Senja mulai datang. Matahari malu-malu masuk ke dalam kamarnya yang gelap. Temaram mulai merenda di langit-langit berwarna orange. Rengganis, dokter cantik menyeka peluh yang telah membanjiri wajahnya.
“Kalau dokter lelah bisa rebahan sebentar di belakang, Dok. Biar saya dan Astuti yang bereskan semua ini. Dokter pasti capek karena seharian ini pasien kita memang luar biasa banyak,” tawar bidan tua yang usianya hampir dua kali lipat usia Rengganis.
“Benarkah? Saya bisa istirahat duluan ya kalau begitu. Tangan saya seperti mau copot ni. Mungkin ada seratus orang lebih pasien kita hari ini?” Rengganis memijat-mijat tangannya sendiri.
Bidan Maya dan Astuti, perawat honorer yang usianya hampir sama dengan Rengganis tertawa kecil melihat tingkah dokter mereka yang manja itu.
“Kok ketawa?” Rengganis melotot.
“Tidak sampai seratus kok, Dok,” jawab Astuti.
“Habis berapa? Mami aku lemes banget, Mi. Pingin dibuatin jus mangga yang lezat sama Bi Onah, makan bistick sapi buatan mami, dibacain buku sama papi, dan dipuk-puk sama nenek,” rengek Rengganis.
Sontak Bidan Maya, Astuti dan Mang Hari, tukang bersih-bersih puskes yang kebetulan mendengar dari balik pintu tertawa terbahak-bahak. Mereka tak tahan mendengar dokter penanggung jawab puskes yang baru bergabung selama kurang lebih satu bulan ini merengek bagai anak SD yang baru ikut kemah satu malam di sekolah dan minta pulang.
“Iiiiihhh kalian ini, malah ketawa-ketawa gak jelas.” Rengganis melenggos lalu pergi meninggalkan ruangan kerjanya yang amat sederhana itu menuju ruang tengah yang biasanya digunakan untuk memeriksa pasien. Kebetulan semua pasien sudah pulang jadi Rengganis dan timnya bisa sedikit bersantai.
Rengganis memang gadis yang manja. Terlahir dari keluarga serba ada membuatnya diperlakukan seperti seorang putri. Papi Rengganis adalah Brata Warman, seorang pengusaha kaya dan tersohor. Sementara Maminya adalah pemilik rumah mode ”Glamourity” yang memiliki puluhan anak cabang di berbagai kota.
Meski manja tetapi pada dasarnya Rengganis adalah gadis yang sangat peduli pada orang lain, bertanggung jawab, dan yang pasti pintar. Ia selalu jadi juara umum di sekolah. Deretan piala yang melambangkan ratusan prestasi Rengganis tersusun rapi di lemari indah ruang keluarga Brata Warman.
Saat Rengganis memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di fakultas kedokteran Mami dan Papinya sempat tak percaya. Mereka pikir selama ini Rengganis tertarik di dunia bisnis dan mode ternyata keinginan dari putrinya sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka pikirkan.
Teringat jelas dalam memori Rengganis bagaimana dahulu ia merayu kedua orang tuanya untuk percaya bahwa ia mampu menjadi seorang dokter yang hebat.
“Izinkan Rengganis jadi dokter ya, Mi. Rengganis dapat beasiswa di kampus ternama di Indonesia loh, Mi, Pi.”
“Kapan Rengganis daftar? Kok Mami gak dikasih tahu?” Mami merengkuh putri semata wayangnya yang semakin tumbuh besar itu ke dalam pelukkannya.
“Kalau Rengganis bilang pasti Mami dan Papi gak setuju. Iya kan?”
“Siapa bilang?” Papi mengusap-usap rambut panjang anak kebanggaannya itu.
“Memang Papi sama Mami pernah bilang Rengga harus jadi apa? Harus ikut kemauan kami? Enggak kan?” Papi tersenyum penuh wibawa.
“Jadi artinya boleh ni?” Rengganis melompat bahagia. Papi menggangguk mengiyakan keinginan gadis berambut lembut itu.
“Tapi Mami penasaran deh, kenapa Rengganis tiba-tiba kepikiran mau jadi dokter. Sepertinya mami tahu kenapa.” Mami menoleh ke pintu yang membatasi ruang keluarga dengan sebuah kamar berukuran cukup besar yang biasa ditempati nenek kesayangan Rengganis, ibu dari Mami.
Nenek tersenyum mengetahui kehadirannya yang sejak tadi menguping tertangkap basah oleh putri sulungnya. Nenek memang memiliki dua orang anak, mami dan Om Wardana yang juga seorang bisnisman seperti papi dan mami. Dalam usianya yang sudah sangat matang Om Wardana belum juga berniat mencari seorang pendamping, sepertinya ia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya.
“Pasti nenek nih yang kasih ide,” tebak Mami.
“Iya betul, tapi tidak seratus persen karena nenek, toh Rengganis mau jadi dokter?” Nenek duduk bergabung bersama mereka.
“Iya, Mi, Rengganis memang pernah dikasih masukan sama nenek tentang profesi yang sangat keren ini. Hahaha…”
“Tu kan benar. Ibuuuuu.” Mami menatap ibunya.
Mami tahu benar sejak dulu nenek ingin sekali menjadikan salah seorang anaknya menjadi dokter seperti dirinya, tapi keinginan wanita tua itu kandas sia-sia. Kedua anaknya malah lebih tertarik mengikuti jejak kakek dalam dunia bisnis. Kini Rengganislah yang mulai dirayu untuk bisa memenuhi keinginan lamanya.
Rengganis sangat menyayangi nenek karena itu Rengganis pasti akan mengikuti semua yang diperintahkan oleh nenek. Setidaknya itu yang dipikirkan Mami saat ini.
“Gak kok, Mi. Mami tahu hampir semua teman-teman sekelas Rengga mendambakan kuliah di sini, Mi, dan mereka semua terpana saat tahu Rengganis diterima dan dapat beasiswa pula. Wah Mami bisa bayangkan betapa bangganya Rengganis."
“Fattan aja, Mi, gak berhenti menatap Rengganis. Sepertinya dia takjub, Mi,” tambahnya.
“Beneran?" Mami seolah masih tak yakin dengan apa yang dipilih putrinya.
“Terus Fattan itu anaknya Pak Guntur Hartawan yang dulu sempat menolak cinta Rengganis karena gak mau pacaran sama anak manja?”
“Ih mami enak aja. Rengganis gak pernah ditolak, Mi. Rengganis juga gak pernah bilang suka sama dia. Ih mami ada-ada aja.” Rengganis melipat wajahnya.
“Iya deh iya deh. Maafin mami. Terus gak jadi kuliah di Korea sambil belajar mode seperti yang Rengganis bilang sama mami tempo hari?”
“Bisa kuliah ke luar negeri juga kok Rengganis nanti, pokoknya Mami tenang aja. Ini bukan karena nenek. Tapi ini adalah pilihan Rengganis. Gimana, Pi?” Rengganis memberikan isyarat kepada Papi untuk menyetujui perkataannya.
“Papi sih oke aja, selama Rengganis suka apapun itu Papi dukung.”
“Yess. Tu, Mi.” Nenek dan Rengganis tos merayakan kemenangan mereka. Mami hanya mengangkat bahunya menyerah.
Mulailah Rengganis melangkahkan kaki di dunia medis. Berbekal otaknya yang cemerlang Rengganis sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pendidikannya. Sepertinya Tuhan benar-benar sedang berbaik hati saat menciptakan Rengganis. Gadis itu tumbuh dengan segala kesempurnaan. Cantik, baik, pintar, kaya, dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Rengganis mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil dan sekali lagi keberuntungan berpihak padanya. Ia diterima tanpa kesulitan menjadi seorang ASN. Nasib terburuk yang penah ia alami adalah saat penempatan tugas. Ia ditempatkan disebuah kota kecil yang teramat jauh dari rumah.
Terpaksa gadis cantik itu menetap di rumah dinas yang disediakan di belakang puskes tempatnya mengabdi. Beruntungnya ditengah keterbatasan fasilitas yang ada, Rengganis memiliki tim dan orang-orang yang selalu peduli dan bersikap baik padanya.
Astuti dan Bidan Maya contohnya. Dua wanita itu selalu siap membantu Rengganis saat dibutuhkan. Sepertinya mereka benar-benar dikirim untuk menolong Rengganis dari kehidupan sulitnya di sini.
“Dok.” Astuti membuat Rengganis tersadar dari lamunannya.
“Ada apa?” Rengganis menyembunyikan keterkejutannya.
“Ada pasien lagi, Dok.” Astuti merasa tak enak menyampaikan berita ini.
“Astagaaaaaaaaaaaa. Bisa gila aku lama-lama ditempat ini. Kalian saja ya yang urus. Aku mau pulang. Aku kangen Mami.” Rengganis mengambil tas kecilnya di meja. Meraih kunci mobil di dalam tas itu dan berlari keluar meninggalkan Astuti yang masih terperangah binggung.
“Sepertinya dokter cantik itu akan menyerah.” Astuti merasa sedih. Ia tahu benar hari ini adalah hari yang sangat melelahkan.
Berbondong-bondong pasien datang mengeluhkan perut mereka yang tiba-tiba sakit setelah pulang dari pesta pernikahan yang diadakan Pak Sabihun siang tadi. Sepertinya ada yang salah dengan makanan yang disajikan dalam pesta.
Bagi tim medis lainnya mungkin hal itu adalah hal yang biasa namun bagi gadis manja dan tak terbiasa hidup susah seperti Rengganis ini adalah ujian berat. Astuti memaklumi jika Rengganis merasa frustasi. Namun, di dalam hatinya ia berharap dokter kesayangannya itu segera kembali.
Akankah Rengganis kembali untuk membantu pasien yang datang ke puskesnya malam itu?
Ditunggu ya kelanjutannya!
Mobil Rengganis melaju dengan kecepatan penuh. Pedal gas diinjak dalam-dalam saat melewati jalan kecil dengan pemandangan gelap di kanan kiri. Ada rasa takut berdesir-desir di dalam hatinya. Namun, tekad gadis cantik itu telah membulat untuk bisa berjumpa dengan mami yang sangat dirindukannya.
Rute yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke kota memang lumayan menakutkan. Sering Rengganis mendengar cerita dari Astuti juga beberapa penduduk desa setempat tentang gerombolan perampok yang sering beraksi di tengah malam untuk menggasak semua harta korban yang lewat di jalan yang sedang Rengganis lalui.
“Glutak.” Tiba-tiba mobil Rengganis seperti dilempari sesuatu.
Seperdetik Rengganis berniat menghentikan mobilnya. Namun, pikiran waras kembali menguasai otaknya yang mulai panik. Bisa saja yang melempar mobil kesayangannya itu segerombol penjahat yang mengincar harta dan dirinya.
Nyali Rengganis menciut seketika. Seiring dengan bunyi letusan ban. Tangan Rengganis benar-benar kaku. Tubuhnya dingin membeku. Gadis manja itu menangis sejadi-jadinya, air mata berlinangan tak henti-henti. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, Rengganis akan melalui hal mengerikan semacam ini.
Ia sangat menyesali keputusan yang telah diambilnya untuk pergi meninggalkan puskes di malam yang begitu gelap seperti saat ini
“Nguuuuuung.” Suara sepeda motor tiba-tiba muncul di kegelapan malam dari arah berlawanan. Rengganis bersiap memekik sekuat-kuatnya untuk meminta bantuan. Namun, rencana itu segera digagalkannya. Ia menyadari pengendara sepeda motor yang suaranya terdengar barusan bisa saja rampok yang telah memasang jebakan hingga membuat ban mobil Rengganis kempes.
Gadis itu meringsek, menunduk bersembunyi di bawah jok tempat duduk mobil. Tangan mulusnya menggapai semua benda yang bisa dijadikannya alat membela diri. Dalam gelap ia hanya berhasil meraih payung lipat yang berada di laci dashboard mobil.
Motor itu melewati mobilnya, hati Rengganis merasa sedikit lega. Penyesalan mulai datang kenapa ia tak memanggil pengendara motor yang baru saja lewat untuk meminta pertolongan. Rengganis menghembuskan napasnya dalam-dalam memikirkan nasibnya yang malang.
Suara mesin motor yang tadi melewatinya terdengar mendekat lagi, sepertinya pengendara itu memutuskan untuk memutar dan kembali ke arah mobil Rengganis. Tangan gadis cantik itu mencengkram gagang payung kuat-kuat , bersiap menghantam siapa pun yang berniat menciderainya.
“Klotek.” Seseorang berusaha membuka paksa pintu mobil. Rengganis pucat seketika. Tubuhnya benar-benar terasa lemas ketakutan.
“Cletek.” Laki-laki itu berhasil membuka pintu mobil.
“Plok-plok-plok, ****** kau, ****** kau.” Rengganis memukuli laki-laki yang menerobos paksa masuk ke dalam mobilnya dengan membabi-buta.
“Tunggu-tunggu, Mbak. Sabar. Saya ini orang baik-baik. Kita harus keluar dari sini sekarang,” perintahnya.
“Memangnya Anda siapa berani-berani memerintah saya. Bagaimana saya bisa tahu Anda tidak memiliki niat jahat.” Dalam cahaya temaran bulan, Rengganis melihat laki-laki tinggi tegap berambut cepak itu memiliki wajah yang amat manis. Jika bukan dalam keadaan menakutkan seperti sekarang mungkin Rengganis sudah berteriak-teriak kegirangan.
“Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu. Mereka bisa saja membunuh kita.” Laki-laki itu menarik paksa tangan Rengganis keluar dari dalam mobil.
Dari kejauhan cahaya lampu motor terlihat terang benderang. Sepertinya ada lebih dari lima buah motor yang sedang mendekat ke arah mereka.
Rengganis sempat menghitung cepat jumlah orang-orang yang mungkin berada di rombongan yang datang mendekat itu.
Jika ada lima motor yang saling berbonceng dua saja maka sudah ada sepuluh orang yang akan menjadikannya santapan makan malam. Hati Rengganis semakin mencelos ketakutan.
Rengganis tak punya pilihan. Tubuhnya dengan cepat melompat naik ke atas motor laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya itu.
“Itu dia. Ayo.” Salah seorang dari kawanan bermotor memberi komando kepada teman-temannnya yang lain untuk melaju lebih cepat.
Motor yang ditumpangi Rengganis juga tak mau kalah. Menurut perkiraan Rengganis, mungkin kabel gas sudah ditarik full oleh laki-laki di depannya ini. Tangan Rengganis secara otomatis melingkar erat di pinggang laki-laki asing yang baru ditemuinya itu.
Tak ada yang dapat dipikirkan dua orang berkendara yang saat ini sedang berkejar-kejaran dengan sekelompok laki-laki bermotor.
Tiba-tiba laki-laki itu membelokkan motornya ke kiri, memasuki jalan setapak kecil menuju ladang perkebunan kopi yang rimbun. Ini benar-benar diluar dugaan Rengganis yang sempat mengira mereka akan berbelok ke kanan menuju arah desa terdekat yang tadi sempat dilalui Rengganis.
“Turun,” perintah laki-laki itu tanpa basa-basi setelah mematikan mesin motornya. Rengganis menuruti kata-kata pria tak dikenal itu.
“Sreeeek.” Laki-laki bertubuh atletis itu menarik sebuah cabang kayu kering yang cukup besar dan menutupi sepeda motornya yang sudah dalam posisi rubuh.
Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulut Rengganis meski ada seribu pertanyaan yang ingin diutarakannya. Gadis itu hanya bisa patuh pada kata-kata laki-laki misterius ini jika ingin selamat. Setidaknya hanya itu pilihan yang dimiliki gadis malang ini.
“Ayo.” Laki-laki itu menarik tangan Rengganis untuk bersembunyi di balik sebuah pohon besar yang letaknya agak masuk ke dalam perkebunan kopi.
“Ngeeeeng—ngeang.” Motor-motor para berandal itu melewati tempat persembunyian mereka.
“Jangan sampai hilang.”
“Ayo kejar.”
“Sialaaan.”
Suara mereka berdengung seperti tawon bersaing dengan suara knalpot motor mereka yang bising. Dari kata-kata yang mereka ucapkan terlihat begitu jelas bahwa mereka sedang dalam keadaan mabuk berat.
“Ehem.” Rengganis memberi isyarat pada laki-laki yang sedari tadi memeluknya erat-erat. Seolah sedang menyembunyikan dan melindungi tubuh Rengganis dengan tubuhnya gagah.
Laki-laki itu malu-malu melepaskan tangannya dari tubuh Rengganis.
“Maaf.”
“Tak apa. Bagaimana? Apa kita sudah aman?” tanya Rengganis.
“Jangan bodoh. Mereka pasti akan bolak-balik di jalan ini sampai bisa menemukan kita. Saat ini mungkin mereka sudah tahu bahwa kita belum keluar dari wilayah perkebunan ini dari rekan mereka yang bertugas menunggu di jalur desa.”
Hati Rengganis berdebar kuat. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.
“Lantas kita harus bagaimana?” tangis Rengganis pecah.
“Kenapa menangis? Kalau kamu wanita yang penakut harusnya tidak pernah berpikir akan melewati jalur mengerikan ini di malam hari,” sindirnya.
Diberi sindirin seperti itu tangis Rengganis bukan berhenti tetapi semakin bertambah kuat.
“Kamu mau kita tertangkap? Silakan kencangkan lagi suara tangismu.” Laki-laki itu berjalan meninggalkan Rengganis sendirian.
Seketika Rengganis menghentikan tangisnya dan berlari menyusul pemuda yang telah menyelamatkannya itu.
“Kita mau kemana? Kenapa semakin masuk ke dalam perkebunan? Aku takut.” Rengganis menjejeri langkah pemuda dengan aroma parfum yang sangat khas itu.
“Kita cari tempat yang lebih aman untuk sembunyi. Tempat itu sangat dekat dengan jalan, mereka bisa dengan mudah menemukan kita.”
“Motormu bagaimana?”
“Ya kalau memang hilang nanti kan bisa Kamu ganti. Aku lihat dari mobil dan cara berpakaianmu sepertinya Kamu berasal dari keluarga kaya.”
“His.” Rengganis yang berganti meninggalkan laki-laki itu.
“Hey kamu mau kemana. Kita akan ke arah sana.” Laki-laki itu menunjuk sebuah batu besar yang dikelilingi pepohonan yang rimbun.
“Kenapa ke sana? Pohonnya gede. Nanti kalau ada—?” Rengganis tak sanggup meneruskan kata-katanya.
“Hantu.” Laki-laki itu memotong.
“Berdoa.” Laki-laki dingin itu berjalan terus menuju tempat yang tadi ditunjukknya.
Lagi-lagi Rengganis tak punya pilihan selain menuruti laki-laki itu.
“Kamu takut sama hantu. Kamu gak takut sama aku?” tanya pemuda itu.
“Takut,” jujur Rengganis.
“Kenapa mau mengikuti aku?”
“Aku tak punya pilihan.”
“Kamu punya pilihan kok dan kamu sudah memilih. Pilihanmu benar.” Laki-laki itu tersenyum kecil. Rengganis memandang wajah tampan laki-laki di hadapannya dalam samar-samar sinar bulan separuh. Senyum kecil itu tampak begitu menggemaskan.
“Jangan lama-lama mandangnya nanti jatuh cinta.” Rengganis langsung menundukkan wajahnya yang tertangkap basah sedang memandang wajah laki-laki berjaket kulit berwarna hitam itu.
Laki-laki itu mulai menyadari Rengganis hanya berbalut baju kemeja berbahan silk yang pasti membuat tubuhnya merasa dingin. Dilepasnya jaket yang ia kenakan dan diberikan pada Rengganis.
“Gak usah sog romantis seperti di film-film aku gak akan jatuh cinta sama kamu.”
Rengganis merampas jaket di tangan pria itu dan meletakkannya di tubuh bagian depan tanpa mengenakannya. Mereka tertawa bersama setelah menyadari satu sama lain saling mencuri pandang.
Bulan terasa merambat begitu cepat. Mentari mulai muncul di ufuk timur. Laki-laki asing yang telah menghabiskan waktu menatap bulan separuh bersama Rengganis malam ini membuka jalan untuk mereka lewati.
“Nih masih lengkap motorku. Sepertinya mereka tidak menemukannya semalam. Beruntung kamu tidak perlu mengganti sepeda motor kesayanganku ini.”
“Aku bisa minta papi membelikanmu motor yang lebih bagus dari milikmu kalau kamu mau. Setidaknya untuk membalas jasa karena telah menolongku.”
“Tidak perlu repot-repot, Nona Manis. Motor ini penuh kenangan dan bukti perjuangan hidupku selama ini dan sekarang akan menjadi kenangan untukmu juga Kamu juga tidak akan pernah bisa melupakan kenangan bersama motor ini kan? Karena malam ini adalah malam yang tak akan pernah bisa kau lupakan seumur hidup.”
“Betul.” Rengganis merinding membayangkan peristiwa yang menimpanya semalam jika tidak ada laki-laki disampingnya ini.
“Ayo kita lihat keadaan mobilmu.”
“Tidak perlu, nanti kita minta orang saja yang ambil. Aku takut.”
“Jangan takut. Hari mulai terang. Lihat orang-orang sudah ramai hilir-mudik, tidak apa-apa lagi pula ada aku.”
Rengganis menyadari laki-laki yang menolongnya semalam adalah seorang anggota TNI dari baju loreng yang dikenakannya. Dengan seragam ini laki-laki bertubuh tegap ini tampak lebih gagah dan berwibawa.
“Sudah kubilang jangan terlalu lama mandangnya nanti kamu jatuh cinta.”
Rengganis hanya tertawa mendengar kata-kata laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
“Ya ampun tas beserta isinya hilang. Semua amblas, Bang. Tak tersisa.” Rengganis tampak Syok melihat semua barang-barang berharga di mobilnya raib.
“Sudah tak apa yang penting nyawamu selamat. Ini pelajaran berharga buat anak mami sepertimu. Dunia ini kejam, jangan sekali-kali berbuat nekat. Ingat.”
Laki-laki ini bukan siapa-siapa buat Rengganis tetapi sejak pertemuannya semalam entah sudah berapa kali ia mengatur hidup Rengganis dan herannya Rengganis tidakn merasa keberatan diperlakukan seperti itu bahkan timbul rasa lain yang sulit diterjemahkan oleh gadis cantik itu. Rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Mungkinkah ini karena cinta? Kita tunggu kelanjutannya.
Mentari baru saja muncul dari ujung langit bagian timur. Sinar hangatnya memang belum terpendar rata ke seluruh mayapada. Namun, dalam hati Rengganis kehangatan itu mulai menjalar melewati seluruh urat nadinya.
“Yaps sampai.” Rengganis bergegas turun dari motor besar laki-laki yang telah berhasil menyelamatkan hidupnya semalam. Senyumnya terus mengembang pagi ini.
“Terima kasih,” sambungnya.
Laki-laki bertubuh tegap itu membalas dengan anggukan.
“Jadi ini puskesmu?”
“Iya betul. Aku menyesal meninggalkannya semalam.” Wajah Rengganis berubah sendu.
“Ingat pesanku baik-baik. Jangan kamu ulangi lagi keberanianmu yang konyol itu. Beruntung kamu masih selamat, jika tidak, mungkin pagi ini seluruh penduduk desa sudah geger atas penemuan mayat wanita cantik di pinggir perkebunan kopi.”
Rengganis melotot, tangannya refleks memukul lengan laki-laki di hadapannya.
“Sudah--sudah, ternyata kamu jago berkelahi ya. Semalam jidatku kamu pukuli dengan payung sekarang lenganku yang sepertinya akan segera kamu patahkan, lihat ini, mungkin kepalaku benjol karena dipukuli dengan membabi-buta semalam.” Laki-laki itu menunjuk jidatnya yang memang terlihat memar.
“Oh maaf, aku salah paham. Mari turun biar kulihat lukamu." Rengganis terlihat sangat merasa bersalah.
Laki-laki muda itu melirik jam tangan bertali kulit hitam di tangan kanannya. Kemudian memutuskan untuk turun mengikuti tawaran Rengganis.
“Oke, aku ikut daripada nanti terjadi hal-hal yang tidak-tidak di otakku lebih baik kita periksa sekarang. Masih pukul setengah tujuh. Sepertinya aku masih bisa sedikit bernapas," ucapnya.
“Maksudnya? Apa kalau sudah lebih dari pukul tujuh kamu tidak dapat bernapas lagi? Apa kamu hantu? Jangan bilang kamu penunggu perkebunan kopi yang mati mengenaskan karena dibunuh para perampok?” Rengganis tampak ketakutan. Tangannya menutup rapat-rapat mulut mungilnya.
“Lihat baik-baik. Mana ada hantu setampan aku.” Laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada wajah Rengganis.
“His apaan sih?” Rengganis tergagap. Ia berjalan masuk ke halaman puskesmas tempatnya bertugas yang sudah terlihat bersih. Mungkin Pak Hari sudah membersihkannya sejak hari masih gelap.
Rengganis berjalan mendahului laki-laki yang sudah berhasil membuat jantungnya berdebar dua kali sejak pertama bertemu. Tangan gadis itu memegang dada yang debaran jantungnya bisa terdengar lebih kencang dari biasanya.
Sementara tentara muda berpangkat kapten itu tersenyum diam-diam tanpa sepengetahuan Rengganis. Hatinya penuh dengan bunga-bunga.
“Ayo berbaring di sana. Biar kuperiksa.” Rengganis memberi perintah.
Laki-laki itu bergerak mendekati tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya tanpa melepas pakaian seragamnya.
“Biru AP. Apa itu maksudnya?” tanya Rengganis penasaran.
“Itu namaku,” jawab laki-laki muda itu singkat.
“Namamu Biru?” Rengganis membulatkan matanya yang indah.
“Ya.”
“Lalu AP?”
“Kenapa ingin tahu? Aku saja tidak pernah bertanya apa-apa tentangmu?” sergah laki-laki dingin yang baru diketahui Rengganis bernama Biru.
Rengganis memukulkan ujung stetoskop ke dada Biru.
“Au, apa kau akan membunuhku?” Biru mengusap-usap dadanya.
“Dadamu berdetak begitu cepat. Jika terus begitu, tanpa kupukul pun kamu akan segera mati." Rengganis kembali ke meja kerjanya. Senyumnya mengembang setelah tubuhnya berbalik tak terlihat oleh laki-laki itu.
Biru cepat-cepat bangun dan memegang jantungnya yang baru saja dibilang dokter cantik itu berdetak lebih cepat.
“ Apa benar alat itu bisa mendeteksi kecepatan dantungku berdetak,” tanya Biru malu-malu.
Rengganis hanya tertawa melihat laki-laki tampan dihadapannya kelimpungan.
“Maaf, Dok, saya datang terlambat. Tindakan apa yang harus kita berikan? Saya dengar dari Pak Hari ada pasien datang?” Astuti masuk ruangan dengan tergopoh-gopoh.
“Tidak perlu. Dia baik-baik saja.” Rengganis mengedipkan matanya pada Astuti. Rengganis berharap Astuti segera keluar meninggalkan ruangan.
Namun, gadis lugu itu tidak mengerti isyarat yang diberikan dokter Rengganis. Ia malah asik terkesima memandang pasien ganteng yang sedang merapikan kembali pakaiannya.
“Tampan, Dok,” ucap Astuti diluar kesadarannya.
“Hei,” Rengganis melotot kepada Astuti.
Kali ini sinyal yang dikirimkan pada Astuti sampai dengan baik. Gadis berjilbab kuning itu bergegas mundur kembali meninggalkan ruangan dokter Rengganis.
“Maaf.” Rengganis tersipu.
“Tak apa, Kalau begitu aku harus kembali ke camp. Ingat pesanku baik-baik. Jaga diri, jangan terlalu dekat dengan orang yang tidak kamu kenal. Periksa semua pintu dan jendela sebelum tidur.” Wajah Biru tampak serius.
Rengganis hanya menghela napas. Laki-laki posesif ini lama-lama bertindak melebihi mami dan neneknya. Banyak sekali yang harus diingat Rengganis. Namun, hati gadis itu nampak menerima semua nasihat sang kapten dengan penuh suka cita.
Rengganis melambaikan tangannya pada laki-laki yang baru saja melaju menjauh dari hadapannya.
“Laki-laki aneh,” gumam Rengganis.
Rengganis membalikkan tubuhnya, gadis cantik itu kaget setengah mati melihat Bidan Maya, Astuti dan Pak Hari telah berdiri di belakangnya memandang dengan tatapan penuh tanya.
“Buat kaget aja.” Rengganis menutupi keterkejutannya.
“Itu tadi siapa, Dok?”
“Mau tau aja,” kilah dokter cantik berambut indah itu.
“Aku mau tanya, emang dia ganteng ya, Mbak?” Rengganis mendekati Astuti.
“Banget.” Astuti menjawab dengan penuh ekspresi.
“Itu pasukan yang sedang ngepos di hutan deket kali Arung kan, Dok?”
“Maksud Pak Hari?” Rengganis tampak bersemangat.
“Itu di hutan kecil sebelah kulon kan ada pasukan tentara lagi latihan, Dok. Ruuuaaaaameeee banget. Kemarin pada lewat sini," jelas Pak Hari.
“Oh ya? Kenapa aku gak tahu ya?”
“Dokter lagi sibuk. Kan pasien kita kemarin banyak.”
“Betul.” Rengganis menggangguk-angguk menyesal.
“Pak Hari tahu tempat mereka berkemah?”
“Berkemah, memang anak pramuka, Dok.” Astuti tak terima.
“Ya gitu deh pokoknya.” Rengganis mengibas-ngibaskan tangannya.
“Tahu, Dok. Di sana kan memang sering jadi tempat latihan. Kalau masyarakat sini sudah pasti hafal tempatnya. Retno, adik saya dan suaminya kan kalau ada tentara latihan gitu buka warung kecil di tepi hutan, Dok. Lumayan tambah-tambah penghasilan.”
“Oh ya?” Mata Rengganis tampak berbinar.
“Iya, Kalau pas lagi ada tentara latihan gini warga pada seneng, jalan dan perkampungan agak aman. Para bandit dan pemuda begajulan itu takut sama tentara yang sering lewat-lewat.”
“Kenapa semalam ada ya?” Rengganis bergumam kecil.
“Maksud, Dokter?” Pak Hari memicingkan kedua matanya.
“Oh iya, bagaimana cerita semalam, Dok? Kami hampir pingsan membayangkan dokter diterkam para berandal di perkebunan kopi.” Bidan Maya yang sejak tadi diam ikut buka suara.
“Eh, anu—anu,” Rengganis bingung mau menjelaskan mulai dari mana.
“Udah deh, aku mandi dulu nanti keburu pasien pada datang. Oh ya, pasien yang datang semalam bagaimana?”
“Alhamdullilah sudah kami tangani, Dok. Hanya butuh beberapa jahitan akibat terjatuh saat pulang bertani” Astuti tersenyum semringah.
“Oke bagus kalau begitu. Terima kasih, kerja bagus, Mbak."
Rengganis melangkahkan kaki menuju rumah dinasnya. Ia membayangkan bisa tidur di kasurnya yang hangat. Baru kali ini dokter manja itu begitu merindukan ranjang tua di rumah mess yang terlalu sederhana untuk seorang Rengganis, putri konglomerat kaya.
“Tap.” Tiba-tiba langkah kaki Rengganis berhenti, berbalik dan kembali mendekati teman-temannya.
“Bidan Maya, Mbak Astuti, dan Pak Hari bisa bantu aku?”
“Siap, Ndan.” Mereka bertiga teriak berbarengan.
“Bu Bidan pinter masak kan?”
“Bisa sih, Dok, tapi bukan berarti pinter.”
“Cukup,” potong Rengganis.
“Mbak Astuti aku minta tolong, bantu aku berbelanja ke pasar desa. Beli kebutuhan untuk makan siang. Aku mau kirim bantuan makanan untuk pasukan yang sedang latihan. Beli yang banyak,” perintah dokter muda itu, tiga orang diharapannya hanya mampu terbengong-bengong tak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan dokter mereka.
“Bidan Maya hari ini khusus bagian dapur saja, ada Bidan Ferra yang akan menggambil alih tugas Bidan Maya sementara. Astuti juga bantu di dapur, biar Bu Riri dan Mbak Katmia yang stand bye. Semoga saja pasien tidak terlalu banyak hari ini.”
“Aamiin,” mereka menjawab serempak lagi.
“Jika tak ada pasien aku akan bantu kalian juga.” Rengganis berkata sangat yakin. Padahal bagaimana cara menghidupkan kompor saja gadis manja itu tidak tahu.
“Lalu tugas saya apa, Dok?” tanya Pak Hari.
“Pak Hari nanti yang antar hasil masakan ke pos mereka ya.”
“Saya tidak bisa bawa motor, Dok.” Pak Hari nyengir-nyengir.
“Ya ampun. Pak Hari buat malu saya saja. Pokoknya kalau ada kesempatan Pak Hari harus belajar mengendarai motor. Paham!”
“Siap, Dok.” Pak Hari memberi hormat layaknya seorang tentara.
Pagi itu menjadi hari yang begitu sibuk. Seperti doa mereka, sepanjang pagi belum terlihat satu orang pasien pun datang berkunjung ke puskes mereka.
Rengganis merasa lega, semua menu makanan yang diinginkannya sudah hampir selesai.
“Bagaimana, Bu Bidan, sudah beres semua?”
“Sudah, Dok. Tinggal sambalnya saja yang belum. Capcay, ayam goreng, kerupuk, dan lalapan sudah saya pack rapi.”
“Oke bagus. Sambalnya jangan terlalu pedas. Kasian jika mereka sakit perut. Nanti malah gak bisa ikut latihan.”
“Baik, Dok. Kalau boleh tahu memangnya ada apa. Tiba-tiba mau mengirimkan bantuan logistik untuk Bapak-Bapak Tentara itu. Apa ada hubungannya dengan Tentara Ganteng yang dibilang Astuti?” tanya Bidan Maya.
“Iya, Bu Bidan. Saya mau mengucapkan terima kasih pada Kapten Biru. Kalau tidak ada dia saya tidak bisa membayangkan saya sudah jadi apa sekarang.”
Hanya pada Bidan Mayalah, Rengganis ingin bercerita. Di tempat yang asing ini Bidan Maya seolah-olah telah menjelma sebagai mami. Tempatnya bercurah dan minta perlindungan.
Bidan Maya menggangguk-angguk seperti mulai mengerti apa yang telah terjadi pada dokter cantik mereka ini semalam. Dalam senyumnya ia bersyukur tidak terjadi hal-hal buruk yang mengerikan terhadap dokter muda yang mulai disayanginya ini.
Setiap memandang Rengganis, Bidan Maya teringat pada putrinya yang bernama Ayu.
“Mungkin jika masih hidup, Ayu sudah berusia sama dengan dokter Rengganis,” pikir Bidan Maya.
“Aku mau buat mango juice dulu buat Kapten Biru.” Tangan Rengganis mulai mengupas buah mangga yang sudah dibeli Astuti.
“Bukan begitu caranya, Dok. Begini.” Bidan Maya dengan sabar mengajari dokter Rengganis bagaimana cara membuat mango juice yang akan diberikannya kepada Kapten Biru dengan sangat sabar. Mulai dari cara memegang pisau yang benar hingga menggunakan blender.
“Oke, semua sudah selesai. Pak Hariiii,” panggil Rengganis.
“Siap, Dok.”
“Ini diantar ya. Pak Warso sudah datang kan?”
“Sudah, Dok.”
“Ini uang untuk bayar ojekkan Pak Warso.”
“Terima kasih, Dok.”
“Ingat. Ini spesial untuk Kapten Biru. Jangan pergi sebelum sampai ke tangannya," perintah Rengganis.
Pak Hari tertawa mengerti. Dia harus menjaga mango juice yang sangat berharga ini dengan hati-hati jika tak ingin melihat dokter Rengganis kecewa.
Apakah mango juice istimewa itu akan sampai ke tangan Kapten Biru dengan selamat? Jangan lupa tunggu kisah selanjutnya ya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!