NovelToon NovelToon

Presdir Masuk Desa

Penipu

Sinar matahari semakin terik saja, seorang gadis duduk di kursi rodanya. Mencatat satu persatu karung gabah yang dibawa petani. Handphone keluaran lama digenggamnya, mengamati pesan yang masuk.

"Tiga juta," gumamnya menghela napas kasar, berusaha tersenyum. Perlahan kursi roda kembali di gerakkannya, meraih kartu ATM-nya di laci. Memanggil salah seorang pegawai di gudang miliknya, guna menemaninya menuju ATM terdekat.

Lumpuh? Benar, begitulah kondisinya saat ini. Memiliki kekasih yang tengah menempuh pendidikan dokter spesialis. Haikal, begitulah nama kekasihnya. Kalangan atas? Bukan keluarga Haikal hanya buruh tani yang memiliki lahan kecil.

Semenjak usia 18 tahun dirinya menjalin hubungan dengan pemuda itu, hingga sang pemuda memutuskan kuliah di kota. Membantu membiayai kuliah kekasihnya dengan bekerja di ladang dan perkebunan luas milik ayahnya, hal itu yang dilakukannya.

Dirga adalah nama sang ayah. Orang terkaya di desa itu, sering disebut dengan istilah tuan tanah. Hidup yang sempurna bukan? Namun, saat usia 22 tahun terjadi kecelakaan yang membuat putrinya tidak dapat berjalan.

Haikal sempat pulang menjenguk kekasihnya, menggenggam erat jemari tangannya di rumah sakit."Aku akan kuliah di kota, menjadi seorang dokter, hingga dapat menyembuhkanmu," ucapnya penuh senyuman ketika memutuskan untuk menempuh pendidikan kembali sebagai dokter spesialis tulang.

Hana hanya tersenyum mendapati wajah tulus kekasihnya yang menggenggam jemarinya erat.

Sudah 8 tahun berlalu, dirinya hanya mentransfer uang. Sesekali bertemu dengan kekasihnya jika pemuda itu pulang kampung.

***

Hari berganti malam, Hana merenggangkan otot-ototnya, menatap halaman rumahnya yang luas. Hingga satu orang lagi datang padanya, Sena (ibu Haikal). Wajah memuakan yang terlihat tersenyum penuh maksud padanya.

"Hana, syukurlah kamu masih di rumah, Gio (adik Haikal) sakit. Ibu ingin membawanya berobat," ucapnya, menggenggam jemari tangan gadis yang duduk di kursi roda.

"Perlu berapa?" tanyanya.

"Satu juta," jawab Sena tanpa ragu.

"Gio sakit apa?" Hana mengenyitkan keningnya.

"Badannya panas, harus dibawa ke rumah sakit. Takutnya DB atau penyakit lainnya jadi lebih baik tes darah untuk berjaga-jaga," jawab Sena.

"Pak Kirjo!!" panggil Hana pada salah satu pegawai ayahnya."Antar Gio ke rumah sakit, bawa mobil di garasi," lanjutnya, merogoh saku memberikan kunci.

"Biar bibi saja, tidak usah merepotkan Kirjo. Berikan saja uangnya..." Sena menadahkan tangannya.

Hal ini tidak terjadi sekali, sudah sering terjadi, menganggap remeh gadis di hadapannya. Ayah Haikal? Pria paruh baya itu salah seorang buruh angkut di gudang milik Dirga. Sedangkan Sena, merias diri dan kerap bermain judi.

"Ini..." Hana menyodorkan uang 50 ribu rupiah.

"Kenapa segini!? Mana cukup untuk ke rumah sakit," ucap Sena geram.

"Cukup untuk berobat ke bidan atau mantri. Kalian tidak mempunyai kendaraan ke rumah sakit, diantar Kirjo pun tidak mau. Ya sudah, berobat di bidan saja..." jawab Hana acuh.

Plak...

Satu tamparan mendarat di pipi gadis yang duduk di kursi roda. Sena mengenyitkan keningnya kesal,"Aku akan mengadukan ini pada Haikal!! Nyawa adiknya dipertaruhkan tapi kamu!!" bentaknya.

"Kalau tidak mau, kembalikan 50 ribunya," Hana menadahkan tangannya.

Sena merajuk membawa uang pergi tanpa rasa malu, dengan langkah kesal, meninggalkan gadis yang duduk di kursi roda,"Dasar cacat!!" umpatnya, tidak sadar diri sudah hidup dari hasil kerja keras seorang gadis cacat.

Dirga menghela napas kasar, menghampiri putrinya,"Kenapa tidak diberikan saja? Hubunganmu dan Haikal nanti..." tanyanya.

"Tidak, biarkan saja, ayah hari ini Sari (ART yang bekerja di rumah mereka) masak apa?" tanyanya tersenyum sembari mencatat sesuatu di buku kecilnya.

"Tumis kangkung," Dirga menghela napas kasar, menatap putri satu-satunya, gadis yang akan mewarisi usahanya, telah berusia 30 tahun namun tidak kunjung dilamar kekasihnya juga.

***

Malam semakin gelap, Hana duduk di tepi tempat tidur, menghela napas kasar, mulai kembali belajar berdiri. Sedikit demi sedikit, menggerakkan kaki putihnya yang lemas, langkah pertama, hingga langkah kedua, akhirnya pada langkah ke tiga kembali terjatuh di lantai.

"Sial!! Hanya mengambil air saja sesulit ini!!" ucapnya menangis terisak. Menatap ke arah jendelanya yang menunjukkan langit berawan.

Berawan? Di tempat lain, tepatnya sebuah apartemen sewaan, hujan mengguyur dengan deras, disertai suara petir.

"Sayang kita jadi menikah kan?" tanya seorang wanita berbalut selimut tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Memeluk pemuda rupawan yang berbaring dengan selimut yang sama disampingnya.

"Iya, kamu memiliki butik sendiri. Aku sebentar lagi juga akan wisuda. Kita akan menggelar pesta pernikahan yang meriah," ucap Haikal tersenyum, mengeratkan pelukannya.

"Aku mencintaimu, besok belikan aku pakaian baru untuk datang ke acara wisudamu ya?" tanya Zara (sang wanita), dengan nada manja.

"Iya," Haikal kembali mencumbui tubuh wanita dalam dekapannya, memberikan rangsangan untuk melanjutkan kegiatan mereka.

Pakaian baru? Konyol bukan? Seorang pemilik butik ingin dibelikan pakaian baru oleh kekasihnya. Benar, Zara hanya berbohong, ingin menjerat calon dokter spesialis muda dalam pelukannya.

Haikal? Pemuda itu juga pembohong besar, mengatakan dirinya anak orang terkaya di desanya sehingga dapat meminta uang berapa saja.

Menikahi pemilik butik yang kaya dalam pelukannya, adalah keinginannya, guna melepaskan diri dari gadis cantik cacat yang membiayai kuliahnya.

Dengan sengaja keduanya berhubungan berkali-kali tanpa pengaman. Menginginkan menjerat pasangan yang dianggapnya memiliki status tinggi untuk menikah dengannya.

***

Di tempat lain...

Prang...

Seorang pemuda kembali melakukan kesalahan, menghela napas kasar merasa tidak ada pekerjaan yang cocok dengannya.

"Ini sudah yang kesekian kalinya!! Nathan!! Kamu dipecat!!" ucap seorang pria paruh baya membentak pemuda yang hanya tertunduk, memungut pecahan kaca di hadapannya.

Jemari tangannya gemetaran, kesal? Tentu saja. Pemuda itu berjalan keluar area restauran, merogoh phonecellnya.

"Kelvin, aku masih taruhan dengan kakakku bukan?" tanyanya pada seseorang di seberang sana.

"Iya tuan, jika anda dapat menghasilkan 100 juta tanpa bantuan dari kakak anda, dan mengambil bidang lain, selain bisnis. Anda dapat kembali," jawab Kelvin (sekretaris Nathan).

"Aku punya sebidang tanah di desa terpencil, yang belum disita kakakku. Aku ingin kesana saja belajar menjadi petani, tolong ambil sertifikat tanahnya di dalam lemari, paling atas," ucapnya tersenyum, memiliki ide lain setelah beberapa bulan terjebak sebagai orang miskin yang tinggal di kost-kostan kecil.

"Baik tuan..." Kelvin mengiyakan.

"Satu lagi, aku tidak bisa meminta bantuanmu untuk mengumpulkan 100 juta. Tapi aku bisa meminta bantuanmu untuk menghancurkan sebuah restauran kan?" tanyanya penuh senyuman.

"Restauran?" Kelvin mengenyitkan keningnya.

"Hancurkan Permata restauran, besok harus sudah menjadi tempat pembuangan sampah," ucapnya melirik restauran di belakangnya.

"Baik tuan," ucap sang asisten, bersamaan dengan Nathan yang mematikan panggilannya.

Jonathan Northan, begitulah namanya memulai karier bisnisnya di usia muda. Hanya hidup berdua dengan kakak laki-lakinya. Kakak beradik yang memulai usaha mereka dari nol.

Namun, kekejaman Nathan di dunia bisnis membuat sang kakak geram. Menghancurkan sebuah perusahaan hanya karena pemiliknya menumpahkan minuman beralkohol pada pakaiannya?

Bukan hanya itu, memecat pelayan jika salah sedikit saja. Tidak menghargai orang lain, memang sifatnya yang semua harus serba sempurna. Seolah seluruh dunia tertuju padanya.

Untuk itu, Joseph sang kakak, membuat perjanjian. Sang kakak yang masih membujang hingga sekarang akan menikah, jika adiknya bersedia menerima taruhan untuk hidup sebagai orang biasa.

Kakak beradik yang saling mengasihi itulah hubungan mereka. Hingga, Nathan bersedia meninggalkan segalanya, mencoba hidup sebagai orang biasa, menerima tantangan kakaknya.

Bersambung

Yatim-piatu

Mobil dilajukan pak Kirjo, supir yang bekerja di gudang beras milik Dirga. Hana menghela napas kasar, menatap penampilannya dengan kebaya merah. Kebaya yang indah, kontras dengan kulit putihnya, sayangnya riasan wajah tebal ala salon desa, menutupi wajah cantik alaminya. Rambutnya disanggul, bagaikan riasan ibu-ibu atau sinden.

Cantik? Bagi orang-orang di wilayahnya memang cantik. Namun berbeda dengan orang-orang di kota yang kini lebih banyak menggunakan riasan wajah natural. Menganggap terlalu tebal dengan warna cerah, terlihat kampungan.

Hana tipikal orang yang praktis, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Mobil yang mereka naiki saat ini adalah truk beras dengan warna kuning. Tidak lupa tulisan aneh bertengger di belakangnya. 'Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang' itulah tulisan di salah satu truk pengangkut hasil bumi miliknya.

Orang kaya? Ratusan hektar lahan perkebunan buah, sayuran dan sawah, milik ayahnya. Tidak ada yang kurang darinya, kecuali kakinya yang harus selalu menggunakan kursi roda, akibat beberapa syaraf kakinya mengalami gangguan setelah kecelakaan.

Hana tersenyum bangga, akan memiliki kekasih seorang dokter spesialis berusia muda. Klinik? Mungkin dirinya ingin membuat klinik di desa untuk Haikal setelah menikah nanti. Hari ini adalah hari wisuda kekasihnya, tentunya dirinya harus datang bukan?

Ke salon dari pukul 5 pagi, mengenakan baju kebaya yang dipesannya dari satu bulan lalu di tukang jahit desa tersebut. Haikal akan kagum, begitulah keyakinannya, kala truk yang dipenuhi beras itu memasuki kampus, klakson dengan bunyi nyeleneh terdengar, kala mencari tempat parkir.

Mahasiswa menatap truk besar itu, menipiskan bibir menahan tawanya. Entah mahasiswa mana yang didatangi keluarganya ke acara wisuda menggunakan truk. Sungguh memalukan...

Hingga pak Kirjo turun, membuka kursi roda, menurunkan majikannya untuk duduk di kursi roda.

"Buk RT, mau ke acara nikahannya siapa?" cibir salah seorang mahasiswa baru turun dari mobil yang mungkin harganya sekitar seratus juta.

"Lihat tulisan di truk-nya 'Ada uang abang sayang, tak ada uang abang di tendang'," mahasiswa lain yang baru turun dari taksi online ikut mencibir, tertawa tiada henti.

"Harga mobil kalian berapa? Ada setengah dari harga trukku? Harga trukku sekitar 800 juta..." cibirnya tersenyum penuh keangkuhan.

Seketika mahasiswa-mahasiswa itu terdiam, tidak dapat menjawab, kata-kata menusuk dari seorang wanita bermulut pedas yang mengenakan pakaian bagaikan sinden.

Penuh percaya diri, walaupun dari desa hanya tamatan SMU, itulah Hana. Orang kota, belum tentu lebih kaya dari orang desa, begitulah yang selalu diajarkan ayahnya. Hidup sederhana dan menunduk, tetap ulet serta tekun, ajaran dari sang ayah. Hingga kini, mereka menjadi orang yang dapat dianggap paling mampu di desanya. Anak seorang tuan tanah, yang mengangkat kepalanya dengan bangga ketika datang ke kota.

***

Dirinya terlambat datang, mengingat jarak yang harus ditempuh, dan disanalah Haikal saat ini. Mengenakan toga, di atas panggung dengan nama yang dipanggil.

Namun perlahan senyuman di wajah Hana memudar kala menatap seorang wanita cantik memeluk kekasihnya yang baru turun dari panggung.

Siapa? Hanya itu pertanyaan dalam hatinya, berusaha agar air matanya tidak mengalir. Agar riasan makeup murah ala salon desa tidak luntur.

Menunggu, dirinya lebih memilih untuk menunggu."Pak kita tunggu di luar gedung universitas saja..." ucapnya dengan air mata tertahan. Berusaha berfikir jika dirinya hanya salah paham. Namun, api dalam sekam akan mengeluarkan asap. Bahkan menimbulkan api yang lebih besar lagi.

Kala telah menunggu sekitar satu jam, para mahasiswa yang telah mengikuti wisuda mulai keluar, hanya sekedar untuk berfoto dengan keluarga mereka. Pak Kirjo tengah pergi diminta Hana untuk membeli minuman.

Berharap mendapatkan penjelasan saat menatap pemuda itu mencium kening seorang wanita. Cantik? Sejatinya Hana lebih cantik, tapi sekali lagi. Kaki yang sulit bergerak menjadi kekurangannya. Wajah yang tertutup riasan tebal, perlahan berusaha menggerakkan kursi rodanya.

"Haikal!! Haikal!! A...aku datang, selamat dokterku.." panggilnya dengan kebaya merah dan kain batik pada tubuhnya.

Namun, Haikal terdiam mundur selangkah, ini harus dilakukannya. Tidak ingin terjerat untuk merawat seorang gadis kursi roda di hadapannya. Zara memiliki butik di kota dengan omset besar, dipastikan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan anak tuan tanah cacat yang hidup di desa.

"Kamu siapa!?" bentaknya, kesal menatap dirinya mulai dibicarakan menjadi pusat perhatian.

"A...aku Hana, kita akan menikah setelah kamu wisuda. Kita berjanji bersama..." ucapnya berusaha tersenyum, hendak menggapai tangan Haikal.

Mahasiswa-mahasiswa lain mulai berbisik, bahkan tertawa. Haikal yang merupakan idola kampus ternyata kekasihnya hanya seorang wanita desa cacat yang kampungan, bahkan datang menggunakan truk yang dipenuhi beras.

Haikal menghela napas kasar, mulai mengambil keputusan,"Hana dengar!! Aku tau kamu menyukaiku, karena aku anak orang terkaya di kampung, sekaligus calon dokter muda. Tapi tidak begini cara untuk mendapatkanku dengan mempermalukanku di hadapan semua orang..."

Wanita itu tertunduk mengepalkan tangannya, akhirnya setetes air mata itu mengalir juga, melewati maskara murah yang akan luntur hanya karena sedikit air. Bercak jejak maskara hitam mengalir di pipi putihnya.

"A...aku..." ucapnya gelagapan, orang-orang mulai menertawakannya, mencibirnya sebagai wanita tidak tau malu. Apa penghinaan ini pantas untuknya? Dirinya memang dari desa lalu kenapa?

Matanya berkunang akibat tertutup air mata yang mengalir tidak terkendali. Berusaha menatap ke arah Haikal. Pemuda yang dicintainya selama 12 tahun. Pemuda yang bahkan makan dan minumnya dibiayai olehnya. Menyewakan apartemen untuknya di kota.

Bodoh bukan? Ternyata hatinya hanya sekedar mainan.

Wanita yang berada di samping Haikal mulai mendekat, "Ternyata cuma wanita cacat murahan yang mencoba mendekati Haikal,"

"Aku bukan wanita murahan, dia sendiri yang dulu mendatangiku. Mengatakan mencintaiku, akan menikahiku..." ucapnya tertunduk menangis lirih masih duduk di kursi rodanya. Riasannya telah luntur, melumber kemana-mana terlihat mengerikan. Bahkan bedak murah yang berada di wajahnya tidak luput luntur oleh keringat dan air matanya.

Haikal terdiam sejenak, memori itu masih ada kala gadis tercantik di desa didekatinya. Tapi ini tidak benar, dirinya tidak ingin menikahi wanita cacat. Zara yang mandiri, memiliki usaha sendiri ratusan kali lipat lebih baik.

Plak...

Satu tamparan mendarat di pipi Hana, bukan Zara yang melayangkannya. Tapi tangan kekasihnya sendiri, Haikal.

Siang hingga larut malam Hana membantu ayahnya mengatur pembekuan, memberikan perhitungan pupuk dan pengairan, terkadang bergadang untuk mencari uang. Uang yang mengalir pada dompet kekasihnya sang calon dokter muda.

Sakit? Tentu saja namun hatinya lebih sakit.

"Aku mengerti..." satu kata yang keluar dari bibirnya.

Mengepalkan tangannya penuh kebencian, ibu Haikal yang bagaikan lintah darat, adik Haikal yang sering meminta berbagai hal padanya, bahkan ayah pemuda itu bergantung hidup menjadi kuli angkut di gudang milik Dirga. Apa kebaikannya kurang dibandingkan wanita kota yang tengah dirangkul Haikal.

Air matanya semakin deras ingin mempertahankan harga diri terakhirnya. Lebih baik pergi, menahan perih bekas tamparan di pipinya. Hingga, tutup sebuah selokan yang terbuka menjegal roda kursi rodanya. Kursi roda yang jatuh, bersama tubuhnya.

"Ada topeng monyet jatuh!!" tawa salah seorang mahasiswa diikuti mahasiswa lainnya. Bahkan wanita yang bersama Haikal ikut menertawakannya.

Haikal? Pemuda itu hanya terdiam, tanpa ada niatan untuk menolong. Membiarkan wanita cacat yang menunggunya kuliah di kota selama 8 tahun menangis tertunduk. Merutuki ketidak berdayaannya...

Hingga pak Kirjo datang dengan minuman di tangannya. Meletakkannya asal, mendirikan kembali Hana untuk duduk di kursi rodanya.

"Orang bilang doa anak yatim-piatu akan terkabul! Bapak seorang yatim-piatu jadi doa bapak akan terkabul. Haikal, bapak melihat sendiri kamu tumbuh dewasa bersama Hana!! Anak orang kampung tidak tau diri!! Hana nanti akan mendapatkan jodoh yang lebih baik darimu!! Bisa membeli kampus ini sekali jentik jari!!" kutukan kurang ajar dari pak Kirjo, seorang pria paruh baya yang berusia 58 tahun.

Yatim-piatu? Tentu saja, orang tua pak Kirjo meninggal di usia 86 dan 90 tahun, beberapa tahun lalu.

Hana dapat sedikit tersenyum, karena celotehan orang tua aneh itu.

"Pak kita pulang, tinggalkan dokter miskin itu," ucapnya yang telah duduk di kursi roda yang di dorong pak Kirjo mendekati truk.

Bersambung

Percuma

🍀🍀🍀🍀 Maaf cover dan judulnya aku ganti menjadi "Presdir Masuk Desa". Alasannya judul terlalu panjang. Dan warna covernya terlalu terang, jadi sulit terbaca tulisannya. Maklum aku tidak bisa edit tulisan cover, fasilitas handphone tidak memadai 🤭🤭🤭🤧🤧🍀🍀🍀🍀

Hana terdiam merenungi segalanya, di dalam truk yang masih menurunkan muatan. Di beberapa agen beras terbesar di kota tersebut. 12 tahun bukan waktu yang singkat, apa rasa kasih yang terikat lama dapat pudar oleh gaya orang kota yang berkelas. Entahlah...

Tidak menyadari seorang pria menggedong ranselnya dengan kardus diikat tali rafia di tangannya. Desa yang akan didatanginya? Desa Kalasaka, tempat lahan pertanian yang tidak begitu luas dimilikinya.

Namun uangnya tidak mencukupi untuk membeli tiket travel atau pun menaiki bus. Alamat Desa itu saja tidak diketahuinya dengan jelas. Hingga ada kernet yang mengatakan padanya, ada truk pengangkut beras yang biasanya mendatangi suplayer beras dekat terminal.

"Pak...mau ke Desa Kalasaka? Bisa saya menumpang?" tanyanya, berusaha tersenyum, entah dimana harga diri Nathan saat ini. Sang presiden direktur yang biasa memimpin rapat besar.

"Apa kamu orang kota atau desa? Siapa namamu?" pak Kirjo yang tengah meminum kopi hitamnya menunggu muatan diturunkan mengenyitkan keningnya. Menatap pemuda dengan wajah high quality, tapi membawa kardus layaknya orang desa.

"Saya orang kota, nama saya Jonatan Northan..." ucapnya jujur.

Pak Kirjo terlihat kesal,"Orang kota!? Orang kota tidak bisa dipercaya, Haikal yang dulunya anak baik-baik saja bisa jadi pria bejat!! Kamu tidak boleh menumpang!! Siapa tau kamu komplotan begal yang ingin merampok truk..."

Bagaimana ini.... gumamnya dalam hati berfikir.

"Maaf...nama asli saya Jono. Jonathan Northan, cuma nama samaran supaya tidak terlihat kampungan..." bisiknya tersenyum canggung, menunduk bagaikan orang desa sejati.

"Bilang dari tadi!! Anak muda jaman sekarang, berasal dari kampung saja malu. Nama Jono sudah bagus-bagus diganti jadi Jonathan..." pak Kirjo tertawa, menepuk kencang bahu Nathan atau kita panggil saja sekarang Jono.

Sakit... kesalnya dalam hati berusaha tetap tersenyum.

Matanya menelisik mengamati seseorang yang berada di kursi penumpang bagian depan, dengan kaca masih tertutup. Pakaian kebaya merah tatanan rambut bagaikan sinden. Dengan make up yang luntur mengerikan.

Mata Jono terpejam, mengalihkan pandangannya. Mulai berdoa dalam hatinya ketakutan, keringat dingin mengucur di pelipisnya. Menyangka itu adalah arwah sinden atau wanita zaman dulu korban pemerkosaan.

"Ayo berangkat..." ucap pak Kirjo, usai mengembalikan gelas kopi kotornya ke warung kopi dekat sana.

"Pak kita berdoa dulu, agar tidak diikuti makhluk halus..." tangan Jono gemetar menunjuk pada kursi penumpang di samping kursi pengemudi.

"Owh... itu Hana anak juragan Dirga..." jawab pak Kirjo.

"Hana? Kenapa namanya seperti bukan dari desa?" Jono mengenyitkan keningnya penasaran.

"Ayahnya pak Dirga orang desa, tapi ibunya keturunan tentara Jepang. Yang akhirnya kakeknya kembali ke Jepang di masa penjajahan saat ibunya masih di dalam kandungan. Jadi diberi nama Hana oleh almarhum neneknya..." komat-kamit mulut itu bicara panjang lebar.

"La... lalu saya naik dimana pak?" tanya Jono lagi, tidak mungkin dirinya berdesakan dengan gadis mengerikan.

"Di bagian belakang...kan berasnya sudah di turunkan. Jadi truk-nya kosong," ucapnya tersenyum enteng.

Sudah aku duga, harus naik di truk dengan tulisan 'Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang,' ada kalanya aku merindukan supir pribadi dan mobil kesayanganku... geramnya dalam hati masih berusaha tersenyum.

Hujan deras mengguyur, terpal besar ada disana bagaikan atap perlindungan dari hujan baginya. Gelap dan dingin, dirinya sedikit melirik beberapa karung pupuk yang dibeli Kirjo dan sebuah kursi roda yang terlipat rapi dalam perjalanan.

Matanya menatap celah perlak yang terbuka, hujan yang benar-benar lebat. Disertai suara petir, menyertai kepergiannya dari kota.

Sementara di kursi penumpang bagian depan gadis dengan riasan mengerikan itu, meraba kaca jendela truk, menghela napas kasar.

"Hana mau ke kamar mandi?" tanya pak Kirjo ragu.

Gadis itu menggeleng, berusaha tersenyum, "Kalau ingin ke kamar mandi, nanti Hana bilang..." ucapnya.

"Hana, kenapa tidak berobat ke dokter ahli saja? Rumah sakit ikut tetapi atau pengobatan Cina. Maaf, tapi yang bapak tau orang yang lumpuh total biasanya tidak bisa bergerak atau merasakan apa-apa sama sekali. Tapi Hana bisa ke kamar mandi sendiri, lepas kain kebaya sendiri, hanya perlu diantar sampai duduk di toilet duduk..." tanya pak Kirjo tidak mengerti, dengan anak majikannya, yang sepertinya sudah dapat sedikit berjalan atau berdiri beberapa saat.

"Janji..." air mata Hana tiba-tiba kembali mengalir.

"Janji?" tanya pak Kirjo yang masih konsentrasi mengemudi.

"Haikal dulu menyuruhku berjanji, menunggunya wisuda. Menunggunya menjadi dokter spesialis, agar menjadi orang pertama yang menyembuhkan Hana..." jawabnya tersenyum lirih dengan air mata tidak terkendali.

Pak Kirjo menghela napas kasar, namun tiba-tiba memiliki ide gila lainnya."Hana ini saran bapak, lebih baik kamu lapor polisi atas tuduhan penipuan. Janji nikah, janji mau mengobati, kok malah ingkar? Setelah jadi dokter spesialis..." kesalnya, yang sudah menganggap Hana bagaikan anak kandungnya sendiri.

"Tidak pak, kalau langsung lapor polisi uang tidak bisa kembali..." gumamnya, merogoh tas murah miliknya kalkulator kecil dikeluarkannya. Bukti transfer semua sudah disimpannya lengkap. Mengingat Hana memang tipikal wanita yang perfeksionis tentang masalah pengeluaran dan pemasukannya. Tentunya atas ajaran Dirga, sebagai satu-satunya pewaris tanah pertanian dan perkebunannya kelak.

Dirinya sudah cukup lelah dengan semua ini, hubungannya kini sudah kandas. Apa lagi yang kurang?

Hingga truk berhenti di tempat parkir dekat gudang beras. Pak Kirjo berjalan ke belakang, hendak mengeluarkan sang pemuda sekaligus mengambil kursi roda.

"Nak Jono, bangun!! Sudah sampai..." ucapnya membangunkan sang pemuda yang tertidur di dalam bak pengangkut belakang truk.

"Sudah sampai ya?" Jono merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Menatap jam di handphone jadul yang dibelinya dengan harga 150.000 rupiah satu bulan yang lalu. Akibat kekurangan uang, usai menjual phoncellnya yang berharga fantastis.

Andai saja, dirinya dapat bekerja di perusahaan atau bank saja. Mungkin hidupnya akan lebih mudah, namun ini bagian dari perjanjiannya dengan Joseph, sang kakak.

Tidak apa-apa, hanya mencangkul satu atau dua tahun uang akan terkumpul. Asalkan mencari tanaman dengan harga tinggi untuk ditanam. Tekadnya dalam hati, ingin menyaksikan kakaknya yang menderita mysophobiya menikah.

Dengan penuh semangat Jono turun dari belakang truk, mulai menguap belum sepenuhnya rela terbangun dari tidurnya. Namun, dirinya tiba-tiba menipiskan bibir, menahan tawanya, menatap seorang wanita dengan makeup luntur mengerikan diturunkan dari kursi penumpang samping supir.

"Ikut syuting film horor dimana?" sindirnya pada sang wanita.

"Di kuburan, tadi kamu tidur dengan kotoran sapi?" tanya Hana menunjuk rambutnya sendiri, bagaikan memberikan isyarat pada Jono ada sesuatu di rambutnya. Menatap sedikit sisa pupuk kering yang didapatkannya dari pedagang sapi, usai menurunkan muatan beras tertinggal di rambut Jono.

"Aaa..." teriaknya, jijik bingung bagaimana harus membersihkannya. Bahkan dengan terpaksa menggunakan air hujan pada rambutnya.

"Makanya, lain kali lihat diri sendiri, dulu..." Hana berbalik, menggerakkan kursi rodanya, mulai mendekati meja tempatnya biasa mencatat hasil bumi. Susu pembersih dikeluarkannya dari dalam laci, hendak membersihkan riasannya.

Beberapa saat berlalu, Jono masih disana menunggu hujan reda. Pandangan matanya sedikit beralih, melirik wanita yang masih duduk di kursi roda namun wajah cantik alaminya telah terlihat. Make up mengerikan hilang entah kemana. Rambut digerai lurus, masih mengenakan kebaya merah.

"Cantik..." gumamnya, bersamaan dengan Hana yang menoleh.

"Maksudku cantik-cantik cacat, juga percuma!!" ucap Jono, mengenyitkan keningnya.

"Tampan tapi miskin juga percuma..." cibir Hana balik, membuat Jono kehabisan kata-kata.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!