Disebuah restoran The Blue Orchid tempat para sahabat berkumpul menghabiskan waktu luangnya, kebanyakan dari mereka adalah
ibu-ibu muda artis, istri-istri penjabat dan pengusaha. Terkadang mereka disatukan karena persahabatan suami-suaminya dalam suatu perusahaan atau ruang lingkup yang sama. Termasuk persahabatan yang satu ini, meskipun tergolong memasuki usia paruh baya diatas usia 40 tahun, tetap bisa eksis dalam pergaulan.
“Selamat ya Bu Mika, sebentar lagi si bungsu akan menikah. Dapat anak menteri lagi, ya ampun beruntung sekali!” Bu Shinta yang sering ingin tahu.
Bu Mika hanya tersenyum karena merasa sudah lebih unggul dibanding Bu Shinta yang sebelumnya juga telah menikahkan anaknya dengan seorang artis terkenal.
“Ah kebetulan Cinta sekampus dengan Rangga. Saya juga terkejut waktu perkenalan keluarga ternyata menteri hihihi....” balas Bu Mika yang semakin meninggalkan balapan.
“Masa Bu Mika tidak tahu sih kalau Rangga itu anak menteri?” memincingkan mata mencurigakan.
“Betul. Saya kan maunya Cinta biasa-biasa saja ... hihihi.”
Sombong sekali dia pura-pura tidak tahu. Ini hanya kebetulan, mana mungkin!? dalam hati Bu Shinta yang semakin keki mendengarkan penuturannya.
Untuk mengalihkan hatinya yang iri Bu Shinta mendapati Bu Mesya yang sedang asyik meski hanya mendengarkan ceritanya.
“Oiya kalau putera Bu Mesya bagaimana? Sudah ada calonnya belum. Padahal dulu aku sempat kepikiran mau besanan sama Bu Mesya loh. Tapi tidak ada respon.” Bu Shinta mencari korban baru
“Hmm…Raka?”
“Iya Raka!” Bu Shinta menegaskan.
“Ah, saya kurang tahu soal itu,” Bu Mesya mencoba menutupinya keraguannya.
“Ayo dong Bu Mesya, cerita sedikit. Saya juga penasaran dengan Raka, karena yang saya dengar putera jenengan itu jadi incaran para gadis loh hihi....” Bu Mika menambahkan.
“Ah, masa Bu Mika? Biasa saja, Raka terlalu sibuk mengurus perusahaannya.” jawab Bu Mesya seakan merendah.
“Jangan-jangan ….” Bu Shinta mencoba merebut perhatian.
“Jangan-jangan apa?” Bu Mika penasaran.
Datang seseorang yang tidak begitu diharapkan oleh perkumpulan Ibu-ibu pengusaha itu. Ibu muda seorang pengusaha, suaminya yang juga rekan bisnis.
Usia yang terpaut jauh dibanding dengan mereka sehingga menjadi timpang dengan kemudaannya. Terutama karena Ibu Jihan belum memiliki anak.
“Aduh Ibu-ibu maaf yah saya terlambat karena harus ke salon langganan dulu, habis warna rambut yang kemarin suamiku tidak suka,” Bu Jihan mencoba memberi alasan.
Siapa yang nanya? pikir Bu Shinta dalam hati.
“Bagus koq Jeng warna rambutnya yang sekarang, elegan. Kalau yang kemarin memang terlalu rame warnanya hehe ....” Bu Mika menjelaskan pendapatnya.
“Ih, terima kasih loh Bu Mika sudah memuji rambut aku. Tadinya aku tidak percaya kalau warna yang sekarang akan disukai suami, tapi karena Bu Mika bilang bagus aku jadi percaya diri!” sembari duduk di sofa yang masih kosong.
“Oiya dilanjut Bu Shinta, jangan-jangan apa?” Bu Mika yang masih penasaran.
“Apa yang jangan-jangan?” Bu Mesya ikut bertanya penasaran.
“Iya apanya yang jangan-jangan?” Bu Jihan yang ikut bertanya.
“Maaf loh Bu Mesya kalau aku lancang, cuma karena pergaulan aku yang sangat luas. Dari berbagai kalangan jadi ... aku dengar-dengar kalau anak kita diusia hampir 30 tahun belum mengenalkan kekasih atau calon pasangannya, harus kita waspadai. Jangan-jangan ….?”
Wajah mereka saling mendekat satu sama lain. Meletakkan wajah mereka ditengah meja hidangan mereka, dengan bokong meninggalkan singgasananya.
“Jangan-jangan penyuka ….”
“APA?” serentak mereka terkejut.
"Cukup. Jangan diteruskan. Bu Shinta ini bikin gosip saja sih." Bu Mesya yang tidak ingin mendengar kelanjutannya.
“Bu Shinta mengada-ada tidak mungkin Raka-ku seperti itu, lagipula usianya baru 28 tahun, masih ada waktu 2 tahun untuk mencari pasangan,” Bu Mesya yang mencoba menahan emosinya.
“Bu Mesya jangan panik seperti itu, saya kan hanya menduga-duga .…”
“Oya, saya pamit dulu karena ada janji dengan dokter kulit.” Bu Mesya meninggalkan restoran itu dengan wajah sedikit geram.
“Loh koq Bu Mesya pergi, baru saja aku datang”, Sahut Bu Jihan dengan polosnya
Makan siang itu selesai sebelum benar-benar selesai.
***
Malam harinya Bu Mesya sedang menangis tersedu-sedu ketika suami tercintanya pulang
dari kantor. Melepas jas dan menaruh tas kerjanya diatas kursi kebesarannya, sang suami mencoba mendekati Bu Mesya yang masih menitikkan airmata.
“Sayang, ada apa koq tumben kamu menangis?” sahut suami yang memeluknya, mencoba mencaritahu apa yang membuatnya bersedih.
“Tidak apa-apa,” jawabnya sambil mengusap airmata.
“Kalau tidak apa-apa kenapa nangis?” bertanya manja sambil membantunya menghilangkan noda dari wajahnya.
“Pah, apa kamu melihat keanehan pada Raka?” Mesya yang mencoba perlahan mengutarakan pikirannya.
“Aneh bagaimana?” balasnya.
“Raka sampai sekarang belum mengenalkan kekasih atau calon istrinya, apa itu wajar?”
“Hahaha .…” tertawa kecil mendengar ucapan istrinya itu.
“Koq Papa ketawa memangnya Papa.
tidak kuatir?” sembari menyandarkan wajahnya dibahunya.
“Papa dulu menikah dengan Mama jugausia 33 tahun, sekarang anak kita baru 28 tahun. Tenang sajalah, nanti juga akan ada waktunya anak itu menikah. Lagipula memaksanya menikah bukan jalan keluar yang baik.” sembari melepas pakaiannya.
“Tapi Pah, waktu dulu Papa masih serumah dengan orangtua, kalau Raka sudah lima tahun tidak tinggal dengan kita,”
“Jadi Mama maunya bagaimana?”
“Mama juga tidak tahu. Apa Mama jodohkan saja Pah?”
“Papa tidak setuju.”
“Loh Papa koq langsung tidak setuju,
belum juga Mama kenalkan calonnya,”
“Ya sudah Mah, lebih baik kamu bicarakan dulu dengan Raka soal perjodohan ini. Papa mau mandi dulu,”
“Ih Papa lagi serius ditinggal mandi.”
Malam itu Bu Mesya tidak dapat tertidur dengan pulas, hanya karena memikirkan ucapan Bu Shinta, teman makan siangnya. Pikirannya terus berpaju dengan waktu untuk mengatur perjodohan. Seluruh daftar teman-teman yang dikenal baik dimasukkan ke dalam list yang memiliki anak perempuan berkriteria tinggi. Semuanya kebanyakan wanita berpendidikan.
Setelah hampir pagi seluruh daftar nama itu terbentuk dengan sempurna. Akhirnya Bu Mesya dapat tertidur karena sudah tidak ada yang berat didalam pikirannya.
Rencananya pagi ini Bu Mesya akan menghubungi teman-temannya itu untuk menanyakan tentang perjodohan itu.
"Semoga saja ada yang cocok dengan Raka!" dengan nada gembira.
Meletakkan buku telepon dan daftar nama teman-teman yang akan dihubunginya besok hari. Diatas meja kayu disebelah sisi kirinya dengan pulpen yang menahan diatasnya.
Membiarkan dirinya yang sangat letih untuk tertidur sejenak. Kesibukan membuatnya melupakan ucapan buruk mengenai puteranya. Tidak ada seorang Ibupun di dunia ini akan tenang sebelum anak-anak mereka memiliki kehidupan yang baik dan bahagia.
Akan kupastikan puteraku satu-satunya akan bahagia. lalu memejamkan mata. Tertidur hingga mentari menyambut pagi.
jangan lupa Like, Vote, Rate 5, Tambahkan ke favorit dan komen yang banyak ya 😊👍
Dua Tahun Kemudian
Malam ini aku diundang makan malam dikediaman orangtua. Sudah dua tahun ini mereka mencoba menjodohkanku dengan pilihannya. Aku sudah menolak Sembilan calon pilihan mereka. Apakah mereka tidak lelah mencarikan jodoh untukku, sedangkan aku belum mau menikah dan masih senang dengan kehidupan melajang. Masih banyak mimpi dan tanggungjawab untukku wujudkan.
Aku ingin lebih sukses ketimbang Papa. Aku tidak ingin dicap anak konglomerat yang hanya bisa sukses karena nama besar Papa. Makanya aku mendirikan perusahaan sendiri dari nol hingga yang sekarang sudah menjadi besar.
Aku sudah bosan melakukan perjodohan yang ujung-ujungnya semua akan kutolak. Mereka bukan tipeku, meskipun semua pilihan Mama anak
baik-baik dan dari latar belakang keluarga berpendidikan. Tetapi, tidak ada yang membuat hatiku tergerak untuk mendekatinya lebih jauh. Pasti, kali ini hasilnya akan sama. Berkenalan selama kurang lebih tiga bulan, makan siang,
makan malam, mengantar pulang setelah itu selesai.
Sesampainya didepan rumah, seperti biasa jika ada tamu penting seluruh lampu taman dan air mancur akan menyala. Sebuah pemandangan
yang menyilaukan dan boros listrik. Pekarangan rumah bertembok putih dengan lampu-lampu yang menghiasinya, membuatnya seakan ada pesta pernikahan. Padahal ini hanya makan malam untuk menyambut seorang gadis kenalan Mama dilingkungan para istri pengusaha, artis dan pejabat.
“Raka, kamu sudah sampai? Mama yang memelukku erat.
“Kita baru bertemu minggu lalu dengan gadis sebelumnya, ingat Mah?” sahutku yang berbisik ditelinganya.
“Itu karena kau selalu mencampakkan pilihan Mama. Sebelum ada yang membuatmu ingin menikah, Mama akan selalu mencarikan jodoh untukmu, ingat!” Mama yang membalasnya berbisik.
“Shesa maaf yah sudah menunggu lama, kenalkan ini anak tante satu-satunya Raka,” sembari mempertemukan kami berdua.
“Hai, aku Raka,”
‘Gadis ini sangat tinggi, tubuhnya langsing, rambutnya panjang dan wajahnya terlihat menawan, ada perasaanku yang tertarik melihatnya, entah apa ... mungkin ini prasangka baik terhadap dirinya’.
“Aku Shesa Kak, maaf Papa dan Mama tidak hadir karena aku tidak memberitahu undangan ini,”
“Oh, kenapa Shesa apa tante sudah membuatmu tidak nyaman, padahal Mamamu yang.…”
“Iya tante, karena aku tidak mau terburu-buru. Biar aku yang memutuskan apakah perkenalan ini berlanjut atau tidak.”
Gadis ini punya prinsip, aku suka
“Pilihan Mama tidak salah kan?” sahut Mama sambil mengedip padaku menagih pujian.
“Ayo kita mulai makan malamnya,” sahut Mama lagi.
Setelah makan malam aku mengajaknya bercengkrama diteras. Pelayan menyediakan minuman hangat untuknya. Aku melihat Papa dan Mama yang mengintip dari balik jendela. Tingkah mereka seperti anak kecil.
“Kenapa tidak diminum?”
“Maaf aku tidak suka minuman hangat atau panas,”
“Kenapa tidak bilang, biar aku ganti dengan yang dingin.”
“Tidak usah lagipula aku tidak ingin terkesan merepotkan. Biarkan orangtuamu senang melihat kita seperti sekarang ini.”
“Hahaha, jadi kamu nyaman diintip oleh mereka?”
“Tidak apa-apa, mungkin karena orangtuamu sangat senang akhirnya ada yang cocok denganmu,”
Sontak aku menyemburkan kopiku yang belum terteguk.
“Hahaha. Kamu lucu dan sangat percaya diri, aku suka,”
“Aku tidak mau membiarkan hatiku kosong, jika sudah ada yang cocok untuk mengisinya.” sahut Shesa.
“Hahaha. Kau gadis yang unik yang pernah kutemui.” aku memandang matanya yang indah dan wajahnya yang syahdu.
“Belum pernah ada yang mengatakan aku unik, baru kamu saja,” sembari menebar senyuman.
“Benarkah?”
Mata kami saling bertemu dan wajahnya seperti memancarkan sinar. Wajahku memerah sepertinya yang merona dengan indah.
Setelah malam itu aku memutuskan untuk melanjutkan perkenalan kita. Aku sangat tertarik padanya, baru kali ini ada yang membuat
getaran dihatiku. Gadis yang terlihat cantik, percaya diri dan berprinsip. Begitu juga dengannya yang semakin melabuhkan hatinya kepadaku.
Meskipun usia kami terpaut tujuh tahun, namun tidak ada halangan dalam hubungan ini. Aku sering menjemputnya dikampus untuk sekedar makan siang, menonton film di bioskop atau hanya membantunya mencari buku untuk bahan bacaan kuliahnya.
Baru kali ini aku bersedia melakukan itu semua dengan senang hati tanpa paksaan. Bahkan aku semakin mencintainya karena Shesa gadis yang pandai dikampusnya. Dan juga karena hatinya sangat baik yang suka melakukan kegiatan sosial untuk orang-orang yang kurang mampu.
Aku suka membantunya menyiapkan segala keperluan logistik dan mendukung kegiatannya itu hingga kepelosok-pelosok desa disela-sela kesibukanku. Bahkan, perusahaanku menjadi penyumbang terbesar karena pengajuan proposalnya yang menggugah pemikiranku.
***
Tiga Bulan Kemudian
Aku mengajaknya makan malam disebuah warung makan yang sederhana setelah menjemputnya sehabis melakukan kegiatan sosial membagi-bagikan sembako disebuah desa yang tertinggal.
Aku menatapnya dan melihat wajah sayunya yang kelelahan menyiapkan kegiatan ini sejak beberapa minggu sebelumnya.
Menyibakkan rambutnya yang menutupi keindahan wajahnya, ketika Shesa sedang meminum es teh itu ditengah-tengah udara malam yang semakin dingin. Aku tersenyum melihat kegemarannya yang aneh itu, selama bersamanya
tiga bulan ini belum pernah melihatnya meminum minuman yang hangat apalagi panas. ‘Apakah Shesa tidak pernah terkena flu’, pikirku
Oh Tuhan aku sangat mencintai gadis ini, biarkan aku memilikinya.
“Shesa, bisakah aku mengatakan sesuatu?”
“Katakanlah, aku tidak pernah melarangmu,”
“Hahaha. Benar juga.”
Jantungku berdebar dengan cepat dan hampir kehabisan napas menahan keinginanku untuk menyatakan perasaan.
“Shesa, aku tidak bisa menahan rasa yang bergejolak dihatiku lagi. Rasanya aku mencintaimu dan baru kali ini aku merasa kesenangan setiap saat, meski hanya memikirkanmu, mengingat matamu, wajahmu, membayangkan suaramu dan takjub dengan pemikiran-pemikiranmu yang penuh ide brilian itu,”
“Jika boleh aku ingin segera menikahimu?”
Shesa hanya menatapku diatas sedotan yang masih menempel diujung bibirnya. Meneguk
es teh yang masih tersisa dalam mulutnya. Aku menanti jawaban yang tulus darinya dengan ketakutan terbesarku.
Namun, aku berusaha untuk tetap tenang apapun keinginannya aku akan penuhi, karena aku sangat mencintainya dan menginginkan Shesa tetap tumbuh dan berkembang seperti apapun. Sesuai kehendaknya untuk bahagia.
“Aku mau, meskipun ini terlalu cepat, aku mau Raka. Aku mau menjadi istrimu....”
“Benarkah itu keputusanmu? Bagaimana dengan kuliah dan orangtuamu? Dan….”
“Ssstttt…” jemarinya menghentikanku bicara.
“Jangan merusak momen ini, biarkan kita menikmati keindahan ini sejenak saja.”
Tiba-tiba lilin yang ada dihadapanku yang hanya menerangi warung makan kecil ini,
ditiupnya agar mati. Kami saling memandang dan untuk pertama kalinya aku menciumnya dengan penuh kehangatan dinginnya malam.
Aku takut jika Shesa tidak begitu menyukai kehangatan yang kuberikan.
“Aku menyukainya, sungguh,” sahut Shesa yang menangkap apa yang ada dipikiranku,
seakan tahu apa yang sedang kupikirkan dan memikirkan kehangatan itu sekali
lagi memeluk erat dan menyatukan hati kami.
***
Seminggu setelah malam itu, aku berencana untuk kerumah orangtuaku ingin memberikan kabar bahwa kami akan menikah. Aku sengaja ingin membuat kejutan untuk mereka.
Aku menghubungi Mama nanti sepulang kerja akan kesana dengan Shesa. Mampir
disebuah toko bunga, aku ingin membeli rangkaian bunga untuk Mama dan Shesa,
karena keduanya adalah wanita yang sudah membuatku bahagia.
Setelah menaruh rangkaian bunga itu dibelakang mobil, aku melihat seperti seseorang yang kukenal tetapi aku tidak yakin karena seharusnya dia tidak berada disini saat ini.
Disebuah restoran dipinggir jalan, duduk dipojok berhadapan dengan teman wanitanya, asyik membahas sesuatu sambil memakan sesuatu yang manis dan secangkir minuman. ‘Kupikir itu adalah minuman panas yang tidak disukai Shesa’.
Sebelumnya Shesa mengatakan masih berada dikampus membicarakan proyek sosialnya. Namun, sekarang aku melihatnya disebuah restoran bersama dengan teman wanitanya.
Itu ... seperti Shesa? Barusan ditelepon masih dikampus, kenapa dia harus berbohong?.
Aku mendekatinya agar pandanganku lebih jelas. Kupastikan benar itu Shesa bersama temannya. Aku ragu untuk masuk kedalam, namun ada perasaan penasaran kenapa dirinya harus berbohong.
Bukankah sebentar lagi kita akan menikah dan tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Aku mengurungkan niatku dan hanya menunggu dimobil.
Setengah jam kemudian, akhirnya Shesa dan temannya selesai dan berbicara sebentar seakan pembicaraan sebelumnya belum tuntas. Aku mencoba meneleponnya untuk melihat reaksinya. Shesa melihat layar ponselnya dan memperlihatkan kepada teman wanitanya itu, lalu tertawakan hal itu. ‘Ada apa sebenarnya’
Aku keluar dari mobil dan berjalan kearahnya. Memanggil namanya dengan keyakinan.
“Shesa, benarkah ini kau?”
Shesa terkejut dan teman wanitanya itu juga. Wajahnya berubah tidak seperti Shesa yang kukenal selama tiga bulan ini.
“Hai Raka, masih ingat aku?” sahut teman wanitanya itu.
Aku sama sekali tidak ingat, aku bersumpah.
“Heh. Aku yakin kau tidak akan ingat siapa aku? Aku Vina korban ke sembilan perjodohan selama tiga bulan yang kau campakkan”
Aku ingat sekarang, dia mengubah gaya dan warna rambutnya. Aku tidak mengenalinya.
“Apa maksudnya semua ini? Shesa bisa kau jelaskan?”
“Sorry Raka, aku.…”
“Sorry? Ini bukan kau, sungguh ini bukan Shesa yang kukenal....”
“Aku Shesa, oke. Gadis yang kau lamar seminggu yang lalu, tetapi semua itu adalah sandiwara.”
“Kenapa? Apa salahku?”
“Salahmu adalah telah membuat wanita seperti ******* yang tidak ada harganya!” Vina mengungkapkan isi hatinya.
“Apa?! Kau sangat berlebihan, aku tidak pernah memperlakukan wanita seperti itu.”
“Ya, kau melakukannya meskipun tidak secara fisik. Sikapmu ini yang membuat semua wanita yang pernah mengenalmu menjadi jijik.
Seharusnya sebagai laki-laki kau bisa menolak ajakan perjodohan Mamamu itu dan bukan
justru menggilir kami seperti *******,”
“Jadi ini hanya permainanmu Shesa dan bersekongkol dengan teman wanita ini?”
Shesa hanya terdiam.
“Jawab Shesa!”
“Jangan coba-coba memaksanya, sekarang rasakan bagaimana hatimu patah ketika dipermainkan seperti boneka hahaha....” sahut Vina yang puas akhirnya dendamnya terbayar.
“Jawab Shesa, benarkah kau tidak jatuh cinta denganku? Jawab?!” sembari meraih lengannya.
Shesa hanya diam seribu bahasa.
“Apa tiga bulan kemarin tidak ada perasaan sama sekali? Semua hanya permainan? Kamu yakin?
“Iya! Aku hanya ingin membalaskan sakit hati teman baikku Vina, untuk mempermainkan perasaanmu, puas. Jadi jangan ganggu aku lagi.” Shesa meninggalkanku dengan acuh.
“Rasakan balas dendam dari gadis nomer 10 hahaha....” Vina yang tertawa puas.
Aku tidak percaya apa ini mimpi. Apa ucapannya itu bisa dipercaya. Semua itu hanya permainan, perasaanku hanya mainan baginya.
"Oh Tuhan, sungguh tidak bisa dipercaya."
***
Dunia seakan runtuh, hatiku hancur berkeping-keping. Gadis yang kucintai
mempermainkan perasaanku semudah itu. Bersandiwara sejak awal untuk membuatku
jatuh cinta dan akhirnya mendepakku seperti barang rongsokan. Apakah ini sungguhan, aku masih tidak percaya Shesa bisa sekejam itu merencanakannya sejak pertemuan pertama kita.
Tiba-tiba Mama menelepon ponselku disaat hatiku gundah dan hancur. Baru kali ini aku tidak bisa berpikir apalagi menjawab panggilan
Mama dengan kebingungan. Setelah tiga kali deringan teleponnya yang tidak kuangkat, akhirnya aku memutuskan untuk membatalkan makan malam.
“Raka, kenapa sampai sekarang kamu belum sampai? Apa kamu baik-baik saja?”
Aku hanya menahan perih ini agar tidak membuatnya semakin sedih.
“Mah, boleh Raka mengatakan sesuatu. Sejujurnya.…”
“Sejujurnya apa Raka? Jangan bilang kamu.…”
“Mah dengarkan Raka dulu, Raka cuma mau bilang.…”
“Raka, apa kamu mau bilang kalau kamu dan Shesa sudah putus? Kenapa lagi Raka, Mama sudah mencarikan yang terbaik untukmu.…”
‘Aku tidak sanggup mengucapkannya lagi.…’
“Mah … sesungguhnya,”
“Raka, apa benar kamu itu … tidak suka wanita?”
“Mama berat mengucapkan ini tapi … ini yang Mama takutkan sejak awal, teman-teman mengatakan yang membuat Mama takut kebenarannya,”
Apa? Mama berpikir jika aku menolak perjodohan itu karena aku … tidak menyukai wanita?.
“Iya Mah, aku tidak suka Shesa dan wanita. Jadi mulai saat ini Mama tidak perlu bersusah payah untuk menjodohkanku dengan anak kenalan Mama. Aku sudah muak Mah”
“Raka … Ben”
Aku menutup teleponnya, memutuskan pembicaraannya secara sepihak, meskipun Mama terus menerus menelepon aku mematikan ponselku. Lebih baik aku dianggap sebagai seorang yang ada dipikiran Mama daripada lebih banyak lagi wanita yang tersakiti oleh sikapku yang selalu menolak.
Aku tidak mau membuat mereka menaruh harapan besar dan seakan mempermainkan. Padahal aku tidak sengaja melakukannya, aku tidak tahu bahwa itu akan menyakiti.
Pencet Like, Vote, Rate 5, tambahkan ke favorit kalian dan komen yg banyak ya😊👍
Hampir tiap malam laki-laki hidung belang itu memintaku untuk menemaninya bernyanyi.
Laki-laki beristri yang sangat menyebalkan, ini yang kesekian kalinya aku menolak permintaannya.
Namun, laki-laki itu tetap saja memintaku bukan pemandu karaoke lainnya. Aku tidak suka karena tangannya sangat jahil dan suka menggerayang kemana-mana. Sedangkan, aku harus menahan setiap perlakukan karena pemberian tip yang besar dari para laki-laki pencari kesenangan itu.
Tetapi baru kali ini aku menemui laki-laki seperti ini karena sikap kurang ajarnya. Biasanya kebanyakan mereka hanya ingin ditemani bernyanyi meskipun ada juga yang nakal, tetapi jika aku tegas mereka juga tidak berani lebih jauh. Berbeda dengan laki-laki yang satu ini semakin ditolak semakin berani. Dirinya tidak mau penolakan dari siapapun yang diinginkannya.
Laki-laki itu bernama Pak Sam, aku sering menyebutnya Pak Sampah. Seorang pengacara yang dekat dengan pejabat-pejabat. Biasanya mereka melakukan pertemuan-pertemuan untuk melakukan negosiasi ditempat ini, atau sekedar menjamu alias entertain para tamu dengan suguhan menarik.
Temanku Lusi Cecilia yang sering menemani para pejabat-pejabat itu. Lusi yang lebih suka dipanggil Cecilia itu sudah kawakan dibidangnya, namun aku tidak iri dengan penghasilan tip-nya selama sebulan bisa untuk membeli sebuah mobil.
Tetapi uang yang mudah didapat sepertinya juga mudah hilangnya. Uangnya dihabiskan untuk berfoya-foya memenuhi hasrat berbelanja dan kehidupan glamornya.
Sedangkan aku melakukan pekerjaan ini untuk membantu Ibu, Kakak laki-lakiku yang pengangguran dan adik perempuanku yang masih sekolah menengah pertama.
Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, membayar kontrakan dan membayar sekolah adik.
Bahkan, uang yang kuberikan sering diambil oleh kakak untuk membeli minuman keras dan berjudi balapan. Aku sudah lelah menjadi tulang punggung keluarga. Padahal dipagi hari aku bekerja sebagai kasir disebuah kedai kopi.
Pun untuk membayar kamar kos-an dan untuk makan sehari-hari. Penghasilanku selalu saja habis dan terkadang melewatkan makan. Aku hanya makan sehari satu kali diwaktu malam agar
aku bisa tertidur pulas.
Aku tidak bisa tidur dengan perut kosong menahan lapar. Jika pagi dan siang tidak makan aku masih bisa menahannya dan sering memakan sisa-sisa pelanggan yang tidak habis dimakan.
***
“Dara. Kenapa kamu di room ini?” tanya pemilik karaoke ini agak kesal.
“Saya dari tadi.…”
“Pindah kamu kesebelah, dari tadi Pak Sam sudah membookingmu untuk tiga jam kedepan.”
“Tapi Pak Bimo, saya tidak suka dengan sikapnya.”
“Kamu mau berhenti kerja? Hah …? Mau mengatur saya lagi?”
“Tidak Pak.”
Aku masuk keruangan itu dengan senyuman nakalnya yang merasa puas ketika aku masuk keruangan itu. Aku mencoba menghela napas dan menahan kesabaranku. Aku berharap sikapnya berubah tidak memperlakukan wanita seperti barang murahan.
Pak Sam langsung menarik tanganku dan memberikan mikroponnya. Pak Sam memilihkan lagu kesukaannya dan aku mendendangkan untuknya.
Pak Sam mengelilingi sisiku dan melihat tubuhku dari bawah keatas. Aku merasa risih dan menjauh sedikit darinya. Namun Pak Sam meminum alkohol yang ada diatas meja sesuai dengan pesanannya.
Aku dipaksanya meminum dari gelasnya, aku menolak. Dan ditengah lagu yang sedang kunyanyikan Pak Sam memegang menyentuh punggungku dan mengelusnya hingga bokongku dipegangnya. Spontan aku menampar wajahnya dan berhenti bernyanyi.
Wajahnya yang merona kemerahan seakan murka dan melempar sisa minuman yang ada digelasnya kewajahku. Aku berteriak karena terkejut. Pak Sam melempar gelas itu ke dinding dan semuanya pecah berantakan.
Lalu, mencoba memelukku dan menciumku. Aku tidak akan membiarkannya melakukan itu. Menendang selangkangannya dan berlari keluar.
Wajahnya yang berteriak kesakitan membuat semua orang mendatanginya.
Pak Bimo mencoba menenangkan Pak Sam yang mengamuk dan menahan sakit. Aku keluar dari gedung itu dan mencoba menenangkan diri. Aku menangis dan meratapi hidupku yang hancur
ini. Harus merasakan penghinaan dan pelecehan seperti ini. Mencari uang untuk hidup saja kenapa sesulit ini padahal aku hanya ingin hidup bukan berkecukupan, hanya untuk hidup dari hari ke hari.
Aku menangis diatas undakan tangga depan pintu. Gelapnya pintu kaca itu seperti
hidupku yang suram. Hatiku yang lelah dan tubuhku yang melemah. Sampai kapan
harus kujalani kehidupan seperti ini, hanya demi hari-hari ku yang tak berarti.
“Dara. Apa yang sudah kamu lakukan? Saya tidak mau tahu, kamu harus meminta maaf
kepada Pak Sam,” pemilik karaoke yang marah.
“Tapi Pak, saya tidak salah. Pak Sam
yang mencoba melecehkan saya,”
“Dara. Kamu tau bekerja dimana? Itu
sudah resiko pekerjaan sebagai pemandu karaoke. Terima sajalah ... jangan sok suci!”
“Tidak Pak saya tidak bisa.”
“Sombong kamu!”
"Seharusnya kamu seperti Cecilia, sekarang hidupnya mewah. Tidak seperti kamu sok suci!"
Tiba-tiba Pak Sam keluar dari pintu
itu dan memukul wajahku hingga terjerembab ke jalan. Dirinya yang menunjuk-nunjuk diriku dengan angkuhnya. Memaki dan menghinaku dengan kata-kata kotornya, sebelum tendangannya melayang diperutku. Ada seseorang yang menahannya dan mendorongnya hingga hampir terjatuh.
Tubuhnya yang tergopoh karena dibawah pengaruh alkohol hampir saja terjerembab.
Aku yang berlindung dibalik kedua
lenganku yang menutupi wajah dan meringkuk ketakutan. Membuka mata dan melihat
sosok yang menyelamatkanku.
“Kurang ajar siapa kau?” Pak Sam yang semakin murka.
“Laki-laki bisanya memukul perempuan?”
“Apa kau bilang!” sembari melayangkan tinjunya kearah sosok penyelamat itu.
“Sudah Pak, jangan Pak sebaiknya kita kedalam saja,” sahut Pak Bimo merayu.
Pak Bim memberikan kode kepada keamanan agar membereskan masalah.
Lalu beberapa orang keamanan membantu Pak Sam yang dalam keadaan mabuk itu dibawa masuk kedalam.
“Mas, seharusnya jangan ikut campur
urusan saya, ini bisnis saya. Dan pemandu karaoke sialan ini sudah memukul
pelanggan saya, paham!”
“Oiya, kamu Dara mulai malam ini
kamu dipecat, jangan pernah minta bantuan lagi ke saya untuk mempekerjakanmu
disini! Dasar tidak tahu diuntung!”
Sosok penyelamat itu membantuku berdiri dan aku menolaknya. Aku bisa berdiri sendiri, aku masih mampu.
“Biar aku bangun sendiri, aku bisa.” sahutku yang mencoba berdiri dan membersihkan debu dirok mini ini.
Seorang keamanan muncul dari pintu dan memberikan tas dan kantong yang berisi baju ganti.
“Terima kasih atas pertolonganmu,
tapi aku tidak mau ada hutang. Aku janji aku akan membalas budi.”
“Apa kamu ingin kuantar pulang?”
“Tidak. Tidak perlu, kos-an. Maksudku rumahku dekat sini.”
“Baiklah.” sosok penyelamat itu pergi dengan mobilnya.
***
Dikediaman orangtuanya, dalam kamar Mama menangis lagi. Kali ini tangisannya tidak dapat terbendung, pecah dan nyaring seperti porselen yang terlempar akibat gempa. Semua pelayan tidak berani masuk kedalam namun kuatir dengan keadaan majikannya. Suara histeris yang memekikkan telinga semua pendengaran, hingga
Papa datang sepulang dari kantor.
“Ada apa?”
“Nyonya. Tuan, dari tadi menangis,”
“Sudah sana buatkan saya kopi dan juga segelas teh untuknya,”
“Baik Tuan.”
Papa melihat kedalam kamar yang sudah sangat berantakan keadaannya. Seperti kapal pecah yang porak poranda terjatuh diantara dua pegunungan Himalaya. Bantal dan guling yang entah berterbangan kemana, tubuhnya yang berada didalam selimut bersembunyi dari kekalutan hatinya.
“Ada apa lagi Mah? Bukannya kalian habis makan malam bersama dengan calon istrinya?”
Tangisan Mama semakin menjadi-jadi.
“Loh koq makin kencang nangisnya?”
“Apa sih Mah, Papa tidak bisa dengar kalau suaramu didalam selimut begitu,”
Mama membuka selimutnya.
“Raka memutuskan hubungan dengan Shesa dan bilang kalau dia tidak suka … tidak suka … tidak suka wanita….” masih meneruskan tangisannya.
Papa terhenyak dalam duduknya dipinggir ranjang itu. Hatinya ikut gusar mendengar pengakuan Raka dari mulut istrinya. Dalam hatinya tidak bisa percaya apa yang terjadi, pikirannya sekalut pikiran istrinya yang terluka.
Hanya saja Papa masih mencoba untuk menalarnya dengan logika dan rasa sayangnya kepada putera satu\-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
“Sudah Mah, sudah yah, kita sudahi
dulu malam ini,” mencoba menenangkannya.
"Besok Papa akan tanyakan pada Raka ... sudah yah, kita tidur saja."
Berikan cinta untuk penulis agar bersemangat. Pencet Like, Vote, Rate 5, Tambahkan ke favorit kalian dan komen yg banyak ya😊👍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!