Anak?
Sebagai orang tua, mereka memang melahirkanya, memberi makan, rumah, kasih sayang dan pelajaran.
Tapi sampai kapanpun, anak adalah anak, dia punya dunia dan jiwa sendiri. Tak bisa dipaksa meski kita mengarahkanya. Dia mempunyai jiwa yang bebas, dan tak ada yang pantas membelenggunya.
Seperti anak panah dan peluru. Kita memang membidiknya, setepat mungkin, tapi kemana melesat, mereka punya jalanya. Alam dan Tuhan yang menggerakanya.
********
Hai pembaca semua.
*Sebelum membaca novel ketiga saya, saya minta maaf, atas semua kekurangan dalam novel saya nanti.
Ini tentang anak si Alya dan Ardi novel pertamaku. Kalau mau tau jalan cerita sebelumnya boleh tengok ke Berlianku istriku.
Tapi kalau belum sempat. Inysa Alloh masih tetap nyambung untuk dibaca, karena Jingga dan Emaknya beda cerita. Beda latar juga. hehehe
Novel ini dibuat pure hanya kehaluan dari author*. Tolong jangan menuntut sempurna karena author manusia biasa. Hehe
Jika suka silahkan baca, tinggalkan like, komen dan love favorit. Syukur mau kasih vote dan tips. Hehe, selamat membaca.
Kalau nggak suka boleh pergi tapi jangan cela. Kritik boleh tapi jangan hancurkan mental author yaa.
Tolong diambil baiknya, jeleknya lupakan.
****
"What? Buna hamil lagi, Ba?" tanya Jingga terperangah setelah mendengar penuturan ayah ibunya.
Jingga Pelangi Ardi Gunawija, usianya 20 tahun, putri pertama dari keluarga Gunawijaya. Keluarga konglong merat nomer satu di Negaranya.
Di dalam ruang keluarga sebuah istana. Anak ibu dan ayahnya itu sedang berkumpul. Ardi Gunwijaya dan istrinya sedang menyampaikan berita gembira ke putri sulungnya. Bahwa mereka akan kedatangan anggota keluarga baru yang masih ada di perut Nyonya Alya.
Tapi berita itu berkebalikan dengan hati Jingga. Betapa tidak, di usia 46 tahun ibunya hamil lagi. Bukan Jingga benci dengan adik-adiknya, tapi sekarang Jingga sudah punya 5 adik.
2 adik kembar laki-laki yang berusia 2 tahun di bawahnya, yang berarti usia 18 tahun dan mereka berdua tinggal di luar negeri. 1 adik perempuan yang usianya jarak 3 tahun di bawah adik kembarnya yang artinya berusia 15 tahun, dia sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren di luar negeri juga.
Dan adik selanjutnya 2 orang adik kembar laki-laki yang usianya masih 4 tahun. Setiap hari bikin keributan membuat Jingga pusing tujuh keliling, karena sangat nakal. Bisa-bisanya ibunya hamil lagi.
Jingga stress kalau ibunya lahiran kembar lagi. Saat Jingga kecil, belum puas dimanja Jingga harus sudah mengalah dengan kehamilan kedua ibunya. Dan seterusnya, Jingga selalu dinomor duakan dari adik-adiknya.
"Iya Sayang" jawab Bunda Alya, ibu Jingga yang dipanggil dengan sebutan Bunal, atau Buna.
"Kenapa ekspresimu tidak suka begitu?" tanya Baba Ardi ayah Jingga.
"Hhhh" Jingga hanya menghela nafas sangat kecewa tapi tidak mungkin mengungkapkan ke Babanya.
"Jingga suka kok, tapi Jingga kasian sama Buna" jawab Jingga.
"Kenapa kasian Sayang?" tanya Buna lmebutm
"Buna kan sudah tua, Bun, kenapa masih hamil lagi? Emang Buna nggak capek?" tanya Jingga cemberut menunduk tidak berani menatap Babanya yang galak.
"Anak itu rejeki Sayang, banyak orang yang ingin punya anak lhoh, Baba dan Buna bersyukur dikasih banyak, tandanya Buna masih dipercaya, masa capek? Kamu seneng kan punya adek lagi?" tanya Bunanya Jingga lembut.
"Tau ah. Terserah Buna dan Baba aja" jawab Jingga kecewa.
"Huaaaa.... Biru nakal"
"Hijau yang nakal, Uuhh!"
Dari arah kamar samping tempat area bermain terdengar suara tangisan anak balita bertengkar. Jingga menghela nafasnya. Itu seperti sudah menjadi makanan sehari-hari Jingga. Sampai Jingga stress sendiri dua adik kembar nya ini sangat aktif dan selalu menjadi biang onar.
"Adikmu menangis. Buna ke sana dulu ya. Jingga ngobrol sama Baba" ucap Buna Jingga berdiri dan meninggalkan anak dan suaminya.
Adik-adik Jingga akan sangat nurut dan dekat dengan Bunanya. Karena Buna Jingga memang sangat baik. Tapi jika tidak ada Bunanya mereka selalu membuat ulah.
Jingga kemudian mengeluh kesal lagi, setiap Jingga ingin mengungkapkan sesuatu ke ibunya, selalu ditinggal karena adiknya. Dan itu selaku terjadi di sepanjang hidupnya.
Entah pada saat adik keduanya si Amer (Merah) dan Si Ikun (Kuning), saat mereka mulai besar, bunanya disibukan lagi dengan kelahiran si Nila adik ketiganya. Pokoknya Jingga selalu di nomor duakan. Dan sepanjang hidup, Bunanya selalu sibuk mengurusi balitanya yang tiada henti.
Dan saat adik-adiknya besar, ibunya mulai hamil lagi, ada anak kecil lagi. Begitu seterusnya.a
"Baba sama Buna sudah sampaikan apa yang Baba ingin sampaikan. Katanya kamu ingin sampaikan sesuat juga ke Baba sama Buna. Apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Baba Jingga.
Malam ini mereka bisa berkumpul bertiga terjadi setelah mereka janjian dari 3 hari yang lalu. Sepeninggal kakek Jingga 5 tahun lalu, ayah Jingga sangat sibuk, bahkan sering kali keluar negeri.
"Nggak jadi Ba" ucap Jingga lirih.
Sebenarnya Jingga ingin cerita banyak tentang kuliahnya, teman-temanya. Tapi mendengar kabar ibunya hamil lagi membuat Jingga kesal dan hilang mut ngobrolnya.
"Kamu anak pertama Baba. Kamu harus kuat dan mandiri, harus bisa jadi contoh dan menyayangi adik-adikmu!" tutur Baba Jingga untuk yang kesekian kalinya.
"Ya Ba!" jawab Jingga lirih
Sebenarnya mendengar kata-kata itu Jingga ingin memberontak. Kenapa Babanya selalu berkata dan menuntut anak pertama.
Apa salah jadi anak pertama. Jingga juga ingin diperhatikan kedua orang tuanya, bukan pengawal dan baby sisternya. Anak pertama juga ingin mendapatkan jatah dimengerti dan disayangi.
"Ya sudah. Baba masih banyak pekerjaan, kalau tidak ada yang mau disampaikan Baba kembali ke ruang kerja!" ucap Baba Jingga berdiri hendak pergi.
Jinggak diam dan menunduk. Selalu begitu, mereka hanya berkumpul saat makan bersama. Setelah itu Babanya akan sibuk di ruang kerjanya.
Selesai di ruang kerja Babanya bersama Bunanya di kamar tidak boleh diganggu. Kalau ada waktu berlibur bersama, perhatian mereka ke adik-adik Jingga yang masih kecil.
"Ba" panggil Jingga ragu menghentikan langkah Babanya.
"Kenapa?" tanya Baba Jingga berhenti dan menoleh ke anaknya.
"Boleh nggak sekali aja Jingga pergi tanpa pengawal, Jingga ingin habiskan akhir pekan liburan bareng temen. Jingga udah semester 7 Ba. Jingga udah dewasa Ba. Jingga nggak mau diawasi pengawal terus!" ucap Jingga akhirnya mengeluarkan unek-uneknya.
Baba Jingga menggerakan bibirnya sambil berfikir. Lalu menatap putrinya dengan seksama. Jingga memang sudah tumbuh besar, dia menjadi putri yang berani dan disegani.
Karena Jingga anak pertama, Baba dan Bunanya melarang Jingga kuliah di luar negeri. Kemana Jingga pergi selalu di awasi pengawal, bahkan kuliahpun begitu.
Apalagi karena sifat Jingga yang berbeda dari ibunya. Bahkan meski ibu, nenek dan adiknya berhijab, Jingga bersikeras memilih tidak.
Orang tuanya mengalah dan hanya bisa mendoakan agar kelak mau. Dan sebagai syaratnya karena Jingga nurut, Jingga tidak boleh jauh dari orang tuanya dan selalu dikawal.
"Kamu tau kan, kamu anak pertama, dan kamu putri kesayangan Baba dan Buna. Baba tidak mau kecurian terjadi sesuatu denganmu. Tidak. Kamu harus pergi dengan pengawal Baba" jawab Baba Ardi tegas.
"Ba.. kenapa Adik Nila boleh kuliah di luar negeri, tanpa pengawal dan Jingga nggak? Nila kan putri Baba juga" seru Jingga akhirnya protes.
"Adik Nila manis penurut, dia juga tinggal di pesantren, jadi Baba ijinkan kuliah di luar Negeri. Kamu Baba suruh pakai jilbab seperti Buna saja tidak mau" jawab Baba Jingga beralasan.
Salah Jingga memang tidak mau menurut. Tapi Jingga memang belum terketuk untuk meniru ibunya.
"Baa" panggil Jingga lagi memohon.
"Harus dengan pengawal, kemanapun kamu pergi"
"Sehari aja Ba! Jingga pengen maen!" rengek Jingga lagi.
"Nggak!"
"Baba!"
"Tidak"
"Jingga udah besar Ba. Bentar lagi Jingga Sarjana, bentar lagi Jingga dewasa dan bekerja"
"Dan sebentar lagi, Baba akan temukan kamu dengan calon jodoh kamu, baru Baba bebaskan kamu dari pengawal!" ucap Baba Jingga tegas membuat Jingga semakin terjepit.
"What?" pekik Jingga kaget dan tidak terima.
"Sudah. Baba mau kerja. Selesaikan tugas kuliahmu. Sebentar lagi kamu skripsi kan? Jangan buat Baba marah. Kamu tahu kan hukumanya?" tutur Baba Jingga tidak mau ada penolakan dan tolelir keputusan. Baba Jingga berlalu meninggalkan Jingga.
Jingga kemudian menghentakan kakinya dan mengepalkan tanganya. Jingga merasa sangat kesal dilahirkan menjadi anak pertama. Apalagi dengar dirinya mau dijodohkan.
Di sudut rumah besar keluarga Gunawijaya, di dalam ruang yang didekor sedemikian rupa sehingga terlihat seperti galeri hello kitty, Jingga duduk termenung.
Dipandanginya undangan dari temenya. Sahabat Jingga akan mengadakan party untuk ulang tahunya. Jingga diundang tapi dengan syarat, tanpa pengawal.
Jingga kemudian melempar undangan itu kesal. Lalu berbaring kembali ke tempat tidurnya. Padahal pagi itu Jingga sudah mandi dan berdandan rapi. Rasanya Jingga tak punya semangat, lesu bosan dan tak bertenaga.
Selain Bunanya tidak ada yang bisa mematahkan pendapat Babanya. Tapi bahkan Babanya selalu menempel Bunanya, entah kenapa begitu? Jingga sendiri heran. Baba dan Bunanya kan sudah tua, hidup bertahun-tahun, selain untuk bekerja Babanya tidak beranjak dari Bunanya.
"Huuft gimana caranya aku bisa dateng ke partinya Faya?" gumam Jingga berfikir.
Sekali saja Jingga ingin tau dunia luar. Jingga ingin bergaul seperti teman-temanya. Berdandan, berfoto ria dan menikmati musik.
Selama ini Babanya selalu melarang Jingga berfoto dengan selain anggota keluarganya. Apalagi bermain media sosial, entah apa alasanya menurut Jingga ayahnya sangat katrok.
Tapi heranya Baba Jingga tidak melarang Amer dan Ikun. Bahkan Si Amer dan Si Ikun begitu populer di Intagram. Mereka menjadi si kembar idola yang followernya banyak karena ketampanan dan kepintaranya.
“Thok...thok..." lamunan Jingga dibuyarkan suara ketukan pintu.
"Iya siapa?" tanya Jingga.
"Non Jingga, Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah Non!” panggil Bu Ida asisten rumah tangga di rumah itu.
“Oh ya, Bu” jawab Jingga malas.
Dengan langkah berat dan malas, Jingga keluar dari kamarnya yang berada di lantai 3 rumah itu. Jingga keluar dan turun menggunakan lift.
Rutinitas pagi di keluarga itu adalah, di ruang tengah yang terhampar luas, ada satu tembok yang terpasang lcd. Sebelum melakukan aktivitas apapun, ayah Jingga menyempatkan video call bersama anak- anaknya. Tidak terkecuali dengan Nila yang sedang sekolah dan belajar di pesantren modern di Mesir.
****
Di ruang tengah
“Buna is my mine!” teriak Biru mendorong Hijau dari paha Bunanya
“No! Buna, punya Iyau” jawab Hijau tidak mau turun dari pangkuan Bunanya.
“Bunaa! Iyu pengen duduk di pangkuan Buna juga, suruh Iyu turun!” rengek Biru mau dipangku Bunanya juga.
Masih dengan menahan pusing di kepalanya dan mual di perutnya. Bunda Alya tersenyum ke kedua anaknya, lalu Buna memindahkan Hijau di salah satu pahanya dan menepuk paha yang satu nya.
“Biru kemarilah Nak. Biru dan Hijau semua anak Buna, nggak boleh rebutan atau bertengkar begitu. Buna tidaak suka, kemari, semua Buna pangku. Sini!”
Lalu Biru mendekat. Hijau duduk di paha kanan dan Biru di sebelah kiri.
“Nah begini kan bisa! Janji jangan bertengkar lagi ya!”
“Oke Buna!” jawab Biru
“Ya Buna!” jawab Hijau.
"Kalau bertengkar lagi, nggak ada yang boleh dekat-dekat Buna. Buna nggak mau punya anak nakal dan suka bertengkar" tutur Buna lagi.
"Jangan gitu Buna. Iyau anak baik kok"
"Iya Buna Iyu juga anak baik"
"Oke berjanjilah. Kalau mau jadi anak Buna kalian harus baik dan kompak nggak boleh bsrtengkar!"
"Siap Buna" jawab Hijau dan Biru bersama.
“Cium Buna dong!” ucap Buna memegang kedua pipinya.
Lalu dengan kompak ke dua anak kembar itu mencium pipi Bunanya dengan gemas. Ya itulah keramaian setiap hari di rumah besar itu.
Jingga kemudian turun dan menghampiri Buna dan adik- adiknya.
“Pagi Bun!” sapa Jingga lalu mencium tangan ibunya.
“Pagi Kakak!” jawab Buna. Sementara kedua adik kembarnya hanya diam.
"Sapa Kakak dong Nak" tutur Buna.
"Nggak mau Kak Jingga nakal suka marahin Biru dan Hijau" jawab Biru.
"Ya soalnya kalian nakal" jawab Jingga.
"Tuh kan Buna. Kak Jingga ngatain kita berdua nakal" adu Hijau tidak terima.
"Kan emang kalian nakal" ejek Jingga.
"Nggak! Kita anak Buna kita nggak nakal. Kita anak baik" bantah Hijau cemberut.
"Jingga, Hijau, Biru. Kenapa malah bertengkar sih?" lerai Buna.
"Bun Jingga mau minta tolong" ucap Jingga.
"Ya Sayang, katakan ada apa?" jawab Buna.
Belum Jingga mengutarakan niatnya. Baba Jingga yang tadi menerima telepon dari bawahanya di depan teras masuk. Jingga kemudian menelan salivanya tidak jadi bicara.
"Ramai amat anak-anak Baba?" tutur Baba Ardi. Lalu mendekat ke Jingga.
"Kuliah sampai jam berapa Kak?" tanya Baba Ke Jingga.
"Cuma ada dua mata kuliah Ba, dzuhur sudah pulang" jawab Jingga.
"Bagus pulang cepat ya!"
"Ya Ba"
"Hijau Biru, turun dari Buna kasian paha Buna pegal. Sini sama Baba!" tutur Baba Ardi.
Kalau Babanya sudah bertitah anaknya pun langsung nurut dan tidak ada yang berani membantah. Lalu mereka turun.
Dan Baba Ardi melakukan panggilan grup keluarga anak-anaknya. Lalu mereka bertatap muka melalui video. Saling bertanya kabar, Baba Ardi pun mengumumkan kehamilan Buna mereka.
"What? Baba? Buna are you oke? Apa Buna baik-baik saja? Buna kan soo old Ba?" ketiga anak Ardi berespon sama seperti Jingga ke kedua orang tuanya.
Kenapa Baba mereka tega membiarkan ibunya hamil lagi di usia yang memasuki kepala lima. Memang 4 kali lahiran, dua kali hamil kembar dan dua kali hamil tunggal ibu mereka melahirkan secara normal.
Tapi tidak memungkiri semenjak kehamilan ketiga fisik Buna Alya sangat lemah. Pada saat hamil Nila, Buna hampir setiap bulan masuk rumah sakit. Dan saat hamil Hiju_Biru 3 bulan pertama Buna mereka pucat pasi seperti mayat hidup.
Amer (Merah) dan Ikun (Kuning) langsung sangat khawatir terhadap ibunya. Bahkan mereka juga sama dengan Jingga marah ke Babanya.
"Buna baik-baik saja Nak. Kalian jangan khawatir" jawab Alya ke anak-anaknya.
"Baba jangan kerja terus. Buna lagi hamil jaga Buna Ba!" seru Ikun ke Babanya.
"Ya, Buna kalian sehat dan baik-baik saja tidak usah khawatir" jawab Baba Ardi.
"Baba selalu bilang begitu. Udah tahu Buna udah tua. Nggak KB. Pokoknya kalau Buna sakit, Nila marah sama Baba" ucap Nila yang sangat sayang Bunanya.
"Nila nggak boleh bilang begitu sama Baba, doakan Buna sehat yaa!" tutur Buna Alya.
"Iyau, Iyu. Nggak boleh nakal lhoo kalau Buna sakit!" sambung Amer.
Sementara Hijau dan Biru yang masih balita tidak peduli.
"Kak Jingga bantu Buna ya! Jagain Hijau dan Biru. Baba kan kerja terus. Maaf Nila belum libut" celetuk Nila menyindir Babanya.
"Iya Kak Jingga! Jaga Buna, kalau ada apa-apa sama Buna kabari Amer secepatnya! Amer pulang ke Indonesia akhir semester"
"Iya Kak Jingga. Pokoknya aku padamu Kak Jingga" ucap adik Jingga lagi.
"Hoh?" Jingga justru menelan ludahnya dan melongo lalu mengernyitkan matanya ke Babanya.
Kenapa adik-adiknya justru membebankan keadaan ibunya ke Jingga. Kan Babanya yang hamilin Bunanya.
"Sudah-sudah, kalian kenapa malah jadi ngeremehin Baba dan Buna. Udah Baba tutup teleponya" jawab Baba Ardi mengakhiri video bersama anak-nya itu.
Setelah selesai Babanya pun menyuruh mereka sarapan pagi.
"Dengar kan adik-adikmu Jingga. Selama Baba kerja bantu Buna jaga adik-adikmu, selesai kuliah langsung pulang!" tutur Baba Ardi lagi.
"Tapi Buna nggak apa-apa Ba. Biar Jingga kuliah dengan tenang" sahut Buna yang baik hati mencoba mengerti posisi Jingga.
"Adik-adik kan ada suster Ba?" jawab Jingga mau minta ijin main sama temanya.
"Kamu kan tau sendiri Biru dan Hijau nggak mau sama suster" jawab Babanya.
"Hemmm" Jingga cemberut semakin memedam niatnya buat ijin.
Lalu mereka ke meja makan. Belum sempat makan. Saat Jingga hendak mengambil makananan, tiba-tiba Buna Jingga langsung mual hebat dan berlari ke kamar mandi.
Biru dan Hijau yang belum tahu banyak hal hanya bingung. Babanya langsung menyusul membantu Bunanya. Dan Jingga hanya bisa menghela nafas dan menggigit bibirnya.
Setelah ini jika Babanya tiba-tiba ada meeting penting, bukan hanya Jingga harus menunda main. Tapi Jingga akan dipaksa bolos oleh Babanya. Jingga pasti disuruh jagain Buna dan adik-adiknya.
"I'am not baby sister Ba!" batin Jingga kesal.
Rasanya ingin teriak, melihat gelas di depanya rasanya ingin dilempar sekuatnya. Tapi kesadaran Jingga masih penuh. Buna Jingga tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Buna Jingga sangat baik, pasti akan sedih jika Jingga marah.
Jingga kemudian menelan lidahnya. Di hadapan Jingga ada dua anak yang tanpa dosa memelototi Jingga mengacak-acak makanan di piring yang tadi diambilkan oleh Buna Jingga. Sampai nasi itu berhamburan di piring. Dan sesekali dua anak itu malah beradu sendok.
"Hijau! Biru! Makan yang bener" ucap Jingga menasehati dua bocah kecil yang wajahnya
mirip denganya
"Hihihi" malah dua anak itu saling pandang cekikikan.
"Hhhh" Jingga hanya menghela nafas menahan sabar. Dua adiknya malah terkesan ngeledek Jingga.
"Kak Jingga jelek kalau marah-marah, hihi" ejek Biru malah ngata-ngatain Jingga.
"Biru... makan nggak!" jawab Jingga.
"Di pipi Kak Jingga ada apanya tuh?" tanya Hijau meledek kakaknya lagi.
Lalu Jingga spontan meletakan sendok makanya dan mengelap pipinya panik. Setelah mengusap-usap pipinya tidak ada apapun yang Jingga temukan. Lalu Jingga memandang cemberut ke kedua adiknya.
"Hihi yeyeye Kak Jingga kena prank" seru Hijau dan Biru.
"Hiiissshh. Kaliaan!!" dengus Jingga kesal dan melotot. Jingga pun mengangkat tangan berniat menakuti adiknya. Tapi belum apa-apa adik-adiknya berteriak.
"Bunaaa, Baba, huaaa. Kak Jingga nakal" teriak kedua adik Jingga.
"Hah? Kakak nakal? Kalian kecil-kecil sudah pandai berbohong ya?" cibir Jingga.
Lalu dari arah kamar mandi, Baba Jingga keluar memapah Buna mereka. Buna mereka memang masih terlihat sangat imut. Bahkan teman-teman Jingga banyak yang bilang Buna Jingga seperti kakak Jingga.
Buna Jingga bertubuh kecil, bibirnya mungil manis sekali. Kulitnya juga bersih, alis dan hidungnya cantik alami. Pantas jika Baba mereka masih semangat membuat anak. Tapi pagi ini Buna Jingga terlihat pucat.
"Sayang kenapa teriak-teriak huh?" tanya Buna mereka ke kedua anak bungsunya.
"Buna sakit?" tanya Biru dan Hijau.
"Iya Buna sakit karena kalian!" jawab Jingga.
"Jingga, Baba, antar Buna ke kamar, suapi adik-adikmu ya!" tutur Baba Jingga.
Jingga langsung syok dan melihat jam tanganya 15 menit lagi waktunya berangkat kuliah. Padahal waktu nyuapi kedua adik kembarnya bisa 1 jam lebih. Mereka pasti akan banyak alasan. Bermain-main dan mengerjai Jingga.
"Ba.. tapi Jingga mau kuliah" jawab Jingga menolak Babanya.
"Sebentar saja. Biar Buna kalian istirahat, Hijau Biru patuhi kakak kalian. Buna lagi sakit jangan bikin Buna sedih" tutur Baba mereka.
"Nggak apa-apa Ba, biar Kak Jingga kuliah aja. Hijau Biru makan sendiri bisa kan? Makanlah cepat, setelah itu temani Buna ke kamar ya!" lerai Buna mereka.
Buna mereka sesakit apapun memang sangat baik dan bijak. Hal itu yang membuat Jingga suka tidak tega sendiri, meskipun Jingga menggerutu.
"Ya Buna!" jawab Hijau dan Biru bersamaan.
"Tapi Sayang kamu butuh istirahat. Anak-anak butuh pengawasan" jawab Baba mereka lagi. Maunya Babanya istrinya itu fokus ke kesehatanya, tidak boleh diganggu.
"Ba... Jingga juga butuh kuliah. Buna nggak apa-apa" jawab Buna mereka.
"Ya sudah Baba bantu Buna istirahat, Jingga suapi Biru dan Hijau, tapi 15 menit aja" jawab Jingga akhirnya mengalah.
"Makasih Sayang, Hijau Biru, nggak boleh nakal yaa" tutur Buna mereka.
Lalu Baba mereka menuntun Buna mereka ke kamar. Dan menelpon dokter. Jingga kemudian meninggalkan makanya. Beralih ke kedua adiknya. Mau tidak mau Jingga harus menyuapi adiknya agar adik-adiknya makan dengan baik.
"Baca doa dulu. Bismillahirrohmanirrohim. Allohumma bariklana fi ma rozak tana waqina 'adza bannar" bimbing Jingga ke adiknya.
"Ingat Kakak, mau kuliah, kalau nggak nurut makan sama eyang Siti, apa sama Bu Ida? Apa sama tante Fitri! Mengerti?" gertak Jingga kekedua adik nakalnya.
"Huh!" Biru dan Hijau bersedekap menunjukan muka kesalnya.
"Aak" Jingga menyodorkan sesendok nasi dan potongan ayam dibumbu kuning. Hijau dan Biru masih menutup mulutnya.
"Aak nggak! Kakak laporin ke Baba nih!" ancam Jingga lagi.
"Iya iya!" jawab Biru akhirnya membuka mulut.
"Nah gitu dong!" jawab Jingga lalu memasukan makanan ke mulut adiknya.
"Kukuk kunapa banyk sekli nasinya" protes Biru sambil mengunyah makanan merasa kepenuhan.
"Nggak udah protes biar cepet selesai habis ini kalian temani Buna! Sekarang hijau. Aak" tutur Jingga galak ke adik satunya lagi.
"Nggak may sayurnya, nasinya dikurangi" protes hijau melihat nasi di sendok yang dipegang kakaknya kebanyakan.
"Makan nggak!" ancam Jingga.
"Nggak, dikurangi dulu nasinya!" jawab Hijau tetap protes.
Daripda mengulur waktu, Jingga pun mengurangi nasinya. Lalu Jingga menyuapi adik-adiknya dengan muka garangnya secara bergantian. Baru 5 suap, adik-adiknya sudah protes dan berlarian meninggalkan Jingga.
"Hhhh" Jingga hanya menghela nafasnya. Melatakan sendok dan meninggalkan meja makan yang masih berantakan. Jingga menyusul adik-adiknya ke kamar.
Di kamar Babanya menggulung kemejanya. Berbaring memijat kepala Buna mereka. Adik-adik mereka pun berhambur naik ke kasur ikut peduli dengan Buna mereka.
"Sudah makanya Nak?" tanya Buna mereka.
"Baru beberapa suap Bun!" jawab Jingga.
"Kenapa nggak dihabiskan Sayang?" tanya Buna mereka.
"Kak Jingga galak banget. Sekali suap Biru langsung kenyang" jawab Biru pintar masih tetap mengadu ke Bunanya.
"Biru.. bilang aja emang kamu nggak mau makan!" jawab Jingga tidak mau difitnah anak kecil.
"Benar kok Bun. Kak Jingga galak, nggak kaya Buna. Hijau mau makan sama Buna aja!" jawab Hijau.
"Sudah-sudah. Buna kalian lagi sakit, nggak apa- apa nanti makan lagi. Kalian bermainlah sana" lerai Baba mereka.
"Ya udah Bun, Ba! Jingga berangkat!" jawab Jingga.
****
Gedung universitas elit di kota itu tampak. Bunga-bunga indah di taman kampus itu membuat suasana kampus terlihat menyenangkan. Pohon-pohon tinggi pun mengelilingi pagar gedung besar itu sehingga suasana rindang.
Beberapa mahasiswa terlihat duduk bergerombol dan saling berbincang di kursi- kursi yang disediakan di bawah pohon. Jingga pun melewatinya. Melihat sekeliling teman sekelasnya sudah tidak ada di tempat mereka nongkrong.
Jingga kemudian melirik jam tangan mahalnya.
"Ya ampun Tuhan. Sekarang kan jamnya Dokter Rendi. Haishh, gawat!"
Jingga pun langsung berlari menuju kelas kuliahnya. Jingga lupa kalau pagi ini waktunya praktikum mata kuliah anatomi. Dosen Jingga pagi ini dosen pria yang killer, pelit nilai, menerapkan aturan kuliah yang banyak sekali.
Satu kelebihan Dosen Jingga ini. Dia sudah sukses di usianya ke 30 sudah lulus S2 di Amerika, dan sedan lanjut S3 . Dia juga tampan dan masih single. Beberapa mahasiswanya akan salah fokus ketika mengikuti mata kuliah beliau.
Tapi banyak juga yang mengatainya dosen paking kejam sedunia. Karena dosen itu bisa memberi tugas seenak jidat dan sangat pelit nilai.
"Brak" Jingga dengan tergesa-gesa membuja pintu kelasnya.
Pria tampan berbaju rapi itu sedang berdiri mengucapkan salam. Ternyata Dosennya itu juga baru masuk.
Semua teman-teman Jingga menoleh ke arahnya. Tidak terkecuali dosenya.
"He.. "Jingga langsung melebarkan senyumnya, menyadari dirinya salah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!