NovelToon NovelToon

Putra Raja (Season 1&2)

episode 1 My Best Friends (sudah Revisi)

PENGUMUMAN!

BILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, RAS, SUKU, ATAU KELOMPOK TERTENTU, ITU HANYA KEBETULAN YANG TIDAK DISENGAJA.

Ini hanyalah cerita fiksi fantasi yang aku ciptakan sendiri dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya di dunia nyata. Kalaupun ada kejadian yang sama, semua itu semata-mata hanya kebetulan tanpa ada maksud apapun. Tujuanku menulis cerita fiksi fantasi ini, hanyalah untuk menghibur saja, tidak lebih dari itu.

Putra Raja adalah karya pertamaku. Mungkin pemakaian bahasanya masih amburadul dan juga membosankan. Tapi untuk episode 20 an ke atas, itu sudah mulai seru.

Sedang dalam tahap Revisi pelan-pelan.

mohon dimaklumi jika bab awal-awal ceritanya sama sekali tidak menarik. Serunya baru di bab pertengahan terutama di episode 20 an ke atas. Terimakasih.

******

"Kembalilah, Sayang ... Ayah mohon!" ujar ayah padaku, wajahnya terlihat sendu.

"Tidak Ayah, hidupku terasa hampa jika tidak ada ibu di sisiku," sahutku. Sejujurnya aku tidak tahu ada di mana aku sekarang dan kenapa aku mengatakan hal itu pada ayahku.

"Kita pasti bisa melaluinya bersama, Sayang ... Ayah tidak bisa menemanimu bila kau ada di sini ... kakakmu sendirian di sana. Ayo! kita pergi sekarang!" ayah mengulurkan tangannya.

"Biarkan aku tinggal di sini, Ayah ... aku mohon ... aku ingin sendiri. Aku ingin merasakan kenangan ibuku di sini, di tempat kelahiran ibu." Aku tetap teguh pada pendirianku.

"Tapi ... Bagaimana bisa ayah membiarkanmu tinggal di sini seorang diri?"

"Ayah tidak perlu khawatir, ibu mengajariku banyak hal. Mungkin ibu tahu, bahwa saat seperti ini akan tiba. Aku bisa menjaga diriku sendiri, Ayah. Aku akan kembali, jika waktunya sudah tiba."

"Sampai kapan kau akan berada di sini, anakku ... jangan membuat Ayah semakin bingung dengan keputusanmu ini?"

"Aku akan kembali jika aku sudah bisa menerima kepergian ibuku dan menemukan jati diriku yang sebenarnya. Itulah keputusanku, Ayah ... aku harap Ayah bisa mengerti."

Itulah kata-kata terakhir yang aku ingat saat ayahku semakin pergi menjauh. Raut mukanya yang suram membuatku semakin bersalah atas keputusan yang sudah ku ambil.

"Maafkan aku Ayah, aku janji akan kembali ...." gumamku.

***

Aku terbangun dari mimpi. Wajah Ayahku yang sedih terlintas lagi di pikiranku. Aku melihat alarm yang berdering keras memekikkan telinga. Segera kumatikan alarm itu dan bersiap-siap untuk pergi karena aku ada janji yang harus kutepati dengan teman-temanku.

Pagi itu kami berkumpul di rumah Mia untuk menonton film Taiwan yang kami suka setelah selesai mengerjakan tugas sekolah.

Mia, Yua, Nura, serta aku. Kami berempat menghabiskan liburan bersama untuk menghilangkan rasa bosan. Jalan-jalan di tempat yang indah, mengambil gambar, selfie, tertawa bahagia dan banyak lagi yang kami lakukan sembari melepas rasa penat. Saling meledek adalah kebiasaan kami, dan itu menjadi hiburan yang menyenangkan bagi kami.

Banyak orang bilang masa SMA adalah masa yang menyenangkan. Itu memang benar. Kau menghabiskan waktu bersama teman-temanmu yang berharga. Berbagi cerita mengenai orang yang kau suka atau nge-fans dengan artis-artis yang tidak mungkin bisa kau temui. Itulah sekilas tentang persahabatan kami dengan berbagai sifat dan karakter masing-masing. Yua yang sedikit tomboy dan cantik, Mia yang humoris dan Nura sang ratu narsis. Mereka semua adalah teman-temanku.

Di sinilah kini aku tinggal. Tempatku berada saat ini adalah tempat yang membuatku penasaran akan seseorang yang menghabiskan separuh hidupnya di sini. Seseorang yang sangat kurindukan ... seseorang yang mencintaiku dan menyayangiku ... seseorang yang berharga bagi hidupku, belahan jiwaku, dan tidak akan pernah terganti dengan siapapun. Orang itu adalah orang yang melahirkanku, dia ... ibuku.

Di lingkungan inilah tempat ibuku berasal, dan sekarang aku ingin menghabiskan masa remajaku untuk hidup dan merasakan apa yang menjadi kehidupan ibuku di masa lalu. Di sini, aku mulai merasakan kebahagiaan yang mungkin dulu juga dirasakan ibuku. Punya sahabat, sekolah, lingkungan menyenangkan yang mungkin tidak bisa kudapatkan di negara asalku.

Aku meninggalkan lintas negara hanya demi bisa kembali merasakan kebahagiaan bersama kenangan ibuku. Karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku ingin bersama ibuku selamanya. Tapi aku tidak bisa menyusulnya. Karena dunia kami berbeda. Karena itulah aku di sini ... sendiri, tanpa ayah dan kakakku.

Keputusan yang kuambil ini tidaklah mudah. Banyak hal sulit lain yang harus kulalui sendirian, tapi aku berhasil melaluinya, bahkan disaat usiaku masih belia.

Aku memutuskan tinggal sendiri di tempat ibuku dilahirkan. Tempat ini diapit oleh gunung, bukit, dan pegunungan yang tak kalah indah dengan negara Jepang atau negara-negara di Eropa lainnya. Meski di pedesaan, tempat ini juga tak kalah menarik dengan perkotaan, karena desa ini juga banyak terdapat tempat pariwisata yang eksotis dan menakjubkan.

Itulah kenapa aku betah berada di sini. Aku merasa aman dan nyaman, terutama saat bersama dengan teman-temanku. Merekalah yang mewarnai hari-hariku. Mereka juga yang selalu peduli padaku. Mereka, bagaikan keluarga bagiku.

"Ini film kesukaan kalian." aku mengeluarkan kaset DVD terbaru yang baru ku beli dari kota.

Mereka semua melihat judul film dan para pemainnya. Aku membiarkan mereka mengamati kaset itu sementara aku bergelut dengan beberapa tugas-tugas sekolahku.

"Aku heran, bagaimana bisa kau mendapatkan kaset ini? Apa sudah ada yang menjualnya di sini?" tanya Mia.

"Mmmmm ... itu ...." Aku tidak tahu harus bicara apa, karena aku tidak mungkin bicara yang sebenarnya. Kaset itu ku beli saat perjalanan ke Gramedia untuk membeli beberapa buku yang kubutuhkan di kota Surabaya.

Kota itu sangat jauh dari sini. Mereka pasti berpikir tidak mungkin aku ke sana Sorang diri meski faktanya, aku memang bisa. Aku bisa pergi kemanapun aku suka dengan menyembunyikan identitas asliku dari teman-temanku.

"Ada saudara yang membawakannya untukku." akhirnya aku berbohong.

"Ahhh ... aku salut sama kamu, bisa dapat kaset ini dengan mudah." Nura mengambil kaset itu sambil tersenyum senang. "Bagaimana kalau kita putar saja kaset ini sekarang?"

"Hei! Tugasmu sudah selesai, kah?" tanya Yua.

Diantara kami berempat, hanya Yua yang bersikap lebih dewasa dibandingkan Mia dan Nura. Mereka berdua kekanak-kanakan dan kerap kali bertengkar, apalagi mengenai hal-hal yang tidak penting.

"Tentu saja dia belum selesai!" Sela Mia. "Otaknya kan tertinggal di saku, akan sangat sulit baginya menyelesaikan tugas ini seorang diri."

"Apaan sih kamu, Mia?"

"Emang betul, kan? Diantara kita berempat cuma kamu yang masuk kelas IPS. Itu membuktikan kalau cuma kau yang idiot di sini!" ledek Mia meski ia hanya bercanda. Tak ada bedanya kelas IPS ataupun IPA. Semua sama saja.

"Diam kau gendut! Aku memang lebih suka jurusan IPS dibandingkan jurusan IPA yang membosankan."

"Oh iya? Bukannya karena kau tidak pandai berhitung dan menghafalkan rumus?"

"Bukan begitu ...."

"Sudahlah! Kalian berdua jangan berantem terus. Kapan selesainya tugas ini?" aku berpaling pada Nura.

"IPA atau IPS sama-sama penting bagi kita semua." Aku mencoba menengahi perdebatan mereka. "Tidak ada yang bodoh ataupun pintar di sini. Sebaiknya kerjakan dulu tugasmu Nura, kalau tidak ... jangan harap bisa melihat kaset ini lagi!" Aku merebut kembali kaset yang di bawa Nura dan menyerahkannya kepada Mia selaku tuan rumah di sini.

Tentu saja Nura jadi cemberut berat. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengerjakan tugasnya demi bisa melihat lagi film kesukaannya.

"Kau kejam sekali, Fey!" ujar Nura kesal.

Aku tidak menghiraukan ocehan Nura. Aku juga tidak ada maksud untuk membuatnya kesal. Namun, ini adalah hari terakhir kami libur. Jadi, mau tidak mau semua tugas yang diberikan guru harus selesai hari ini juga.

"Kenapa kita cuma dikasih libur tiga hari?" Keluh Yua sambil menempelkan lem kertas manila untuk tugas Prakarya.

"Itu karena anak kelas sembilan ujiannya cuma tiga hari." Jawabku santai sambiĺ mengamati tugasku. "Hadeuhhh ... apa yang harus aku tempel di kertas ini? Membingungkan sekali!"

Aku merasa kesulitan mengerjakan tugas yang satu ini. Kami harus menghasilkan sebuah karya dengan menggunakan berbagai macam media untuk dijadikan sebuah gambar yang menarik. Gambar itu juga harus dikerjakan dikertas manila yang ukurannya empat kali lipat lebih besar dari ukuran buku gambar A3.

"Kau belum menggambar apapun?" tanya Yua yang karyanya sudah separuh jalan.

Aku menggeleng. "Karena itulah aku ke sini ... untuk mendapat inspirasi."

"Kau yakin hanya aku yang belum selesai di sini?" Sindir Nura. Ia dan Mia mengerjakan tugasnya di ruang tamu. Sedangkan aku dan Yua lebih suka di teras depan.

"Aku lebih mending bila dibandingkan denganmu yang tugasnya masih setumpuk gunung itu. Urus urusanmu sendiri!" sengalku.

Nura melengos saja dan kembali fokus dengan tugas-tugasnya.

"Kau yakin kaset ini aku yang bawa?" Tanya Mia

Aku mengangguk.

"Kau yakin tidak ingin melihatnya sendiri di rumah?"

Aku menggeleng. "Aku lebih suka melihatnya di rumahmu."

"Apa kau mau setiap hari ke sini?"

Aku menggeleng lagi. "Tidak. Aku akan ke sini jika kalian ingin melihatnya bersama. Tempat ini nyamaaaannn sekali kalau dibuat nobar."

"Ku pikir kau juga suka film ini, makanya kau meminta saudaramu membawakannya. Bagaimana kalau dia mencarinya?"

"Dia tidak akan mencarinya. Kaset itu milikku sekarang, dan aku tidak begitu suka drama. Aku memberikannya karena kalian semua suka drama itu."

"Kau yakin?" Tanya Nura. "Ku kira kau mengidolakan seseorang dari aktor-aktor drakor itu."

Aku hanya tersenyum. Teman-temanku mungkin penasaran denganku. Tapi aku tahu mereka cuek dengan apapun yang ku pikirkan. Kelebihan dari mereka adalah tidak suka ikut campur urusan orang lain. Cuek is the best adalah simbol mereka. Begitu juga denganku. Kami bisa berteman, karena memiliki karakteristik yang sama meski sifat dan kriteria kami berbeda.

Sebenarnya, aku pernah melihat para aktor dan aktris Korea maupun Taiwan melakukan syuting film mereka sewaktu aku tinggal di Jepang dulu. Mereka memang luar biasa dan sangat profesional. Para artisnya bisa menghipnotis penggemarnya dengan drama yang romantis maupun komedi atau action, horor dan jenis genre lainnya.

Bagiku, menyaksikan proses suatu film dengan film yang sudah dirilis sangatlah berbeda.

Mereka melakukan suatu adegan seolah-olah sedang bermain dan bercengkerama dengan sesama anggota kru yang terlibat dalam film yang mereka kerjakan saat syuting film atau drama berlangsung. Semua orang biasa menyebutnya 'di balik layar'.

Saat berada dibalik layar, mereka bercanda dan tertawa ketika mereka berakting suatu adegan romantis, menakutkan, atau menyedihkan.

Penonton dibuat menangis dan baper dengan filmnya sehingga banyak yang nge-fans dengan kelihaian akting mereka. Sementara hal itu hanyalah sandiwara. Itulah yang membuatku merasa lucu jika aku harus melihat film yang sebelumnya sudah ku ketahui seperti apa proses syutingnya.

"Kau sudah dapat inspirasi?" Yua membuyarkan lamunanku.

Aku menatap lurus ke pekarangan. "Baru saja dapat!" Sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalaku.

Aku turun dari teras dan melangkah ke taman yang ada di pekarangan rumah Mia. Aku memerhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman itu. "Apa aku boleh memetiknya?" Tanyaku pada Mia.

"Ambil saja!" teriak Mia. Ia lagi sibuk melihat film yang baru kupinjamkan untuknya.

Diantara kami, hanya dia yang paling rajin. Semua tugas pekerjaan rumah bisa ia selesaikan hanya dalam waktu sehari.

Selain itu, Mia juga punya kepribadian yang rapi. Rumahnya yang sederhana terlihat asri dan indah bila dibandingkan dengan rumahku yang bagai kapal pecah. Entah berapa kalipun aku merapikannya, tetap tidak akan bisa serapi rumah Mia. Karena itulah kami semua betah bermain di sini. Meski jika tidak ada tugas sekolah, setiap hari libur, kami pasti datang kemari untuk menghabiskan waktu bersama.

"Kau tidak marah jika aku memetik semuanya?" tanyaku pada Mia.

"Kau mau berikan bunga itu untuk siapa? Kekasihmu?" bukannya menjawab, Mia malah balik bertanya padaku.

"Apa maksudmu? Aku hanya ingin membuat karya, bukan untuk siapapun."

"Ambil saja ... kenapa kau selalu gugup setiap kali aku menyebut kata kekasih, apa benar kau tidak punya?"

"Apa kau pernah melihatku dengan kekasihku?"

"Kurasa tidak ... kita kan geng jomblo sejati! hehe ...."

Pertanyaan Mia mengganggu pikiranku. Ada banyak rahasia dalam diriku yang tidak diketahui oleh siapapun. Kecuali keluargaku sendiri. Jika ada yang tahu aku punya kekasih, maka siapa aku yang sebenarnya akan terungkap. Aku berharap itu tidak terjadi apalagi dalam waktu dekat ini.

Saat sedang asyik mengamati bunga yang akan kujadikan objek karyaku, tiba-tiba seseorang menghampiriku dan bertanya padaku tentang sebuah alamat yang kebetulan saja, aku mengenal tempat itu.

"Permisi, boleh bertanya sebentar?" tanya seseorang itu dari balik punggungku.

****

yang ingin tahu visual Refald dan juga yang lainnya, bisa cek igku. seperti yang ada di bawah ini.

visual Refald

Visual Fey

episode 2 Volvo Silver (sudah revisi)

Aku memerhatikan penampilan cowok itu. Lumayan keren. Ia memakai hem putih polos yang melekat sempurna ditubuhnya dengan paduan celana jins yang menambah kesan kasual dalam dirinya. Aroma tubuhnya yang wangi mengalahkan wangi bunga yang kupegang saat ini. Sekilas aku memerhatikan cowok ini. Sudah jelas dia bukan berasal dari sini, ia juga tidak datang sendiri. Ada orang lain di dalam mobil volvo silver yang terparkir rapi di pinggir jalan tepat di depan rumah Mia.

"Ada banyak nama Vila Cahaya di sini, tapi lokasi alamat ini bukan di sini, ini beda desa." aku mengamati kertas berisikan alamat yang cowok itu berikan padaku.

"Entahlah ... kami hanya mengikuti google maps dan petunjuk itu mengarah ke sini.” Cowok itu mengamati sekitar rumah Mia.

“Kau tidak sadar? Kau sudah tersesat!” aku melihat mobil volvo silver yang ada di belakang cowok ini. Mataku tertuju pada orang yang duduk di balik kemudi.

Seseorang yang ada di dalam mobil itu memerhatikan kami. Aku sangat yakin ia sedang melihatku, dan entah kenapa aku merasa aku juga pernah melihatnya, tapi aku tidak ingat kapan dan di mana.

"Apa kalian baru di sini?”tanyaku penuh selidik.

“Iya, kami baru sampai kemarin dan langsung ke sini. Tempat ini sangat asing bagi kami. Hanya google maps petunjuk kami. Tidak kusangka aku tertipu olehnya, dan aku baru tahu aplikasi ini bisa menyesatkan.”

“Hei ... jangan bercanda? Kau tidak bisa menyalahkan aplikasi? Kau yakin kau sudah menuliskan alamatmu dengan benar?" entah kenapa aku merasa anak ini lucu sekali. Dasar bule nyasar!

“Aku tidak tahu ... temanku yang yang menulisnya, aku hanya ikut saja.”

“Orang yang duduk di dalam mobil itu?” aku menunjuknya dengan daguku.

Cowok itu menoleh ke belakang. “Iya, dia ... apa ... kau mengenalnya?”

"Tidak! Aku baru bertemu kalian pertama kali di sini, mana mungkin aku mengenalnya," jawabku sambil tersenyum.

Cowok itu manggut-manggut. Entah ia mengerti atau tidak, aku tidak begitu peduli. Apalagi orang ini adalah orang asing bagiku. Kalau dilihat dari logat bahasanya, sepertinya ia berasal dari luar negeri yang baru belajar bahasa Indonesia.

“Baiklah ... keluar dari gang ini lurus ke depan sampai dipersimpangan jalan utama. Lalu belok kiri dan terus ikuti jalan utamanya. Akan ada banyak sekali jalan berliku yang turun naik, terus saja. Nanti ada jalan menurun dan belokan tajam dekat sisi jurang yang bekelok-kelok jalanannya. Tidak ada jalan menanjak lagi. Lokasi Vila itu ada di belokan tajam itu. Tepatnya di sebelah kiri kalau berangkat dari sini. Jaraknya kurang lebih sekitar 5 km dari sini. Kalau lebih dari itu, berarti kalian tersesat lagi.”Aku memberitahu di mana lokasi vila itu berada.

“Aku agak sedikit bingung ...." ujarnya sambil garuk-garuk kepala setelah mendengar penjelasanku.

"Ikuti saja jalan utamanya begitu keluar dari gang ini," ucapku agak kesal.

Sudah dijelaskan panjang lebar begitu, masih saja belum mengerti. Dasar bule menyebalkan! batinku.

"Baiklah terimakasih ... kau berkata jujur, kan?”

“Kau meragukanku?”orang ini lumayan mengesalkan sekali.

“Bukan begitu ... kalau google maps saja bisa salah bagaimana aku bisa percaya pada orang asing yang baru saja kutemui.”

“Terserah ... aku sudah membantumu. Mau percaya atau tidak, itu terserah kamu.”

Cowok itu tidak menjawab. Ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.

“Benar-benar menjengkelkan. Dasar bule aneh!” aku menggerutu sambil melihat mobil itu berlalu.

“Ada apa?" tanya Yua saat aku duduk didekatnya. “Siapa dia?”

“Orang yang tersesat, dan sangat menjengkelkan! Harusnya kusesatkan saja tadi!” wajahku jadi merah karena terkena paparan sinar matahari di tambah dengan suasana hatiku yang sedang kesal.

“Mobilnya keren!“

“Iya! Kau benar, itu mobil volvo yang kusukai dan suatu hari nanti aku ingin sekali memilikinya.”

“Kau mimpi terlalu tinggi!” Yua tersenyum. “Kenapa kau suka mobil seperti itu?”

“Mobil itu sama seperti milik Edward.”aku tersenyum membayangkan kalau suatu hari ada Edward sungguhan datang dan mengajakku naik ke dalam mobil Volvonya.

“Apa? Edar siapa?”tanya Yua.

“Bukan edar ... EEEDDD-WWWAAARRRD! Novel dan film kesukaanku!”jawabku kesal.

“Twilight?” Yua menepuk jidatnya. "Kau penggemar fanatik juga rupanya.”

“Aku berbeda dengan mereka berdua!” aku menunjuk Nura dan Mia yang asyik menonton drakor dengan daguku. "Aku hanya suka mobil yang dikendarai Edward di film itu, menurutku itu keren!”

“Kau benar. Tunggu! Berarti mereka yang tadi itu ... baru datang dari luar negeri? Tidak ada yang punya mobil itu di sini.”

“Sepertinya begitu, aku tidak bertanya?”

“Ahhh ... harusnya kau bertanya. Aku sempat melihat pria yang ada di mobil itu, lumayan tampan juga. Untung Mia dan Nura tidak lihat, kalau mereka melihatnya pasti heboh dan bikin malu kita?”

“Kau benar, tapi aku tidak terlalu tertarik untuk tahu siapa mereka. Mungkin jika tadi Mia dan Nura tahu, mereka pasti bakal berteriak ‘Haduhhh ... mereka ganteng sekaliiii ....’!” Aku menirukan gaya genit mereka saat mengatakan kalimat itu.

Mia tertawa melihat tingkahku. “Kau benar. Mereka berdua selalu bertengkar. Tapi dalam hal cowok. Mereka satu selera. Ganteng menurut mereka belum tentu bagi kita!”Yua terkekeh begitu pula aku.

Kami berdua melakukan tos khas kami. Tidak banyak perbedaan diantara aku dan Yua. Kami punya kriteria orang yang disukai. Meski kriteria kami juga sangat berbeda sebenarnya. Yua lebih menyukai cowok ala preman, bandel, dan arogan. Menurutku, menyukai cowok semacam itu bukanlah hal yang biasa dan tidak mudah dilakukan.

Tidak banyak orang yang tahan berpasangan dengan cowok semacam itu, tapi Yua berbeda. Dia memang luar biasa. Sayangnya, hanya ada satu orang di sekolah kami yang masuk kriteria Yua, yaitu 'Epank’ anak IPA 2 teman sekelas Mia. Hanya saja, si Epank sudah punya pacar dan lebih parahnya lagi adalah pacar Epank itu teman sekelas kami sendiri ‘Via’.

Karena tidak mau merusak persahabatan kami, Yua harus menyimpan perasaan itu dalam-dalam. Sebagai sahabat yang dekat dengan Yua, aku hanya bisa memberikan dukungan dan semangat supaya dia melupakan Epank dan mencari penggantinya. Memang tidak mudah melupakan cinta pertama. Tapi juga tidak mudah menyakiti hati teman sendiri demi rasa egois karena cinta.

Sampai saat ini, belum ada sosok yang bisa menggantikan Epank dalam hati Yua. Sebagai sahabatnya, aku selalu berdoa yang terbaik untuk Yua. Semoga suatu hari nanti, ia mendapatkan cinta sejatinya. Itulah sedikit kisah kriteria Yua yang ia inginkan.

Berbeda denganku, aku suka cowok yang biasa saja, yang penting dia pandai dan bisa membuatku tertawa. Aku sangat benci dengan cowok yang jail dan suka mengganggu orang lain. Kebanyakan, semua teman-teman sekelas kami bertingkah seperti itu. Mereka benar-benar kekanak-kanakan.

Dengan kata lain, aku lebih suka cowok yang lebih dewasa dariku. Itulah kriteria cowok yang kusuka. Sayangnya, tidak ada cowok yang seperti itu di sekolah kami.

Aku melanjutkan mengerjakan hasil karyaku. Begitu juga dengan Yua. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan karya ini. Bunga-bunga dan daun dari berbagai jenis kucelupkan di berbagai macam warna dan kutempelkan di kertas manila.

Hasilnya, sangat menakjubkan. Cepat dan praktis. Hanya membutuhkan waktu lima menit. Setelah itu tinggal menunggu kering untuk melepaskan bunga-bunga dan daun-daun itu dari kertas agar terbentuk sempurna.

“Selesai, akhirnya ....”aku menatap bangga hasil karyaku sendiri. Yua mengamati hasil kinerjaku dan dia takjub juga melihatnya.

“Karyamu bagus sekali! Dari mana kau dapat ide menggambar seperti itu? Aku saja belum selesai dan ini ribet sekali. Kenapa tidak terpikirkan olehku idemu itu?”

Aku tersenyum, aku jadi merasa bangga pada diriku sendiri.

“Kau memang punya bakat seni, tidak salah kalau pak guru merekomendasikanmu untuk sekolah seni di Yogja. Apa nanti kau mau ambil jurusan itu?"

Senyumku menghilang mendengar pertanyaan Yua. “Aku tidak tahu. Aku belum memutuskan, lagi pula itu masih lama.”

“Aku iri padamu! Kau punya banyak sekali bakat. Kau pintar matematika dan IPA. Kau punya masa depan yang cerah.”

Aku hanya diam. Sungguh aku tidak tahu bagaimana masa depanku, karena setelah lulus SMA nanti mungkin aku tidak akan ada di sini lagi, dan teman-temanku tidak ada yang tahu itu. Mereka bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa kami hanya berteman sejak SMP karena berada di satu sekolah yang sama.

Kami menjadi lebih dekat sejak kami memasuki sekolah SMA yang sama lagi. Setiap hari kami berangkat dan pulang bersama. Kami juga mengikuti kegiatan ektrskurikuler yang sama. Intinya kami selalu bersama-sama.

"Aaahhhhh kenapa membosankan sekali.” Mia melekukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sepertinya ia sudah selesai melihat filmnya.

 

“Kau sudah selesai?” tanyaku.

“Belum! Tapi aku sedang bosan. Kenapa aku tidak punya pacar! Setiap hari aku terjebak dengan kalian! Tidak adakah orang yang menyukaiku? Menembakku? Apa aku tidak cantik? Aku sempurna, bukan?”

“Ku kira hanya Nura yang narsis,ternyata kau lebih parah?”ujarku.

“Aku kurang apa coba? Kenapa aku tidak punya pacar diusiaku saat ini. Teman-teman kita yang lain sudah punya semua!”

“Kau kurang menarik!” sahut Nura dari dalam dan masih betah dengan filmnya.

“Aku tidak bicara denganmu!”

“Kau bicara pada kami?” tanya Yua mulai menggoda.

“Menurutmu?”

“Kurasa kau mulai terkontaminasi film yang kau lihat sehingga jadi baper seperti ini. Apa salahnya menjomblo? Bukankah itu mengasyikkan? Kau tidak harus tertekan dengan sebuah hubungan. Punya pacar jauh lebih membosankan dari pada yang kau rasakan sekarang.”Aku mulai mengutarakan pendapatku.

Yua setuju denganku. Ia mengacungkan jempolnya tepat dihadapanku.

“Apa kau pernah punya pacar? Kau sangat paham sekali?”

“Kenapa bertanya lagi? Kau sudah menanyakannya tadi, kau lupa? Aku sudah menjelaskannya. Haruskah kujelaskan sekali lagi?”

“Tidak usah. Mungkin kau benar. Aku terlalu baper. Tapi aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya punya pacar.”

“Apa yang kau bicarakan? Jalani saja, semuanya pasti bakal indah pada waktunya.”

“Kau yakin?”

“Tentu saja. Kau tidak?”

 

Mia tampak ragu, tapi ia membenarkan kata-kataku. “Baiklah! Kita semua punya kesamaan. Sama-sama masih jomblo. Jika salah satu diantara kita ada yang punya pacar, maka orang itu harus mentraktir kita semua, dan kitalah yang menentukan traktiran apa yang diinginkan!”tantang Mia.

Semua sepakat setuju dengan usulan Mia. Termasuk juga aku. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyetujuinya juga.

“Baiklah. menurutmu siapa diantara kita yang bakal punya pacar duluan?” tanya Yua.

“Aku!” sahut Nura dari dalam.

“Urus filmmu itu!” Teriak Mia dengan kesal. “Dasar ratu narsis! Dia pikir dia menarik?" kami semua tertawa melihat wajah Nura cemberut lagi mendengar kata-kata Mia yang agak sedikit pedas di dengar.

"Aku tidak yakin ...." lanjut Mia. "Diantara kita berempat yang paling tinggi, putih dan berwajah lumayan adalah kau dan Yua. Pasti aku yang terakhir karena punya fisik dan wajah yang pas-pasan.”Mia mulai melantur lagi.

“Siapapun dia, kita harus bahagia. Kenapa kau sedih? Kau tidak suka bila ada temanmu yang terlebih dulu punya kekasih? Bukankah itu pelanggaran?” tanya Yua.

“Mia, jangan menilai sesuatu hanya dari fisiknya saja. Kita semua berteman. Jika teman kita bahagia kita semua juga harus ikut bahagia. Tidak ada wanita yang sempurna di dunia ini. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kau sendiri juga jago banget bikin puisi. Siapapun yang membaca puisimu pasti langsung jatuh hati padamu!”aku menyemangati Mia.

Semuanya membenarkan ucapanku, dan tiba- tiba saja aku teringat sesuatu.

“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Titip kertas ini, yah! Kalau sudah kering, tolong masukkan ke dalam rumahmu. Besok pagi kuambil.”aku buru-buru merapikan tasku.

“Kau mau ke mana?”tanya Yua bingung dengan tingkahku.

“Kerumah nenekku. Dia sedang sakit aku ingin menjenguknya.”

“Kau mau aku ikut bersamamu?” Yua menawarkan diri.

“Tidak usah, aku bisa ke sana sendiri!”

“Mendadak sekali!”

“Aku baru ingat!”

“Dasar! Sepertinya tidak butuh waktu lama buatmu untuk menjadi nenek-nenek karena sifatmu yang pelupa,”sindir Mia.

Aku hanya tersenyum mendengar omelan Mia. "Kau sendiri juga tidak butuh waktu lama untuk menjadi emak-emak karena sering mengomeli teman-temanmu!"

Aku buru-buru membereskan perlengkapanku dan tanpa sengaja jariku tergores cutter.

“Kau tidak apa-apa? Kau ini benar-benar ceroboh sekali!” Mia bertindak cepat dan langsung mengoleskan salep luka ditanganku agar darahnya berhenti keluar.

“Aku tidak apa-apa. Sudahlah ini hanya luka kecil.” Aku melanjutkan beres-beres. "Kalau ada yang ketinggalan tolong simpankan untukku, oke! Besok kuambil.”

“Hati-hati di jalan dan jangan ngebut!” ucap Yua.

“Simpan nasihat itu untuk dirimu sendiri! Kaulah yang suka ngebut.”

“Aku tidak ngebut! Itu hanya cepat!”

“Apa bedanya?”

“Itu berbeda!”

“Bagiku itu sama! Baiklah aku pergi dulu. Tebengin Nura pulang, ya!”

“Aku lebih ikhlas kalau dia pulang sendiri jalan kaki.”

Aku tersenyum mendengar jawaban Yua. Temanku yang satu itu memang suka sekali menjahili Nura.

“Kau tega padaku? Kejam kau!” sahut Nura. Walaupun dia fokus dengan filmnya, dia bisa menyimak pembicaraan kami.

Kami semua tersenyum dan aku langsung pamit. "Sampai ketemu lagi, bye!" ujarku.

BERSAMBUNG

****

episode 3 Insiden (sudah revisi)

Tidak butuh waktu lama untukku sampai di rumah nenekku. Dari sini, hanya memakan waktu 25 menit kalau berkendara dengan kecepatan sedang.

Aku harus bergegas! Aku benar-benar lupa kalau nenekku sedang sakit. seruku dalam hati.

Tadi pagi sebelum berangkat ke sini, Rio memberitahuku lewat telepon. Namun, tugas dan janjiku pada teman-temanku juga penting. Jadi, aku memutuskan menemui mereka lebih dulu, baru setelah itu aku bermaksud menjenguk nenekku.

Selama diperjalanan aku selalu memikirkan kondisi nenek. Di rumah nenek, hanya ada Rio dan pengasuh yang biasa mengurus nenek. Rio adalah adik sepupuku yang ibunya juga sudah meninggal. Sama sepertiku. Saat ini, Rio mungkin sedang mencari kayu bakar untuk persediaan di rumah.

Desa tempat nenekku tinggal diapit oleh banyak gunung dan perbukitan sehingga hawanya menjadi sangat dingin. Semua penduduk desa menggunakan perapian untuk menghangatkan tubuh ketika berada di dalam rumah. Tidak heran jika kebanyakan dari mereka mencari kayu bakar di hutan jika ada waktu senggang seperti yang dilakukan Rio sekarang. Itulah sekilas tentang desa nenekku.

Aku ingin menambah kecepatan motorku agar bisa cepat sampai di rumah nenek. Tapi mobil volvo di depanku membuatku menunggu. Aku tidak bisa menyalipnya karena jalanan di sini sempit dan banyak sekali tikungan tajam. Salah prediksi sedikit saja bisa menimbulkan kecelakaan. Karena itu, aku harus lebih berhati-hati.

"Apa yang mereka lakukan di sini? Kenapa dari tadi mereka belum juga sampai?" Aku menggerutu sendiri.

Aku menunggu kesempatan untuk mendahului volvo ini. Sungguh lamban sekali.

"Apa mereka baru belajar menyetir? Bagaimana aku bisa sampai dalam 25 menit kalau jalannya seperti ini?" gumamku dengan gemas dan cemas.

Aku tidak sabar ingin segera menyalip mereka meski aku tidak yakin apakah aku bisa. Saat ada jalan lurus sebelum tikungan berikutnya, aku berusaha menyalip dan tidak kusangka, ternyata aku berhasil. Aku tidak percaya motor scoopyku bisa menyalip sebuah volvo.

Aku sungguh suka mobil itu! Kuharap suatu saat, aku bisa menaikinya.

Aku menambah kecepatanku dan hampir sampai masuk ke desa tempat nenekku tinggal. Dari kejauhan, aku melihat ada seorang anak laki-laki yang sedang membawa tumpukan kayu dipunggungnya. Aku langsung mengenali siapa anak itu.

“Naiklah! Akan kubantu kau membawanya?" aku berhenti disamping anak laki-laki yang tidak lain adalah Rio, sepupuku.

“Kau yakin?”tanyanya.

“Tentu!” Aku memarkir maticku di pinggir jalan dan turun dari motor untuk membantu Rio menaikkan tumpukan kayu itu di atas motor.

“Sejak kapan kau pergi? Bagaimana dengan kondisi nenek?”tanyaku pada Rio.

“Satu jam yang lalu. Nenek baik-baik saja. Dia sedang tidur saat kutinggalkan tadi,”jawab Rio santai.

Setelah selesai menumpukkan semua kayu itu ke atas matic, Rio mengikatnya dengan kuat supaya tidak jatuh saat di bawa. Sialnya, saat kami siap untuk berangkat pulang, tiba-tiba ada genangan air yang menyembur di tubuh kami. Penyebabnya ternyata pengendara mobil yang sepertinya sengaja melewati genangan itu agar airnya menyiram tubuh kami.

Tentu saja aku syok dan kaget. Seketika kami berdua seperti di guyur tumpukan lumpur yang sangat kotor. Rio berteriak penuh amarah dan aku langsung menghantamkan kayu yang terjatuh ke arah belakang kaca mobil yang ternyata, mobil itu adalah volvo silver yang kutemui tadi.

Kaca belakang mobil itu pecah karena hantaman kayu dariku. Mobil itu berhenti seketika. Pemiliknya keluar dengan wajah emosi.

Dia bukan cowok yang menanyaiku alamat sewaktu di rumah Mia tadi, itu berarti dia adalah temannya yang duduk di balik kemudi. Cowok itu menghampiriku dan aku siap menghadapinya. Rio sudah mau maju tapi aku menghalanginya. Meski aku seorang cewek, aku tidak takut dengan cowok yang angkuh seperti dia.

"HEEEEIIII!” teriaknya di depanku. Aku tak gentar sedikitpun bahkan terkesan menantangnya. “Kau gila? Kau tahu apa yang kau lakukan?”bentaknya.

Aku maju selangkah didepannya. Sekarang jarak kami berdua hanya 10 cm. Dia memang lebih tinggi dariku, tapi bukan berarti aku takut padanya.

“081335467823!” ucapku dengan tatapan tajam.

“Apa maksudmu!”

“Itu nomor teleponku. Kirim nomor rekeningmu dan akan kutransfer biaya ganti rugi kaca mobilmu yang kupecahkan!”tantangku.

“Kau ...!" cowok itu terlihat sangat geram saat melihatku. Aku tidak butuh uangmu! Beraninya kau! Untung kau cewek, kalau tidak ... kau pasti ....”cowok itu tidak melanjutkan kata-katanya.

"Pasti apa? Lagian kau yang salah. Kau sadar apa yang sudah kau lakukan? Kau bahkan tidak minta maaf. Aku tahu kau sengaja melewati genangan itu. Apa masalahmu padaku?”ganti aku yang marah.

“Kau menuduhku? Itu salahmu sendiri. Siapa suruh kau berhenti di situ?”

Aku benar-benar emosi kali ini, tapi aku berusaha menahannya. Aku teringat kalau saat ini, nenekku sedang ada di rumah sendirian.

Rio menghampiriku. Dia mengajakku pergi dan tidak ingin memperpanjang masalah ini, dan aku mengerti. Saat aku berbalik badan, cowok itu menahan lenganku. Spontan aku langsung menghempaskannya.

“Apa yang kau lakukan?”bentakku.

“Kita belum selesai!”geramnya.

“Sudah kuberikan nomerku dan aku mau bertanggung jawab. Tidak sepertimu. Pengecut!”umpatku to the poin.

“Apa? Pe ... pe, apa? Kau mengataiku apa??”

“Aku berani bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Tidak sepertimu yang tidak mau mengakui kesalahan. Apalagi kau seorang cowok. Bukankah pantas kalau kau kusebut dengan sebutan 'pe-nge-cut'?”ejaku.

Cowok itu terlihat sangat kesal dan marah, tapi aku tidak peduli. Dia mendekat ke arahku, sangat dekat. Tepat di depan hidungku. Ingin sekali kutarik jaket merah menyala itu dan kuhantam dia ke lantai. Tapi aku menahan kuat keinginanku itu.

Ini desa nenekku, dan aku tidak mau membuat keributan di sini.

“Jika aku pengecut seperti yang kau bilang. Aku sudah menghajarmu dari tadi. Tapi kau hanya seorang cewek. Aku tidak mau mengotori tanganku dengan memukulmu!”ujarnya sambil menatapku tajam.

“Tapi kau baru saja memegangku!” aku men-skak-nya. Aku tetap tegar menghadapi intimidasinya. “Kurasa, kau harus mencuci tanganmu tujuh kali dengan air bersih dan satu kali dengan tanah supaya kau tidak terkena penyakit rabies!”

Cowok itu mundur dan bingung dengan ucapanku, dan matanya terus saja mengamatiku dari atas hingga bawah.

“Hafalkan nomerku tadi. Aku akan bertanggung jawab penuh bahkan jika kau akan melaporkanku ke polisi. Tapi satu hal yang harus kau ingat. Aku juga bisa menuntutmu atas perlakuan tidak menyenangkan yang telah kau lakukan terhadap kami. Baju ini yang akan menjadi bukti!”

Cowok itu tertegun seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Namun, aku tidak peduli dengan apa yang dipikirkannya. Aku hanya menunjukkan bahwa jika dia menyerangku, aku juga bisa menyerangnya balik.

Aku balik badan dan bersiap untuk menyalakan motorku. Sampai tiba-tiba, seekor banteng tak diundang datang melewatiku dengan kencang dan berlari menabrak cowok itu. Dia langsung tersungkur tanpa bisa menghindar.

Kejadian itu begitu cepat sehingga untuk syok saja tidak akan cukup. Lengan cowok itu terluka dan mengeluarkan banyak darah. Banteng yang sudah menubruk cowok itu, juga berbalik arah dan siap-siap menyerang cowok itu lagi.

Cowok itu tahu gelagat banteng tersebut dan langsung bangkit berlari kearah banteng tadi datang. Ia melewatiku tanpa bicara apapun. Dengan wajah tegang dan syok, ia berlari sekencang-kencangnya.

Rio sangat panik dan bersembunyi di balik tumpukan kayu. Dia menarikku yang juga masih tertegun dengan apa yang baru saja kami lihat.

Banteng itu melewati kami lagi, berarti ia hanya mengejar cowok itu. Dan aku tahu alasannya. Dia ... cowok itu memakai jaket merah. Warna merah adalah warna yang paling tidak disukai banteng, dan banteng itu mencoba mengejar targetnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Rio panik.

“Cepat lapor kepala desa dan cari bantuan. Aku harus menolong cowok itu!”

“Kau benar, dia lari ke arah yang salah! Di sana adalah tempat ....” Rio dan aku saling menatap.

Aku menyerahkan kunci motorku pada Rio lalu berlari mengambil jalan pintas menyusul ke arah banteng dan cowok itu pergi.

Pemikiran kami berdua sama. Cowok itu ... Dia berlari ke arah kawanan banteng.

Di balik bukit, ada padang safana tempat habitat para banteng hidup. Penduduk desa tidak berani datang ke sini. Mereka tidak bisa membunuh banteng-banteng yang ada di sini karena mereka adalah salah satu binatang yang dilindungi.

Selama aku berada di desa ini, tidak pernah ada banteng yang menyerang penduduk desa. Itu karena kepala desa menghimbau agar tidak memakai baju warna merah selama mereka tinggal di desa ini. Karena desa ini lokasinya sangat dekat dengan habitat banteng.

Aku tidak mengenal cowok ini. Siapa dia, darimana dia berasal, aku sama sekali tidak tahu. Tapi kini, dia sedang dalam bahaya dan aku tidak bisa berdiam diri. Jika tidak sampai tepat waktu, kerumunan banteng itu bisa saja membantainya hidup-hidup.

Ini merepotkan sekali, kenapa harus aku yang menyelamatkannya. Bahkan aku ragu apakah aku bisa tepat waktu.

Aku berlari dan terus berlari sampai akhirnya aku tiba di padang safana tempat habitat para banteng berada berkat melewati jalan pintas yang sering kulewati dengan Rio saat membantunya mencari kayu bakar. Aku mencari-cari di mana keberadaan cowok itu berharap tidak ada sesuatu hal yang buruk.

Tidak lama, 50 meter dari tempatku berada, dia muncul sambil terus berlari. Kawanan banteng yang sedang berada di padang safana sepertinya juga mulai melihatnya. Bodohnya, cowok itu tidak tahu dengan apa yang menanti di hadapannya karena terlalu fokus pada salah satu banteng yang mengejarnya.

Aku berlari sekencang mungkin. Banteng yang mengejar cowok itu semakin dekat. Sedangkan kawanan Banteng yang ada di hadapannya juga mulai bersiap menyerang.

Itu pasti karena jaketnya! Gawat! Aku memerhatikan cowok yang sedang dikejar-kejar banteng.

Sepertinya, ia kelelahan berlari, tangannya bersandar di batang pohon dan napasnyapun tersengal-sengal. Sementara banteng yang ada dibelakangnya tanpa henti berlari ke arahnya untuk menabraknya lagi.

Aku meloncat ke arah cowok itu tepat sebelum banteng itu menabraknya. Kami berdua jatuh terguling ke bawah tanpa bisa berhenti. Beruntung ada pohon besar malang melintang menghadang kami, punggung cowok ini menabrak pohon itu sehingga kami bisa berhenti berguling, tapi kerumunan banteng itu masih mengejar kami. Aku bergegas melepas jaket yang dipakai cowok itu.

“Apa yang kau lakukan? Kau tidak punya moral?”teriaknya marah.

“Apa yang kau bicarakan? Lepaskan jaketmu!”

“Kenapa aku harus melepasnya? Kau mau memperkosaku?”

“Disaat seperti ini kau sempat punya pikiran kotor seperti itu?”Aku terkejut ia menuduhku yang bukan-bukan. Padahal aku bermaksud menolongnya.

“Kau manabrakku dan menyuruhku melepas jaketku! Bagaimana mungkin aku tidak berpikiran kotor?”

“Aku hanya ingin menyelamatkanmu! Lepaskan jaket itu sekarang!”Aku jadi ikut emosi juga.

“Tidak! Aku tidak mau? Kau tahu? Ini jaket limited edition!”

“Nyawamu juga limited edition! Kau tidak akan bisa mendapatkan nyawamu kembali di toko yang lain. Lepaskan! Kita tidak punya waktu lagi?”

“Kenapa?”

“Jaket itulah alasan kau dikejar banteng itu!”jelasku. Sungguh aku gemas sekali dengan cowok ini.

“Jaket ini?”tanyanya bingung.

"Kau tidak tahu? Banteng membenci warna merah! Harusnya kau tahu itu! Bodooh!”aku sungguh kesal padanya.

“Kau meneriakiku?”cowok itu malah protes.

“Tidak ada waktu lagi! Kau ingin kita berdua mati?” aku melepas paksa jaket yang dikenakan cowok itu dan melemparnya jauh- jauh tepat ketika gerombolan banteng itu mulai dekat dengan kami.

Tentu saja kawanan banteng itu langsung berbelok arah mengejar jaket yang sudah kulempar jauh ke dalam hutan sehingga banteng itu tidak mengejar kami lagi. Aku terduduk lesu, tapi juga lega, karena untuk sesaat aku sempat berpikir hidupku bakal berakhir di sini gara-gara cowok bodoh ini.

Aku mengamati hutan yang ada di sekeliling kami. Tidak ada siapa-siapa di tempat ini. Cowok ini juga sedang terluka. Kami tidak bisa lama-lama di sini karena tempat ini merupakan tempat habitat para binatang buas yang dilindungi. Aku juga harus segera mencari bantuan supaya luka cowok ini bisa segera diobati.

Aku melihat cowok menyebalkan itu masih tertegun saking paniknya. Kejadian barusan pasti juga membuatnya syok berat, ditambah tangannya sedang terluka akibat serangan banteng tadi.

Aku mengeluarkan salep di sakuku yang tidak sengaja terbawa saat aku berada di rumah Mia tadi. Salep itulah yang Mia gunakan untuk mengobati lukaku saat tanganku tak sengaja tergores cutter.

Mungkin aku harus menggunakan salep ini untuk mengobati lukanya sebelum bertambah parah.

Aku menarik lengan tangan cowok itu yang terluka. Kali ini dia diam saja tanpa bicara apa-apa. Aku mencari beberapa lembar daun disekelilingku yang biasa kugunakan mengobati lukaku saat mencari kayu bakar. Tanaman itu ada disemua rumput yang tumbuh di hutan ini. Dan beruntung, tanaman itu tepat berada di sebelahku. Aku memetiknya beberapa helai dan kuoleskan diluka cowok itu sebelum memakaikan salep.

Ia mengerang kesakitan. “Arrrhhhhgggg ... Apa ini!”tanyanya.

“Diamlah cengeng! Daun ini sama seperti Betadine. Aku mengoleskannya supaya lukamu tidak terinfeksi jika kau biarkan lama terbuka. Saat ini kita berada di hutan, bukan di rumah sakit. Hanya ini yang bisa dilakukan untuk pertolongan pertama!”terangkumasih sambil fokus mengobati lukanya.

Cowok itu tidak protes meski aku mengatainya cengeng. Mungkin karena lukanya memang terlalu sakit. Sejauh ini dia selalu berteriak setiap kali aku bicara. Dia benar-benar payah sebagai cowok.

Aku memerhatikan lukanya. Setelah beberapa menit, daun itu kubuang dan kuoleskan saleb obat luka. Aku merobek bagian kaos yang kupakai untuk membalut lukanya supaya darahnya tidak keluar lagi.

“Lukanya sedikit dalam dan panjang, sepertinya butuh dijahit. Aku khawatir kalau tidak segera di rawat akan bertambah parah. Sebaiknya kita cepat meninggalkan tempat ini. Di sini banyak sekali binatang buas."

Tidak ada jawaban. Saat aku melihatnya, dia sedang menatapku. Kali ini dia tidak terlihat emosi ataupun marah. “Kenapa melihatku begitu?”tanyaku bingung.

“Kenapa kau menolongku? Kau bisa saja membiarkanku mati di sini.”

Aku berpikir sejenak sambil terus membalut lukanya dengan sobekan bajuku. "Aku sendiri juga tidak tahu. Pertanyaanmu juga sama dengan yang kupikirkan saat tiba-tiba berlari ke sini. Aku bahkan takut jika tidak tepat waktu. Aku tidak tahu siapa dirimu? Kau bahkan membuatku kesal dengan insiden genangan air yang membuatku kotor seperti ini, dan sekarang aku jauh lebih kotor lagi!”aku menertawai diriku sendiri yang lebih mirip Tarsan.

Aku melihat badanku sendiri dan pasrah dengan apa yang terjadi. “Lihat aku ... orang-orang akan menganggapku gelandangan jika melihatku seperti ini.”Aku berdiri setelah selesai membalut luka cowok ini dan mulai mencari jalan pulang. “Kau mau tetap di sini?”tanyaku karena cowok itu tak bergeming dari tempatnya.

Sepertinya cowok itu masih syok. Ia diam tanpa bicara apa-apa lagi. “Aku ... aku kesulitan bangun ....” ucapnya lirih.

“Astaga ....” aku kembali kearahnya setelah beberapa langkah.

Aku menarik lengannya supaya ia bisa berdiri dan membantunya berjalan. Aku mencari kayu sebagai tongkat agar ia lebih mudah melangkah.

Kami sampai di jalan utama desa setelah kurang lebih satu jam berada di tengah hutan. Semua penduduk tiba dan menyongsong kedatangan kami. Teman cowok ini yang tadi menanyaiku alamat juga langsung berlari ke arah kami. Ia langsung mengambil alih tugasku dan menggantikanku memapah cowok itu berjalan. Semua warga juga membantunya.

Rio juga langsung menghampiriku. “Apa kau baik-baik saja?” ucapnya sedikit khawatir.

“Iya. Aku tidak apa-apa.”

“Syukurlah, harusnya aku tidak meninggalkanmu sendiri.”

“Sudahlah tidak apa-apa. Situasinya genting saat itu. Kau mengambil langkah tepat dengan segera mencari bantuan.”

“Kau terlihat lelah. Biar aku yang menjelaskan semua kejadian ini, kau pulanglah dan jaga nenek. Maaf maticmu kutinggalkan di rumah sebab tidak ada yang menjaga jika kubawa ke sini, karena kami tadi mau ke hutan menyusulmu.”

“Tidak apa-apa. Aku pergi dulu.”aku menepuk pelan bahu Rio.

“Kau berantakan sekali," ucap Rio sambil berlalu pergi.

Aku tertawa dan sepupuku itu berlari ke arah beberapa warga sedangkan aku berjalan memasuki desa. Aku sempat melihat cowok itu masuk ke dalam mobilnya.

Semoga ia baik-baik saja.

Aku berjalan pulang sendirian. Sementara beberapa warga berusaha mengamankan daerah ini supaya banteng tadi tidak bisa lagi masuk ke area ini dan menyerang warga lain. Aku mengeluarkan salep itu lagi dari sakuku. Tanpa sengaja aku melihat tulisan di salep itu yang ternyata bukanlah salep obat untuk luka. Melainkan ... lem perekat.

Aku panik dan langsung berlari menyusul mobil yang membawa cowok itu, berusaha memperingatkannya atas keteledoranku, tapi terlambat ... mobil itu sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa mengejarnya.

“Bagaimana ini? Dia memakai salep yang salah. Apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan lukanya? Astaga, aku bisa gila ... kali ini, matilah akuuuu ....!" aku memegang kepalaku dengan harap-harap cemas.

BERSAMBUNG

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!