NovelToon NovelToon

BERTAHAN KARENA STATUS

BAB 1. MEMULAI HARI

         Hai pembaca yang baik hati, ini adalah karya pertamaku, masih banyak kesalahan pengetikan,tanda baca atau yang lain. Mohon dukungan dengan memberikan kritik dan saran. Komentar kalian akan sangat membantu kami. Terima kasih

      “Ayah bangun” ku goyang badannya pelan, masih pagi memang, diluar masih gelap, ini pesannya semalam karna ada urusan pagi katanya ah, entahlah.

       “sayang bangun” ku goyang badannya sekali lagi, berjalan ke sisi tempat tidur menyingkap tirai dan membuka jendela hawa dingin menerpa wajahku seketika segar  kuhirup pelan, sesaat meresapi keagungan Tuhan bagaimana embun bisa memberikan kesejukan yang begitu murni di pagi hari.

Mematikan pendingin ruangan setelahnya. Ini salah satu cara membangunkan mas Amir suamiku. Laki-laki paling sabar yang pernah ku kenal. Terdengar gumaman kecil dari tempat tidur aku bergegas menggoyang badannya lagi memastikan dia bangun.

      “jam berapa sekarang” tanyanya sambil mengucek matanya dan mengedipkannya sesaat, bangun setengah duduk menyingkap selimut dan melihat kearahku, tatapannya masih sama seperti biasa teduh dan menyenangkan.

“Jam lima pagi bangunlah”  jawabku pelan kuambil selimut dan melipatnya

       “sudah berapa kali aku tidak ke mesjid, sepertinya kamu ingin sekali suamimu ini dipanggil sholehah” dia melihatku dengan tatapan protesnya, ah imut sekali suamiku ini. Aku balas menatapnya sambil menahan tawa.

      “istrimu ini tidak tega membangunkan suami yang baru tertidur jam2 pagi” kulihat dia masih menatapku kesal, biarlah nanti aku akan menjelaskan bagaimana pulasnya dia tadi waktu subuh, wajah lelahnya membuatku mengurungkan niat untuk membangunkannya. Kudengar gemericik air dari kamar mandi.

Merapikan tempat tidur dan kusiapkan baju kerjanya di kasur untuk memudahkannya mengambil.

         Aku berkutat didapur menyiapkan sarapan untuk mengganjal perutnya, sudah seminggu ini dia pulang dini hari berangkat pagi sekali, ada pekerjaan penting katanya. Sebenarnya kantor suamiku masuk jam tujuh pagi, jarak dari rumah yang kami tinggali sangat dekat hanya ditempuh 15 menit perjalanan dengan mobil.

Sudah seminggu lelakiku itu tidak pernah sarapan, makanya aku siapkan susu hangat dan buah sebagai pengganjal perutnya, aku tidak pernah mengijinkan mas amir minum kopi, asam lambungnya bisa kumat.

        Jangan minum kopi makanlah buah segar saat perut kosong baik untuk kesehatan terutama yang punya keluhan seperti mas Amir, itu kata dokter yang menanganinya 2 bulan lalu, waktu asam lambungnya kambuh.

Mas Amir bukan perokok tidak suka bau rokok katanya, itu yang aku suka darinya setidaknya paru-parunya terjaga.

       Amir Syarifudin suamiku laki-laki yang aku nikahi 7 tahun lalu, dia baik, bertanggung jawab dan sayang keluarga, dia lembut memperlakukanku dan putri kami, jarang sekali bertengkar, kalau aku marah dia akan diam mendengarkan, menjawab atau tidak akan tetap salah katanya ketika aku tanya kenapa diam. Dirumah ini berlaku perempuan selalu benar itu katanya lagi.

      “Pagi sayang” ku putar kepala mencari sumber suara, ah suamiku sudah tampan  rambutnya tersisir rapi, dia berjalan sambil mengancingkan lengan bajunya, hari ini memakai kemeja abu tua dengan jas melingkar ditangan kirinya.

Tas kerjanya sudahku siapkan di meja makan biar tidak kerepotan membawanya dari kamar. Mencium keningku kebiasaannya setiap pagi.

       “Aku tidak sarapan takut terlambat” katanya pelan

“Aku tahu, minumlah ini ” ku ambil susu hangat ketangannya dia meminumnya perlahan.

“Tidak baik minum sambil berdiri duduklah” aku kesal sekali, sepenting apa meetingnya sampi minum susu sambil berdiri kelihatan sekali kalau dia buru-buru.

“Rania belum bangun?” tanyanya sambil menoleh keatas kekamar putri kami.

      Rania putri kami usianya baru mau kelima tahun, baru masuk sekolah.

Ahir-ahir ini dia protes, karna ayahnya tidak pernah menciumnya lagi.

“Masuklah sebentar sayang, dia ingin ciuman selamat pagi dari ayahnya sudah seminggu ini dia protes”. Kulirik suamiku dia berjalan menaiki tangga. Kamar Rania bersebelahan dengan kamarku, putri kecilku ini sudah pintar tidur sendiri walau pada awalnya penuh drama.

Sejak Usianya 4 tahun aku mengajarinya. Kulihat suamiku menuruni tangga sambil membawa putrinya yang masih mengantuk, dia melingkarkan tangan dileher ayahnya kepalanya bersandar di bahu laki-laki kebanggaanku itu.

       “Sini pangku bunda kasihan ayah nanti bajunya kusut”. Ku ulurkan tangan mau mengambil Rania dari gendongan ayahnya suamiku menolak.

       “Dia tadi belum bangun, pas aku cium pipinya eh dia gerak sekalian aku gendong bawa turun, ayah kangen bau asemnya Rania”. Senyum tipis tercetak diwajah suamiku, mencium rambut turun kepipi kemudian leher, kuliahat putriku menggeliat geli, ini memang kebiasaan yang belum berubah

       “ehmmmm..Rania acem” diciumnya sekali lagi leher belakang turun ke punggung. Kulihat suamiku tertawa lepas melihat rania cemberut.

      Pemandangan ini yang setiap pagi aku lihat, keluarga hangat suami penyayang, anak sehat dan lucu mampu menghilangkan amarah dan lelah secara bersamaan dengan celoteh dan tingkah lucunya.

Mas amir seorang karyawan Sebuah BUMN baru 6 bulan yang lalu dia di promosikan jadi manager marketing. Tidak heran karena mas amir orang yang tekun, jujur dan pantang menyerah.

Selain itu dia juga mempunyai usaha di bidang property, usaha yang dia tekuni dari mulai kami menikah, keahliannya melobi calon pembeli membuat usahanya makin berkembang. Dua tahun setelahnya dia di terima di perusahaan BUMN tempatnya mencari nafkah sekarang.

      Pada awalnya dia hanya membantu orang yang mau menjual tanahnya, tugasnya mempertemukan penjual dengan pembeli tidak lupa melobi calon pembelinya agar proyeknya goal.

Selebihya suamiku hanya menerima fee sesuai kesepakatan. Ternyata dari Goal pertamanya banyak yang berminat minta bantuan mas amir, hingga pada ahirnya mampu membeli rumah dan tanah sendiri. Alasan mereka memakai jasa suamiku karena dia jujur katanya entahlah.

       “Ayah koq sudah rapi”. Matanya membuka lebar dia mengangkat kepalanya mengarahkan pandangannya padaku, beralih ke ayahnya, dia mencari jawaban.

        “Ayah ada meeting pagi sayang,baik-baik dirumah sama bunda nanti ayah pulang Rania mau dibawain  apa?” tangannya mengusap putri kecil kami. Terlihat kesal putriku itu.

        “Rania bangun ayah pergi, Rania mau tidur juga g lihat ayah” oh, dia protes bibir mungilnya maju menandakan seberapa kesalnya dia, aku tahan tawa agar tidak lepas bisa tambah marah nanti, lucu sekali anak ini.

Kutatap mas Amir dia balik menatapku matanya penuh tanda tanya ada tawa yang tertahan disudut bibirnya.

        “ayah kerja buat Rania, sayang.. biar bisa liburan, katanya mau lihat salju” pintar sekali suamiku merayu anaknya. Usahanya berhasil, kulihat Rania ku tersenyum senang.

Dia mencium ayahnya dengan pelukan erat sebagai bonusnya.

Kukunyah potongan buah segar, kusodorkan sepotong lelakiku mengunyah pelan.

       “ayah berangkat nanti terlambat” ujarnya sambil melihat jam di tangannya, kado dari teman kantornya waktu dia ulang tahun dua bulan lalu, dia pakai karena menghargai pemberian orang katanya.

      Aku ambil Rania dari gendongan ayahnya, berjalan menuju pintu.

“jangan nakal, jangan menyusahkan bunda”. Mencolek hidung putrinya lalu mencium keningnya. Kuambil tangannya ku cium takzim seperti biasa bentuk hormatku pada suamiku. dia mencium keningku lalu turun ke pipi melakukan hal yang sama pada putrinya.

      “hati-hati mas” kalimat setiap pagi yang kuucapkan sebelum berangkat kerja. Dia masuk ke mobil menghidupkan mesinnya, mobil bergerak mundur keluar garasi. Sebelum berangkat dia melambaikan tangannya pada kami. Sampai hilang dari pandangan kami baru masuk.

BAB 2. BAHAGIA DENGAN BERSYUKUR

“Mau sarapan apa sayang” sambil ku gandeng tangannya menuju meja makan.

“Telur dadar pakai kecap” yang disebutkan barusan makanan kesukaan putriku, setiap sarapan minta menu yang sama.

“ Emang Rania g bosan makan telur tiap hari?”

“Tidak, asal yang masak bunda” jawabnya cepat. Senyuman mengukir wajah anakku, kucubit kedua pipinya gemes sekali pagi-pagi dikasih senyuman begitu.

Aku membiasakan anakku sarapan sebelum berangkat sekolah, meskipun sedikit tak apa biar dia tidak mengantuk dikelas.

Kubuatkan sarapan Rania sebelum aku memandikan dan mengganti bajunya, setelah selesai baru ke meja makan sarapannya sudah siap panasny juga pas langsung bisa dimakan tidak ditiup dan juga mempersingkat waktu.

Tapi ahir-ahir ini waktuku banyak luang di pagi hari karena mas amir tidak pernah minta dibuatkan sarapan. Dan aku bukan orang yang terbiasa sarapan berat, cukup buah atau jus buah, dua jam lagi baru sarapan berat.

“Ayo bunda cepetan, nanti Rania terlambat” Setelah mandi ganti baju dan menghabiskan sarapannya. Semangat sekali putri kecilku ini kalau mau sekolah, kurapikan kerah bajunya mengusap dari atas sampai bawah rok panjang dan sepatunya juga tak luput, kupakaikan jilbab warna kuning sambil kurapikan dan kulihat lagi wajahnya. Anakku memang cantik, tentu karena aku ibunya, alis bibir dan matanya serupa mas Amir, bulu mata lentiknya juga mirip sekali ayahnya, aku hanya kebagian hidungnya dan warna kulitnya saja, itu kata orang yang melihatnya.

Kucium keningnya pipi kanan dan kirinya, dia mengusap pipi bekas bibirku dengan kesal, mulutnyanya cemberut matanya tajam menatapku. Kalau punya keberanian sedikit saja ingin aku mengigit bibir mungil itu namun kuurungkan bisa ngamuk nanti.

“Masih pagi sayang, baru jam tujuh masuknya kan jam setengah delapan” berusaha menjelaskan, percayalah dia tidak akan mengerti karena yang dikatakan gurunya yang benar menurutnya.

“kata bu guru masuknya jam tujuh tiga puluh” benarkan, bahkan angka tiga puluh di belakangnya pun dia abaikan

masih ada waktu tiga puluh menit , tapi kuurungkan percuma berdebat kalau soal jam sekolah, dari sini sudah bisa ditebak pemenangnya.

“bunda ganti baju dulu, masak ngantar anak cantik mamanya dasteran” memilih mengalah dari pada panjang urusannya

“Mau nonton kartun dulu” aku mengajaknya ke ruang TV, percayalah ini hanya akal-akalanku mengulur waktu. Jarak sekolah dari rumah hanya 5  menit naik sepeda motor, sengaja aku pilihkan sekolah paling dekat dengan rumah, biar lebih praktis saja.

Aku dirumah biasa memakai daster rasanya lebih nyaman saja, koleksi dasterku melebihi baju formal, daster itu cocok untuk segala suasana menurutku.

Dan ini adalah kebiasaanku setelah resigne dari pekerjaanku dua tahun lalu, setelah sebelumnya aku bekerja di perusahaan swasta di bagian keuangan, mas amir yang memintaku setelah dia melihat rania mulai mengerti kalau aku tinggal, dia akan menangis lama sampai pengasuhnya kewalahan. Usia Rania 3 tahun kala aku mememilih jadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

“Anak lebih membutuhkan ibunya dari pada materi, tugas suami yang mencari nafkah” itu katanya waktu memintaku keluar dari pekerjaan yang dua tahun aku tekuni. Kebetulan di tahun yang sama kemudian mas amir diterima disalah satu BUMN yang ada di kota ini.

Rumah yang kami tempati ada 2 lantai, lantai atas ada 3 kamar, ditempati aku dengan mas amir didepan kamarku ada ruang tv dibelakang ruang tv kamar Rania dihadapannya ada kamar masih kosong rencananya untuk adiknya Rania tidak tahu kapan. lantai lantai bawah ada dua kamar lebih diperuntukkan kamar tamu, kalau keluargaku atau keluarga mas amir berkunjung bisa ditempati.

Rumah ini baru kami tempati 2 tahun lalu, selesai renovasi setelah sebelumnya mengontrak. Dapur ada di bawah tangga, bersebelahan dengan ruang keluarga didesain cukup luas agar nyaman buat bercengkrama.

Disinilah aku sekarang di kursi ruang tunggu ibu-ibu yang sama denganku, menunggui anaknya. Sebenarnya Rania tidak pernah minta ditunggui, dari awal masuk sudah mau ditinggal hanya saja berkumpul dengan ibu-ibu itu ada hiburan tersendiri.

mendengarkan cerita keribetan pagi hari ada yang bangunnya susah, yang merajuk tidak mau sekolah sampai cerita tentang suami dan tetangga yang dibumbuhi sedikit ghibah, dan aku sebagai pendengar yang baik.

Bel masuk terdengar, aku beranjak pergi setelah berpamitan dan berbasa-basi sebentar. Masih jam setengah delapan, waktuku untuk santai sisa setengah jam lumayan mengistirahatkan badan sambil cek sosial media, aku bukan orang aktif disana hanya sekedar lihat postingan orang-orang menjadi hiburan tersendiri. Terdengar bel rumah bergegas aku membuka pintu, oh, rupanya mbk tini.

“sudah datang mbk?”itu hanya pertanyaan basa basi, kubuka lebar pintu. Namanya tini  usianya masih muda, lima tahun diatasku, sebab itu dia mau dipanggil mbk saja, Terserahlah.

Satu tahun yang lalu dia mulai ikut bantu bantu dikeluarga kami, ibu dua orang anak  suaminya sebagai kuli bangunan. Dia tidak menginap, datang jam 8 pagi pulang jam 5 sore. Harus mengurus anak dan suami katanya, tak apa karena dia orangnya bekerja keras jujur dan aku puas dengan hasil kerjanya.

“saya langsung kebelakang bu”katanya sambil berlalu menuju dapur.

“cucian piring sudah mbk, tinggal bersih-bersih saja, cucian tidak ada hanya baju yang belum disetrika numpuk, maaf ya ngerepotin” berjalan dibelakang mbk tini sedikit menjelaskan apa saja yang perlu dilakukan.

“Tidak apa-apa bu, saya berterima kasih pekerjaannya tidak banyak, ibu sudah menyelesaikannya.”

“Saya tinggal dulu mbak” berjalan keatas mengambil kunci motor dan tas.

“Banyak yang belanja?” tanyaku pada pelayan tokoku, yah,, aku punya usaha toko didepan pintu masuk kompleks menjual aneka kebutuhan ibu rumah tangga pada umumnya karena itu yang paling cocok untuk kompleks perumahan.

Pegawaiku Cuma satu perempuan,  namanya Sri, sri astutik panjangnya. Dua bulan lalu dia datang padaku mencari pekerjaan demi menghidupi ayah ibunya dikampung. Dia masih single umurnya baru 18 tahun lulusan SMA.

“Alhamdulillah bu lumayan”katanya aku tidak menggaji dia, ku hitung keuntunganku setiap akhir bulan ku berikan 20 persen dari keuntungan bersih, tidak tega rasanya kalau harus memberikan gaji sesuai pelayan toko pada umumnya dikota ini.

Omsetku yang tidak seberapa masih harus disisihkan untuk sewa ruko. Yah,,,bangunan ini hasil sewa, pemiliknya ada diluar kota, sebelumnya dia buka usaha fotokopi, harus berhenti karna pindah tugas.

Sri tinggal di atas, hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi dan dapur. TV ada di dalam kamar. Dibelakang ada ruang jemuran.

Luas ruko ini 9x7 meter melebar ke samping. Mulai dari yang stoknya sedikit sekarang sudah mulai lengkap yang di cari ibu rumah tangga pasti ada tidak sampai mengecewakan mereka.

“Boleh buka usaha?”. Tanyaku pada mas Amir. Dia menundukkan wajahnya melihat ke arahku, ada binar tidak percaya disana. Mengeratkan pelukannya dan mencium keningku yah,, kami berpelukan tanpa busana setelah menuntaskan kewajiban.

“Buat apa?”tanyanya membelai rambutku, ku eratkan pelukan diperutnya kepalaku bersandar didadanya.

“Bosen, tidak ada yang dikerjakan kalau Rania ke sekolah dan mas amir kerja.”kalimat pembelaanku berharap dia luluh

“Usaha apa?” pertanyaan pendeknya sempat menciutkan nyaliku

“toko kelontong, Ruko didepan kompleks ada tulisannya  disewakan”. Jawabku cepat, kuangkat wajahku menghadapnya, tampannya suamiku sejenak mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Alis tebal rapi hidung mancung, mata tegas, bibir sedikit tebal dibawah berwarna merah alami karena suamiku ini bukan perokok. Kukecup pipinya berharap dia luluh.

“Aku masih mampu menafkahi kalian.”jawabnya tegas, sedikit membuatku takut,  tidak boleh menyerah.

“Iseng sayang tidak ada niatan lain, percayalah hanya mengisi waktu”

“Ternyata kamu sudah mempersiapkan semuanya” tangannya memencet hidungku, sedikit sakit ku usap pelan

“Ada syaratnya” lanjut laki-laki berlesung pipi ini lagi

“berangkat setelah aku berangkat kantor, pulang sebelum aku dirumah jangan sampai Rania terlantar seperti dulu. Bukan kewajiban istri mencari nafkah, berhenti kalau merasa lelah aku tidak mau kamu terbebani” sederet peraturan yang harus ku patuhi.

“terima kasih sayang” ku eratkan pelukanku sebagai tanda terima kasih.

“Mbak Fira koq baru kelihatan?” ibu sebelah tokoku bu ahmad namanya tentu saja karena suaminya namanya ahmad.

“habis antar Rania dulu bu,,oiya mau beli apa” langsung pada intinya agar pembicaraan tidak memanjang dan melebar.

“Kecap yang besar mbak, dirumah cepat habis “ dan masih berlanjut dengan bercerita alasan kecapnya cepat habis, kuambilkan sekalian dengan kembaliannya, untuk mempersingkat waktu.

“Hari ini tumben rame ya bu?” suara sri dibelakangku

“Disyukuri saja sri, biar kamu dapat bagian banyak juga”ku usap bahunya

“Terima kasih bu” tersenyum manis

“yah, sama-sama. Bahagia itu karena kita pandai bersyukur sekecil apapun yang kita dapat”.

Omsetku makin hari makin naik memang tak heran permintaan barang di toko juga makin beraneka ragam.

BAB 3. PERMINTAAN MAAF AMIR

Hari ini lelakiku mau pulang awal, ku siapkan makan malam kesukaanya. Sayur sop, ayam goreng dan perkedel kentang ditambah sambal terasi sudah siap terhidang di meja makan. Tinggal menunggu.

“Assalamulaikum, wah, harum sekali jadi lapar” yang ada di pikiran sdh datang

“waalaikum salam” ku cium tangannya

“kerjaannya sudah selesai, koq pulangnya cepet” lanjutku mengambil tas di tangannya,  dia mendudukan dirinya dikursi meja makan.

Tunggu, ada apa dengan suamiku wajahnya seperti menyimpan sebuah beban berat, kusut tidak seperti biasa atau mungkin hanya kelelahan, atau pekerjaannya sedang ada masalah.

Pikiranku mencoba menebak lelaki manis itu lebih banyak menunduk seperti ada yang ingin disembunyikan.

“mau mandi dulu atau langsung makan” bertanya berusaha menghilangkan pikiran buruk

“Ayaaaah.....”anakku berlari mendekat, riang sekali wajahnya melihat ayahnya pulang

“Ayah sudah pulang, kerjaannya sudah selesai, ayah bawa oleh-oleh apa buat Rania?” sederet pertanyaan diajukan setela dia duduk di pangkuan ayahnya.

“Sudah, nih lihat ayah sekarang dirumah mau main sama Rania” suamiku mendakap anakku cukup erat seperti ingin menyampaikan sesuatu dia memandang putrinya lekat wajah sedihnya, mencium kening dan rambut panjang anakku. Sebenarnya ada apa denganmu mas gumamku dalam hati.

“Ayah minta maaf ya”tiba-tiba raut sedih terlihat jelas, ini bukan dugaannku saja pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran lelakiku ini, tapi apa?

“kenapa ayah minta maaf sama Rania?” tuh kan putriku saja paham, suamiku semakin erat mendekap anaknya seolah dia akan pergi jauh, kasihan sekali tulang punggungku itu. mungkin Pekerjaan atau bisnisnya ada masalah, apalagi memangnya.

“Biar ayah mandi dulu ya nak, kasihan ayah kecapekaan, nanti main lagi”.mengambil Rania dari pangkuan ayahnya. Ku tatap punggung suamiku menaiki tangga, kepalanya menunduk. Seberat apa beban yang harus dia tanggung sampai mengangkat kepala saja rasanya sulit.

“sayang...”panggilnya setelah kami rebahan di kamar. Dadanya jadi bantalan kepalaku tanganku melingkar disana. Tentu setelah tadi makan dan puas bermain dengan anaknya, kutidurkan Rania, disinilah kami sekarang.

“bunda....sudah tidur?”panggilnya sekali lagi sambil mengusap punggung kulembut

“hhhmmmm....”kuangkat kepala untuk melihat wajahnya, mendung itu terlihat semakin pekat tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya

“ Maafkan mas yah” tarikan nafasnya berat seperti ingin mengeluarkan beban yang menumpuk.

“Kenapa hari ini lelaki tampanku ini seperti menyimpan beban berat”mencoba mencairkan suasana, karena jujur dari tadi aku juga ikut gelisah.

“Apapun yang terjadi nanti mas tetap mencintaimu, mencintai Rania” tangannya beralih membelai rambutku

“Mas ada apa?” tanyaku heran sambil duduk mencoba mencari kejujuran dimatanya. Ah, dia serius sekali sinar mata yang tidak biasa, bahkan dia tidak berani menatapku.

“Apapun yang terjadi jadilah Syafiraku yang baik hati, lembut, pengertian dan menerima keadaan seperti biasanya, jangan pernah berubah” aku semakin takut dengan kalimatnya.

Hal yang dilakukan diluar kebiasaan lelaki dihadapanku ini. 7 tahun kami bersama baru sekarang dia melakukan ini, hatiku semakin berdebar beragam pertanyaan muncul. “Allah... ada apa dengan suamiku” gumamku dalam hati

“Mas di pecat, atau ada masalah di proyek?”mencoba menebak isi pikiran suamiku ini.

“Jangan takut mas, kita memulai semuanya dari nol, sampai ada di posisi sekarang ini karena kita berdua mampu menguatkan, saling mendukung, mampu menerima kekurangan” mencoba mengurangi bebannya

“Bukan itu” sergahnya cepat, kulihat tarikan nafasnya panjang dan berat mampu menggambarkan betapa beratnya beban yang ada dipikirannya.

“Aku janji, sekalipun mas tidak punya pekerjaan, usaha mas amir bangkrut aku tidak masalah, asalkan mas amir tetap ada disampingku mencintaiku seperti sekarang, itu sudah lebih dari cukup, mas tenang saja” ku genggam tangannya erat mencoba meyakinkan.

“Dan aku janji akan menjadi syafiranya mas Amir yang baik , lembut perhatian, lucu dan imut” kuberikan dia senyuman terbaikku, ku goyang kepalaku kekanan dan kekiri mencairkan suasana yang menurutku sangat tidak nyaman.

“tidurlah” ujarnya sambil menarik tananganku untuk tidur kembali ke posisi yang tadi

Malam beranjak semakin larut meninggalkan sejuta tanya dalam benakku. Ada apa sebenarnya. Mengapa tiba-tiba dia bersikap aneh hari ini, berjuta pikiran buruk terhampar di kepalaku memaksa mataku tetap terbuka. Kuambil benda kotak persegi itu mencoba membuka sosial media, mencari hiburan disana. Tapi tidak bisa, kulihat suamiku sudah terpejam. Mungkin dia lelah, lelah lahir bathin sepertinya. Kuletakkan kembali di nakas.

Mencoba mengingat kajadian dirumahku  yang berhubungan dengan suamiku mencari tahu kalau-kalau ada petunjuk.

Aku bukan orang yang suka memeriksa hp suami, karna itu privasinya, takut dia merasa tidak nyaman. Orang yang menghubungi dia  tiap hari banyak dan beragam ada rekan bisnis, rekan kerjanya ada yang aku kenal dan tidak aku kenal.

Jam menunjukkan angka 11, tapi mataku masih sulit terpejam. Perkataan mas Amir tadi mengganggu pikiranku. Ku taruh kepercayaan penuh padanya aku tahu dia lelaki baik yang tidak akan menghianati kepercayaaku, kami saling kenal 10 tahun, 3 tahun berteman 7 tahun sebagai suami istri. Yah, Kami teman kuliah, seangkatan satu jurusan umur kami sama beda bulan. Dari dulu sampai sekarang dia tetaplah Amir yang aku kenal 10 tahun lalu.

Dia bukan suami yang romantis, bukan tipe laki-laki yang suka ngasih kejutan di hari ulang tahunku atau ulang tahun pernikahan kami. Atau tiba-tiba bawa oleh-oleh sehabis perjalanan dinas, tidak, dia tidak begitu.

Tapi aku tidak masalah, yang penting di hatinya hanya ada aku dan Rania itu sudah lebih dari cukup buatku.

Kami teman satu angkatan kuliah dikampus dan jurusan yang sama, sikapnya yang pendiam cenderung menyendiri membuatku tertarik ingin tahu awalny. Sampai ahirnya kami ada dikelompok yang sama dalam tugas mata kuliah.

Satu kelompok ada 4 orang 2 laki-laki dua perempuan. Dari sanalah aku tahu kalau dia laki-laki yang cerdas wawasannya luas baik dan tidak banyak mengeluh. Kepribadian yang menarik menurutku, maksudku semua diluar perkirannku tentang mas amir.

Mulai saat itu kami akrab ber empat, berjaln bersama mengerjakan tugas, nongkrong atau sekedar melakukan hal-hal receh lainnya layaknya mahasiswa yang lain.

Satu lagi laki-laki dikelompokku namanya Fatih aku memanggilnya Bang fatih sebenarnya dia kakak kelasku SMA sama-sama dari kampung, kebetulan Rumahnya dengan rumahku dekat kami teman sepermainan dulu kebetulan ngekos juga dekat dengan kostanku daerah dekat kampus.

Waktu acara wisuda dia memperkenalkanku pada keluarganya, dan aku memperkenalkan dia pada keluargaku. “oh, jadi ini syafira yang sering diceritakan Amir, cantik” kalimat yang diucapkan ibunya Mas amir Mampu membuat semburat merah di wajahku, aku menunduk dalam malu rasanya. Selang beberapa bulan lulus kami menikah. Dari pertemanan lanjut kepernikahan. Singkat tapi tekad kami sudah bulat cinta yang menyatukan.

Sudah jam 12, tapi mataku masih sulit terpejam. Biasanya jam 10 sudah terbuai mimpi. Ku balikkan badanku pelan membelakangi mas amir. Takut dia terbangun. Kucoba pejamkan mata siapa tahu nanti tertidur. Suara dering terdengar itu bukan hpku itu nada dering mas amir, dia bergegas bangun mengambil hpnya turun dengan cepat setelah menoleh kearahku.

Penasaranku semakin menjadi tidak biasanya ada yang menelpon tengah malam begini. Ku tajamkan telinga mencari tahu apa yang dibicarakan mungkinkah ada hubungan dengan ke gundahan hati mas amir. Dia berjalan keluar kamar membuka pintu dan menutupnya kembali.

Aku turun dari tempat tidur mendekatkan telinga ke pintu. Sekilas ku dengar “ belum, besok saja kita bahas ini sudah malam”,itu suara  mas amir ku dengar langkah kakinya mendekat ke pintu aku buru-buru naik ke tempat tidur pura-pura tidur seperti tadi agar mas Amir tidak curiga. Ada apa denganmu mas kenapa hatiku mengatakan kamu menyembunyikan sesuatu dariku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!