekerjaan dapur juga sudah selesai.
Adzan berkumandang dari musholla. Suamiku bergegas menuju ke arah kamar mandi untuk berwudlu dan berangkat ke musholla. Aku berlari menyusulnya sambil menyambar handuk dan sabun yang kebetulan kubawa dari rumah.
"Loh, Dik. Gantian to. Mas keburu mau sholat jamaah di musholla" protes suamiku
"Enggak, pokoknya Mas harus nungguin aku mandi. Kita sholat jamaah di sini saja" jawabku
"Iya. Tapi kamu di luar dulu, Mas mau berwudlu."
"Engggak. Pokoknya kita sama-sama di dalam."
Aku segera mencopot bajuku dan mandi di depan suamiku.
"Aku tunggu di luar saja ya, Dik."
"Stop! Kalau Mas ke luar, aku juga mau keluar nggak pakai baju"
Suamiku takut dengan ancaman konyolku.
"Pelan-pelan mandinya, Dik. Nanti bajuku basah kena air."
"Ganti, nggak masalah."
"Kamu ini ada-ada saja, Dik. Masak yang meninggal saudara sendiri saja takut."
"Mas ini, jangan ngomong gitu. Aku nggak suka."
Kembali aku mencium bau sabun, untunglah bukan bau sabun Yu Darmi.
Setelah mandi ditemani suamiku, aku tarik suamiku ke kamar Yuli untuk menemaniku berganti baju dan sholat jamaah di sana. Aku sudah ijin ke Yuli untuk menggunakan kamarnya selama di sini.
Sehabis maghrib para tetangga laki-laki yang akan ikut tahlilan mulai berdatangan, aku sengaja tetap berada di depan sambil membersihkan karpet sekalian menghindari berada sendirian di dapur. Ketika Bu Mimin dan Bu Titi datang lewat pintu samping, barulah aku berjalan ke dapur menyusul mereka.
"Lorong tengahnya sudah gelap, Mbak Sin. Lampunya perlu dihidupkan!" kata Bu Titi sambil menaruh lauk di atas piringan nasi.
"Iya, Mbak Sin. Dihidupin lampunya biar kelihatan jembar. Siapa tahu nanti ada tetangga yang mau rewang lewat jalan itu.!" ujar Bu Mimin.
Akupun berjalan menuju saklar yang letaknya di dekat pintu samping.Ternyata benar kata mereka berdua, lorong di samping rumah Yu Darmi terlihat sangat gelap. Pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebagai akses ibu-ibu yang akan datang bertamu atau membantu. Ada taman kecil di sana dengan sebuah kursi goyang yang biasa digunakan almarhum menyulam sambil mengisi waktu luang.
Posisi saklar berada di dinding rumah bagian luar, jadi ketika pintu dalam kondisi terbuka, saklar berada di balik pintu. Notabene aku harus keluar dulu dan sedikit menarik pintu yang sedang terbuka sempurna. Aku melakukan itu. Di posisiku yang sekarang, aku tidak bisa melihat kedua perempuan yang sedang menyiapkan makanan di dapur karena terhalang tembok.
CEKLEK
Suasana lorong tengah yang semula gelap gulita, kini menjadi terang benderang. Namun, tubuhku menjadi berat seketika, aroma sabun jenazah kembali menusuk. Ada sesosok tubuh yang tiba-tiba menggelandoti badanku, kedua tangannya mengalungi leherku. Feelingku kuat mengatakan itu adalah arwah Yu Darmi akan tetapi entah mengapa kepalaku secara refleks menoleh ke arah kanan. Benar saja. Wajah pucat Yu Darmi terpampang jelas di mataku, lengkap dengan sumbatan kapas di kedua lubang hidungnya.
Aku berteriak sekuat tenaga, tetapi suaraku mendadak menghilang. Sementara otot-ototku seperti kehilangan tenaga untuk lepas dari gelandotan Yu Darmi.
-Bersambung-
"Ya Allah, Yu ... uculen! (Ya Allah, Yu ... Lepas!)" Pekikku sambil menangis di dalam hati karena mulutku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Aku terus menangis sambil memohon kepada Yu Darmi untuk melepaskanku. Aku melakukannya sambil memejamkan mata karena aku takut sekali melihat rupa Yu Darmi seperti itu. Entah berapa lama aku melakukannya, hingga akhirnya aku merasa beban di pundakku menjadi enteng, dan panca inderaku berfungsi dengan normal kembali. Segera kuberlari ke dalam menuju Mbak Mimin dan Mbak Titi yang sedang memindahkan lauk dari wadahnya ke piring-piring 'asahan'.
"Kok lama sekali, Mbak Sin?" tanya Mbak Titi
"Eh anu, Mbak. Skakelnya agak konslet, mungkin sedikit basah terkena air hujan" jawabku berbohong
"Ati-ati, Mbak sama setrum!" ujar perempuan gemuk itu lagi
"Iya, Mbak. Makasih." Jawabku kembali
Di ruang depan, acara tahlilan sudah dimulai, alhamdulillah yang datang sekitar duapuluh orang. Kalau untuk ukuran di desa ini, jumlah segitu memang sangat sedikit. Tetapi tak apalah, yang penting ada yang mendoakan Yu Darmi.
"Sudah 'amin', Mbak. Ayo dikuahi nasinya!" ucap Bu Titi
"Ayo, agak dibanyakin saja sayurnya! Banyak banget soalnya sayurnya" potongku
"Iya, Mbak Sin." Jawab Bu Titi
Piringan nasi mulai dioper secara 'semutan' kepada tetamu yang hadir.
"Garingan satu, Dik!" seru suamiku, tandanya ada satu orang yang tidak bisa mengkonsumsi lauk ayam goreng yang disajikan. Untunglah tadi Bu Mimin sempat membuat telur dadar untuk mempersiapkan, siapa tau ada tamu yang minta 'garingan".
"Ambil piring satu, Mbak! Untuk yang garingan" perintah Bu Mimin kepadaku.
"Siap, Mbak!" jawabku
Akupun berjalan sedikit berlari ke arah rak piring yang berada di samping kamar mandi.
"Astagfirullahaladzim....." pekikku dalam hati. Aku melihat arwah Yu Darmi sedang duduk di kursi plastik di sebelah rak piring. Hampir aku berteriak, tetapi aku pikir-pikir lagi. Kalau aku berteriak maka orang-orang itu akan takut untuk datang lagi ke rumah ini. Dan kasihan Yu Dar, jika tidak ada yang mendoakan. Didoakan saja Yu Dar masih begini, apalagi tidak didoakan?
"Buruan, Mbak Sin!" teriak Bu Titi
"I-iya, Mbak!" jawabku agak gagap. Antara ngeri melihat penampakan di depanku dan keinginan untuk merahasiakannya, campur aduk di kepalaku.
"Yu, Dar, aku mau ambil piring dulu" bisikku halus sambil mengambil sebuah piring dengan tangan kiriku. Sengaja aku mengambil piring yang posisinya paling jauh dari posisi duduknya, takut tangannya yang pucat tiba-tiba memegangi tanganku ketika mengambil.
"Alhamdulillah" pekikku dalam hati ketika berhasil mengambil piring dan menyerahkan ke Bu Mimin. Bu Mimin menatapku seperti mencurigai sesuatu, tapi segera kurilekskan wajahku supaya tidak kentara aku habis bertemu arwah yang hidungnya tersumbat kapas.
Setelah selesai acara, para tetamu pulang. Suamiku membersihkan ruang depan dari sampah rokok dan botol air mineral.
"Mbak Titi, Mbak Mimin, jangan pulang dulu ya?" ujarku
"Ya iyalah, Mbak. Masak kami tega membiarkan Mbak Sinta nyuci piring sendiri. Kami pulang setelah piring-piring bersih." Jawab Bu Titi
"Makasih banyak ya, Mbak atas bantuannya. Kalau nggak ada kalian berdua, aku bisa sawanen sendirian eh maksudku bisa kecapekan memasak sendirian." Ucapku
"Nggak usah dipikir, Mbak. Oh ya, aku nanti bawa sayur dan lauk sedikit boleh, untuk anak-anak di rumah?" ujar Bu Mimin
"Boleh banget, Mbak. Mbak Titi juga harus bawa." Ucapku senang
"Makasih banget, Mbak Sin." Jawab Bu Titi
Karena tidak banyak yang dicuci, sepuluh menit kemudian piring-piring kotor tadi sudah kinclong dan tertata rapi di rak piring. Yu Darmi sudah tidak ada di kursi plastik itu lagi. Semoga doa bapak-bapak malam ini mengantarkannya ke tempat peristirahatan yang tenang.
Bu Mimin dan Bu Titi sudah kebagian masing-masing satu bungkus nasi beserta sayuran dan lauknya. Masih ada satu bungkus lagi,
"Yang itu untuk Yu Painem saja, Mbak Sin." Ucap Bu Mimin
"Ngapain sich tetangga sombong kayak gitu pake dikasih segala?" Potong Bu Titi
"Jangan gitu, Mbak. Kasian orangnya sudah sepuh." Jawabku
"Mbak Sinta nggak nginep sini?" tanya Bu Mimin
"E-enggak, Mbak" jawabku spontan
"Kenapa? takut ya? " ledek Bu Titi
Aku ingin menjawab 'iya', tapi aku tidak mau mereka tahu yang sebenarnya.
"Takut nggak konsisten, Mbak. Soalnya ini malam pertama, kalau nginep malam pertama harus lanjut sampai malam ketujuh. Kalau tidak-"
"Kalau tidak, kenapa Mbak?" tanya Bu Titi
"Kalau tidak, musibahnya ngikut."
"Oalah, kirain kalau nggak lengkap tujuh hari arwah Yu Darmi ngikut sampean terus." Kelakar Bu Titi
"Mbak Titi ada-ada saja." Jawabku. Padahal dalam hati aku meng-iya-kan ucapannya.
Ditemani suami, aku mengantar Bu Titi dan Bu Mimin ke depan pintu samping seraya mengucapkan terima kasih.
Sepulang mereka berdua, aku nggak berani jauh-jauh dari suami. Setelah mengunci pintu dan jendela, kamipun keluar dari rumah Yu Darmi. Sepintas kulihat Yu Darmi sedang berdiri di dekat jendela, sebelum kami meninggalkan rumahnya.
"Mas, mampir rumah Yu Painem dulu! Aku mau ngasihkan ini" ucapku sambil menunjukkan bungkusan nasi kepada suamiku. Lelaki ganteng itu mengangguk perlahan.
Rumah Yu Painem tepat berada di sebelah rumah Yu Darmi. Keduanya hanya dipisahkan oleh dinding saja. Tidak ada pagar di sekelilingnya sehingga untuk bertamu, tinggal mengetok pintu rumahnya langsung. Suamiku menunggu di pinggir jalan, enam meter dari pintu Yu Painem
Tok tok tok
"Assalamualaikum, Yu Paineeeeem." teriakku
Tidak ada jawaban
Tok tok tok
"Assalamualaikum" teriakku lebih keras
Masih tidak ada jawaban
Tok tok
KRIEEEEEEEETTTTTTT
Tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya, mungkin aku mengetok pintu terlalu keras sehingga pintunya terdorong masuk. Bau tidak sedap tiba-tiba tercium, aroma khas rumah yang jarang dibersihkan. Pantas saja Bu Titi jijik sekali dengan Yu Painem.
Di sebelah kiri pintu ada kursi kayu, rencananya aku mau meletakkan bungkusan nasi itu di kursi itu saja, mungkin orangnya sedang sholat. Jadi nanti Yu Painem tinggal mengambilnya nanti setelah sholat.
"Yuuuuu ... " ucapku sambil melangkah masuk, tanganku menjulur mau meletakkan bungkusan nasi di kursi.
Tiba-tiba ..
"Astagfirullah ....." Aku terkejut karena Yu Painem sudah berdiri di balik pintu dengan tatapan matanya yang tajam.
"Eh, Yu... Maaf, kirain nggak ada orang. Aku mau ngasih nasi ini, tolong diterima ya?" Ucapku sambil tersenyum ke arahnya. Bungkusan nasi terlanjur aku taruh di kursi itu.
Yu Painem hanya mengangguk, senyum judesnya nyata tersungging di bibirnya.
"Aku pulang dulu, Yu. Assalamualaikum" Kataku nyelonong pergi.
Tak ada jawaban dari perempuan tua itu. Akupun langsung pulang naik ke motor suamiku. Sebelum kami jauh meninggalkan rumah Yu Painem, sempat kudengar suara pintu dibanting dari dalam. Mungkin perempuan tua sombong itu yang melakukannya. Sabar, Sin ... Sabar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!