NovelToon NovelToon

Verlaat Me Niet

Prolog

****************

Happy reading.

*****************

...

“Berjanjilah padaku, Sya.”

Marsya yang baru saja selesai menyimpul rambut panjangnya itu menoleh sekilas kearah Alveno yang sedang menatapnya dalam lalu tersenyum manis sebelum mengecup kilat pipi Veno — suaminya.

“Apalagi yang bisa ku janjikan padamu, sayang?! Jiwa dan ragaku sudah sepenuhnya milikmu.” kerling Marsya menggoda Veno.

Veno terkekeh renyah dan langsung menarik Marsya masuk ke dalam pelukannya. Mencium pipi dan leher wanita itu secara ganas membuat kekehan geli sang istri memenuhi ruang kamar mereka.

“Katakan kata sandinya, sayang.” bisik Veno lirih di telinga Marsya.

“Ampun. Marsya adalah milik Veno selamanya!!!” pekik wanita itu.

Terkekeh puas. Alveno pun mengecup dahi istrinya itu lama. “Aku mencintaimu. Berjanjilah kau tak akan meninggalkan ku sendirian di dunia ini.” bisik Veno lagi.

Marsya tersenyum manis sekaligus haru, “Ya. Aku berjanji.”

***

Alveno kembali mengerang dalam tidurnya, membuat wanita di sebelahnya itu terbangun untuk mengecek kembali dahi sang suami yang sedang demam tinggi.

“Panasnya sudah lumayan berkurang.” gumam wanita itu. Ia hendak melangkah turun untuk mengganti air kompresan sang suami ketika sebuah tangan mencekal pergelangannya kuat.

“Jangan pergi, Sya.” tangis Veno sedih.

Wanita itu tersenyum segaris. Menyeka keringat di dahi Veno sebelum melabuhkan sebuah kecupan panjang disana. “Sampai kapan pun, kau tak akan pernah bisa melupakan mbak Marsya kan, mas?!” lirih wanita itu — Aisyah.

Adik kembar Marsya yang sudah meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan.

“Kapan aku bisa menjadi istrimu tanpa bayang bayang mbak Marsya?! Ini sudah dua tahun.” lirih Aisyah lagi sembari membelai pipi halus Veno.

“Bukannya lelah menunggumu. Aku bisa menunggu sampai kapanpun untukmu, tetapi —”

Aisyah buru-buru menarik tangannya ketika melihat pupil mata Veno yang berkedut. Dan tak sampai sepersekian detik, mata hitam milik suaminya itu telah mengunci pandang dengan mata caramel milik Aisyah.

“Menjauh dariku, j*lang!” bentak Veno serak. Ia memandang Aisyah hina penuh benci.

Menarik nafas pelan, Aisyah menatap Veno seolah perkataan Pria itu tak melukainya sama sekali. Padahal sekarang siapa yang tahu jika hati milik wanita itu telah berdarah-darah?!

“Aku berada di daerahku, mas. Tak melewati batas sama sekali.” balas Aisyah.

Veno menyipitkan mata lalu mendengus keras setelahnya. “Siapa yang akan percaya pada perkataan j*lang berhati dingin sepertimu?!” ejek Veno mulai memunggungi Aisyah kembali.

.

.

.

SEGERA.

....

Bagian-01 {Pengganti yang lain?}

*************

Happy reading.

****************

...

🥀Berikanlah hatimu kepada orang yang benar-benar menginginkannya. Karena bukan hanya ada kamu untuk jatuh cinta.🥀

•••

Sebelumnya.

Veno menyipitkan mata, lalu mendengus keras setelahnya. "Siapa yang akan percaya pada j*lang berhati dingin sepertimu?!" ejek Veno mulai memunggungi Aisyah kembali.

Aisyah tahu jika ini adalah resiko yang harus di terimanya dari pilihan dua tahun yang lalu. Menikahi Alveno untuk menggantikan posisi Marsya sebagai istri pengganti untuk lelaki itu.

Ia merasa sangat bersalah karena harus menjadi penyebab kematian Marsya. Maka dari itu ketika kedua orang tua Veno datang dengan wajah putus asa karna Pria itu yang begitu terpukul atas kematian kakak tercintanya tersebut dan menyuruhnya untuk menggantikan posisi Marsya, Aisyah bersedia dengan lapang dada.

Orang tua Veno berpikir tak masalah menikahkan mereka karena wajahnya dan Marsya yang begitu mirip tanpa ada perbedaan sedikitpun. Tanpa tahu jika itu semakin membuat Veno membenci Aisyah.

Menghela nafas panjang, Aisyah menatap lemah punggung suaminya itu. "Kapan aku berhenti menatap punggungmu, mas?!" batin Aisyah sembari merebahkan badan kembali. Menumpukan kedua tangan di depan dada sembari terus menatap lekat punggung lebar Veno yang perlahan mulai bergerak teratur.

"Selamat tidur, mas Veno." cicit Aisyah seringan angin.

Mata tertutup milik Veno terbuka penuh. Ia mendengar suara pelan Aisyah barusan. Namun lelaki bernama lengkap Alveno Adrianus Adhi itu tetap tak menoleh sedikit pun. Menggigit bibir bawahnya sendiri, Veno mulai menutup mata untuk kembali tertidur. Ia ingin segera terlelap agar dapat bertemu dengan Marsya.

Sebenarnya selama ini Veno merasa sedikit bersalah pada Marsya karena telah bersikap kurang ajar pada Aisyah. Adik tersayang istrinya tersebut. Tetapi bagaimana pun rasa bersalah itu datang selalu akan kalah dengan kilasan rintihan kematian Marsya.

Veno ingat betul hari itu. Hari dimana Marsya meninggalkannya untuk selamanya. Waktu itu hujan lebat mengguyur kota Jakarta sedari pagi. Marsya yang sejak sebelumnya telah antusias akan kedatangan Aisyah dari Pekanbaru itu mulai memacu mobilnya dengan cepat menuju bandara. Ia tidak ingin membuat kunjungan pertama sang adik berkesan buruk.

Ramalan cuaca yang mengatakan akan ada badai di abaikannya. Pun perkataan Veno yang menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah dan biarkan supir mereka saja yang menjemput Aisyah. Itu karna sang adik yang tak terbiasa dengan orang baru.

Marsya khawatir jika adiknya akan merasa tak nyaman. Maka dari itu dirinya menjemput Aisyah sendiri ke bandara. Namun di tengah perjalanan menuju bandara, Marsya justru mengalami kecelakaan beruntun karna sebuah bus yang terbalik. Jalanan yang licin serta kecepatan tinggi membuat Marsya kehilangan kontrol. Sempat di larikan ke rumah sakit terdekat, namun nyawa wanita yang belum di karunia anak itu sudah tak lagi tertolong. Wanita itu meninggal ketika Veno baru saja sampai di rumah sakit.

Dan sejak hari Marsya menghembuskan nafas terakhir, Alveno bertekad untuk membenci seseorang yang istrinya sayangi tersebut.

"Maafkan aku, Sya. Aku tak mempunyai alasan untuk tidak membencinya. Dia alasan kepergianmu. Dan aku membencinya karena telah menjadi alasan untuk perpisahan kita."

•••

Pagi datang dengan cepat. Aisyah sengaja bangun lebih pagi untuk memasakkan Veno bubur agar ketika nanti suaminya itu terbangun, Aisyah sudah meninggalkan rumah untuk bekerja. Ia tak ingin membuat mood Veno memburuk ketika melihatnya.

Kaki berbalut heels setinggi 8 cm itu melangkah anggun memasuki gedung yang di atasnya tertulis 'SLcake' - Sebuah cafe modern yang menjual beraneka ragam pastry milik Aisyah. Termasuk ke dalam salah satu cafe terkenal, Aisyah merasa begitu bersyukur. Ia tak menyangka bahwa hobinya membuat cake sewaktu di Pekanbaru dulu menjadi bisnis kecil hingga sebesar sekarang.

"Selamat pagi boss!"

Sudut bibir Aisyah tertarik tinggi ketika melihat Dennis -pastry chef- cafenya, berdiri tegak dengan senyum tipis menghiasi wajah tampannya. "Eoh, mas datang pagi?" tanya Aisyah yang di balas anggukan singkat oleh Dennis.

Lelaki manis yang lebih tua dua tahun darinya itu memindai penampilan Aisyah dengan senyum menggoda. "Seperti biasa, Aisyah sangat menawan." kerling Dennis tidak membuat Aisyah blingsatan.

Dia telah kebal dengan segala macam godaan Dennis setiap hari. Tersenyum tipis, tangan putih Aisyah terangkat santai hendak mendorong pintu kaca di depan mereka tersebut.

Dennis yang melihat ekspresi wajah Aisyah barusan tersenyum masam sembari menyimpan kedua tangan di dalam saku celana hitamnya. Menarik nafas panjang, ia berdehem singkat. "Biar aku saja, boss!" potong Pria itu sembari langsung mendorong pintu kaca tersebut. Ia masuk lebih dulu dan menahan pintu dari dalam dengan badan miring, "Silahkan, boss." ucap Dennis lagi.

Aisyah tersenyum lebar hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit. Terlihat sangat cantik hingga membuat nafas Dennis terhenti untuk beberapa detik. “Makasih ya, Mas." ucap Aisyah sembari melangkah masuk dan berhenti tepat di depan Dennis.

Ia memindai wajah tampan Dennis cukup lama. Seandainya jika ia tak memiliki status sebagai istri sah Alveno atau dia yang tidak jatuh cinta kepada lelaki yang membencinya itu, mungkin Aisyah dengan senang hati menerima Dennis sebagai pendampingnya. Bagaimana pun juga, Aisyah pernah bermimpi untuk memiliki seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati seperti yang Dennis lakukan.

Aisyah baru selesai meminum obat penghilang nyeri ketika Hannie mengetuk pintu ruangannya pelan dari luar. Gadis yang memakai seragam merah muda dengan rambut kuncir kuda itu mengatakan jika seseorang mencari Aisyah.

Imae Charlotte - Ibunda Veno.

"Bunda." sapa Aisyah yang langsung mempersilakan ibu mertuanya itu untuk masuk semakin dalam ke ruangannya.

Imae melirik Aisyah sekilas dengan senyum tipis. Lalu berjalan anggun menuju sofa melewati wanita itu begitu saja. Aroma parfum Imae yang menyengat membuat kepala Aisyah sedikit pening.

"Aku sedang berada di sekitar sini dan memutuskan mampir sebentar." ucap Imae kembali melirik Aisyah yang masih terdiam di dekat pintu, "apa kau sibuk?!" tanya wanita itu lagi dengan sebelah alis terangkat.

Ekspresi sama dengan yang sering Aisyah lihat di wajah tampan milik Alveno, suaminya.

"Tidak bunda." jawab Aisyah dengan senyum sopan. Ia melangkah pelan menuju pantri.

Mengambil dua cangkir keramik dari lemari lalu mulai menyeduh teh herbal. Aroma hangat kayu manis bercampur buah ceri menyeruak memenuhi ruangan persegi itu.

"Silahkan di minum dulu, Bun." ujar Aisyah setelah meletakkan dua gelas di meja. Satu untuknya dan satu lagi untuk ibu Veno.

Setelah menghirup aroma di cangkirnya, Imae pun mulai meneguk tehnya secara anggun. Rasa legit bercampur rasa asam teh yang segar langsung meluncur turun ke tenggorokannya. Imae berdehem singkat ketika meletakkan cangkir secara perlahan ke atas meja lalu mulai menatap Aisyah lekat.

"Tidak buruk. Seperti biasa, ini nikmat." puji Imae membuat Aisyah membungkuk rendah dengan senyum tipis.

"Terimakasih untuk pujian tinggi, Bunda." ujarnya.

Imae mengangguk singkat, "Aku selalu bertanya-tanya. Kapan kalian ingin memberiku cucu, Syah?! Ini sudah 2 tahun berlalu." ucap Imae tiba tiba.

Menggigit bibir bawahnya pelan, Aisyah pun berusaha menarik sudut bibirnya tinggi. “Ya, Bun. Kami juga sedang berusaha agar kesempatan itu datang." ucap Aisyah membuat Imae menoleh datar.

Jangan dipikir ia tak tahu dengan kelakuan Putra semata wayangnya tersebut. Alveno tak pernah memperlakukan Aisyah seperti istri, baik di depan maupun di belakang mereka. Lelaki itu secara terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya kepada Aisyah.

"Benarkah?!"

Anggukan kepala ragu Aisyah berikan. Meskipun ia sedang berbohong sekarang, Imae terlihat tak begitu mempermasalahkannya.

"Berapa kali dia menyentuhmu?! Selama ini aku tetap diam karena menghargaimu sebagai menantuku, Aisyah. Kau memang begitu mirip dengan Marsya. Tetapi kelakuan kalian jelaslah sangat berbeda." ada nada tak suka yang Aisyah tangkap dari ucapan Imae barusan.

Namun ia memilih untuk tak mempermasalahkan itu. "Kami cukup sering melakukannya Bun." jika mas Veno sedang mabuk dan mengira aku adalah mbak Marsya. Sambung Aisyah dalam hati dengan senyum miris.

"Maaf jika aku belum bisa seperti mbak Acha." tambah Aisyah lagi.

Imae mendengus. Ia membuang pandang ke luar jendela. "Apa perlu aku mencarikan Putraku pengganti yang lain!?" cetus Imae pelan namun tetap dapat di dengar jelas oleh Aisyah.

Bersambung...

Bagian-02 {Mengikutinya?!}

***************

Happy reading.

****************

🥀Hatiku telah mati. Ikut terkubur dengan raganya di dalam sana. Jadi aku tak lagi menggunakan hatiku untuk jatuh cinta.🥀

Verlaat Me Niet.

(Jangan tinggalkan aku)

Sebelumnya.

“Maaf jika aku belum bisa menjadi seperti mbak Acha.” tambah Aisyah lagi.

Imae mendengus. Ia membuang pandang keluar jendela. “Apa perlu aku mencarikan Putraku pengganti yang lain!?” cetus Imae pelan namun tetap dapat di dengar oleh Aisyah.

.

.

.

Suasana canggung setelah itu. Imae yang terdiam dengan pemikirannya dan Aisyah yang menyalahkan diri sendiri sembari meremas kedua tangannya yang berada di atas paha.

“Maaf Aisyah. Aku tak bermaksud membuatmu sakit hati. Kau tahu bukan jika Alveno adalah anakku satu-satunya?!” tanya Imae tiba-tiba membuat Aisyah mengangguk, “Aku hanya ingin cucu untuk meneruskan perusahaan ini dan menjadi egois. Aku tahu kau wanita yang baik. Tapi— ah, sudahlah.” desah Imae terlihat frustasi.

Bukannya ia membenci Aisyah sebagai menantu. Justru ia merasa prihatin pada wanita itu. Aisyah telah banyak mengorbankan perasaannya karena Alveno. Hanya saja Imae tak pernah bisa menyampaikan ketulusannya dengan baik.

Imae sama sekali tak menyalahkan Aisyah atas kecelakaan yang menewaskan Marsya. Baginya itu adalah takdir yang sudah di atur oleh Tuhan dan tak dapat di hindari.

“Aku mengerti Bun. Aku pun akan berusaha lebih keras agar bi —”

“Sebaiknya memang itu yang kau lakukan Aisyah. Karna aku tak main-main dengan ucapanku tadi.” potong Imae cepat. Ia merasa menjadi pemeran antagonis disini. Padahal sebenarnya ia hanya tak ingin melihat wanita baik di depannya ini menderita lebih lama karna anaknya — Alveno.

“Iya, Bun.”

Aisyah terbangun karna suara ribut dari luar. Ia merapikan rambut serta pakaiannya yang sedikit tersingkap sebelum berjalan pelan menuju pintu kamar.

“Arghtt” erang Aisyah memegangi kepalanya yang masih saja terasa nyeri sejak siang tadi. Padahal ia telah mencoba untuk tertidur dengan menelan pil sebanyak lima butir.

Ia mengalami insomnia parah sejak dua tahun yang lalu dan mulai mengonsumsi pil tidur dalam dosis besar.

Menuruni tangga dengan hati-hati, Aisyah memegang pegangan tangga erat ketika telah sampai di pertengahan. Jantungnya berdetak nyeri saat melihat siluet Veno yang membelakanginya. Lelaki itu tak sendiri, di sebelahnya berdiri seorang wanita dengan gaun merah ketat nan mini. Tengah bergelayut manja di lengan suaminya tersebut.

Menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, “Mas sudah pulang?!” senyum Aisyah membuat kedua orang itu menoleh.

Pandangnya juga Veno bertemu untuk beberapa saat namun segera terputus ketika suara manja wanita bergaun merah itu terdengar sedikit menjijikkan di telinga Aisyah.

Ia jadi ingin mengumpat.

“Cepat honey. Aku sudah terlalu basah hanya untuk menunggu sebentar lagi.” rengek wanita itu.

Aisyah bukan remaja berumur belasan tahun yang belum mengerti kemana arah pembicaraan suaminya dan wanita itu. Ia terlalu mengerti karna sudah terlalu biasa.

Sejak hari pertama pernikahan mereka, Veno memang sudah sering membawa perempuan lain pulang untuk bermain. Tak pernah sama setiap harinya. Aisyah tak lagi menghitung sudah seberapa banyak wanita yang datang untuk bermain dengan Veno. Bahkan lelaki itu dengan sengaja memakai kamar mereka untuk melakukannya.

Awalnya ia merasa sakit. Terus menangis dan berteriak jika Veno tak punya hati. Bagaimana bisa Veno memperlakukan dirinya dan sang kakak seperti demikian?! Mereka baru saja menikah dan itu tak lama sejak kematian Marsya. Tetapi Veno malah bermain dengan para j*lang.

Namun perkataan Veno hari itu membuatnya terdiam dan sadar.

“Apa masalahnya untukmu!? Apa kau merasa terhina karna aku membawa j*lang lain pulang?!” sinis Alveno.

Mata Aisyah memanas. Ia baru saja ingin berteriak kembali ketika melihat sudut bibir Veno terangkat sebelah, “Jangan sok suci Aisyah! Kau saja sudah tak perawan ketika kita melakukannya. Jadi kenapa kau begitu mempermasalahkan aku sekarang ini?!” cibir Alveno, “Sadarlah dimana posisimu. Kau bukan lah Marsya yang aku cintai.”

“Let's play dear. Biarkan aku membuatmu mendesah kuat malam ini.” ucap Veno mengusap lambat punggung wanita itu dan mengerling jenaka.

Sesuatu hal yang paling ingin Aisyah dapatkan dari lelaki itu dan di dapatkan dengan mudah oleh j*lang disamping Alveno.

“Aku benar-benar ingin menjadi j*lang saat ini, mas. Setidaknya kau akan tersenyum dan melihatku.” batin Aisyah semakin menguatkan pegangannya pada tangga.

“Minggir! Jangan mengganggu kami.” datar Veno sinis ketika melewati Aisyah.

Wanita itu tersenyum tipis seolah baik-baik saja. Meski sudah terbiasa, rasanya tetap saja sakit. Kapan kau berhenti menyakitiku, mas?! Batin Aisyah lagi, dalam hati.

Wanita disamping Veno itu menatap Aisyah sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan. Pandangan yang begitu sendu namun juga terasa angkuh. Entahlah, kepala Aisyah semakin terasa sakit saja sekarang.

Jika sudah seperti ini, Aisyah hanya bisa menunggu kegiatan Veno selesai sembari melakukan pekerjaan rumah karna tak lagi bisa tertidur. Terkadang jika matanya terlalu lelah untuk menunggu, Aisyah akan tertidur di atas meja makan sembari menangis tersedu-sedu sehingga ketika ia terbangun matanya akan membengkak sembab.

Meski begitu Veno tak pernah bermurah hati untuk sekedar bertanya ‘apa kau baik-baik saja?’ padanya. Dan Aisyah pun tak lagi berharap banyak. Baginya bisa berada disisi Veno sekarang meskipun tak pernah di anggap Aisyah sudah merasa senang dan cukup.

•••

“Wajah mu pucat, Syah.”

Aisyah memasang senyum lebar ketika melihat Bertha memasuki ruangannya. “Mbak Etha!” sapanya girang lalu berdiri untuk memeluk Bertha.

Bertha terkekeh pelan dengan tangan terangkat untuk mengusap rambut panjang Aisyah. “Eoh. Merindukanku?!” goda Bertha yang langsung di angguki oleh Aisyah.

Aisyah memajukan bibirnya dengan kepala mengadah ke atas untuk melihat wajah cantik Bertha —sahabat Marsya, tanpa melepas tangannya di pinggang wanita itu. “Kau pergi begitu lama.” cibir Aisyah, “itu bulan madu atau apa?!” tambah Aisyah lagi.

Bertha kembali terkekeh. Kembaran sahabatnya ini begitu mirip dengan Marsya sehingga dirinya juga menganggap Aisyah sebagai adiknya sejak dulu. Ia baru saja pulang dari honeymoon panjang setelah menikah dengan pengacara sukses satu bulan yang lalu dan langsung mengunjungi Aisyah.

“Maafkan aku. Btw, aku membawakan oleh-oleh untukmu.” ujar Bertha mengangkat tinggi paper bag di tangannya.

Tangan mulus Aisyah terangkat menerima. “Makasih. Tetapi mbak tak perlu repot-repot sebenarnya.” ungkapnya menggiring Bertha untuk duduk.

Bertha memasang wajah terluka yang di buat-buat, “Aku sakit hati mendengarnya.”

Di balas dengusan serta kekehan kecil dari Aisyah. Ia bergegas menuju pantri untuk membuatkan minuman kesukaan wanita itu.

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi Syah.” sela Bertha di tengah kegiatan Aisyah menuang minuman racikannya ke dalam dua cangkir keramik. “Wajahmu pucat. Apa kau sakit?” lanjut Bertha yang sekarang mengikuti gerakan Aisyah yang tengah berjalan anggun ke arahnya.

Aisyah terkekeh sembari menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya kurang tidur dan merasa lelah. Itu saja, mbak.” jawab Aisyah sembari meletakkan secara perlahan cangkir berisi green tea latte ke atas meja dan mengambil duduk berseberangan dengan Bertha.

Bertha menyipitkan mata, memandang Aisyah tak percaya. “Kau yakin?! Bukan karna ulah Alveno si brengsek itu ‘kan?!”

Aisyah kembali terkekeh dan menggeleng. “Mbak Etha masih saja memanggil mas Veno begitu.” memainkan bibir cangkirnya pelan, “Mas Veno tak terlalu bersikap buruk padaku akhir-akhir ini.” ingat Aisyah mengenang satu bulan yang lalu sebelum keberangkatan Bertha ke maldives.

“Itu sudah menjadi nama tengah untuknya, Syah.” ketus Bertha berapi-api. Ia bahkan hampir mengosongkan cangkirnya jika tak merasakan lidahnya yang terbakar.

Aisyah terkekeh kecil melihat tingkah Bertha yang tengah mengipasi lidahnya sendiri. Ia jadi merindukan Marsya sekarang.

“Arght! Aku selalu saja sial kalau menyebut nama si berengsek itu. Lihat saja jika ia masih menyakitimu. Aku akan langsung menyeretnya ke neraka!” kesal Bertha.

“Bagaimana jika nanti aku malah memilih mengikutinya ke neraka, mbak?!” sendu Aisyah memaksa untuk tetap tersenyum.

****Bersambung****....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!