Desa Krueng Lamkareung, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.
Prankkkkk
Pecahan gelas kaca berhamburan di lantai. Seseorang yang sudah sepuh dan berjalan tertatih memecahkannya. Darah segar mengalir dari telapak kaki. Setelah memecahkan gelas, beliau tidak sengaja menginjaknya.
“Astaghfirullah, Kek….!” Pekik Seorang gadis muda berusia 18 tahun. Ia mencampakkan kain yang baru saja diambilnya dari jemuran lalu berjalan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Ya Rabb… Iqlima bantu bersihkan ya kek?” Pinta gadis tersebut merasa ngilu. Dengan cekatan ia mengambil kursi roda yang berada di dekat pintu kamar. Tangannya mengamit lengan kakek untuk ia arahkan ke atas kursi roda.
“Tidak usah! Aku bisa sendiri!” Ketus kakek. Perlahan dengan gemetaran beliau duduk di atas kursi roda setelah serpihan kaca yang mengenai kakinya menusuk lebih dalam.
“Ssssss..” Iqlima berdesis ngilu. Kakek menjalankan kursi rodanya sendiri.
Gadis yang diketahui bernama Iqlima melihat beliau dengan tatapan sendu. Lalu bergegas membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai dan menuju dapur mengambil peralatan P3K.
“Biarkan saja!” Ucap kakek dengan nada tidak ramah.
“Walaupun kakek melarang, Iqlima akan tetap membersihkannya.. Kalau tidak luka ini bisa infeksi” Sahut Iqlima bersikeras.
“Biarkan saja. Biarkan membusuk sekalian! Luka ini tidak seberapa dibanding rasa sakit dihatiku!” Ucap kakek memalingkan wajah.
“Apa kakek masih marah?” Tanya Iqlima pelan. Tak terasa matanya basah.
“Hhhh bagaimana kakek tidak marah? Berkali-kali orang datang melamar tapi kamu tolak! Terakhir Hilman, Apa kurangnya si Hilman itu? Dia anak kepala desa, punya usaha kilang padi! Hidup dengannya kamu tidak akan merasa kurang!” Hardik kakek dengan suara tinggi. Iqlima diam menunduk.
“Coba Kamu lihat si Maryam… Teman yang usianya sebaya denganmu itu bahkan sekarang sudah memiliki anak! Dia sudah bahagia menikah dengan Helmi, pemuda yang dulunya juga pernah melamarmu! Hhhh Maryam itu anak yang patuh, ia tidak membangkang sepertimu! Huk Huk Huk….” Ucap kakek terbatuk. Tenggorokkannya terasa kering karena terlalu banyak berbicara. Iqlima menyodorkan gelas berisi air mineral yang berada di atas nakas tak jauh dari mereka.
Andai kakek tau kalau Maryam sangat menderita karena bang Helmi suka bermain buntut (judi angka) dan tengah dikejar-kejar hutang. Ucap Batin Iqlima.
“Bang Hilman itu pe…mabuk kek, Suka main perem…puan” Ucap Iqlima hati-hati.
“Semua itu bisa berubah… Kamu jangan tinggi hati! Kita ini orang ga punya. Orangtua-mu meninggal tanpa meninggalkan apapun untukmu! Sedang kakek sudah tua, kalau tiba-tiba kakek tiada.. kamu bagaimana? Siapa yang akan mengurusmu Iqlima?” Sambar kakek. Suara beliau berubah serak. Mata yang sudah hampir putih itu berkilat-kilat. Iqlima terenyak.
“Apa yang kamu harapkan dari Ilyas? Pemuda Pulau Jawa itu hanya merantau sebentar ke desa kita... Dia akan kembali ke kampung halamannya. Jadi tidak mungkin menikahimu! Apalagi kamu miskin dan yatim piatu!”
“Tapi Ustadz Ilyas berjanji akan menikahi Iqlima kek..” Lirih Iqlima.
“Kapan?! Mau sampai kapan kamu menunggu? Huk Huk Huk!” Kakek kembali terbatuk.
"Ilyas hanya seorang perantau, asal usulnya juga tidak jelas! Ia tidak lebih baik dari laki-laki yang Kamu tolak! Jangan mau ditipu oleh janji laki-laki! "
Iqlima menunduk dalam. Ia meremas ujung kerudungnya. Kakek benar. Kepastian dari Ilyas untuk menikahi nya masih belum terlalu jelas.
Sebenarnya Iqlima juga belum mencintai Ilyas, tapi daripada ia menikah dengan orang seperti Hilman atau Helmi, Iqlima berpikir akan lebih baik jika ia menikah dengan orang yang sudah jelas kesholehan-nya. Selama setahun ini, Iqlima banyak melihat hal positif dari diri Ilyas.
Iqlima merasa betapa ia hanya menjadi beban kakeknya saja. Sejak orangtua nya meninggal karena kecelakaan bus antar daerah delapan tahun lalu, Iqlima hanya diasuh oleh sang kakek. Karena kemiskinan, kerabat dan sanak saudara lainnya juga menjauh dari mereka.
Iqlima mencoba untuk mengerti apa yang kakeknya khawatirkan. Kakek hanya ingin agar ia segera menikah memiliki kehidupan yang layak. Memiliki keluarga yang utuh dan berbahagia. Begitulah yang selalu kakeknya gaungkan sejak 2 tahun lalu. Padahal umur Iqlima masih begitu muda. Iqlima sendiri sebenarnya masih belum ingin menikah. Untuk saat ini, Iqlima hanya ingin bersekolah tinggi dan meraih cita-cita. Ia ingin menjadi wanita karir yang mandiri. Ia tidak ingin di pandang rendah oleh siapapun.
***
Bandara Sultan Iskandar Muda
Seorang pemuda turun dari pesawat dengan tergesa. Ia melirik ke arah jarum jam yang ada ditangannya. Pukul 07.05 Wib. Ia harus bergegas, sebab tepat pukul 08.00 ia sudah harus menghadiri rapat dengan para rekan bisnisnya. Barang-barang yang ia perlukan sudah dibawa oleh asisten. Pemuda ini mengambil handphone dari saku celana dan meng-aktifkannya. Beberapa panggilan tak terjawab tertera di sana.
“Assalamu’alaikum Bah!” Sapa nya setelah menelfon ulang. Ternyata dari tadi ayahnya yang menelpon.
“…….”
“Alhamdulillah, Ini Yahya baru saja landing di Aceh!”
“……..”
“Iya, Alhamdulillah semuanya aman!”
“……..”
“Oh tentu... Sebentar lagi Yahya akan bertemu dengan Ilyas!”
“…….”
“Baik. Terima kasih, bah! Wa’alaikumsalam” Ucap seorang pemuda yang diketahui bernama Yahya menutup handphone-nya. Sebuah mobil sudah menunggu di depan pintu keluar.
“Arahkan mobilnya ke hotel Grand Nanggroe! Tolong agak dipercepat ya pak! Saya ada rapat penting” Titah Yahya.
“Siap pak!”
Mobil mereka melaju membelah jalan raya. Dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju hotel Grand Nanggroe kurang lebih memakan waktu setengah jam. Seperti biasa, dipertemuan bisnisnya Yahya tidak ingin terlambat.
Tap Tap Tap
Suara sol sepatu pantofel kulit terdengar. Yahya memasuki Function Room. Suasana ruang rapat yang khas terlihat. Yahya menatap santai satu persatu orang yang ada di dalam ruangan. Lalu ia menyapa mereka dengan hangat hingga matanya menangkap sesosok orang yang sudah sangat dikenalnya. Mereka saling tersenyum lebar. Setelah berbasa basi beberapa menit, tepat pukul 08.00 teng percakapan serius terdengar.
"Pak Ilyas sudah membeli 10 hektar tanah untuk diwaqafkan menjadi sebuah yayasan. Yayasan ini nantinya akan menaungi sekolah yang berbasis Islam Terpadu juga Lembaga amal" Seorang sekretaris membuka topik pembicaraan.
"Seluruh bahan baku bangunan akan di supply oleh PT. Harapan Sejahtera milik Pak Haji Zakaria. Perusahaan ini akan mengkoordinir pembangunan gedung dari awal hingga selesai. Pak Yahya sebagai direktur umum akan menanganinya secara langsung!" Sekretaris menjelaskan lebih lanjut.Haji Zakaria yang dimaksudkan adalah ayah dari Yahya. Parapetinggi yang hadir mengangguk-anggukkan kepala.
Para manager membaca Berkas-berkas yang berada di atas meja secara kilat hingga mereka menemui titik kesepakatan yaitu kapan tepatnya pembangunan akan dilaksanakan. Dalam waktu kurang dari dua jam, rapat pun dipadai. Mereka saling berjabat tangan tanda pengesahan dan melakukan sesi foto. Setelah itu, satu persatu dari mereka keluar ruangan.
"Ahlan wa Sahlan Yahya!! Kaef Hal?" Sapa Ilyas meledak sumringah ketika hanya ia dan Yahya yang tinggal di dalam ruangan. Pemuda itu merentangkan tangannya menyapa dengan bahasa Arab non baku.
"Khaer Alhamdulillah... Ah sepupuku bertambah tampan saja! " Sambut Yahya hangat. Mereka saling berpelukan.
"Mari kita bicara banyak di restaurant bawah! " Ajak Ilyas.
***
Seorang pramusaji memberikan buku menu.
"Pesan apa? " Tanya Yahya.
"Kebetulan aku belum makan pagi. Aku akan memesan menu makanan Aceh. Hitung-hitung sebagai latihan"
"Latihan? " Yahya mengerutkan keningnya.
"Ya... Calon istriku orang Aceh! " Seru Ilyas berbisik. Yahya terenyak.
"Mba, saya mau nasi gurih dendeng dengan kopi gayo" Ucap Ilyas beralih menoleh ke arah pramusaji.
"Bro, pesan apa? "
"Aku mau teh tarik" Sahut Yahya.
Pramusaji mencatat pesanan Yahya dan Ilyas kemudian berlalu.
"Kamu serius mau nikah dengan orang sini? " Tanya Yahya melanjutkan pembicaraan mereka yang tertunda.
"Aku serius. Aku jatuh cinta dengan gadis di Desa tempat ku menjadi relawan. Aku akan mengenalkanmu padanya. Ia gadis sederhana baik hati. Juga begitu anggun. Kau pasti setuju aku menikah dengannya!" Ucap Ilyas mengingat Iqlima. Ilyas dan Yahya adalah saudara sepupu yang sangat akrab. Mereka saling bertukar cerita.
"Benarkah? Kalau begitu Mabruk! Aku ikut senang! Semoga niat baikmu segera terlaksana" Ucap Yahya mendo'akan. Pemuda ini ikut bahagia.
"Tapi untuk merealisasikan pernikahan dengan cepat sepertinya akan sulit "
"Kenapa?"
"Ummi tidak setuju. Ummi ingin aku menikah dengan gadis Solo. Andai Ummi setuju, aku pasti akan langsung menikahinya" Terang Ilyas.
"Lalu apa langkahmu selanjutnya? " Tanya Yahya lagi.
"Aku akan meyakinkan Ummi. Aku akan terus membujuk agar Ummi luluh! "
"Kalau Ummi Wirda tetap tidak setuju bagaimana? "
"Aku akan tetap menikahi Iqlima" Sahut Ilyas mantap. Yahya mengangguk mencoba mengerti. Pembicaraan mereka seketika terhenti ketika pramusaji menghidangkan makanan.
"Kamu masih lama di Aceh? "
"Tidak, 2 hari lagi aku akan kembali ke Jakarta" Sahut Yahya menyeruput teh tariknya.
"Kalau begitu siang ini aku akan mengajakmu ke desa Krueng Lamkareung. Desa ini salah satu desa paling terpencil di Kota ini. Desa dimana aku terlibat menjadi relawan...Kamu harus menyapa anak-anak pintar di sana, rata-rata mereka sudah bisa menghafal 5 juz al-Qur'an!" Terang Ilyas.
"Nama Desa nya terdengar sedikit asing. Apa di desa itu kamu bertemu tambatan hati? "
"Haha... Ya... begitulah... "
***
Yuk Dukung karya ini dengan Like, Komen, Vote dan berikan hadiahnya... Terima kasih 😇😇😇
IG: @alana.alisha
***
Butir-butir padi yang menguning masak telah dipanen. Para petani di desa Lamtamot menyerahkannya ke mobil Pick Up setelah diletakkan ke dalam eumpang goni untuk dibawa ke pabrik kilang milik Hilman. Padi-padi itu akan diolah menjadi produk pangan yang siap untuk di makan.
Hilman duduk di sebuah rangkang atau pondok kecil yang ditopang oleh 4 buah tiang yang berada di tengah ladang mengamati para bawahannya bekerja. Ia duduk bersila bersama bapak-bapak petinggi desa menikmati secangkir kopi hitam dan menghisap rokok kretek.
Sebagian dari mereka menghisap bakong hijau, tembakau khas tanah Rencong yang harumnya hampir menyerupai tanaman ganja. Bakong hijau ini legal diperjual-belikan karena tidak memiliki efek samping seperti ganja. Segelintir dari kalangan bapak-bapak gemar menghisap jenis tembakau ini. Asap pun mengepul-ngepul menyebarkan bau khas di sekitar.
“Alhamdulillah, banyak sekali perubahan ke arah yang baik sejak para relawan itu menetap di sini. Apalagi mereka bekerja sama melibatkan teungku-teungku gampong membangun desa ini” Ucap seorang Tuha Peut ( Tuha Peut : Sebutan untuk Legislatif Desa khusus wilayah Aceh)
Hilman memainkan linting tembakaunya. Mendengar dengan perasaan tidak senang. Jujur saja, Hilman tidak suka dengan para relawan yang ada di desa mereka. Selain memonopoli Meunasah (Langgar), mereka juga membuat pesonanya di mata para gadis menurun drastis. Ilyas terutama. Kehadiran pemuda itu banyak menyita perhatian banyak orang.
"Iya, Alhamdulillah... Program-program dari Pemerintah seperti yang ada saat ini merupakan sebuah berkah bagi desa kita. Insya Allah untuk kemajuan generasi mendatang. Apalagi relawan seperti Teungku Ilyas, beliau benar-benar tampak tulus dalam menjalankan tugas" Sahut Pak Keuchik (Keuchik : Sebutan untuk Kepala Desa).
"Benar Pak! Apalagi berkat jasa Teungku Ilyas, Seorang wiraswasta kaya raya yang tidak mau disebutkan namanya membeli 10 hektar tanah di desa ini untuk membangun Yayasan. Saya sungguh terharu! " Ucap Bapak lainnya. Mereka semua mengangguk-anggukkan kepala. Setuju. Kecuali Hilman. Mendengarnya, hati pemuda berperawakan mirip orang Bangladesh itu bertambah dongkol. Ia langsung membuang rokok kretek nya padahal masih tersisa setengah.
Percakapan mereka terhenti ketika sebuah mobil dari kejauhan mendekat memasuki gerbang desa. Jalan yang bergelombang karena pengaruh wilayah perbukitan menyebabkan lajunya terlihat timbul tenggelam. Setelah semakin mendekat, pengemudi menghentikan mobil tersebut di badan jalan.
"Assalamu'alaikum Rakan-Rakan!! " Sapa orang yang tak lain adalah Ilyas dengan ramah setelah menurunkan kaca mobil. Ia mengangkat kedua tangannya memberikan salam hormat. Rakan-rakan adalah sapaan berbahasa Aceh yang berarti teman-teman namun dalam artian yang lebih akrab dan terkesan hangat. Ilyas benar-benar melakoni perannya dengan sangat baik.
"Wa'alaaikumsalam Teungku Ilyas! " Jawab mereka serempak. Ilyas mengajak Yahya turun dari mobil yang ditumpanginya.
"Begini pak Keuchik, pak Tuha Peut dan bapak-bapak sekalian... Saya minta izin membawa seorang kerabat saya untuk menginap di desa ini. Yahya nama nya"
Yahya ikut memberikan salam.
"Beliau ingin melihat perkembangan anak-anak dalam belajar pengetahuan agama. Saudara Yahya adalah orang yang akan terlibat dalam pembangunan yayasan nantinya" Terang Ilyas meminta izin. Memasukkan orang asing ke desa Lamtamot ini memang sedikit sulit. Mereka sangat waspada terhadap orang luar.
Ilyas sendiri menyembunyikan indentitas nya sebagai pimpinan pondok tinggi di Jakarta dan memiliki beberapa usaha di tanah Jawa dengan menjadi relawan biasa. Awalnya ia hanya ingin menambah pengetahuan dan pengalaman selama 3 bulan dengan mengikuti program pemerintah menjadi relawan. Namun lama-lama ia semakin senang menggelutinya. Hingga tidak terasa sudah setahun Ilyas menetap di desa ini.
Pak Keuchik dan yang lainnya langsung menyambut baik kehadiran Yahya. Kepercayaan penuh dan rasa hormat pada Ilyas menyebabkan mereka tidak banyak bertanya dan langsung memberi izin.
"Nanti malam, mampir ke rumah saya! Tamu harus kita jamu! Peumulia Jamee Adat Geutanyoe! Hahaha " Ucap Pak Keuchik menjabat hangat tangan Yahya.
***
"Hebat banget.. Ternyata kamu anak emas di desa ini! Mereka memperlakukanmu dengan begitu baik! Wuiii jabatannya Teungku" Seloroh Yahya ketika mereka sudah kembali menaiki mobil.
"Haha.. Teungku itu sama seperti Guru atau Ustadz... tapi Warga di sini memang baik. Mereka sebenarnya juga menarik. Kamu akan penasaran dan semakin penasaran jika mau sedikit saja tinggal di sini selama beberapa waktu! Siapa tau kamu juga akan menemukan jodohmu di sini!"
"Apa kamu sedang membujuk ku untuk menjadi relawan juga? Atau hanya sekedar basa basi?" Yahya menaikkan sebelah sebelah alis nya ke atas.
"Haha aku meminta mu dengan cukup diplomatis kan? "
"Sayangnya untuk kali ini aku ga bisa, Yas! Ada Project di Singapore yang harus aku selesaikan. Aku juga ga minat nikah muda! Aku akan menikah di usia 30-an!" Sahut Yahya. Ilyas terenyak. Ia lupa bahwa karakter dan Hobi mereka memang berbeda 180 derajat. Lelaki introvert itu tidak terlalu suka terlibat dengan banyak orang. Yahya juga lebih memilih kegiatan indoor daripada harus bertemu orang-orang kecuali karena keperluan bisnis.
"Usia 30 an? Hahahaha... Ah, Yang benar saja! Jangan sampai aku melayangkan bogem mentah padamu hanya karena ternyata kau yang lebih dulu menikah daripada aku! " Ilyas menggelengkan kepala merasa tidak yakin akan komitmen yang satu itu.
"Haha Asemmm" Yahya tersenyum sekilas menanggapi perkataan Ilyas. Mobil yang membawa mereka akhirnya memasuki halaman Barak Relawan.
"Ssssttt Ssssttt Ustadz Ilyas pulang.... Ustadz Ilyaass pulang" Bisik kawanan remaja perempuan yang melihat mobil relawan berhenti. Mereka tengah berada dalam perjalanan menuju meunasah untuk shalat Zhuhur berjama'ah. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melihat Ilyas yang biasa menjadi Imam di sana. Mereka juga sengaja datang lebih cepat untuk menarik perhatian.
Ilyas dan Yahya turun dari mobil berbarengan.
"Woaaa Masya Allah... Ganteng sekali... " Pekik salah satu dari mereka dari kejauhan.
"Hey, liat... itu siapaa...! " Tunjuk yang lainnya ke arah Yahya.
"Hmh... mungkin Relawan baru! Ya Allah... Ga kalah ganteng! " Pekik salah seorang lainnya menutup mulut girang.
***
Kaaaaaf Haa Yaa 'Aiin Shaad~ Dzikru Rahmati Rabbika 'Abdahu Zakaria~ Iqlima mengalunkan bacaan alquran dengan irama tartil. Suara merdunya terdengar indah.
Tok Tok Tok
Tok Tok Tok
Baru dua ayat dari Surah Maryam yang Iqlima baca namun suara gaduh ketukan pintu sudah terdengar. Iqlima urung melanjutkan bacaannya. Masih berbalut mukena usai menunaikan shalat zhuhur, ia bergegas membuka pintu.
"Mar... yam? "
"Hah Hah Hah..." Maryam menggendong anaknya yang berusia 5 bulan terengah-engah.
"Kamu kenapa? "
"Kakek Yakob... Hah Hah Hah.. "
"Kakekku kenapa?! "
"Iqlima... Hah Hah... Iqlima... cepat kamu ke rumah Ampon Din! Kakek mu berbuat ulah di sana... Hah Hah!! " Sahut Maryam panik. Sepertinya wanita itu sengaja berlari ke rumah Iqlima hanya untuk menyampaikan berita ini.
"Apa?! "
"Cepat Ima! " Titah Maryam.
"Ya Rabb.... " Iqlima langsung melesat ke dalam mengganti mukenanya dengan kerudung.
"Mar, tunggu aku di sini! Aku jemput kakek dulu! Kalau mau minum, ambil saja di dalam!" Ucap Iqlima tak kalah panik. Ia tau Maryam yang memiliki penyakit asma tak mungkin sanggup berlari lagi. Maryam mengangguk. Wanita yang sudah memiliki satu anak ini memilih duduk di teras.
Iqlima setengah berlari menuju rumah Ampon Din. Rumah salah seorang warga desa Lamtamot. Ayah dari Hilman.
"Tolong Ampon Din sudi kembali melamar Iqlima untuk Teuku Hilman...." Terlihat kakek berlutut di tanah memohon. Beliau menangkupkan kedua tangannya. Di sini banyak pasang mata melihat ulah beliau yang bukan sekali dua kali sudah melakukan hal ini.
"Pak Yakob... Iqlima sudah menolak nya... Kami tidak bisa melamarnya kembali.. Bagus juga cucu bapak menolak! Berarti dia sadar diri! Dari awal sebenarnya saya memang tidak setuju Hilman menikah dengan Iqlima... Maaf maaf saja... Kami lebih setuju dengan Pocut Meurah, gadis yang sudah jelas marwah kedudukannya! Iqlima itu siapa... Cih" Sahut Ampon tersenyum geli, mengejek.
"Tolonglah Ampon... Cucu saya ini banyak keistimewaan nya.... Iqlima pintar masak, dia pintar anak berbakti... " Kakek masih memohon. Tadi dengan berjalan terseok-seok beliau nekad berjalan ke rumah Ampon Din.
"Kembalilah Pak Yakob.. pergilah.. Bapak hanya Membuang-buang waktu saja!! " Ketus Ampon Din.
"Kaakeeeekkk!!!! " Pekik Iqlima dari jarak 7 meter. Ia langsung menghambur menarik kakeknya untuk berdiri. Kini semua mata tertuju padanya.
"Lepas Iqlima!!! " Titah Kakek.
"Ayo pulang kek!! Ayoo pulang... Hiks hiks... " Air mata Iqlima mulai jatuh berhamburan.
Sayang sekali si Iqlima ya... Punya kakek begitu... Salah sendiri... dia juga angkuh... Kemarin dilamar ga mau... Wanita sampah aja... Dih... Sok suci... Terdengar suara sumbang berbisik-bisik.
"Lepas... Kakek tengah memohon agar Hilman mau melamarmu kembali! Aneuk Bangai!!! Hardik Kakek. (Aneuk Bangai : Anak Dungu). Orang-orang yang melihat menatap dengan pandangan tak kalah mengejek lagi merendahkan.
"Ya Rabb... Kalau begini kakek mempermalukan Iqlima. Ima maluuu kek... hiks hiks... Ima malu... Ayo kita pulang.... Ima mohooon" Ucap Iqlima mengiba. Sungguh ia tidak tau harus meletakkan wajahnya kemana. Berulang kali kakek mempermalukannya di hadapan umum. Mengemis agar ada laki-laki yang berkenan menikahinya. Seolah-olah ia adalah barang yang tidak laku.
***
Note:
🌸Teuku dan Teungku berbeda maknanya ya!
🌸Teungku\= Ustadz
🌸Teuku/ Ampon\= Gelar bangsawan Aceh.
Teuku adalah gelar bangsawan untuk kaum pria dari suku Aceh. Teuku adalah seorang hulubalang atau ulèëbalang dalam bahasa Acehnya. Sama seperti tradisi budaya patrilineal lainnya, gelar Teuku dapat diperoleh seorang anak laki-laki, bilamana ayahnya juga bergelar Teuku/Ampon.
🌸 Jargon Peumulia Jamee Adat Geutanyoe (memuliakan tamu, tradisi kita) adalah kebiasaaan yang dilakoni oleh masyarakat secara turun-temurun dan kini sudah menjadi bagian dari adat Aceh.
***
Yahya masuk ke dalam kamar barak yang sudah Ilyas tempati selama setahun ini. Ia meletakkan barang-barang di sana. Lalu menatap ke sekeliling. Mengamati bangunan shelter bongkar pasang yang terbuat dari bahan Metal. Tampak kokoh. Yahya pun membuka jendela. Namun keningnya mengerut ketika matanya menangkap tiga kepala wanita berkerudung yang sedikit menyembul dari balik tembok. Namun hanya mata dari mereka saja yang terlihat. Yahya pun menutup kembali jendela tersebut dengan cepat.
“Kenapa jendelanya di tutup?” Tegur Ilyas yang tiba-tiba muncul menenteng bungkusan dari kedai.
“Apa mereka sering memantau-mu? " Tanya Yahya dengan wajah yang menunjuk ke arah jendela. Ilyas langsung mengerti apa yang Yahya bicarakan.
“Haha.. Begitulah... Pesonaku masih bekerja dengan sangat baik” Sahut Ilyas asal. Yahya tersenyum menggelengkan kepalanya.
“Kamu bawa apa?”
“Oh ini gula dan teh, bawaan kita nanti untuk pak Keuchik. Nanti malam kan mereka akan menjamu kamu!” Sahut Ilyas.
"Kenapa harus gula dan teh?"
"Adat. Setahun di sini aku seolah menyatu dengan kebiasaan mereka"
"Haha Kau benar-benar pintar beradaptasi, Yas! Salut" Yahya mengacungkan jempol nya.
"Hmh... Baiklah, selagi ada waktu kosong aku ingin melihat-lihat keadaan di desa ini"
"Kau tak ingin beristirahat dulu? Maaf, aku ada rapat di balai desa! Tapi Ga lama, cuma sejam. Setelah itu aku akan membawamu berkeliling. Bagaimana?" Tawar Ilyas.
"Nope. Ga masalah. Aku bisa pergi sendiri. Nanti aku akan memberitahukan-mu dimana posisiku berada. Kau bisa menjemputku di sana setelah rapat! "
***
Yahya keluar dari kamar membawa sebuah ransel berisikan camera mirrorless, tripod dan dompet. Ilyas meminjamkan motor miliknya untuk mempermudah Yahya berkeliling santai. Pemuda ini memakai kemeja lengan panjang untuk menghindarkan kulitnya dari sengatan matahari.
Yahya mengambil helm dari atas motor. Seketika Ia menyadari sesuatu. Beberapa pasang mata kembali mengamatinya. Namun pemuda ini memilih untuk tidak peduli. Ia mulai mengidupkan mesin lalu melajukan motornya.
“Abang itu siapa sih?”
“Sepertinya teman ustadz Ilyas. Kata Ayah, beliau akan menjamunya nanti malam. Sekarang aku akan kembali ke rumah untuk membantu Mamak menyiapkan makanan” Ucap anak pak Keuchik. Ekor matanya masih melihat punggung Yahya yang semakin menjauh hingga tak terlihat. Ia dan teman-temannya baru pulang dari warung kelontong membeli beberapa keperluan.
“Rani,, Beruntungnya kamu.. Berarti nanti malam juga ada Ustadz Ilyas dong!” Seru temannya berbinar.
“Kalau ada ustadz Ilyas memangnya kenapa?”
“Kamu berkesempatan mencari perhatiannya…”
“Jangan mimpi! Ustadz Ilyas itu sukanya sama Iqlima.. Bukan sama kamu atau aku!"
“Ha? Siapa bilang?” Sahut yang lain.
“Aku bisa lihat dari sorot mata beliau” Sahut Rani sendu. Suasana hatinya berubah.
“Mm..mana mungkin sekelas ustadz Ilyas tertarik sama Iqlima! Apa sih kelebihan Iqlima itu?!” Temannya Rani mulai meninggikan suara tak terima.
“Sudah ah, mau pulang. Jangan ghibah! Aku jalan duluan ya... Buru-buru.. Assalamu’alaikum” Rani langsung melesat berjalan cepat meninggalkan teman-teman nya yang tercengang.
***
Yahya melajukan motornya dengan kecepatan lamban 40-45 km/jam. Pemuda ini benar-benar menikmati suasana pedesaan. Padahal di siang hari ini matahari terasa sangat terik menyengat.
Yahya menepikan motornya, menjepret beberapa gambar yang dianggapnya menarik. Ia melihat beberapa ibu-ibu dibantu oleh anak gadisnya tengah menjemur biji Kakao (biji coklat) di halaman rumah. Sebagian dari mereka mengupas kulit pinang. Sebagian yang lain menjemur padi yang baru saja usai dipanen.
Setelah berhasil mendapatkan beberapa gambar, Yahya kembali meneruskan perjalanannya. Ia melihat di desa ini terdapat begitu banyak kedai kopi yang menyebar di beberapa sudut. Pelanggan nya kebanyakan laki-laki paruh baya. Menurut penuturan salah satu warga, kedai kopi merupakan salah satu sarana silaturahim di Aceh. Mereka akan saling bertukar informasi terkini di sana. Jadi jangan heran kalau kedai kopi menyebar di begitu banyak titik.
Yahya membawa motor sambil mengerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia semakin larut menikmati kegiatan para warga yang tampak Harmoni. Sampai tiba-tiba matanya menangkap sebuah kegaduhan. Seorang kakek yang berlutut dengan seorang gadis muda menangis disebelahnya. Yahya memperlambat laju motornya. Ia melihat sekilas dengan tetap terus berjalan berusaha untuk tidak peduli.
“Ya Rabb… Kalau begini kakek mempermalukan Iqlima. Ima malu kek… Hiks Hiks… Ima maluu… Ayo kita pulang… Ima mohoon” Sayup-sayup suara gadis muda itu terdengar.
Mendengar suara seperti mengiba memanggil nurani Yahya untuk menghentikan motor yang sudah 20 meter meninggalkan lokasi. Ia memutar-balikkan motornya. Membuka kaca helm yang ia kenakan.
“Mbak mbak…”
“Ya?”
“Itu ada ribut-ribut apa ya? Kok ga ada yang bantu melerai?” Tanya Yahya heran pada salah satu warga yang melewatinya.
“Oh itu... Kakek yang sedang berlutut itu meminta pada tuan rumah untuk mau menerima cucunya sebagai menantu. Tapi tuan rumah menolak mentah-mentah. Ah, Kakeknya memang begitu, suka menawarkan cucu yatim piatunya pada laki-laki mana saja agar mau dinikahi. Pemandangan begitu sudah biasa bang! Sudah ga heran lagi. Kalau dibantu, nanti kakeknya malah marah dan memukul pakai tongkat. Jadi warga sudah tidak ingin berurusan dengan kakek itu. Kakeknya sendiri sudah agak pikun! Sering kumat!” Terang warga bergidik. Yahya terenyak.
“Kek, ayo kek… Hiks hiks…” Iqlima masih mengiba. Sayang, Kakek tidak juga beranjak dari tempatnya.
“Diam!! Kamu mau jadi perawan tua yang tidak laku?! Betoi-betoi Aneuk bangai, Hana tusoe droe (Benar-benar anak dungu tidak tau diri)! Huk Huk Huk” Bentak kakek dengan suara keras. Yahya bisa melihat ada darah yang mengalir dari kaki sang kakek. Sepertinya beliau berjalan jauh tanpa menggunakan alas.
“Iya, Tapi kita pulang dulu kek,,,” Iqlima mengusap airmata yang berhamburan. Hatinya terasa sakit Tapi ia tidak punya pilihan. Tangannya mencoba menarik lengan kakek agar mau beranjak. Apa daya, kakek tetap bersikukuh berlutut.
“Pulanglah kek, sudah saya katakan.. Iqlima tidak pantas untuk Hilman. Seribu wanita seperti Iqlima mampu Hilman dapatkan. Sebaiknya kakek pulang saja!” Ucap Ampon Din. Tangannya menunjuk ke arah jalan mengusir dengan angkuh sambil merendahkan Iqlima.
Entah mengapa melihat apa yang terjadi hati Yahya merasa iba. Pemuda tersebut melangkah mendekati mereka. Ia mengambil sapu tangan dari kantong celananya.
“Maaf ya kek!” Ucap Yahya.Ia hendak mengikatkan sapu tangannya ke kaki kakek yang mengeluarkan darah. Namun Kaki tersebut terlihat hitam. Sudah kapalan dan kotor terkena sapuan tanah secara terus menerus. Tanpa ada rasa jijik, Yahya sedikit membersihkannya sebelum mengikatkan sapu tangan tersebut. Iqlima dan warga desa terenyak.
“Sss siapa kamu?!” Bentak kakek terbata.
Plakkkk.
Kakek mengayunkan tongkat kayunya memukul lengan Yahya dengan kekuatan penuh.
“Awwww” Iqlima dan para gadis di sana memekik ngilu. Namun pemuda ini masih bergeming santai. Ia masih saja meneruskan aktifitasnya membalutkan sapu tangan ke kaki kakek yang terluka. Lalu Yahya mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu ke telinga kakek. Orang tua tersebut tersenyum dan tampak melunak seketika.
Tak menunggu lebih lama, tangan kekar Yahya langsung mengangkat tubuh kakek ala bridal, lalu mendudukkan orang tua tersebut ke atas motor dan memegangnya. Iqlima dan segenap warga yang menyaksikan, mematung melihat aksi Yahya.
“Halo.. Kamu cucunya kan? Dimana rumah sakit terdekat? Kaki ini bisa infeksi jika tidak diobati” Tanya Yahya tiba-tiba.
“Eh ya… Hmh Di desa ini ada nya hanya puskesmas. Lurus saja ke sana. Kurang lebih 500 meter belok kanan, lalu bapak akan menemukan perempatan, di perempatan itu belok ke kiri. Jalan terus sampai 300 meter lagi, kalau menemukan sebuah pohon asam yang besar, belok lagi ke kanan. Nanti bapak akan melihat persawahan. Lalu….”
“Ah sudah sudah! Ribet! Kamu naik saja ke atas motor, pegang kakekmu. Tunjukkan dimana puskesmasnya!” Titah Yahya. Lalu ia naik ke atas motor. Sadar bangkunya sempit, Yahya pun beringsut ke depan memberikan jarak yang lebih lapang untuk penumpang. Dalam hati Yahya memohon agar Allah berkenan memudahkan mereka.
Menumpangkan dua orang dalam keadaan darurat, Yahya membawa motornya perlahan. Meninggalkan Ampon Din, dan warga desa yang tadinya hanya menonton Iqlima tanpa melakukan apapun. Merekahanya melihat seperti menyaksikan sebuah pertunjukkan.
“Aku belum pernah melihat pemuda itu. Siapa dia?” Bisik seorang gadis dengan mata berbinar. Dalam diam, Mereka seperti menemukan seorang idola baru.
***
Puskesmas Krueng Lamkareung
Yahya mengambil kursi roda dan membawa kakek ke dalam ruangan dokter setelah Iqlima selesai melakukan pendaftaran.
"Bagaimana dok? " Tanya Yahya pada dokter umum yang bertugas.
"Melihat lukanya, Saya harus merujuk bapak ini ke rumah sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh. Sebab saya menemukan tanda-tanda adanya gula darah yang tinggi. Kita harus memeriksakan darah beliau ke Lab. Dikhawatirkan beliau memiliki Diabetes" Terang dokter.
"Saya minta surat rujukannya dok! Saya akan membawa kakek saya ke sana! " Ucap Iqlima cepat. Hatinya berubah tidak karuan. Dokter mengangguk.
"Sebentar, Aku akan menelpon teman ku untuk membawa mobil ke sini! Kita akan membawa kakek bersama" Tawar Yahya.
"Tidak usah pak! Di depan sini banyak becak. Saya bisa menyetop nya. Maaf sudah sangat merepotkan. Terima kasih banyak. Hanya Allah yang mampu membalas semua kebaikan bapak! " Sahut Iqlima. Ia menggerakkan kepala ke bawah tanda hormat. Yahya berpikir sejenak.
"Hmh baiklah... kalau memang begitu yang kamu inginkan. Aku permisi! "
"Tu...Tunggu! "
"Ya? " Yahya menoleh.
"Boleh tau siapa nama bapak? "
Yahya mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
"Ini kartu namaku. Kalau butuh bantuan, hubungi saja aku di nomor tersebut! " Yahya menyodorkan kartu namanya. Iqlima membaca nama yang tertera di sana. Yahya El Fawwaz Zakaria. Gumamnya pelan.
Yahya berbalik.
"Ah... Hmh satu lagi... Panggil saya Yahya atau Mas Yahya. Saya masih cukup muda untuk di sebut bapak! Okay, dik Iqlima?"
Ragu-ragu, perlahan Iqlima mengangguk. Kali ini Yahya benar-benar berbalik. Bergerak menjauh meninggalkan Iqlima yang terpana. Gadis ini dengan cepat mengejar, Ia mengintip Yahya dari balik jendela Puskesmas. Yahya tampak mempesona dengan motor matic-nya.
***
Yuk Dukung karya ini dengan Like, Komen, Vote dan berikan hadiahnya... Terima kasih 😇😇😇
IG: @alana.alisha
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!