NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Luna 2

Hari Penuh Duka

Hari berkabung bagi Luna, setelah menyelesaikan prosedur kepergian Giselle di rumah sakit, dia lanjut mempersiapkan pemakaman untuk Giselle.

Luna bersimpuh di atas pusara Giselle, kini prosesi pemakaman gadis malang itu sudah selesai.

"Kamu yang tenang di sana, ya. Kamu wanita yang baik, aku tidak akan pernah melupakanmu sebagai saudariku, aku akan sering datang ke sini untuk menjengukmu," lirih Luna meneteskan air mata, seraya menaburi mawar di atas makam yang masih baru itu.

"Ayo Onty, kita kembali ke rumah sakit," ajak Luna.

Mommy Delia mengangguk, lalu mengucapkan salam perpisahan untuk Gisselle. "Maafkan onty ya, Sayang. Selama ini onty salah menilaimu, kamu benar-benar gadis yang baik. Semoga kamu tenang di sisiNya, dan bisa bertemu dengan saudara laki-lakimu. Onty pamit dulu ya, Sayang."

Mommy Delia mengusap nisan Giselle, lalu bangkit berdiri. kemudian kedua wanita itu pun beranjak meninggalkan area pemakaman.

***

Rumah Sakit Healt Medical Centre.

Mereka tiba di rumah sakit, wajah Luna tampak kelelahan dengan kantung mata yang membengkak, karena tidak tidur semalaman.

Dua orang wanita itu bergabung dengan keluarga yang lainnya. Semua orang di sana tampak cemas menunggu kabar dari dokter, yang sedang memberikan penanganan untuk Gio.

Selang setengah jam kemudian, dokter Alya mendatangi mereka setelah selesai memberikan penanganan.

"Bagaimana keadaannya, Al?" Daddy Lucas langsung berdiri dan bertanya dengan tidak sabar.

"Tenanglah, tarik napasmu pelan-pelan, aku akan menjelaskannya," sela dokter Alya.

"Dia akan baik-baik saja, meskipun harus menjalani perawatan yang cukup lama. Beberapa sistem saraf di tubuhnya rusak akibat radiasi dari ledakan tersebut, yang semakin diperburuk karena dia juga menjadi bulan-bulanan siksaan Julian. Aku tidak meragukan Gio bisa sembuh, hanya saja aku khawatir dia akan mengalami depresi saat menjalani terapi yang sangat panjang."

Dokter Alya kembali menambahkan. "Untuk itu, selain menjalani terapi untuk penyembuhan fisik, dia juga membutuhkan seorang fsikolog yang mampu menstimulasi pikirannya agar dia bersemangat untuk sembuh. Dalam hal ini orang tercinta akan berpengaruh besar untuk membuatnya terus bersemangat. Kalian juga harus bersabar, karena Gio pasti tidak akan mudah menerima kondisinya yang sekarang."

Apa yang dikatakan dokter Alya sangatlah masuk akal. Tidak ada orang yang akan berlapang dada begitu saja, saat mengetahui dirinya akan menjalani kehidupan seperti mayat hidup.

Belum lagi remediasi masalah kesehatan, yang harus dilakukan secara continue. Semua itu pasti akan membuat sesorang merasa jenuh, karena harus menghabiskan hari-harinya di rumah bersama seorang terapis.

"Kira-kira berapa lama penyembuhannya?" tanya daddy Lucas.

"Enam bulan adalah kemungkinan tercepat," jawab dokter Alya.

Tangan Daddy Lucas mengepal saat mendengar putranya harus menderita dalam waktu yang sangat lama. Dengan mata berkilatan dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut.

"Kau mau ke mana?" tanya ayah Brian.

"Memberikan siksaan untuk Julian!" jawab Daddy Lucas dingin.

Ayah Brian berdiri, lalu mengikuti perginya daddy Lucas.

Luna berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri dokter Alya. "Dokter, apa aku boleh menemui Gio?"

Dokter Alya mengangguk. "Silakan!"

Luna memasuki ruang rawat, dia mendekati Gio. Pria itu terbaring lemah di atas brankar, Luna tersenyum pilu melihat keadaan pria yang sudah beberapa kali menjadi penyelamatnya itu.

Luka luar yang dialami Gio cukup parah. Selain karena ledakan, Gio juga menderita memar di sekujur tubuh, wajah tampannya tampak menyedihkan akibat siksaan dari Julian.

Melihat keadaan Gio yang seperti ini, membuat Luna sangat marah. Dia memutar tubuh lalu beranjak keluar.

"Kau mau ke mana, Lun?" Mommy Delia yang ingin masuk, berpapasan dengan Luna yang ingin keluar.

"Menyusul uncle Lucas dan uncle Brian, membalaskan apa yang dilakukan Julian pada Gio!" sahut Luna dingin.

Mommy Delia menggelengkan kepala sembari menahan bahu Luna.

"Tidak perlu, Lun. Biar para pria itu yang melakukan tugasnya, kita di sini saja!" cegah mommy Delia.

"Tapi aku ingin sekali meremukkan pria bajingan itu!" Luna menggeram, ada dendam yang kini menguasai pikirannya.

"Gio lebih membutuhkan kita di sini, Lun. Apa kamu tidak ingin berada di sini saat Gio terbangun nanti?" bujuk mommy Delia dengan lembut.

Luna menoleh ke arah brankar, di sana Gio masih belum siuman. Pihak medis memang membiusnya total, saat memberikan penanganan tadi.

"Baiklah, Onty," sahut Luna pelan.

Mereka kembali mendekati brankar Gio, mommy Delia menatap Gio dengan mata berkaca-kaca, dia sangat sedih melihat kondisi putranya yang tampak mengenaskan.

"Lun, kita istirahat dulu, ya. Tubuh onty sudah sangat lelah karena belum tidur sejak semalam," ajak mommy Delia.

"Onty istrahat saja, biar aku di sini jagain Gio, nanti kita bisa bergantian," saran Luna.

Mommy delia menggangguk, matanya masih menatap sedih ke arah Gio. Selang beberapa saat barulah wanita paruh baya itu menjauh dari sana. Dia menuju bed yang disediakan bagi keluarga pasien, dia ingin beristirahat barang sebentar.

Luna duduk di samping brankar Gio, tak lama kemudian dia pun tertidur dengan kepala bertumpu pada brankar, karena saking ngantuknya.

Gio perlahan mengerjapkan mata, efek dari bius yang sudah habis membawanya kembali terjaga.

Matanya melirik ke samping, dia tersenyum tipis saat melihat Luna terlelap di sampingnya. Gio berusaha untuk menyentuh Luna, sayangnya dia tidak memiliki kemampuan untuk sekedar menggerakkan tangannya.

Sekuat apa pun Gio mencoba, dia tetap gagal. Dia lantas mencoba untuk duduk, tapi tidak berhasil.

Gio bergerak gelisah, saat menyadari tubuhnya benar-benar Lumpuh. Tangan, kaki, dan organ tubuh lainnya tidak bisa ia gerakkan.

"Me-nga-pa aku seperti ini? Aku tidak mau lumpuh!" Gio menjerit sekeras yang ia mampu, tapi bagi orang lain teriakan itu terdengar sangat kecil dan terputus-putus.

Luna yang mendengar suara Gio, lantas membuka membuka matanya.

"Kamu sudah bangun, Gi." Rona bahagia memancar dari wajah Luna, diiringi senyum haru yang ikut terlukis di bibirnya.

"Mengapa aku seperti ini, Luna? Mengapa tubuhku tidak bisa digerakkan?" Suara Gio terdengar begitu frustasi.

"Tenanglah, kata dokter ini hanya sementara, kau pasti akan sembuh seperti sedia kala, tapi kau harus bersabar!" bujuk Luna pelan.

"Tidak, aku tidak mau menjadi mayat hidup!" Gio kembali mengerang tertahan.

Luna yang tidak tahu harus berbuat apa, segera berdiri dari tempat duduknya. "Sebentar, Gi. Aku panggilkan dokter untuk menjelaskan keadaanmu."

Luna melangkah dua kali, dia menekan tombol alarm yang ada di samping brankar, lalu kembali duduk di tempat semula.

"Kamu harus sabar, Gi. Apa yang kau alami tidak permanen, kamu akan sembuh seperti sebelumnya. Kamu harus semangat untuk sembuh Gi, ingat kamu itu adalah pahlawan bagi onty Delia, aku, dan juga Gisele," bujuk Luna sambil menatap Gio dalam-dalam.

"Giselle, di mana dia? Katakan dia berhasil diselamatkan, Lun!"

Gio masih mengingat jelas saat Giselle menjadikan dirinya sebagai tameng, andai saja Gio mampu menggerakkan tubuhnya waktu itu, dia pasti tidak akan membiarkan Giselle mengorbankan diri. Karena dia sendiri sedang mengenakan rompi anti peluru.

"Mengapa kau diam, Lun? Bagaimana keadaan Giselle?"

Bersambung.

Jangan lupa tinggalkan like, vote dan komentarnya, ya.

Terimakasih.

Aku Tidak Butuh Belas-kasihan

"Mengapa kau diam, Lun? Bagaimana keadaan Giselle?"

Luna menghela napasnya dalam-dalam, sejenak memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan kepada Gio.

"Giselle baik-baik aja, Gi. Dia sudah sudah tenang sekarang," jawab Luna pelan.

Gio menatap Luna lekat-lekat, mencoba mengartikan ucapan Luna yang mengatakan Giselle sudah tenang.

"Apa maksudmu Giselle sudah ...." Gio bahkan itu tidak sanggup untuk menyelesaikan pertanyaannya.

Dan satu anggukan pelan dari Luna, membuat Gio tahu tebakannya benar.

Gio memejamkan mata, dia merasa sangat berdosa karena tidak becus melindungi Giselle.

Sekarang gadis malang itu sudah pergi, sebelum dia berani menurunkan ego untuk meminta maaf, karena telah mengabaikan Giselle selama ini.

Egoisme yang membuat Gio menjauhi Giselle, padahal dia sendiri tahu gadis itu tidak bersalah. Selama ini Gio hanya mengingat lukanya sendiri, pikirannya terus menyalahkan Giselle. Karena dulu gadis itu terlalu meninggikan harga diri, sehingga tidak mau meminta bantuan darinya, yang akhirnya harus berakhir dengan mala-petaka.

Sekarang Gio lah yang menyesal, karena dia sendiri pun terlalu keras. Bahkan dia sekarang sudah tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf secara langsung.

Ingin rasanya Gio mengamuk, melampiaskan penyesalannya pada apa pun. Tapi apa daya, dia hanya bisa mengutuk tubuh sampahnya yang tidak berguna, tubuh itu sama sekali tidak bisa ia gerakkan.

Sesaat kemudian tim dokter datang, untuk memeriksa keadaan Gio. Luna memandangi dengan prihatin, pria yang sebelumnya tampan dan gagah itu, sekarang terbaring lemah tidak berdaya.

Luna melangkah menuju bed mommy Delia yang kini sudah terbangun.

"Kamu pulang saja, Lun. Kamu juga butuh istirahat," suruh mommy delia.

"Iya, Onty, setelah ini," sahut Luna. "Onty, bagaimana dengan penanganan kasus Julian, dan korban di kedua belah pihak?"

Mommy Delia tersenyum tipis. "Tenang saja, Lun. Mudah bagi kak Brian dan daddynya Gio untuk mengurus semua itu, tidak akan ada masalah. Dan mereka juga akan membuat Julian mati secara perlahan." jawab mommy Delia yang sorot matanya masih memancarkan dendam.

Luna bernapas lega, setelah itu dia kembali menemani Gio untuk berberapa saat, sebelum akhirnya pamit pulang.

***

Seminggu kemudian.

Kantor paraside fashion.

Rara memasuki ruangannya, dan milihat Luna yang murung, wajah sahabat itu tampak sangat tertekan.

Rara duduk di depan Luna, lalu menatap sahabatnya itu lekat-lekat. "Sekarang kau sudah sadar bahwa Gio itu berarti untukmu?"

"Iya, Ra." Luna mengangguk pelan.

Rara tersenyum sarkas. "Huh, sepuluh tahun kita berteman, tidak ada yang mampu mengubah pendirian seorang Luna. Tapi ternyata Gio mampu melakukannya."

Luna menggelengkan kepala, sebagai bantahan dari pernyataan Rara. "Tidak ada yang berubah dariku, Ra. Kecuali kenyataan bahwa Gio sudah begitu berarti untukku jauh sebelum kejadian ini. Bahkan dia sudah memiliki tempat di hatiku, jauh sebelum kami bertemu di pesta pernikahanmu."

"Hah?" Rara menautkan kedua alis matanya.

"Dia juga terlibat membantu kehidupanku di masa lalu, Ra. Ingat saat kita masih kuliah, dan aku bersembunyi di apartemenmu?"

"Iya, kau dikejar-kejar Julian, dan tiba-tiba saja pria bajingan itu masuk penjara," sahut Rara.

"Itu Gio yang memenjarakannya, karena masalah Giselle. Jadi secara tidak langsung Gio sudah membantuku bebas, sehingga aku bisa melanjutkan kuliah," sambung Luna.

Luna kembali menambahkan. "Belum lagi kisah cinta pertamaku yang pernah aku ceritakan padamu, yang ter ...."

"Jangan bilang itu Gio juga!" Rara memotong ucapan Luna.

Luna tersenyum geli, lalu menganggukkan kepala. "Dua kembar identik itu membuatku beberapa kali salah mengenali orang!"

Rara menghela napas panjang setelah mengetahui kenyataannya. Dia berdiri dari tempat duduknya lantas beralih ke meja kerjanya sendiri, lalu mulai disibukkan dengan tugasnya.

"Oh, ya, Ra. Untuk rencana akuisisi BC Group di Madrid, kapan rencananya?" Luna memecah keheningan saat mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Harusnya sih dalam minggu ini, kenapa Lun?"

"Ehmm, sepertinya aku tidak bisa ikut, Ra. Aku ingin menemani Gio di sini, aku ingin terus mensupportnya, dan semoga saja penyembuhannya bisa menjadi lebih cepat," jawab Luna.

"Tidak masalah, Lun. Nanti aku bisa meminta suamiku untuk menemani, sekalian kami bisa berbulan madu," ujar Rara sambil menyeringai penuh maksud.

Luna menaikkan bibir atasnya, entah mengapa sahabatnya itu menjadi agak mesum setelah menikah.

"Bulan madu apanya? Anakmu itu sudah besar!" cibir Luna.

"Itu tidak masalah, Lun. Bahkan pasangan yang tua sekalipun, masih sering pergi berbulan madu. Lagi pula Rio tidak akan ikut, dia baru saja berangkat ke N.Y bersama oma dan opanya tadi pagi," balas Rara.

Luna menggidikkan bahunya, entah seperti apa rasanya menikah, dia sendiri belum tahu. Jika nanti dia akan menikah, pasti Gio adalah pria yang akan menjadi suaminya. Hanya saja sekarang, sikap pria itu kepada Luna menjadi sedikit berubah, setelah musibah yang menimpanya.

Gio yang sekarang agak dingin, tidak ada lagi senyuman hangat darinya saat melihat Luna. Tapi Luna yakin semua ini hanya sementara, mungkin Gio menjadi seperti itu karena depresi dengan kondisi tubuhnya, pikir Luna.

Luna melirik jam di tangannya yang sudah mendekati tengah hari, dia buru-buru merapikan meja kerjanya, karena hendak pergi ke rumah sakit.

"Ra, aku ke rumah sakit dulu," pamit Luna yang diiyakan Rara.

***

Luna tiba di rumah sakit dengan menenteng kantong belanjaan, tadi dia sempat mampir untuk membelikan makan siang untuk Gio.

"Lun, kebetulan kamu datang. Onty titip Gio, ya. Onty harus pulang sebentar." Mommy Delia langsung berdiri saat melihat kedatangan Luna.

"Iya, Onty, biar aku yang menemani Gio," sahut Luna.

Mommy Delia meraih tasnya, lalu beranjak pergi dari sana setelah berpamitan.

Luna mendekat ke brankar Gio.

"Hai, Gi. Bagaimana kabarmu?" sapanya sembari mengembangkan senyum termanisnya.

"Seperti yang kau lihat, aku sudah mulai membaik, dan tanganku sedikt-sedikit sudah mulai bisa digerakkan. Kata dokter dua hari lagi aku sudah boleh pulang," sahut Gio tanpa ekspresi.

"Aku membawakan makanan untukmu," ujar Luna, lalu manaikkan posisi brankar Gio, membuat posisinya setengah duduk.

"Kamu makan dulu, ya. Aku suapin." Luna membuka bingkisan yang dibawanya.

"Aku belum mau makan, Lun. Nanti saja setelah mommyku kembali. Kau letakan saja di situ makanannya," tolak Gio.

Luna berbalik badan, seraya tersenyum tulus menatap Gio. Dia tidak ingin menyerah dengan penolakan tersebut.

"Ayolah, Gi. Kau harus makan, ya. Ini sudah siang, terlalu lama jika harus menunggu Onty, yang mungkin baru akan kembali satu atau dua jam lagi," bujuk Luna seraya mendudukkan diri di depan Gio.

"Aku tidak mau, Lun!" Gio kembali menegaskan penolakannya.

Selama dia sakit, Gio memang selalu menolak segala bentuk perhatian dari Luna. Kondisinya memang menyedihkan, tapi dia tidak butuh belas-kasihan dari orang lain, termasuk Luna. Apalagi Gio merasa sikap empati yang ditunjukkan Luna, hanyalah wujud dari rasa iba gadis itu, karena kondisinya yang seperti mayat hidup.

"Makan ya, Gi. Sedi ... kit, saja, please!" bujuk Luna seraya menyodorkan suapannya.

"Kalau aku bilang tidak, ya tidak, Luna! Jangan memaksa!"

Bersambung.

Jangan lupa terus berikan like dan komentar sebagai dukungan, ya.

Haruskah Aku Menyerah?

Gio menepis tangan Luna dengan kasar, hingga menyebabkan makanan yang ada di tangan Luna tumpah berserakan.

"Aku tidak butuh perhatian kamu, Lun. Pergi dan urus hidupmu sendiri! Aku masih bisa mengurus diriku sendiri!" geram Gio dengan sorot mata berapi-api.

Luna sangat terkejut dengan sikap Gio yang berubah menjadi kasar. Ke mana perginya Gio yang hangat dan menyenangkan? Memang Gio menjadi agak dingin setelah mengetahui dirinya menjadi lumpuh, tapi sebelumnya tidak pernah sekasar ini.

"Mengapa kau jadi seperti, Gi? Selama ini kita baik-baik saja, dan tidak ada masalah dengan pertemanan kita. Ayolah, jangan bersikap kekanak-kanakan," sahut Luna seraya membersihkan brankar Gio yang kotor akibat tumpahan makanan.

"Aku bilang aku tidak butuh perhatianmu, kau tidak perlu bersimpati karena aku cacat!" seru Gio lagi.

"Ada apa ini?" Aurellia yang baru datang dapat mendengar teriakan Gio, matanya memindai sekitar brankar Gio yang cukup berantakan.

"Kakak suruh wanita ini pergi, aku tidak butuh belas kasihnya! Aku masih memiliki keluarga yang bisa merawatku!" seru Gio dengan suara meledak-ledak.

"Gio ...." Aurellia menatap adiknya dengan tajam, membuat Gio memalingkan wajah dan kembali merebahkan diri di atas brankarnya.

Aurellia menghela napas dalam-dalam, dia tahu adiknya itu pasti depresi dengan kondisinya yang sekarang, dan mungkin butuh waktu untuk menerima keadaannya.

Meski begitu, adiknya itu adalah seorang pria dewasa, tidak ada pembenaran baginya untuk memperlakukan wanita dengan kasar.

"Luna, aku titip Aziel ya. Kamu bawa dia ke ruang tunggu," pinta Aurellia seraya menyerahkan bayi yang ada dalam gendongannya.

"Iya, Kak." Luna tersenyum lalu membawa anak bungsu Aurellia menjauh dari sana.

Luna tahu maksud Aurellia yang ingin bicara berdua dengan adiknya, dan tidak ingin Aziel yang masih berumur 7-bulan mendengar perdebatannya.

"Sejak kapan kau belajar membentak perempuan, Gi? Apa kau pernah mendengar daddy membentak mommy?" tanya Aurellia dingin, saat Luna dan Aziel sudah menjauh dari sana.

"Kau boleh frustasi dengan keadaanmu yang sekarang, tapi ingat! Kau tidak cacat permanen, kau hanya butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi fisikmu. Jadi kau tidak memiliki alasan untuk marah sama Luna, apalagi membencinya!" Aurellia menceramahi adiknya.

"Tapi aku tidak mau Kak, dia peduli padaku hanya karna aku sedang tidak berdaya, aku tidak mau dikasihani Kak!" Gio menyahut dengan suara rendah.

Bahkan di saat kondisinya sedang cidera parah, Gio masih tidak mau merendahkan harga dirinya, dia tidak mau terlihat lemah, apalagi di depan wanita yang selama ini diincarnya.

Aurellia berdiri dari tempat duduknya, dia merasa percuma terus berdebat dengan adiknya yang tengah emosi itu.

Dia beranjak menuju nakas untuk mengambil makanan, lalu kembali duduk di samping adiknya itu.

"Makanlah ... biar kakak yang menyuapimu!" Aurellia menyendok makanan dari piring lalu menyodorkan ke mulut Gio.

Kali ini Gio tidak menolak, dengan suka rela dia membuka mulut untuk menerima suapan dari kakaknya. Sebenarnya dia sudah lapar sejak tadi, hanya saja gengsinya terlalu tinggi untuk menerima kebaikan dari Luna.

Di ruang tunggu keluarga, Luna menimang Aziel dengan penuh kasih sayang. Senyum dan tawa bayi kecil yang baru berumur tujuh bulan itu mampu membuat moodnya kembali membaik, setelah pertengkaran dengan Gio tadi.

Melihat Aziel yang begitu menggemaskan, membuat Luna tersenyum sendiri. Di umurnya yang sudah menginjak ke 27-tahun, sudah sepantasnya dia memiliki keluarga kecil sendiri dan juga memiliki anak.

Lalu gilirannya kapan?

Luna menggelengkan kepala, dia tersenyum hambar mengusir pikiran tentang menikah dan punya anak yang terlintas di kepalanya.

Bagaimana mau menikah lalu memiliki anak, jika pasangan saja belum punya? Apa mungkin karena dia terlalu fokus pada karir? Rasanya tidak juga, dia hanya tidak mau membuka hati kecuali untuk pria yang sudah dicintainya sejak dulu.

Saat ini, dia sudah menemukan kembali pria yang dicintainya itu, tapi sayangnya pria itu tiba-tiba menjadi pemarah dan dingin.

"Lun, maafkan Gio ya, aku juga baru pertama kali melihat dia yang seperti sekarang" ujar Aurellia seraya mendudukkan diri di samping Luna.

"Aku mengerti, Kak. Mungkin dia sedang tertekan," sahut Luna sambil menyunggingkan senyum.

"Ya, mungkin dia butuh waktu untuk menerima keadaannya yang sekarang," tukas Aurellia.

Luna mengangguk, dengan membayangkan dirinya berada posisi Gio yang sekarang, sudah cukup membuat Luna paham akan kondisinya.

***

"Jadi tadi itu Gio marah-marah sambil bentak-bentak kamu gitu?" tanya Rara dengan nada tidak percaya, tapi satu anggukan dari Luna langsung membenarkannya.

Yang Rara tahu selama ini sepupu dari suaminya itu memiliki sifat ceria dan penyabar. Tapi apa yang diceritakan Luna barusan sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di pikirannya.

Sepulang dari rumah sakit Luna mengajak Rara untuk bertemu di sebuah cafe, dia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya itu.

"Kalau kamu nggak terima dengan sikap dia, kamu tinggal menjauh aja. Kamu juga jangan tenggelam sama masa lalu Lun. Sekarang aja umur Rio udah mau lima tahun, masa ontynya belum nikah juga, masih banyak lagi yang mau sama kamu," saran Rara.

Luna tertawa hambar mendengar saran yang tidak masuk akal dari Rara. Jika dia meninggalkan Gio sekarang, sama saja dia adalah wanita yang tidak tahu terima kasih. Sudah berapa kali pria itu membantunya secara langsung maupun tidak langsung.

"Ya nggak sesimple itu juga, Ra. Kamu sendiri tahu gimana hidup aku dulu, aku nggak mungkin bisa lanjut kuliah kalau Gio nggak ngejeblosin Julian ke penjara. Yang lebih buruk mungkin saat ini aku sedang menjadi budaknya Julian. Dan sekarang, lagi-lagi Gio yang mengorbankan diri untuk menyelamatkan aku dari Julian, jadi nggak mungkin aku ninggalin dia di saat seperti sekarang," sanggah Luna.

"Tapi ini masalahnya bukan tentang kamu yang tidak tahu balas budi apa enggak. Gionya sendiri yang nggak terima keberadaan kamu, gimana kamu mau balas budi coba?" terang Rara.

"Entahlah ...." Luna menggidikkan bahu. "Oh, ya. Apa persiapan untuk ke Madrid udah selesai?"

Luna sengaja mengalihkan topik ke masalah pekerjaan, dia ingin melupakan sejenak sikap Gio tadi, agar tidak membuat moodnya semakin memburuk.

"Sudah Lun, Wina yang mengurus dokumen keberangkatan, dan juga mencarikan tiket pesawat," jawab Rara.

"Aku yakin jika kita mengelola BC Group dengan baik, maka kita bisa mengembalikan nama besar brand mereka. Itulah sebabnya aku begitu antusias agar kita mengakuisisinya," ujar Luna dengan penuh optimisme.

Rara mengangguk setuju, mereka terus membahas bisnis yang membuat mood Luna kembali membaik. Namun, semua itu hanya berlangsung selama di cafe itu saja.

Sepulang dari cafe tersebut pikiran Luna kembali menjadi kacau mengingat Gio. Dia ingin berada di samping Gio, menemaninya di titik terendah. Tapi sayangnya pria itu tidak ingin menerima empati darinya.

'Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan.' Luna bermonolog sendiri sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Bersambung.

Dear Readers, maaf beribu maaf upnya terbengkalai, sebelumnya dari pihak noveltoon aku diminta untuk fokus sama satu novel dulu, makanya selama ini aku lebih fokus up novel "Jadi Janda Karena Berondong"

Berhubung novel itu beberapa bab lagi akan tamat, jadi sekarang aku mulai bisa up novel ini lagi.

Terimakasih, selamat membaca ya😊😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!