Kereta kuda berhenti di istana yang megah. Duke Hilbright turun dari kereta kuda. Ia berdiri di depan pintu kereta kuda sambil mengulurkan tangan.
Seorang wanita cantik berambut pirang meraih tangan Duke Hilbright. Warna rambut yang sama dengan Duke. Ia adalah putri dari Duke Hilbright. Leticia Hilbright.
Leticia mengamati gerbang istana dan bangunan yang berada di depannya. Luas dan kemegahannya tidak sebanding dengan kediaman yang ditinggalinya.
Ini adalah pertama kali Leticia berada di istana. Matanya berbinar-binar. Ia berusaha menahan rasa takjubnya, karena tidak sepantasnya putri bangsawan menunjukkan sikap yang tidak sopan.
Ia menegakkan punggungnya dan berjalan dengan elegan. Setiap orang yang melihatnya pasti akan merasa terpesona.
Leticia sampai pada sebuah pintu. Ayahnya dengan sigap membukakan pintu itu.
Ayahnya memberikan salam kepada orang yang di depannya. Begitu pula Leticia. Orang yang mereka beri salam adalah Putra Mahkota, Braun el Houllem.
Leticia yang semula menunduk mendongak melihat lekaki yang ada di depannya. Mata Leticia tertuju pada lelaki yang berparas tampan dengan rambut berwarna hitam. Mata biru yang seperti permata membuat Leticia terpana.
Duke Hilbright pergi meninggalkan mereka sendirian.
Suasana mereka berdua berubah menjadi canggung.
"Apakah Anda menyukai suasana di istana?" kata Braun memecah suasana.
Leticia yang terkejut menjawab seadanya, "Iya, Yang Mulia."
Braun berdiri. Leticia masih duduk diam di tempat. Braun mengambil salah satu bunga yang berada di dekat jendela. Ia mendekati Leticia sambil memberikan bunga itu.
"Ini adalah salah satu bunga yang disukai mendiang ibuku, aku harap Anda menyukainya," kata Braun sambil tersenyum.
Hati Leticia berdebar keras. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tak sanggup menahannya lagi, senyum terlihat di bibirnya.
Cepat-cepat ia mengambil bunga itu, sambil mengucapkan terima kasih. Ia menutupi wajahnya dengan bunga itu, walaupun tahu tindakannya itu tidak dapat menutupi mukanya.
Braun hanya tersenyum melihat kelakuan Leticia.
"Kuharap kita bisa berhubungan dengan baik, Putri Mahkota," Braun meraih tangan Leticia yang tidak memegang bunga. Ia mencium tangan Leticia.
Benar mereka bertunangan. Leticia awalnya berpikir untuk mengeraskan hatinya. Tidak mungkin orang saling mencintai dalam pernikahan politik. Ia tidak berharap banyak pada pernikahan ini. Terlintas dalam pikirannya ia mungkin akan menderita seumur hidup.
Namun, ia salah. Kini, ia jatuh cinta. Dan Leticia juga yakin Braun juga mencintainya. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia melakukan hal yang selembut itu?
Leticia menatap mata Braun, yang membuatnya tidak dapat memikirkan apapun.
***
"Anda menyukai pasangan yang seperti apa Yang Mulia?" tanya Leticia tiba-tiba.
Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Leticia yang awalnya malu-malu mulai menjukkan perasaannya secara terang-terang. Braun sering menunjukkan perhatiannya kepada Leticia di depan orang lain. Meskipun, hal itu membuat Leticia malu, ia merasa senang.
"Aku menyukai wanita yang anggun, sedikit manja kepadaku tetapi tetap berperilaku bijaksana saat di depan orang lain." Braun tidur di pangkuan Leticia.
Seakan tahu apa yang dipikirkan Leticia Braun melanjutkan, "Tak perlu menjadi orang lain. Aku akan tetap mencintaimu, Leticia." Tangannya menyentuh pipi Leticia. Senyum manis Braun muncul. Leticia juga balas tersenyum.
"Saya juga mencintai Anda, Braun." Leticia menggenggam tangan Braun. Ia merasakan tangan kuat yang sering berlatih pedang.
Sekarang, Braun sedang beristirahat dari latihan pedang. Leticia sering melihatnya. Leticia mengagumi ilmu berpedang Braun. Ia berharap bisa berpedang sepertinya. Sewaktu kecil Leticia pernah diam-diam berlatih pedang. Duke Hilbright marah besar melihat putrinya menyembunyikan pedang kayu di kamarnya. Duke tidak ingin nilai anak perempuan yang bisa digunakan untuk pernikahan politik jadi berkurang.
Sejak kecil, ia tidak pernah menerima cinta Ayahnya. Yang dipikirkan Duke Hilbright hanyalah kekuasaan belaka.
Namun, Leticia tidak bisa sepenuhnya membenci ayahnya. Sekarang berkat ayahnya, ia bertemu dengan orang yang mencintainya.
Meskipun, Braun memintanya untuk tidak merubah sikap, ia akan melakukan hal itu. Dengan begitu Braun akan semakin mencintai dirinya.
Seorang pria mendatangi Leticia dan Braun dengan tergesa-gesa. Braun memasang muka kesal karena waktu berduaan mereka diganggu.
Ia berdiri. Namun, wajahnya kesalnya berubah menjadi terkejut begitu mendengar perkataan pria itu. Leticia menutup mulutnya yang ternganga.
"Kaisar memanggil Anda, Putra Mahkota. Baginda ingin mengucapkan kata-kata akhir." Pria itu mengulangi ucapannya lagi.
Braun langsung melesat menuju kamar Kaisar. Leticia mengikutinya. Ia kesulitan mengikuti langkah kaki Braun yang sangat cepat.
Mereka sampai pada kamar Kaisar. Braun masuk ke dalam. Pengawal menghalangi Leticia yang ingin masuk. Kaisar hanya ingin bertemu dengan anak semata wayangnya.
Leticia menunggu di luar. Selang beberapa lama, Braun keluar dengan menundukkan kepala.
"Kaisar telah meninggal. Aku akan menjadi Kaisar berikutnya."
Semua pengawal menundukkan kepala. Braun meminta semua pengawal pergi. Ia hanya ingin berdua dengan Leticia.
Leticia merasakan kesedihan di wajah Braun. Ia tahu Braun sangat menyayangi mendiang Kaisar.
Ini adalah sebuah kejadian yang tidak pernah dipikirkan Leticia sebelumnya. Ia berharap Kaisar akan melihat anaknya menikah.
Leticia memegang tangan Braun. Braun merasakan perhatian Leticia. Ia mendongak melihat Leticia.
"Saya akan selalu berada di sisi Anda, Yang Mulia," kata Leticia.
"Terima kasih, Leticia." Braun melepas genggaman Leticia dan memeluknya. Leticia membalas pelukan
Braun.
Braun melimpahkan semua perasaannya. Tanpa memikirkan apa yang dilihat oleh orang lain. Ia hanya bisa seperti itu di depan Leticia.
Karena Kaisar tidak boleh terlihat lemah. Sungguh menyedihkan Kaisar tidak boleh memperlihatkan perasaannya.
Leticia tidak akan meninggalkan Braun. Ia akan berada di sampingnya sampai akhir. Ia akan mendampinginya sebagai permaisuri.
***
Tak lama setelah Braun dinobatkan sebagai Kaisar, Braun dan Leticia melangsungkan pernikahan.
Kesedihan yang mereka rasakan karena kehilangan mendiang Kaisar berubah menjadi kebahagiaan.
Mereka mengucapkan janji suci di depan Paus. Biasanya para bangsawan di kekaisaran meminta berkat dari kuil agar mendapatkan kehidupan pernikahan yang bahagia. Di samping itu, mereka ingin menunjukkan kepada warga kekaisaran bahwa Kekaisaran Houllemmemiliki hubungan yang baik dengan kuil.
Leticia terus tersenyum sepanjang pernikahan. Kebahagiaan yang ia idam-idamkan menghampirinya.
Pernikahan yang politik yang semulanya tidak ia harapkan, menjadi sebuah berkah baginya. Sumber kebahagiaan yang tidak terbendung. Ia merasa beruntung bertemu dengan Braun.
Leticia menatap Braun yang juga tersenyum padanya. Perlahan tangan Braun membuka cadar pengantin wanita. Tidak ada penghalang antara wajah Leticia dengan Braun.
Bibir mereka saling bertemu. Tanda cinta mereka terikat dalam pernikahan telah dilakukan. Leticia berharap waktu bisa berhenti. Kebahagiaan yang ia rasakan ingin disimpan dalam-dalam. Bahkan rasanya seperti mimpi indah yang diharapkan takkan berakhir.
Namun, ia tidak tahu kejadian yang akan menimpanya. Masalah yang ia hadapi akan menghancurkan hubungan mereka berdua.
Leticia sedang berduaan dengan Braun di kamarnya. Mereka sedang menikmati camilan berupa roti kering. Braun menyuapi Leticia. Leticia sedang enggan memakan camilan. Biasanya ia dapat menghabiskan empat bahkan lima camilan dengan lahap. Entah mengapa akhir-akhir ini perutnya terasa tidak enak.
Tidak dapat menolak perlakuan Braun, Leticia memakan camilan itu. Braun melihatnya dengan gembira. Sedangkan Leticia berusaha keras untuk menelannya sambil menahan rasa mualnya.
Namun, ia tidak tahan. Ia menutupi mulutnya terasa ingin muntah.
Braun mulai curiga dengan gerak-gerik Leticia. Ia bertanya, "Apa Anda baik-baik saja, Sayang?"
"Saya merasa mual Braun," jawab Leticia jujur.
"Aku akan memanggil dokter istana. Sebaiknya Anda beristirahat dulu." Braun segera berdiri dan keluar dari kamar Leticia.
"Terima kasih." Leticia menggangguk pelan. Perutnya masih terasa tidak enak.
Tak lama dokter istana datang bersama dengan Braun. Dokter memeriksa kesehatan Leticia. Raut mukanya terlihat terkejut. Leticia berharap tubuhnya tidak apa-apa.
"Sudah berapa lama Anda tidak datang bulan, Permaisuri?"
Leticia bingung dengan pertanyaan dokter istana. "Sepertinya sekitar dua bulan."
Wajah dokter istana berubah menjadi cerah. Leticia berharap mendengar kabar baik.
"Selamat atas kehamilan Anda, Permaisuri."
Sebuah kabar baik. Inilah sesuatu yang ditunggu-tunggu Leticia dan Braun. Leticia hampir menangis mendengar kabar kehamilannya ini.
Ia menatap Braun yang sedang kebingungan. Sepertinya Braun tidak memperkirakan kehamilan Leticia akan secepat ini. Braun tersadar dari lamunannya menatap Leticia. Senyum terlihat di wajahnya.
"Kehamilan Anda sudah empat minggu, Permaisuri. Anda tidak boleh terlalu stres dan jangan sampai kelelahan. Ini semua untuk kesehatan sang bayi," lanjut dokter.
"Terima kasih." Leticia tersenyum gembira.
Braun meminta dokter istana keluar.
Hanya tersisa Leticia dan Braun. Braun memeluk Leticia. Mengecup kening Leticia dengan lembut.
"Semoga anak ini akan sehat." Braun mengelus-elus perut Leticia.
Leticia menyetuh tangan Braun yang ada di perutnya. "Tentu saja, dia adalah anak Kaisar dan Pemaisuri sudah sepastinya akan kuat dan sehat."
Leticia tertawa. Ia akan segera memiliki seorang anak. Tidak sabar menantikan kedatangannya, ia sudah
memikirkan untuk membeli peralatan bayi.
Entah akan mirip dengannya atau Braun. Entah laki-laki atau perempuan, ia tidak peduli. Ia sudah tidak sabar memeluk bayi itu dalam tangannya.
***
Berbulan-bulan selama kehamilan Leticia. Braun selalu menghampiri Leticia di kamar untuk mengecek kehamilannya. Setiap sebulan sekali Braun memanggil dokter istana untuk memeriksa kondisi janin Leticia.
Hingga tiba saatnya Leticia melahirkan. Braun berputar-putar di depan pintu. Ia merasa cemas akan kelahiran bayinya dan Leticia.
Dayang istana yang membantu persalinan Leticia, menyemangatinya.
Leticia menarik dengan kuat kain yang berada di kedua tangannya. Giginya mengigit dengan kuat penutup mulutnya. Tanpa penutup mulut mungkin bibirnya akan berdarah. Ini pertama kalinya ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Peluh bercucuran dari seluruh tubuhnya. Ia berusaha mendorong bayinya sekuat tenaga sekali lagi.
Suara tangisan bayi menggema di ruangan. Ketegangan yang berada di tubuh Leticia berubah menjadi kelegaan. Tubuhnya terasa lemas. Tenaganya terkuras habis. Ia memejamkan mata sebentar untuk istirahat.
Salah satu dayang memanggil Braun. Wajah ketakutan berubah menjadi senyum kegembiraan. Braun masuk ke kamar Leticia. Ia segera melihat anaknya. Ternyata seorang putri.
Ia menggendong putri dan memberinya nama Judith. Braun membawanya agar Leticia dapat melihat anak mereka berdua. Seorang putri yang cantik yang memiliki warna rambut dan mata yang mirip Leticia. Jika besar pasti dia akan secantik Leticia.
Leticia masih terkulai lemas. Ia mencoba menyentuh putri mereka. Senyumnya melebar. Pandangannya bergeser dari putrinya menuju Braun. Braun masih tersenyum. Namun, Leticia merasa ada perbedaan dalam senyuman Braun. Meskipun Braun terlihat senang tetapi terlihat ada rasa ketidakpuasan di matanya.
Leticia berusaha tidak memikirkannya dan beristirahat lagi. Kebahagiaannya telah lengkap dengan hadirnya putri mereka.
***
Putri Judith sudah berumur satu bulan. Setelah selesai dari tugasnya ia mendatangi putrinya. Ia menggendongnya dan menyuruh ibu asuh putrinya keluar. Ia hanya ingin menikmati waktu dengan putrinya saja. Melihat wajah Putri yang lucu dan menggemaskan.
Tak lama kemudian Kaisar datang. Leticia segera mendekati Braun. Memperlihatkan anak yang mereka kasihi.
"Aku ingin berbicara serius, Sayang," ucap Braun dengan nada yang berat.
"Tentang apa Braun?" Wajah Leticia berubah keras. Tidak seperti biasanya Braun mengajak bicara seperti ini.
"Sayang, Aku harap Anda segera hamil lagi dengan anak laki-laki." Kesungguhan terlihat di matanya.
"Apakah putri kita tidak cukup, Braun?" tanya Leticia.
"Aku membutuhkan pewaris tahta yang sah. Yaitu anak laki-laki, Sayang." Braun tetap teguh pada pendiriannya.
Mata Leticia melebar. Ternyata Braun tidak bahagia seperti dirinya. Sebelumnya Braun tidak pernah terburu-buru memiliki anak laki-laki. Mungkin setelah menjadi kaisar perlu memikirkan kesejahteraan kekaisaran. Salah satunya adalah pewaris. Dengan adanya pewaris, kelangsungan kekaisaran akan terjamin. Ia tidak ingin kekaisaran yang diwariskan dari ayahnya dijalankan dengan buruk.
Leticia memejamkan matanya. Menghembuskan napas.
"Baiklah jika itu yang Anda inginkan Braun."
"Terima kasih, Sayang. Aku akan memberi tahu dokter istana untuk memberikan obat agar Anda segera hamil."
Braun segera meninggalkan kamar Judith. Leticia melihat Judith yang masih berada di tangannya. Ada perasaan gembira campur sedih. Ia merasa gembira karena akan mempunyai anak lagi. Namun, ada perasaan tidak enak. Ia takut jika melahirkan anak perempuan lagi, Braun akan tidak mencintainya. Ia takut tidak bisa membahagiakan suaminya.
Tidak baik memperlihatkan sisi buruk di depan anak-anak. Leticia berusaha tersenyum.
"Kamu akan segera memiliki seorang adik laki-laki," kata Leticia lirih.
Semoga ucapan Leticia menjadi kenyataan. Dengan begitu kebahagiaan Braun akan lengkap. Harapan Leticia sangat sederhana, yaitu keluarganya berbahagia.
Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Sudah empat tahun Leticia tidak hamil lagi. Braun semakin frustrasi melihat Leticia yang tak kunjung hamil. Kali ini Ia memanggil dokter istana untuk memeriksa kondisi Leticia.
Setiap bulan Leticia selalu menunggu kabar baik dari dokter istana. Hanya saja, kabar itu tak kunjung datang. Ia hampir menyerah. Ia pernah membujuk Braun untuk membuat Judith menjadi pewaris tahta meskipun hanya seorang perempuan. Namun, Braun tetap mempertahankan tradisi kekaisaran sebelumnya yang menyatakan pewaris sah adalah anak laki-laki keluarga kekaisaran. Leticia mengalah mengikuti permintaan Braun.
Dokter istana telah datang ke kamar Leticia. Braun yang duduk di kursi, bergegas berdiri. Ia menatap dokter istana, menunggu kabar baik datang. Begitu pula Leticia.
Dokter istana memejamkan matanya. Ia seperti berpikir memilih kata yang tepat untuk menyampaikan ucapan yang akan dikatakannya. Ia melihat Leticia dengan mata nanar.
Leticia sepertinya tahu kata-kata yang ingin diucapkan dokter istana. Ia tidak hamil.
"Maafkan saya, Permaisuri," kata dokter istana.
Ia sudah mempersiapkan hatinya setiap hari. Namun, tetap saja hatinya terasa sakit.
"Ada kemungkinan Anda mandul. Sudah lama Anda tidak hamil meskipun meminum obat penambah penyuburan. Rahim Anda semakin lemah. Kemungkinan hamil akan semakin sulit, Permaisuri." Dokter istana menundukkan kepala sedalam-dalamnya.
'Aku mandul. Apakah aku tidak salah dengar?' Leticia berusaha memahami kata-kata dokter istana. Namun, otaknya sudah kosong tidak dapat memikirkan apapun. Kemarahannya memuncak.
"Jangan menghina keluarga kekaisaran. Aku pernah hamil sebelumnya. Aku tidak mandul!" teriak Leticia.
"Sekali lagi maaf, Permaisuri. Saya hanya mengatakan keadaan tubuh Anda yang sebenarnya." Dokter istana hanya bisa menunduk.
Air mata Leticia mengalir deras. Braun meminta dokter istana untuk keluar. Ia menghampiri Leticia berusaha menghiburnya
Leticia menangis dengan keras. Ia tidak bisa membahagiakan Braun. Keluarga yang didambakannya tidak akan terwujud.
Sudah tiga hari sejak kedatangan dokter istana. Leticia tidak makan karena tidak nafsu. Judith terkadang mampir ke kamar Leticia. Melihat ibunya terlihat lesu, ia mendekatinya, duduk di samping ibunya.
"Ibu tidak makan?" tanya Judith tiba-tiba.
Leticia baru sadar keberadaan Juith. Ia berbohong. "Ibu masih kenyang, Judith." Ia tidak ingin anaknya merasa khawatir.
"Tapi, aku tidak pernah lihat ibu makan beberapa hari ini." Judith mulai memegang tangan Leticia yang mengurus.
Leticia diam. Putri yang disayanginya mencemaskan dirinya. Ia tidak dikhawatirkan. Ia ingin putrinya memikirkan kesehatan dan kebahagian dirinya sendiri.
Tidak mendengar jawaban ibunya Judith melanjutkan, "Apakah ibu sakit?"
"Ibu tidak terluka ataupun sakit, Sayang." Leticia menaruh tangan kecil Judith ke dahinya. Suhu tubuhnya normal.
"Kalau begitu apakah sakitnya tidak terlihat? Yaitu di sini." Judith menunjuk dadanya. Ia pantang menyerah menanyai ibunya. Anak sekecil ini bisa mengetahui perasaan orang yang disayanginya.
Leticia membuka matanya lebar-lebar. Mata Leticia terasa panas. Ia menggigit bibirnya. Ia berusaha untuk tidak menangis di depan anaknya.
"Semoga ibu cepat sembuh. Jangan lupa untuk makan." Judith memeluk ibunya. Berharap ibunya akan ceria kembali.
"Baik, terima kasih, Sayang." Leticia membalas pelukan Judith. Ia menahan air matanya yang akan keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan anaknya.
Perasaan Leticia lebih baik daripada sebelumnya. Tanpa anak laki-laki, ia masih memiliki putrinya yang lucu dan manis. Putri yang menyayangi ibunya.
Judith melepas pelukannya. Ia mencium pipi ibunya. Leticia pun membalas mencium pipi Judith. Leticia tersenyum. Senyumnya sejak tiga hari ini.
Judith berpamitan untuk pergi belajar bersama gurunya. Tak lama Braun datang.
Raut wajah Braun tampak serius. Senyum Leticia tiba-tiba lenyap. Pasti pembicaraan serius lagi. Ia tidak bisa mengabulkan permintaan Braun mengenai pewaris tahta. Kemungkinan terburuk Leticia akan dibuang. Ia sudah mempersiapkan hatinya.
"Kudengar kamu tidak makan beberapa hari ini, Sayang."
"Saya sedang tidak nafsu makan, Braun."
Leticia tahu bahwa pembicaraan ini bukan tentang dirinya yang sedang bersedih atau dirinya yang sedang mogok makan. Tidak ada nada khawatir dalam ucapan suaminya.
"Sebelumnya aku minta maaf Sayang. Aku akan menikah lagi."
Mata Leticia terbelalak. Leticia tahu Braun akan menyerah padanya. Namun, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Braun akan menikah lagi.
"Dengan siapa, Braun?" Bibirnya bergetar mengatakan hal itu.
"Aku akan menikahi putri Marquiss Nien. Di samping memiliki anak laki-laki, aku juga butuh dukungan politik dari kaum bangsawan." Braun menghapus jarak antara dirinya dan Leticia. Ia berusaha memegang bahu Leticia.
Leticia menghindar dengan berbalik. Air matanya mengalir. Pada akhirnya kebahagian yang ia dambakan tidak akan terwujud.
Ia menghela napas panjang, berusaha mengatur hatinya. "Baiklah, jika itu yang Anda inginkan, Braun."
"Terima kasih atas pengertianmu, Sayang."
Terdengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali, tak lama setelah Braun menyelesaikan ucapannya.
Entah berapa lama lagi ia harus menitikkan air mata. Bisa-bisa air matanya mengering. Leticia tidak dapat membahagiakan suaminya. Terlebih ia harus melihat suaminya dimiliki oleh wanita lain.
***
Leticia tidak datang pada pernikahan Braun dan Charlotte. Ia tidak sanggup melihat suaminya menikahi wanita lain. Wanita yang mungkin dapat menghadiahkan hal yang diinginkan suaminya.
Leticia ditemani oleh Judith. Ia memeluk Judith sepanjang hari untuk menghibur dirinya sendiri. Putri kecil yang selalu menyayanginya. Putri yang tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Leticia hanya bisa menjaga perasaan putrinya agar tidak terluka seperti perasaannya. Braun pasti masih menyayangi putrinya. Ia harus bertahan demi putrinya.
Selang beberapa bulan setelah pernikahan Braun dan Charlotte, Charlotte hamil. Kebahagiaan terpancar dari wajah kedua orang ini. Leticia hanya bisa cemburu melihatnya.
Sejak saat itu pula, Braun tidak pernah datang ke istana Leticia. Mungkin karena Braun terlalu sibuk mengurus pekerjaannya dan menjaga Charlotte beserta calon bayinya. Ia menyediakan segalanya bagi istri keduanya, sama seperti ketika Leticia mengandung. Braun pasti sangat berharap anak yang dilahirkan Charlotte adalah laki-laki.
Para pelayan istana menggosipkan Leticia yang diduakan oleh Kaisar. Leticia disebut bodoh. Kaisar bebas melakukan apapun bahkan dapat beristri lebih dari satu. Leticia hanya dianggap sebagai permaisuri pajangan saja. Kaisar lebih menyayangi permaisuri kedua. Permaisuri kedua lebih pintar dan baik daripada Leticia. Tentu saja Leticia mengabaikan mereka.
Leticia hanya berharap ucapan mereka tidak benar. Masih ada rasa cinta meskipun hanya setitik di hati Braun untuknya. Itulah yang diyakini Leticia.
***
Hari kelahiran anak Charlotte telah tiba. Braun berjaga di luar kamar Charlotte dengan gelisah. Sama seperti menunggu kelahiran anak pertamanya.
Judith yang penasaran ingin melihat adiknya. Ia duduk diam di dekat dinding luar kamar Charlotte melihat ayahnya mondar-mandir.
Sedangkan Leticia menunggu di kamarnya sendirian. Judith sudah mengajaknya melihat bayi Charlotte yang akan lahir. Leticia menolaknya.
Salah satu pelayan mendatangi kamar Leticia. Ia menyampaikan kabar kelahiran anak Charlotte. Ternyata seorang laki-laki. Anak itu akan menjadi Putra Mahkota. Selesai menyampaikan kabar, pelayan tersebut kembali bekerja.
Dengan ingin kebahagiaan suaminya telah lengkap. Bukan dirinya yang memberikan kebahagiaan tetapi wanita lain. Artinya kebahagiaan keluarganya telah lengkap meskipun harus ada kehadiran orang ketiga.
Leticia mendengar suara ketukan pintu lagi. Ia melihat Judith yang mengintip dari celah pintu yang terbuka. Judith segera menceritakan kelahiran adiknya yang lucu kepada Leticia. Leticia hanya tersenyum, melamun mendengar cerita putrinya.
"Apakah ibu tidak senang?" Pertanyaan Judith membuyarkan lamunan Leticia.
"Ibu ikut berbahagia jika Ayahmu berbahagia, Sayang." Benar ia ikut bahagia meskipun ada rasa iri kepada Charlotte.
"Kalau begitu kenapa ibu tidak ikut melihat Louis?" tanya Judith lagi.
Louis adalah nama anak Charlotte yang baru lahir. Ia ingin melihat anak laki-laki Braun. Ia ingin melihat anak laki-laki yang mirip suaminya. Anak yang tidak mungkin ia dapatkan lagi. Namun, ia tidak ingin merusak kebahagian mereka berdua dengan menangis karena tidak sanggup melihat mereka bahagia.
"Ibu hanya ingin sendirian, Sayang. Lain kali, kita akan melihat Louis bersama," jawab Leticia.
"Baik." Judith tersenyum gembira. Ia memeluk Leticia.
"Ibu jangan bersedih lagi. Judith akan selalu ada untuk Ibu," lanjut Judith.
"Terima kasih, Sayang." Leticia membalas pelukan Judith.
Putrinya adalah satu-satunya penyemangat hidupnya saat ini. Ia akan melakukan apapun demi putrinya.
Ke depannya, ia berharap putrinya dan Louis bisa akur. Ia akan memberikan hadiah kepada Louis. Anak sekecil itu tidak salah apapun. Braun dan Charlotte juga tidak salah. Mereka hanyalah mengutamakan kesejahteraan kerajaan. Braun tidak berselingkuh. Leticia menyetujui pernikahan mereka walaupun tidak datang ke sana. Semua itu Leticia lakukan demi kebahagiaan Braun dan keluarganya. Meskipun harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Namun, ia percaya suaminya akan kembali meyanyanginya. Tidak, ia akan berusaha menarik perhatian suaminya. Meskipun tidak dapat memberikan pewaris takhta yang sah, ia masih seorang permaisuri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!