Jakarta. 2005.
Dengan tergesa-gesa, Mila, gadis cantik bertubuh semampai, dengan kulit putih mulus, serta surai legam tergerai, keluar dari kamar.
Ia berpakaian sama seperti biasanya, mengenakan seragam putih abu-abu dengan rok setinggi lutut, serta sebuah tas ransel berwarna biru tua yang tersampir di pundaknya.
Tak ada yang berbeda dari penampilan gadis pemilik hidung bangir itu, sehingga kedua orang tuanya tidak curiga sedikitpun atas apa yang akan dilakukannya pagi ini.
“Ma, Pa, aku berangkat dulu ya.”
“Nggak sarapan dulu?” Tanya Bu Suaidah, Ibunya Mila yang tampak sedang sarapan bersama Pak Gusman, Suaminya.
“Nggak ah Ma, nanti telat.” Ujar Mila sambil berjalan ke ruang tamu.
Pak Gusman menatap tubuh gadis yang berjalan membelakanginya itu dengan pandangan kecewa.
“Lihat dia, pamit sekolah mana ada cium tangan orang tua.”
Pak Gusman melirik Istrinya, dari raut wajahnya terlihat sangat kesal, kesal pada Mila, kesal juga pada Istrinya, kenapa membiarkan Mila pergi begitu saja, kenapa membiarkan anak gadis mereka semakin hari semakin kehilangan rasa hormat kepada kedua orang tuanya.
“Mila makin hari makin tak karuan saja kelakuannya, apalagi Arkana, ya ampun anak itu…”
Pak Gusman tidak melanjutkan kata-katanya, karena seperti biasa ia sudah muak duluan jika sudah membahas Arkana.
Bu Suaidah diam saja, wanita anggun nan cantik yang selalu berpenampilan bersahaja itu tidak mau terlalu meladeni omelan Suaminya, karena jika diladeni biasanya Suaminya yang berkarakter agak bawel itu ngomelnya akan lama sekali.
Namun meskipun begitu, Pak Gusman adalah laki-laki yang sempurna di mata Bu Suaidah, karena ia sangat penyayang dan penuh perhatian.
...•••...
Mobil yang ditumpangi oleh Mila melaju di atas jalan raya, berkali-kali Mila melirik jam tangannya dengan gelisah, beberapa saat kemudian handphonenya berdering, telpon masuk dari Arkana, Abangnya.
“Sudah nyampe mana kau, De?”
“Aku lagi di jalan, Bang. Paling sepuluh menit-an lagi nyampe.”
“Kau tahu tempatnya kan?”
“Iya aku tahu kok, salon kecil yang ada di jalan Kalibata itu kan?”
“Iya, ya sudah cepetan, Abang tunggu kau di dalam salon.”
“Okay.”
“Mil, nggak usah ragu ya, kau langsung masuk saja.”
“Iya bawel!”
‘Tutʼ telpon ditutup lagi.
Pak Tatang, sopir yang biasa mengantar-jemput Mila setiap hari ke sekolah, melirik Mila dengan perasaan curiga, dari gelagatnya ia yakin betul bahwa hari ini Mila bakal bolos sekolah.
Mila mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan jari telunjuknya, ia berusaha tenang, mencoba menepis keragu-raguan yang masih mengusik hatinya, sampai tiba saatnya handphonenya berdering lagi, dan ketika melihat nama yang muncul di layar handphone itu Mila langsung terlonjak.
“Ya ampun, aku sampai lupa ngasih tau mereka.”
Mila buru-buru mengangkat telpon tersebut.
”Halo, Cell...?”
“Jadi ikut nggak sih? Kalau jadi ikut, cepetan dong! Kita bertiga udah nungguin dari tadi ni!” Bentak Micelle dari seberang telpon, dari nada bicaranya jelas terdengar bahwa ia mulai marah kepada Mila.
‘Tuh kan bener dia marah.’ “Ng.... aku... ng... Kalian tunggu satu jam lagi ya.”
“Loh kok jadi begini? Memangnya kamu mau ngapain dulu sih?”
“Aku ada urusan mendadak, ini masalah keluargaku, urgent banget.”
“Kamu tuh gimana sih, Mil, kalau nggak mau ikut harusnya ngomong dong dari awal, jangan bikin kami nunggu!”
“Aku mohon, Micelle… kasih aku waktu, biar semua berjalan kondusif. Urusan keluargaku bisa teratasi, dan urusan kita pun tetap bisa kita lakukan.”
Di ujung telpon terdengar suara hembusan nafas Micelle yang sedang kesal.
“Beneran satu jam doang ya? Telat dari itu kita bertiga langsung cus, dan barangnya nggak bakal ada yang tersisa. Iya nggak Fin?”
“Yoyoy...” Terdengar suara Fina juga. Mungkin saat ini ia lagi ada di samping Micelle.
“Aduh jangan dong, ini kan pengalaman pertama aku buat nyoba yang begituan, di puncak lagi. Widiiiih, pasti keren. Please..., aku mohooon banget sama kalian, jangan tinggalin aku ya, aku janji nggak bakalan telat dari satu jam kok, setelah semua urusan di sini beres aku bakal langsung cus ke rumah kamu. Oh iya, si Sofi udah datang?”
“Udah kumpul semua ni di rumahku.” Jawab Micelle, masih tetap dengan nada ketusnya.
“Ng… gitu ya.” Mila menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, agak panik juga setelah mendengar kabar bahwa Sofi dan Fina sudah hadir di rumah Micelle. Mila khawatir, jika dirinya meleset dari waktu yang dijanjikannya itu bisa saja mereka meninggalkannya.
“Tanyain, duitnya udah siap belum, gitu?”
“Cuy, duitnya udah siap belum?”
Ditanya begitu Mila langsung tercekat, beberapa saat diam, bingung, sejurus kemudian tubuhnya terkulai lemas ke jok mobil.
Pak Tatang yang kebetulan sedang menatapnya melalui spion dalam jadi mengerutkan dahi, laki-laki itu semakin curiga saja kepada Mila, bahwa selain mau bolos sekolah sepertinya ada hal lain yang akan dilakukan oleh Mila pagi ini.
'Tapi apa ya...?' Pak Tatang menebak-nebak dalam hati.
“Mil, kok nggak jawab pertanyaan aku? Duitnya udah disiapin belum?!”
Meski agak gusar karena saat ini benda yang dimaksud oleh Micelle belum tersedia, namun ia akan coba untuk tetap percaya diri bahwa tidak lama lagi benda itu akan segera berada di dalam genggamannya.
“Tenang aja, udah aku siapin kok.”
“Oh ya udah bagus.”
‘Tut...!’ Telpon ditutup.
Mila menatap handphonenya dengan geram.
“Huh, dasar, mentang-mentang anak orkay! nggak ada sopan santunnya, mau nutup telpon aja nggak ada basa-basinya dulu.” Gerutu Mila seraya memasukan handphonenya ke dalam tas sekolah. Dan sejujurnya hal inilah yang membuat Mila agak minder dari ketiga sahabatnya yang kaya raya itu, mereka seringkali bersikap menyepelekan dirinya.
Mila sendiri sebenarnya sadar betul apa yang menjadi penyebab Micelle, Fina dan juga Sofi bersikap seperti itu kepada dirinya, tak lain adalah karena dirinya tidak bisa se-eksis mereka, dari dulu ia lebih sering menolak apabila diajak hang out, shopping atau pun kumpul-kumpul untuk melakukan pesta ala mereka.
Selama ini, setiap hal yang mereka ceritakan saat mereka sedang kumpul bertiga selalu saja membuat Mila penasaran, bahkan kadang membuatnya sakit hati, dan yang paling membuatnya sakit hati adalah ketika ketiga sahabatnya itu mulai memanas-manasi dirinya dengan menceritakan tentang asyiknya menikmati berbagai macam obat psikotropika, seperti ekstasi, sabu, ganja, heroin dan lain-lain.
Dan pagi ini adalah awal dari segalanya, ia akan coba mengobati rasa sakit hatinya itu dengan caranya sendiri.
Detik demi detik berlalu, diam-diam hatinya gelisah, bagaimana tidak, pagi ini ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang belum pernah ditemuinya seumur hidupnya, yang bahkan kata Arkana, laki-laki itu tidak mau memberikan nomor telponnya kepada Arkana ataupun dirinya, juga kepada sang germo yang berperan sebagai perantara, laki-laki itu minta ditemui langsung oleh Mila.
Hal ini membuat Mila sempat berspekulasi yang tidak-tidak mengenai laki-laki itu, bagaiman jika ternyata dia adalah laki-laki jahat atau laki-laki penipu, yang hanya minta dilayani olehnya, dan setelah itu pergi begitu saja?
'Duh...' Mila deg-degan.
Bersambung . . .
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
Mau tau kelanjutannya?
Like, comment, and subs dulu yuk, biar author makin semangat nulisnya dan selalu ada notif saat update. Terimakasih... happy reading ! <3
Mobil terus melaju, tidak lama kemudian tempat yang dituju oleh Mila sudah terlihat, sebuah salon kecil di pinggir jalan raya Kalibata, Jakarta selatan.
"Itu dia tempatnya." Mila memandang ke luar. "Ya aku yakin itu tempatnya. Stop di sini aja, Pak!” Perintah Mila kepada Pak Tatang dengan tiba-tiba.
'Ciiit!' Mobil berdecit gara-gara Pak Tatang menghentikan mobil yang dikendarainya itu secara mendadak.
'Astagfirullahaladziim...' Pak Tatang terpekik seraya melebarkan bola matanya, pasalnya barusan ia hampir saja menabrak anak kecil yang hendak menyeberang jalan.
Sekilas mereka saling tatap, mata si anak lelaki mendelik tajam ke arah Pak Tatang, dari raut wajahnya nampak jelas sekali bahwa anak itu sangat marah kepadanya.
Pak Tatang melongokan kepalanya ke luar jendela mobil.
"Kamu tidak apa-apa kan?"
Bukannya menjawab si anak laki-laki tadi malah melengos, kemudian segera berlalu, menyeberang jalan dan menemui seorang wanita berpakaian kumal yang sedang duduk di tepi trotoar, wanita itu tak lain adalah Ibunya.
Sesampainya di depan Ibunya si anak segera mengeluarkan plastik bening berisi air putih dan satu tablet obat yang biasa dijual di warung-warung.
"Pak Tatang.!" Panggil Mila dari belakang. Namun Pak tatang tidak mendengarnya, ia masih terus menatap mereka.
Kini si anak laki-laki tadi tampak sedang meminumkan obat kepada Ibunya yang terlihat tengah meringis-ringis menahan sakit.
"Wey! Pak Tatang! Kok malah ngeliatin mereka sih! Buruan ah! Mila udah telat ni!" Sungut Mila sambil melirik jam tangannya.
Seperti baru tersadar dari sebuah adegan yang menghipnotisnya. Pak Tatang pun terkejut dan segera menoleh.
"Iya, Non?"
Mila mencebikan mulutnya.
"Udah ah, saya mau turun!"
Sebenarnya Mila bisa saja turun dari tadi, hanya tinggal buka pintu mobil kemudian segera pergi, tapi permasalahannya adalah dirinya turun bukan di depan sekolah melainkan di depan salon, jika tidak ditatar terlebih dahulu Pak Tatang bisa saja membocorkan semuanya kepada kedua orang tuanya.
“Loh...?"
"Loh apa?" Jawab Mila dengan ketus, tidak suka dengan ekspresi terkejutnya Pak Tatang.
"Anu Non.. ini kan masih jauh dari sekolahan, kenapa Non Mila minta turun disini?" Pak Tatang pura-pura heran supaya tidak kentara bahwa sebenarnya dari tadi ia menguping pembicaraan Mila di telpon.
“Udah, Pak Tatang nggak usah banyak tanya ikh!"
Mila tidak mau membuang waktu, ia buru-buru mengambil selembar uang lima puluh ribu dari saku kemeja sekolahnya dan menyerahkannya kepada Pak Tatang.
”Pokoknya Pak Tatang jangan cerita ke Mama sama Papa ya, kalau Mila minta turun di sini, pura-pura nggak tahu aja dengan apa yang Pak Tatang lihat hari ini."
Mila menyodorkan uang lima puluh ribu itu ke depan Pak Tatang.
”Kalau Pak Tatang bisa jaga rahasia, kapan-kapan Mila bakal tambah lagi uangnya dua kali lipat dari ini.”
“Tapi Non...” Pak Tatang bingung, laki-laki yang tak biasa berbohong itu ingin sekali menolak uang sogokan tersebut.
“Udah ah, jangan banyak tapi-tapian, Mila udah telat ni!”
Mila segera memasukan uang tersebut ke saku kemeja Pak Tatang.
“Jangan ditolak ya Pak, uang itu bisa untuk membeli 1/4 gram anting emas, untuk anak Pak tatang yang baru lahir itu.” Sindir Mila seraya menatap kedua mata Pak Tatang dengan tajam, seolah-olah dari tatapannya itu ia ingin menyampaikan bahwa dirinya tidak suka jika keinginannya ditolak oleh Pak Tatang, sedangkan Pak Tatang masih berstatus bekerja kepada keluarganya.
Meskipun tidak mau menerima uang tersebut, namun pria berusia 35 tahun itu tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa saat Mila memberikan sindiran pedasnya itu kepadanya, apalagi Mila juga langsung memasukan uang lima puluh ribu itu ke dalam saku kemejanya.
Mila bergegas keluar dari mobil dan berjalan menuju ke salon itu.
"Isssh.. " Desis Pak Tatang seraya menatap punggung Mila yang sedang berjalan ke arah salon itu dengan kesal, rasa kesal yang sejatinya tertuju untuk dirinya sendiri, karena statusnya sebagai seorang jongos membuatnya tidak mampu untuk melawan ketika majikannya membeli kejujurannya serta menukarkannya dengan selembar uang lima puluh ribu.
Pak Tatang mengusap wajahnya dengan kasar dan menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dalam bentuk lenguhan panjang, hingga seketika ia teringat lagi pada anak laki-laki yang tadi hampir tertabrak olehnya, Pak Tatang melihat ke pinggir jalan di seberang, dan ternyata anak laki-laki itu masih disana bersama Ibunya yang sedang duduk terkulai sambil bersandar di batang pohon peneduh jalan.
Pak Tatang segera turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Nak..." Panggilnya dengan lembut setelah berdiri tepat di depan anak laki-laki itu.
Si anak mendongak, begitu juga dengan Ibunya yang sedari tadi diam saja merasakan demam serta sakit di seluruh persendian tubuhnya, berharap dapat segera reda setelah barusan meminum obat yang diberikan putera semata wayangnya itu.
Pak Tatang menurunkan badannya, jongkok di depan anak laki-laki itu.
"Maafkan Bapak soal kejadian tadi, kamu hampir tertabrak sama Bapak, apa ada yang luka?"
Anak laki-laki itu menggeleng, namun seolah ingin memberi kode kepada Pak Tatang, ia mengusap-usap perutnya.
"Kamu lapar ya..?"
Si anak mengangguk.
Tanpa basa-basi lagi Pak Tatang segera mengeluarkan uang lima puluh ribu pemberian Mila tadi dan menyerahkannya pada anak laki-laki itu.
"Ambilah... "
Si anak dengan cepat mengambil uang itu dari tangan Pak Tatang, kemudian tersenyum dan membungkukan badannya sebagai ucapan terimakasih.
"Maafkan anak saya Pak, dia tuwicara sejak lahir." sahut sang Ibu. "Terimakasih sudah memberi kami rejeki begitu banyak pagi ini." Ujar wanita itu sambil berkaca-kaca.
Tiba-tiba anak lelaki itu pergi.
"Loh Bu, dia mau kemana?"
"Pasti mau beli makanan, dari kemarin pagi kami belum makan sesuap nasipun."
"Ya Allah..." Hati Pak Tatang bergetar, sudut-sudut matanya seketika tergenang.
Laki-laki itu segera mendongakan wajahnya ke langit, berusaha menahan rasa sakit di hatinya menyaksikan penomena hidup yang baru saja berlangsung dihadapannya itu, yang pada kenyataannya Ibu dan anak laki-lakinya itu hanya sebagian kecil dari sekian banyak orang yang mengalami nasib serupa.
"Kalau begitu saya permisi dulu Bu."
Wanita pengemis itu mengangguk, dari sorot matanya sepertinya ia ingin menyampaikan bahwa dirinya sangat mensyukuri pertemuannya dengan Pak Tatang pagi ini.
Pak Tatang segera pergi menyeberang jalan, lalu masuk ke dalam mobil, selanjutnya ia membawa mobilnya ke halaman salon, ia sengaja tidak langsung pulang ke rumah majikannya karena jika ia terlalu cepat pulang bukan tak mungkin majikannya akan bertanya ini itu soal Mila.
Mungkin sekitar lima belas menit kemudian akan jadi waktu yang tepat untuk bisa kembali dengan aman tanpa ada pertanyaan-pertanyaan yang akan mencecarnya.
Lima menit berlalu, Pak Tatang masih disitu, beberapa saat kemudian laki-laki berkaca mata minus itu membenarkan posisi duduknya seraya mengucek-ucek lobang telinga kanannya yang terasa gatal, lalu diam lagi, hingga beberapa saat kemudian ia teringat pada sebungkus rokok yang ada di saku kemejanya.
Sebelum menyulut rokoknya itu Pak Tatang mematikan AC mobilnya terlebih dahulu, lalu membuka jendela yang ada di samping kemudi, dan pada saat itulah dengan tanpa sengaja ia melihat Arkana keluar dari dalam salon.
Arkana berdiri sejenak di depan salon itu sambil tersenyum lebar, kemudian memasukan tiga lembar uang seratus ribuan ke dalam dompetnya.
‘Hm... pantesan, sama Abangnya juga toh.’ Bisik Pak Tatang dalam hati.
“Den Arkana...!”
Mendengar suara Pak Tatang yang memanggil dirinya, Arkana segera menghampiri Pak Tatang.
“Nggak aneh kalau Den Arkana kelihatan ganteng terus, ternyata Den Arkana suka perawatan juga toh.” Ujar Pak Tatang setelah Arkana berada di dekatnya.
“Hahaha... Pak Tatang bisa aja.”
Arkana melirik sebentar ke arah salon, lalu menatap wajah Pak Tatang dengan tatapan mengancam.
"Awas ya Pak, jangan ceritain ke Mama sama Papa ya kalau hari ini Mila bolos sekolah.”
Mendengar ucapan serta tatapan mata Arkana yang tengah mengancamnya, lagi-lagi Pak Tatang merasa kesal, kesal karena merasa diintimidasi terus dari tadi, oleh Mila kemudian oleh Arkana.
“Baik, Den.” Jawab Pak Tatang dengan ekspresi wajah yang sudah tidak bisa disembunyikannya lagi, meski sudah berusaha untuk tetap tersenyum.
Melihat sikap Pak Tatang seperti itu Arkana segera menepuk-nepuk bahu Pak Tatang, tepukan yang rasanya lebih seperti sebuah ancaman secara halus.
”Saya pulang duluan ya, Pak.”
“Iya, Den.”
Arkana segera berlalu dari hadapan Pak Tatang, ia berjalan menghampiri motor sport kesayangannya yang diparkir tidak jauh dari depan pintu salon, lalu segera pergi.
Sedangkan Pak Tatang, rencananya dalam waktu sepuluh menit kedepan ia pun akan pulang ke rumah majikannya.
Pak Tatang menutup pintu mobil kemudian tangannya bergerak ke depan, hendak menyalakan AC mobil lagi, dan pada saat itulah sekilas ia melihat Mila berdiri di depan pintu salon sambil melotot ke arahnya.
Pak Tatang mencebikan mulutnya, kemudian buru-buru pergi dari tempat tersebut.
Di dalam sebuah ruangan salon minimalis. Mila sedang berbincang-bincang dengan sang pemilik salon, seorang wanita gemuk berusia empat puluh tahun yang riasan wajahnya bisa dibilang agak sedikit menor, maklum namanya juga seorang pemilik salon, sudah barang tentu dia suka berdandan.
Usut punya usut, dari obrolannya barusan dengan Mila, ternyata selain sebagai pemilik salon ia juga merupakan seorang germo, sedangkan salon kecil miliknya itu merangkap sebagai tempat penyewaaan kamar untuk para tamu hidung belang yang datang mencari cewek-cewek muda yang mau melayani mereka, dan cewek-cewek muda itu tak lain adalah anak buahnya sendiri yang juga merangkap sebagai karyawan salon.
Dari semua yang diceritakan oleh wanita itu kepada Mila, satu hal yang membuat Mila tercengang adalah ketika ia tahu bahwa selama ini Abangnya telah bekerja sebagai seorang mucikari yang tugasnya mencari gadis-gadis belia yang masih polos, atau para gadis yang terlihat sedang labil, dan saat bertemu mangsanya itu Arkana akan coba mengajaknya bergabung untuk bekerja sebagai seorang perempuan panggilan.
“Kamu tinggal masuk aja ke pintu itu.” Ujar si pemilik salon sambil menunjuk ke sebuah pintu yang ada di belakang Mila. “Saat ini orang yang dimaksud oleh Abang kamu itu sedang menunggu kamu di kamar nomor enam.”
Mila mengangguk, lalu tanpa membuang waktu lagi ia segera pergi ke pintu itu dan membukanya, pintu yang langsung terhubung dengan sebuah lorong, dan di sepanjang lorong itu terdapat beberapa pintu kamar, kira-kira ada enam kamar.
Sambil berjalan, Mila melihat angka-angka yang tertera di permukaan pintu.
“Gila... gila...” Gumamnya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. “Aku nggak pernah nyangka kalau akhirnya aku bakalan ada di tempat seperti ini.”
Mila akhirnya menghentikan langkahnya, tepat di depan pintu kamar terakhir, kamar nomor enam.
Mila mengetuk pintu, dan tidak perlu menunggu lama pintu langsung terbuka, seorang laki-laki muda muncul dari balik pintu tersebut.
“Selamat datang...!” Sambut laki-laki itu dengan wajah sumringah.
Meskipun lumayan ganteng tapi tetap saja Mila merasa jijik ketika melihatnya, apalagi ini untuk pertama kalinya ia melakukan hal seperti ini, tapi apa boleh buat, dirinya terpaksa harus melakukannya, karena kalau tidak, maka ia tidak akan bisa ikut bersama ketiga sahabatnya itu ke puncak, ketiga sahabat yang pada awalnya ia sendiri tidak pernah mengira bahwa mereka datang dari keluarga kaya raya.
Micelle anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi, sedangkan Ibunya adalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang property, telah banyak bangunan-bangunan megah seperti gedung pemerintahan, perkantoran, mall-mall besar dan lain-lain yang sudah berhasil dibangun dengan menggunakan jasanya.
Sofi anak seorang pengusaha tambak ikan yang juga merupakan pengekspor ikan ke beberapa negara di Asia.
Sedangkan Fina adalah anak seorang pemilik salah satu hotel mewah di tempat kelahiran kedua orang tuanya di Surabaya.
Sebagai anak orang kaya ternyata gaya hidup mereka jauh berbeda dengan apa yang dijalani olehnya selama ini.
“Selamat datang...” Sapa laki-laki itu lagi, membuyarkan lamunan Mila tentang ketiga sahabatnya yang kaya raya itu.
“Oh, iya.”
Mila buru-buru masuk ke dalam kamar.
Mila tidak mau terlalu banyak membuang waktu berharganya hanya untuk melayani laki-laki hidung belang yang tak berduit tebal dan hanya mampu menyewa tempat murahan seperti ini.
Apalagi ia juga sudah berjanji kepada ketiga sahabatnya bahwa selambat-lambatnya ia hanya akan telat satu jam saja untuk tiba di rumah Micelle.
Kamar ditutup.
Beberapa saat berlalu, tak ada suara yang terdengar dari dalam kamar, hening, entah apa yang terjadi selanjutnya di dalam kamar itu, yang jelas hal ini membuat penasaran sorang wanita gemuk bermake-up tebal yang mengintip mereka dari balik pintu.
Dengan penasaran ia menempelkan telinganya lagi ke daun pintu, namun tetap tak terdengar suara apapun dari dalam kamar, makin penasaran lalu wanita itupun mengintip melalui lobang kunci, namun lagi-lagi tak membuahkan hasil.
"Isshhh.. pelit!" Desis kesal perempuan gemuk bermakeup tebal itu seraya menghentakan kakinya.
"Tak salah lagi, rupanya si tamu membiarkan kunci tetap menggantung di pintu, atau jangan-jangan dia sudah mendengar desas-desus soal kebiasaanku ini."
Si wanita menyandarkan tubuh berlemaknya ke dinding sambil senyam-senyum sendiri, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
ck-lek! Pintu bergerak terbuka. Ia tercekat dan segera menjauh dari pintu. Namun sekilas langsung terlihat olehnya bahwa yang dibuka bukan pintu kamar yang sedang jadi sasaran intipnya, namun kamar sebelahnya.
Seorang gadis belia berwajah manis keluar dari kamar tersebut.
"Mamiiii....!" Teriak si gadis dengan suara yang ditahan.
"Ssstttt...!" Wanita itu menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!