Seorang wanita menunggu kekasihnya di taman dekat kantor di mana sang pria bekerja. Sabrina Suci, berusia 26 tahun. Hampir sejam dia menunggu, akhirnya pria itu datang juga.
"Mas, kapan kamu mau datang melamarku?" tanyanya penuh harap.
"Aku belum berbicara dengan orang tuaku," jawab Yudistira.
"Mengapa kamu belum berbicara? Hubungan kita sudah hampir 6 tahun, Ibuku selalu menanyakan itu," ungkap Sabrina.
"Katakan pada Ibu, aku akan melamarmu!" Yudis berusaha menyakinkan kekasihnya itu.
"Baiklah," ucap lirih Sabrina.
"Aku harus balik ke kantor. Maaf, tak bisa mengantarmu pulang," ucap Yudis.
"Tidak masalah, aku bisa naik ojek."
Yudistira, pria berusia 31 tahun. Seorang manajer, di perusahaan ternama. Dia bekerja hampir 7 tahun di perusahaan itu. Dia mengenal Sabrina 6 tahun yang lalu pada saat ulang tahun teman kantor Yudistira yang kebetulan adalah teman sekolah wanita yang sekarang menjadi kekasihnya.
Sabrina selalu meminta padanya agar segera dilamar tetapi Mama Yudis tidak menyetujui hubungan mereka. Alasannya, karena kekasihnya itu hanya seorang penjaga toko pakaian dan pendidikannya tidak sederajat dengan Yudis yang bertitel. Hal ini tidak ia sampaikan pada kekasihnya, ia takut Sabrina akan menjauhinya.
Yudis bingung memilih antara kekasihnya atau wanita yang telah melahirkannya. Makanya, ia memilih menggantungkan hubungan mereka.
"Bagaimana apa kamu sudah berbicara pada Yudis?" tanya Mila pada putrinya sesampainya di rumah.
"Sudah, Bu. Tapi dia belum berbicara pada orang tuanya," jawab Sabrina.
"Belum berbicara? Astaga, harus berapa lama lagi menunggu keputusan dari dia?" tanya Mila mulai kesal.
"Dia janji akan segera melamarku, Bu!" Sabrina tertunduk.
"Kapan?"
"Tidak tahu, Bu!"
"Itu artinya dia tidak serius dengan kamu!" sentak Mila.
"Mas Yudis, serius akan menikahi Sabrina." Tuturnya.
"Ibu akan menelepon Ayahmu, biar dia yang berbicara dengan Yudis," ucap Mila yang mulai emosi.
"Bu , jangan!" mohon Sabrina.
"Kenapa?"
"Ayah pasti akan memarahi Mas Yudis," ujar Sabrina.
"Biarkan saja," ucap Mila.
Wanita itu segera menelepon mantan suaminya. Kedua orang tuanya Sabrina berpisah 23 tahun yang lalu saat usianya 3 tahun. Lima belas tahun belakangan ini, Ayahnya mau bertanggung jawab memberi nafkah untuk anak kandungnya. Itu karena ibu tirinya yang menyadarkannya. Ayah Sabrina menikah lagi setelah 5 tahun menduda.
"Berikan teleponnya, aku akan berbicara padanya," ucap Toni di ujung telepon.
Mila pun menyerahkannya kepada putrinya.
"Halo,Ayah!" ucap Sabrina gugup.
"Halo, Nak! Bilang pada kekasihmu, temui Ayah segera."
"Tapi, Yah!"
"Tidak ada alasan, jika dia tak melamarmu dalam bulan ini. Kamu akan Ayah jodohkan!" ucap Toni tegas.
"Sab, akan katakan padanya!" jawabnya kemudian menutup teleponnya lalu memberikan kepada ibunya.
"Bagaimana? Apa kata Ayahmu?" cecar Mila.
"Ayah menginginkan Yudis bertemu dengannya," tuturnya.
"Itu memang kami harapkan, sampai kapan kalian terus pacaran tapi tidak ada kepastian," gerutu Mila.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan harinya, Sabrina menelepon kekasihnya itu. Mereka berjumpa di kafe. Kebetulan hari ini libur jadi Yudis bisa di temui di waktu jam kantor.
"Ayah ingin kamu menemuinya," ucap Sabrina membuka obrolan percakapan.
"Aku sudah bilang, segera melamarmu!" ujar Yudis.
"Aku juga sudah katakan itu, Mas!" ucap Sabrina mulai terpancing emosi.
"Apa yang dikatakannya?"
"Dalam bulan ini, kamu harus segera melamarku. Jika tidak aku akan dijodohkan dengan orang lain," ungkapnya.
Yudis memijit pelipisnya dan sejenak berpikir.
"Baiklah, Minggu depan aku akan datang bersama orang tuaku!" ucap lirih Yudis.
Sabrina tersenyum bahagia mendengar ucapan dari kekasihnya itu.
Selesai mengantar Sabrina dari kafe menuju toko pakaian, Yudis kembali ke rumah. Ia memberanikan diri untuk mengatakan kepada orang tuanya.
"Ma, Pa. Aku mau melamar Sabrina," ucapnya dengan serius.
"Apa? Kamu bilang melamar dia?" tanya Linda, Mama Yudis.
Putranya itu pun mengangguk.
Yana sebagai kakak paling tertua dia pun ikut berbicara,"Kau yakin ingin menikahi dia?"
"Iya, Kak. Aku mencintainya," jawab Yudis.
"Tapi, dia itu tidak pantas untukmu!" ucap Linda lagi.
"Tidak pantas bagaimana, Ma?" Yudis mulai protes.
"Dia cuma karyawan biasa, kau seorang manajer perusahaan ternama. Mama malu jika teman-teman menanyakan apa pekerjaan menantuku," ungkap Linda.
"Biarkan saja dia menikah, yang menjalankan pernikahan dia. Kenapa kalian yang berisik?" tanya Hendi.
Linda menarik tangan suaminya sedikit menjauh dari anak-anaknya. "Jika Yudis menikah, Papa mau uang jajannya di potong? Calon menantu kita bukan orang kaya, tentunya Yudis akan memberikan lebih banyak gajinya pada istrinya," bisik Linda di telinga suaminya.
"Papa tidak mau, tapi bagaimana pun dia juga ingin berumah tangga?" Hendi berkata lagi.
Linda tampak berpikir,"Betul juga, jika dia tak menikah orang-orang akan mengejeknya sebagai perjaka tua." Batinnya.
Linda dan Hendi kembali lagi bergabung dengan anaknya.
"Baiklah, Mama setuju kamu menikah dengan dia dengan syarat," ucap Linda.
"Apa syaratnya,Ma?" tanya Yudis tak sabar.
"Seluruh hadiah untuk melamarnya, Mama yang akan beli. Tentunya pakai uang kamu," ucap Linda.
"Baiklah, Yudis setuju." ucapnya. Ia dengan hati bahagia kemudian meninggalkan ruangan keluarga.
"Mama yakin menerima wanita itu?" tanya Yana.
Linda menatap putrinya,"Kamu mau adikmu jadi perjaka tua?"
Yana dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Mama tidak mau, wanita itu memiliki sepenuhnya Yudis." Linda tersenyum licik.
Yudis yang bahagia segera menelepon kekasihnya jika dirinya akan segera melamar Sabrina. Dia juga bercerita akan memberikan sepasang anting, cincin dan kalung kepada kekasihnya.
Sabrina yang mendapat telepon dari kekasihnya itu begitu senang, ia tak mengharapkan perhiasan tetapi ia butuh keseriusan dari pria yang dicintainya itu.
Malam harinya, Sabrina pun menceritakan hal ini kepada Ibu dan Neneknya. Mereka tersenyum senang, tak lupa ia mengabarkannya pada Ayahnya juga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari bahagia yang ditunggu pun tiba, sanak keluarga dan saudara berkumpul. Keluarga besar Yudis pun datang dengan membawa berbagai macam hadiah. Perwakilan keluarga Yudis pun berbicara menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka.
Hingga sampai acara penyerahan hadiah kepada calon mempelai pengantin wanita. Linda memasangkan cincin ke jemari Sabrina, ia tersenyum tipis kepada calon menantunya itu.
Tanggal, bulan dan tahun pernikahan sudah ditentukan. Para keluarga pun berpulangan termasuk juga keluarga Yudis.
Dua calon pengantin tidak dibolehkan bertemu, kecuali untuk mengurus surat-surat dan persiapan pernikahan seperti undangan dan gaun pengantin.
Saat bertemu dengan calon suaminya, di toko pakaian pengantin Sabrina menanyakan perihal perhiasan yang dijanjikannya."Aku mau tanya, Mas?"
"Tanya apa?"
"Kamu bilang akan memberikanku sepasang anting, cincin dan kalung. Tetapi kenapa cuma cincin saja?"
"Oh, itu. Mama lupa membelinya. Katanya model kalung dan anting di toko itu jelek. Jadi rencana mau pindah toko eh tahunya malah lupa mau belinya," jelas Yudis jujur. Karena Linda memberikan alasan itu ketika putranya bertanya hal yang sama seperti Sabrina tanyakan.
"Oh, begitu." Sabrina terpaksa tersenyum.
"Setelah kita menikah, aku akan membelikan untukmu," ujar Yudis.
"Dengan senang hati aku mau, Mas. Tapi jika kamu tak memiliki uang jangan di paksa. Cukup kamu setia dan kita saling percaya, aku sudah bahagia." Tutur Sabrina.
Hari pernikahan pun tiba, tampak wajah kedua mempelai begitu bahagia. Sanak saudara, rekan kerja dan teman-teman memberi ucapan selamat dan kado.
"Akhirnya kau menikah juga," ucap Meli sahabat Sabrina."Selamat ya, semoga bahagia selalu." Lanjutnya lagi.
Sabrina tersenyum dan memeluk sahabatnya itu,"Terima kasih."
Sementara itu, Linda tersenyum tipis melihat kebahagiaan anak dan menantunya itu.
"Menantumu cantik 'ya!" ucap Lisa teman arisan Linda.
"Cantik dong, biaya perawatan dia dari anakku," ucap Linda.
"Oh,ya. Ternyata anakmu itu baik juga," celetuk Lisa.
"Dia 'kan seperti aku yang baik," Linda membanggakan diri.
Lisa dan dua teman yang lainnya menyebikkan bibirnya tak percaya dengan ucapan Linda.
Malam harinya, sepasang pengantin berada di kamar. Ini adalah malam pertama bagi mereka. Sebelum membersihkan diri, Sabrina bertanya pada suaminya."Kakak dan Mama sepertinya tidak menyukaiku,Mas?"
"Itu perasaan kamu saja. Jika mereka tak suka mana mungkin dia akan menyetujui pernikahan kita," jawab Yudis.
"Semoga benar perasaanku saja, Mas!"
"Cepat sana ke kamar mandi, aku sudah tidak sabar!" goda Yudis.
"Ishh... Mas, apa tidak lelah berdiri satu harian?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya, Sabrina mengeluh mual dan muntah-muntah. Dia bolak-balik harus ke kamar mandi. Melihat Yudi terburu-buru mengambil air hangat , jiwa ingin tahu Yana dan Linda mengusik. Mereka pun menghampiri kamar pengantin baru itu.
"Lihat tuh, Ma. Baru juga satu hari menikah sudah muntah-muntah," celetuk Yana.
"Hus..kamu itu suka sekali ikut campur urusan orang," hardik Rudi yang sedari tadi berada di samping istrinya. Karena tadi Yana menarik tangan suaminya untuk ikut mengomentari adik iparnya itu
"Memang benar 'kan, sayang." Tatapan matanya tertuju pada suaminya.
"Terserah kamu saja!" Rudi malas berdebat lagi, ia pun pergi ke ruang makan melanjutkan sarapannya.
"Sabrina kenapa muntah-muntah?" tanya Linda panik.
"Aku tidak tahu,Mah!" ucap Sabrina menggelengkan kepalanya.
Yudis memijit tengkuk istrinya dan memberinya air hangat,"Kamu minum dulu!"
"Kalian tidak begituan sebelum nikah 'kan?"tanya Linda penuh hati-hati.
"Mana mungkin Yudis begitu, Mama tidak percaya dengan anak sendiri?" tanya Yudis tak terima ditanya begitu.
"Mama percaya dengan kamu, tapi Sabrina..."ucap Linda terpotong-potong.
"Sabrina tidak seperti itu," Yudis menolak pernyataan sang mama.
"Mama tidak menuduh, jika tidak ya bagus dong," sahut Linda ketus.
"Mungkin asam lambung ku kambuh, Ma!" ucap Sabrina.
"Yakin?" tanya Yana dengan nada menyindir.
"Harusnya kemarin tapi ini sudah lewat dua hari," jelas Sabrina.
"Apa ! Telat dua hari?" tanya Linda semakin cemas.
"Mama dan Kakak lebih baik keluar, biar Sabrina bisa istirahat." Usir Yudis.
"Kenapa kau mengusir Mama?" Linda tak senang.
"Aku yang tahu Sabrina masih atau tidaknya," ucap Yudis menutup pintu kamarnya.
"Lihatlah, Mas. Mereka menuduhku," ucap Sabrina setelah suaminya menutup pintu kamar.
"Jangan kamu ambil hati ucapan mereka. Minggu depan kita akan pindah rumah," tutur Yudis.
"Benar, Mas?"
"Iya, biar mereka tak menggangu kemesraan kita," celetuknya.
"Itu maunya, Mas!" Sabrina memukul lembut lengan suaminya.
"Kamu mandi, biar aku ambilkan sarapan. Kita makan di kamar saja," ucap Yudis.
Sabrina mengangguk dan berjalan mengambil handuk.
Sementara Yudis ke dapur untuk mengambil makanan dan minuman.
"Kenapa kamu yang mengambil sarapannya?" tanya Linda.
"Sabrina lagi tidak enak badan, jadi kami mau sarapan di kamar," tutur Yudis.
"Enak 'ya jadi istrimu baru sehari menikah sudah manja, sakit begitu saja minta suaminya yang mengambilnya," Linda ngoceh tak jelas.
"Biarlah, Ma!" ucap Yudis.
"Hei, kau lelaki jangan mau jadi budak istri!" ucap Linda pada anak lelakinya.
"Papa juga budak Mama," sahut Rio, adik laki-laki Yudis berusia 25 tahun.
Yudis pun pergi meninggalkan dapur dan malas berdebat dengan sang mama.
"Kamu itu suka sekali memotong pembicaraan orang tua," gerutu Linda.
"Ma, Kak Yudis itu sudah besar. Dia tahu mana baik dan buruk, sesekali biar dia mengurus istrinya lagian juga memang kakak ipar sakit," tutur Rio mengingatkan sang mama yang kadang kelewatan.
"Kamu itu masih kecil sok tahu, pekerjaan saja tidak jelas sok-sokan nasehatin Mama," protes Linda.
"Yang dikatakan Rio benar, Ma!" sahut Hendi sedari tadi diam.
"Kalian berdua sama saja," ucap Linda kesal.kemudian berlalu meninggalkan meja makan.
Rio menaikkan bahunya saat di tatap Hendi, kemudian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Yudis pun menyuapin Sabrina,"Apa tubuhmu mulai membaik?" tanyanya pada istrinya.
"Sedikit lebih baik dari pada bangun tidur tadi," jawabnya."Mas, tidak sarapan?" tanya istrinya itu.
"Nanti saja aku sarapan yang penting kamu sehat," ucapnya.
"Mas, kamu harus sehat juga. Nanti Mama akan marah padaku jika tahu anaknya sakit," ujar Sabrina.
Yudis tersenyum lalu bertanya,"Kamu khawatir aku sakit atau takut dimarahin Mama?"
"Keduanya," jawab Sabrina seraya tersenyum.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sabrina sudah mulai sehat dan Yudis juga masih cuti kerja, rencananya hari ini mereka akan berbelanja kebutuhan rumah yang akan ditempati pekan depan.
"Benar kalian akan pindah?" tanya Linda.
"Iya, Ma. Hari ini kami mau belanja beberapa barang," jelas Yudis.
"Jangan lupa nanti belikan Mama juga," celetuk Linda.
"Mama mau dibelikan apa?" tanya Sabrina menghentikan aktivitas makannya.
Linda menatap jutek menantunya itu,"Tidak usah tanya mau Mama apa. Uangnya juga bukan darimu!" ucapnya ketus.
Sakit sekali rasanya mendengar mama mertuanya berbicara begitu,"Harus sabar!" batinnya.
"Mama mau beli apa?" tanya Papa Hendi."Lihat di dapur perabotan masak Mama banyak, tas di lemari penuh begitu juga dengan pakaian. Jangan menyusahkan Yudis," nasehatnya.
"Idiiih, Papa sok nasehati Mama padahal dia juga selalu minta dengan Yudis." Ucap Linda menyindir.
"Sudah Ma, Pa!" ucap Yudis berusaha menghentikan perdebatan kedua orang tuanya."Nanti aku belikan untuk kalian," lanjutnya lagi.
Selesai sarapan dan membersihkan rumah, akhirnya Sabrina dan suaminya bisa berbelanja. Walau beberapa pekerjaan, ada asisten rumah tangga yang membantu tapi ia sebagai menantu dan pendatang baru di rumah itu tidak mungkin berpangku tangan.
Saat melangkah memasuki mobil, Linda berteriak dari jauh. "Jangan lupa oleh-oleh buat Mama!"
"Iya, Ma!" jawab Yudis kemudian masuk dan kendaraan mereka menuju toko perabotan.
"Kayak mereka mau liburan saja," sahut Rio.
"Kok kamu pula yang sewot. Mereka tidak tuh," ucap Linda.
"Semoga saja Kakak ipar betah punya mertua seperti Mama," sindir Rio.
"Kamu tuh!" Linda menoyor kepala putra bungsunya.
Sementara itu Sabrina sibuk memilih perabotan dan perlengkapan, yang akan di isi di rumah barunya. Kemarin sore ia dan suaminya sudah melihat rumah yang akan ditempati mereka. Rumah itu jatah bagian dari Hendi untuk Yudis. Setelah dari toko, mereka akan langsung menuju rumah tersebut.
Mereka sengaja membawa barang-barang langsung ke rumah itu agar tidak terlalu repot ketika harus pindah dari rumah orang tua Yudis.
"Mana pesanan, Mama?" todong Linda saat anak dan menantunya baru sampai rumah.
"Ini kami beli martabak manis kesukaan Mama," ucap Yudis menyodorkan kantong plastik.
"Kenapa cuma ini?" protes Linda.
"Yudis bingung mau beli apa," tuturnya.
"Kamu ini, biasanya juga tak pernah bingung." Gerutu Linda sembari membawa makanan pemberian anaknya itu ke kamar.
"Kalian jadi pindah?" tanya Hendi yang baru keluar dari kamar.
"Iya, Pa!" jawab Yudis.
"Besok Papa dan Rio akan bantu kalian mengangkat barang-barang," ujar Hendi.
"Terima kasih, Pa!" ucap Yudis begitu juga dengan Sabrina.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ma, nanti sehabis sarapan aku dan Rio mau membantu Yudis pindahan," ucap Hendi pada istrinya.
"Terus?"
"Mama mau ikut atau tidak?"
"Tidak, aku mau arisan dengan teman-teman," jawabnya.
"Baiklah, kalau tidak mau ikut!" ucap Hendi.
Sehabis sarapan, Rio dan Hendi membantu Yudis mengangkut barang-barang. Sedangkan, Sabrina menyiapkan masakan untuk dimakan bersama di sana.
Sesampainya di rumah baru, Rio membantu Yudis menurunkan lemari yang baru saja sampai.
"Ini letak mana, Kak?" tanya Rio pada Sabrina.
"Di sudut kamar saja," ucapnya.
Selesai berberes perabotan, mereka menikmati makan siang bersama.
Sore harinya, mereka pun pulang kecuali Rio yang sudah ada janji dengan kekasihnya.
"Baguslah kalau kalian sudah pulang?" tanya Linda.
"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Hendi.
"Bik Ratih tiba-tiba sakit, jadi kamu Sabrina yang mencuci piring dan membersihkan rumah," titah Linda.
"Ma, Sabrina baru saja pulang dan lelah." Protes Yudis.
"Jadi kamu mau suruh Mama gitu?" tanya Linda tak senang.
"Bukan begitu, Ma!" ucap Yudis.
"Sudahlah, Mas. Baiklah Ma, Sabrina yang akan melakukannya," ujarnya.
"Begitu dong jadi menantu, biar ada gunanya kamu di rumah ini. Mama mau tidur, capek tadi kumpul dengan teman-teman," sindir Linda berlalu ke kamar.
"Maafkan, Mama." Ujar Hendi.
Sabrina tersenyum tipis lalu berkata,"Tidak apa-apa, Pa!"
"Aku bantu kamu," tawar Yudis.
"Tidak usah, Mas. Kamu istirahat saja," ucapnya.
"Benar kamu tidak apa-apa kalau tidak ku bantu?" tanya suaminya.
"Benar,Mas. Kamu, Papa mandi dan beristirahat pasti kalian sudah lelah juga," ujar Sabrina.
"Papa ke kamar dulu," pamit Hendi.
"Baiklah, aku ke kamar juga." Ucap Yudis.
Sabrina pun segera meletakkan tasnya dan mengganti pakaiannya, ia pun mulai mencuci piring. Setelah itu menyapu dan tak lupa juga mengepel lantai.
Linda pun keluar menuju dapur, ia mengangkat penutup makanan kemudian mengomel."Mana makanan untuk makan malam?"
"Mama tadi tidak ada menyuruh memasak?" tanya Sabrina.
"Mikir dong, lihat di meja ada lauk atau tidak. Kalau tidak ada, kamu harus masak!" keluh Linda.
"Baiklah, Ma. Nanti Sab, masakan!" ujarnya.
"Cepatan masaknya, Mama sudah lapar!" perintahnya.
Sabrina yang sudah sangat lelah dan belum mandi, bergegas ke dapur memasak makan malam. Sejam kemudian ia pun selesai, ia pun ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Yudis dan kedua orang tuanya sudah menunggu Sabrina di meja makan.
"Lama sekali istrimu mandi," protes Linda.
"Tunggu sebentar, Ma. Kita makan sama-sama," ucap Hendi.
"Kelamaan," ujar Linda kemudian mengambilkan nasi beserta lauk pauk ke piring suaminya lalu mengambil juga untuk dirinya."Kamu makan, tak perlu nunggu dia!" ujarnya lagi.
"Nanti saja, Ma. Mau nunggu Sabrina," ucap Yudis.
Tak lama kemudian, Sabrina muncul menghampiri suaminya dan mertuanya. Ia melihat lauk dan sayur sudah habis.
"Lauknya habis, masakanmu enak!" puji Hendi tuk kedua kalinya, tadi siang dia juga memuji masakan menantunya itu.
"Menurut Mama tidak ada spesialnya," ucapnya kemudian menenggak air putih.
"Tidak enak, tapi habis juga," ucap Sabrina membatin. Lalu ia menoleh ke arah suaminya,"Kamu sudah makan,Mas?"
"Belum, kita makan di luar saja!" ucapnya.
Sabrina mengangguk kemudian mereka berdiri dan hendak melangkah.
"Jangan terlalu boros, kalian harus berhemat. Walau belum punya anak, ada sisa uang harus di tabung," ucap Linda menyindir.
"Iya, Ma. Lagian kami makan tidak menghabiskan uang gaji sehari," ungkap Yudis.
Mereka pun melangkah pergi mencari makanan di luar.
Ketika mobil Yudis keluar pagar berpapasan juga dengan motor yang ditumpangi Yana beserta suaminya dan anaknya yang berusia 4 tahun.
"Hei, kalian mau ke mana?" tanya Yana kepada Yudis.
"Kami mau cari makanan, Kak!" jawab Yudis.
"Mama tidak masak?" tanyanya lagi.
"Tadi Sabrina yang masak, tapi sudah habis." Jelas Yudis.
"Istrimu saja yang masaknya terlalu dikit," sindir Yana.
"Ya, sudah Kak. Kami mau pergi dulu," ucap Yudis.
"Belikan juga untuk Kakak dan Mas Rudi," pinta Yana.
"Iya, Kak. Kalau tidak lupa," ujarnya.
"Jangan sampai lupa, Sabrina ingatkan suamimu untuk membelikan kami juga," ucap Yana menatap Sabrina.
"Iya, Kak. Nanti aku ingatkan," sahut Sabrina.
Yana pun segera masuk ke dalam rumah orang tuanya dan Yudis melajukan kendaraannya ke warung makan.
"Kak Yana sering begitu?" tanya Sabrina.
"Iya, hampir tiap hari."
"Apa suaminya tidak memberinya uang belanja?"
"Hampir seluruh gajinya Mas Rudi untuk dia, tapi jarang sekali memasak buat suaminya," jelas Yudis.
"Kenapa aku baru tahu jika keluarga Mas Yudis begitu?" batinnya bertanya.
"Hei, kenapa diam?"
"Tidak ada, Mas!"
Mereka pun sampai di warung yang dituju, mereka menikmati makan malam berdua di luar hampir dua jam sampai telepon Yudis berdering. Suaminya hanya menatap panggilan itu.
"Siapa, Mas?"
"Kak Yana."
"Jawab teleponnya!"
Yudis pun menjawab panggilan telepon tersebut. Lalu kembali menutup teleponnya.
"Ada apa, Mas?"
"Kak Yana menyuruh kita pulang, mereka sudah lapar," jelas Yudis.
"Astaga, menganggu saja!" gumam Sabrina.
Mereka pun buru-buru pulang, membawa 3 bungkus makanan nasi pecel lele. Sebungkus akan diberikan pada Mama Linda, jika tak di beli bisa 'nyanyi' semalaman.
Sepasang suami istri itu pun tiba 15 menit setelah menerima telepon dari Kak Yana. Sabrina pun menyodorkan dua bungkus kepada kakak iparnya itu.
"Kalian lama sekali, kayak orang pacaran saja!" omel Linda.
"Ya, ampun Ma. Biarkan saja, mereka juga baru menikah." Rio tiba-tiba celetuk.
"Terus saja kamu bela mereka!" gerutu Linda.
Hendi memegang tangan Rio untuk tidak untuk melanjutkan perdebatan ini. Yana dan suaminya pun pamit pulang.
"Terima kasih adikku!" ucap Yana pada Yudis.
"Iya, Kak!" jawab Sabrina.
"Ingat ini uang adikku bukan uang kamu," ucap Yana menunjukkan kantong makanan.
"Sama saja,Kak. Uang suami, uang istri juga." Balas Sabrina.
Yana beserta keluarganya pun pamit. Sabrina menghela nafasnya.
"Mama mertua cerewet eh kakak ipar pelit, yang benar cuma Rio dan Papa saja," batin Sabrina.
"Kamu yang sabar atas sikap mereka berdua," ucap Hendi.
"Memangnya Mama kenapa Pa?" protes Linda.
"Tidak ada. Yudis kamu bawa istrimu masuk, istirahatlah!" ujar Hendi.
Yudis dan Sabrina permisi pamit ke kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!