NovelToon NovelToon

Our Story : Mendadak Sekantor

1. Prolog

Happy Reading❤️

...--------------...

Entah sudah berapa lama mereka berada di ruangan ini, Gala bersama wanita itu.

Wanita itu menyerahkan diri dan hatinya, tapi pria berusia 34 tahun tersebut selalu bisa membedakan hubungan yang layak diperjuangkan atau tidak.

Sudah lama mereka berada dalam situasi "partner with benefit" semacam ini. Tapi si wanita tak pernah mampu mengambil hati Gala.

Gala menyesap wine, mengabaikan keberadaan Leticia yang kini duduk sambil merokok di sampingnya. Wanita itu frustrasi setelah Gala kembali menolak hatinya.

Semua usahanya hanyalah sia-sia belaka. Wajah cantik rupawan tak jua dapat menggoyahkan hati pria itu dari kebekuannya.

Ketika Gala membuka grup media sosial berlogo hijau bulat tempat para teman-teman satu sekolahnya berkumpul, netranya langsung menangkap satu pengumuman yang menarik perhatiannya.

“Guys, berikut hasil rapat antara panitia dan guru-guru serta mantan guru SMA kita. Satu, acara kita akan diadakan di restoran RJ pada tanggal 30 Januari, berikut alamatnya. Dua, berikut rincian dana yang diperlukan…”

Berbagai balasan dari teman-teman satu angkatannya mulai masuk dengan heboh. Gala tersenyum-senyum sendiri saat melihat tingkah lucu teman-temannya yang tak sabar untuk reuni.

Hingga ada sesuatu yang membuat senyumnya memudar. Hatinya jadi lebih tergerak saat ada satu nama yang merespon pengumuman tersebut.

[Gemma : Oke.]

Hanya ada satu kata yang diketik oleh nama itu, dan hati Gala mendadak bergetar hebat. Gala langsung menyentuh nama itu di bagian fotonya, untuk menampilkan gambarnya lebih besar.

Foto itu berjenis close up dengan pose kasual. Wajah itu masih seperti dulu, tetapi sekarang jauh lebih cantik dan menarik. Dia segera menyimpan nomor wanita itu dalam ponselnya dengan menuliskan nama wanita itu, Gemma.

“Siapa itu?” tanya Leticia.

Berawal dari Gala yang berkunjung ke perusahaan agency Leticia bekerja sebagai model papan atas, hubungan mereka terus berlanjut.

Leticia bergelayut manja, menempel pada punggung Gala dan mengecup bahu pria itu dengan mesra. “Siapa Gemma?”

Gala menoleh sedikit pada Leticia, “teman SMA.”

“Pasti cinta pertama.”

Gala membenarkan perkataan Leticia dalam diam. Leticia tahu, sebab ekspresi wajah dan tatapan mata Gala saat melihat foto itu memang tidak bisa bohong.

“Jelek banget. Lihat deh mukanya, kucel, kusam, kurus, kayak lebih tua dari usianya, gak menarik sama sekali. Cantikan aku,” bisik Leticia sambil menggigit telinga Gala.

Lelaki itu menggeliat tak suka saat tubuhnya dijamah. “Bisa gak, kamu gak usah hina fisik orang? Kamu aja gak kenal dia.”

“Tapi aku mengenalmu dan sudah lama berada di sisimu,” bisik Leticia.

“Kamu bisa pulang kapan pun kamu mau. Aku akan pergi sebentar lagi,” ucap Gala dingin dengan hati jengah. Jika bukan karena soal kerjaan, mungkin Gala tak mau lama-lama berada di sini.

Gala langsung pergi meninggalkan Leticia begitu saja.

Kedekatan mereka dimulai saat ada gosip liar yang menyebut Gala seorang gay. Sehingga, pria itu sering meminta Leticia ke acara-acara penting untuk menemaninya sebagai Lady Escort. Dengan bayaran yang oke, pastinya.

Lambat laun, Leticia menaruh rasa benaran. Tapi kini yang bersarang dalam otak Gala bukanlah wanita itu.

Tak pernah ada wanita lain dalam benak Galandra Putra Aditya selain Gemma Aruna Fransius.

Dia bukan cinta mati pada perempuan itu, tetapi memang Gala tak pernah jatuh cinta pada perempuan lain selain Gemma, bahkan setelah lima belas tahun berlalu.

...****************...

2. Gala vs Gemma

Jakarta, tahun 2006

"Nggak bisa gitu dong, Bu! Saya nggak terima!"

Suara Gala terdengar meninggi pada seorang wanita berusia 40an yang kini berdiri di depannya dan menatapnya datar.

Keputusan Bu Rosa sepertinya tidak bisa diganggu gugat. Tapi Gala tetap tidak terima.

"Saya udah persiapan dari bulan lalu, Bu!" Gala menolak keras. Dalam hatinya, dialah yang seharusnya dikirim mewakili sekolah dalam kompetisi Gitaris Solo SMA sekota Jakarta.

Dia sudah banyak berlatih, masuk klub gitaris, mendatangkan tutor Gitaris handal, dan main gitar setiap hari. Tapi kenapa di mata Bu Rosa, dia tetap tidak lebih baik?

"Gemma Aruna Fransius dari kelas 3 IPS yang akan bertanding di kompetisi itu, bukan kamu. Lagian, siapa suruh kamu persiapan? Bulan lalu saya belum memutuskan siapa yang akan maju, 'kan?"

Gala maju selangkah dan menatap Rosa dengan sengit. Ambisinya tak bisa dibendung. Dia tidak mau kalah sekarang tanpa melawan.

"Nggak. Saya yakin, Bu Rosa pasti sengaja, 'kan, bikin saya nggak bisa ikut kompetisi itu?! Saya ini kelas 3, Bu. Ini tahun terakhir saya bisa bertanding. Saya pasti menang!"

"Kamu memang udah sering menang." Perawan tua berambut keriting, bertubuh bongsor dan gigi kelinci itu mendesah bosan. "Kamu aja nyetem gitar masih pake guitar tuner. Ngerti 'kan bedanya kamu sama Gemma di mana?"

“Hanya karena Gemma itu punya telinga peka, bukan berarti cara dia bermain lebih baik dari saya!”

“Ini sudah diputuskan ya, Gala. Lagi pula, kamu sudah sering ikut kompetisi semacam ini. Berilah kesempatan pada orang lain. Lebih baik kamu fokus untuk ujian akhir.”

Wajah Gala memerah. Meski kekesalan dalam hatinya memuncak, dia tetap tidak bisa berbuat apa-apa, sebab satu sekolahan sudah tahu tentang pengumuman ini. Rosa mengumumkannya sesaat sebelum upacara hari Senin itu berakhir.

“Gemma juga sama-sama kelas 3 ‘kan?”

“Pengecualian! Dia nggak pernah tanding sebelum ini.”

“Tapi―”

“Gala. Keputusan saya sudah final,” ujar Rosa sambil berlalu.

Telinga Gala memanas. Darah dalam urat nadinya berdesir kian cepat memompa perasaan kecewanya semakin tinggi. Dadanya kembang kempis menahan amarah hingga napasnya terdengar amat berat.

Gemma... anak perempuan kurus berwajah ketus itu sudah membuatnya kehilangan kesempatan ini.

No!

Gala tidak terima! Gadis itu harus diberi pelajaran. Kenapa juga dia harus muncul di saat-saat terakhir? Apa dia mau pamer? Tidak ada yang pernah mengalahkannya di sekolah ini, apalagi anak perempuan!

Dia akan membuat perhitungan pada Gemma sepulang sekolah. Gadis itu harus paham posisinya ada di mana dan dia harus bisa menempatkan diri.

***

“Es batu sahabat gue!” panggil Diana dengan ceria pada Gemma yang sedang duduk sendiran di depan gudang sekolah yang sepi. “Ntar kita mampir ke ka ef ci yuk, gue traktir dari hadiah gue menang lomba!”

"Minggu depan aja ya. Pas bokap gue nggak ada di sini."

Gemma tersenyum lembut pada sahabatnya yang berwajah manis, berpenampilan ‘tomboy yet girlish’ di beberapa sisi tersebut.

Dia mengangguk, tapi masih memusatkan perhatiannya pada benda yang terbuat dari kayu dan senar baja, yang sedang dipeluknya dengan erat. Dia langsung memainkan gitar tersebut dengan merdu sekali.

Gemma, cewek yang terkenal dengan sikap dinginnya itu sedang memainkan lagu-lagu milik band lawas, Dewa 19. Jemarinya begitu lihai dan lentur seolah tak bertulang saat dia memetik gitarnya, sangat berbeda jauh dengan perangainya yang kaku. Terutama saat dia berimprovisasi dengan melodi rumit pada lagu Roman Picisan, bukan hanya sekedar memainkan kunci dasar.

Siapa saja yang melihatnya akan mengakui kalau skill yang dimiliki Gemma itu sangat potensial. Skill yang membuat siapa saja iri, terutama kaum Adam yang mendominasi dunia musik.

Termasuk Gala, yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam dari balik pohon beringin.

“Keren juga,” komentar Niko, anak laki-laki tampan berpipi chubby yang berdiri di sebelah Gala.

“Berisik!” ucap Gala kesal.

Febri, cowok paling tinggi dari antara merek, mencubit pipi Niko dengan keras sampai Niko mengaduh. Yang membuat Gala kesal bukanlah Gemma saja. Pujian tulus dari Niko seakan-akan mengonfirmasi kalau permainan Gemma memang bagus, dan Gala tidak suka hal itu terjadi.

Tatapan mereka kembali menyorot Gemma dengan penasaran.

Siapa yang menyangka kalau gadis itu mendapatkan kemampuannya dengan cara otodidak?

Gala merasa lebih hebat darinya karena effort yang dia lakukan demi meningkatkan kemampuan bermusiknya itu lebih besar. Tidak seperti Gemma yang tiba-tiba saja datang dengan sok, memamerkan kemampuannya bermusik dengan pandai.

Memangnya siapa dia? Dewi gitar? Cuih!

"Dari mana lo belajar main gitar padahal nggak ada gitar di rumah karena Bokap lo melarang keras?" tanya Diana, teman baik sekaligus teman satu-satunya yang dimiliki oleh Gemma.

"Dari pos ojek pengkolan depan rumah. Mereka yang ngajarin."

"Lo udah siap buat kompetisi minggu depan?"

"Siap nggak siap, ya jalanin aja Di," jawab Gemma seraya membersihkan benda kesayangannya dengan guitar cleaner.

"Tapi lo seneng 'kan? Karena lo yang akhirnya maju?"

Bibir tipis Gemma melengkung untuk tersenyum dan memasukkan gitar akustik elektrik itu dalam soft case-nya. "Nih, jaga baik-baik ‘bayi’ gue."

“Aman! Tar kalo dia lapar, gue tetein.”

Tangan Diana terjulur untuk menerima benda kesayangan sahabatnya yang dia harus jaga bagai keris Mpu Gandring yang baru saja di temukan di situs kuno. "Bokap lo kapan mau ke Kalimantan?"

"Minggu depan. Makanya gue bisa bebas ikut kompetisi." Gemma memasang ranselnya, bersiap untuk pulang. "Sori, gue repotin lo bawa yang beginian. Lebih aman kalau gitar ini nggak ada di rumah gue karena Bokap gue bisa pulang kapan aja."

Diana menggeleng tipis. Bukan itu yang membuatnya keberatan. Dia hanya tidak berani membayangkan 'risiko' lainnya. "No worries. Asal gue nggak ketemu Bokap lo aja."

"Tapi Gemma ketemu gue," ucap Gala yang keluar dari tempat persembunyiannya bersama Febri dan Niko, yang selalu mengekor Gala bak hewan peliharaan yang belum makan.

Ketiga anak itu cukup famous di sekolahnya. Cakep, kaya, semua murid segan pada mereka, hampir semua anak perempuan memuja mereka.

Dan Gala bangga akan pengaruh yang dia miliki, yang jauh lebih besar dari Febri dan Niko. Tapi pengaruh itu ternyata tidak cukup untuk membuatnya yang dipilih untuk ikut kompetisi tersebut.

Ada helaan napas pelan yang terdengar dari mulut Gemma. Dia memutar bola matanya, malas berkonflik dengan Gala.

"Mau lo apa?"

Tangan Gala terjulur untuk menunjuk wajah Gemma yang tirus. Gala tersenyum miring, menampilkan lesung pipi dalam yang menghiasi wajah tampan rupawannya.

"Lo mundur dari kompetisi itu. Gue bisa lakuin apa aja yang bikin lo sulit nantinya."

"Gue jelas nggak bisa mundur, Gala. Gue udah dipilih."

Gala menurunkan tangannya, memasukkannya dalam saku celana. "Gue nggak bisa biarin ‘cewek’ yang maju.”

Gemma menggeleng dengan senyum sinis. “Nggak usah terlalu patriarkis.”

Mata sipit Gala memicing. “Lah emang harusnya gitu, kan? Lo itu ‘cewek’! Sadar diri lah!”

Diana yang juga jengah melihat kelakuan Gala, maju ke depan sambil memasang kuda-kuda.

Sebagai pemegang sabuk hitam Tae Kwon Do yang baru saja menjuarai kompetisi antar SMA seluruh se-Jabodetabek, sudah seharusnya dia melindungi sahabatnya itu dari orang-orang yang ingin mengganggu. “Persetan sama patriarkis! Sini lo, maju hadapin gue. Lo semua bosan hidup?”

Belum apa-apa, Febri dan Niko sudah mundur. Tapi tidak dengan Gala. Anak lak-laki itu masih menatap sinis pada Gemma. Gadis itu tidak merasa terintimidasi sama sekali. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tak heran orang-orang menjuluki dia Es Batu.

“Gue denger-denger, bokap lo galak ya Gem? Apa gue mesti kasih tau bokap lo supaya lo mundur?"

Meski ada gurat elusif di wajah Gemma, dia memilih untuk tenang. “Jangan pake cara licik. Gue udah terpilih. Terima aja kenyataannya.”

“Nggak, gue nggak bisa terima. Gue bakal bikin lo mundur, lihat aja nanti!”

Namun, Gemma masih saja terlihat kalem. Gala semakin heran, anak perempuan di depannya ini malah santai saja. Dia bahkan berlalu dari Gala dan kawan-kawan tanpa merasa terintimidasi sama sekali.

Gemma mencoba mengusir kekuatiran itu. Anak laki-laki sombong tersebut tidak bisa membuktikan apa-apa pada ayahnya, selama gitar itu tidak berada di tangannya.

***

Bruk!

Punggung Gemma menghantam pagar beton belakang sekolah dengan keras, sementara lima orang anak perempuan berwajah cantik dengan tas punggung brand mahal, berdiri mengelilinginya.

“Lo pasti curang ‘kan? Bu Rosa milih lo daripada pacar gue.”

Gemma mengernyit, menahan nyeri yang menjalar di sepanjangan punggungnya karena dorongan keras dari Erika tadi. Gemma menatap mereka bingung.

“Pacar mana maksud lo, Er?”

“Lo nggak tahu kalau Gala sama gue pacaran?” Erika bertolak pinggang. Matanya menatap Gemma tajam. Gemma tak dapat meminta pertolongan Diana sebab sahabatnya itu sudah pulang.

“Pertama, gue nggak curang. Kedua, gue nggak perduli lo itu mau jungkir balik ngejar Gala. Yang pasti, gue nggak melakukan apa yang lo tuduhkan. Jadi,” Gemma memperbaiki letak tasnya di punggungnya. “biarin gue pulang dari pada harus dengar omong kosong lo yang sering menghayal pacaran sama Gala.”

Mata Erika melotot, “berani-beraninya lo ya!”

Plak!

Satu tangan Erika mendarat sempurna di wajah Gemma dan memberikan bekas merah di sana. Erika tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah Gemma yang terpental ke kanan hingga rambut panjang gelombangnya itu terhambur.

“Songong banget lo. Orang sombong kayak lo emang harus diberi pelajaran!”

Erika bersiap menghajar Gemma, tepat saat seseorang yang baru saja dibicarakannya berjalan melewati mereka bersama Febri dan Niko bak selebritis.

Meski tak tebar pesona, tapi siapa saja yang melihat grup lelaki tampan ini pasti akan tersenyum. Ketampanan dan aura mereka sangat natural, pun dengan sikap cool yang semakin membuat para kaum hawa menggelepar kepanasan.

Gala si kaya yang jago bermain gitar, Niko anak pintar bercita-cita jadi dokter obsgyn yang jauh dari kata kuper, dan Febri adalah langganan MVP pertandingan basket. Kolaborasi triple damage yang dapat memporak-porandakan hati para gadis.

Ya kecuali Gemma dan Dianna. Sepertinya hanya mereka yang tak pernah ambil pusing.

Mungkin di hadapan orang yang tidak suka, para lelaki ini hanya segerombolan cowok dengan simbiosis mutualisme. Tidak banyak yang tahu kalau mereka sudah akrab dari bayi.

Teman-teman Erika langsung bersikap norak seperti cacing yang baru saja diberi garam. Ada yang mendadak tolol, ada juga yang seperti orang udik―yang seperti tak pernah melihat lawan jenis.

Gala mencelos dalam hati. Norak.

“O em ji, Niko! Besok, ajarin gue matematika yaaa…”

“Febri sooo hanseeemmm!”

“Gala, bokin lo nih!”

Buru-buru Erika langsung memperbaiki posisi berdiri dan rambutnya yang sempat ikut berantakan dengan sikap salah tingkah yang kentara. “Eh… Gala… mau kemana?”

Tapi reaksi Gala justru lucu. Dia memandang datar pada Erika, tak mempedulikan sapaannya sama sekali, dan berlalu begitu saja. Seperti tidak mendengar dan tidak melihat siapa-siapa.

“Gala, kok aku dicuekin sih! Iiihhh!” panggil Erika dengan putus asa sambil menghentakkan kaki kanannya ke tanah.

Dan di saat Erika dan kawan-kawan sedang lengah, Gemma langsung mengambil langkah seribu.

Kabur!

***

3. Di Balik Kemeja Sekolah

[081xxxxxxxx : Di, bisa bawain gue gitar ke rumah? Bokap gue katanya lagi lembur. Gue pengen latihan. -Gemma-]

Diana mengerutkan keningnya saat melihat sebuah pesan singkat masuk dalam ponselnya.

Karena ayah Gemma tidak memberikan putrinya ponsel, Gemma memang kadang-kadang mengirim pesan melalui ponsel tukang ojek pengkolan yang nongkrong tak jauh dari rumahnya. Tukang ojek bernama Burhan yang baik hati. Tapi, nomor ini bukanlah nomor Burhan dan tidak pernah tersimpan di ponselnya.

[Me: Gem, ini elo?]

[081xxxxxxxx : Iya, Di. Emang siapa lagi?]

Ya memang siapa lagi yang memanggil Diana dengan panggilan ‘Di’? Rata-rata semua teman-teman dan juga guru-gurunya akan memanggilnya dengan nama Diana, tanpa disingkat.

[Me: Mo diantar sekarang, Gem? Bokap lo ada nggak?]

[081xxxxxxxx : Aman, Di. Doi udah tahu kalau gue mau ikut lomba. Maaf ngerepotin ya, Di.]

Kening Diana makin terlipat tidak percaya.

[Me: Ha? Bokap lo setuju?]

[081xxxxxxxx : Iya. Beneran.]

[Me : Oke, gue jalan.]

Meski ada sedikit keraguan, Diana tetap akan mengantarkan gitar itu. Jarak antara rumah Diana dan Gemma juga tidak jauh, hanya beda komplek yang jauhnya tak lebih dari dua ratus meter. Jalanan di sana juga amat terang dan ramai dengan pedagang asongan, aman untuk seorang anak gadis yang berjalan seorang diri.

Setibanya di depan rumah Gemma, Diana langsung mengetuk pintu. Tetapi tidak biasanya, Gemma lambat membuka setelah mereka berjanji bertemu. Kecuali kalau ada…

“Diana?”

Pintu itu terbuka, menampilkan sosok garang Yahya, ayah Gemma yang telah lama menduda.

Auranya menyeramkan, dengan wajah kuat khas mafia. Tatapannya tajam tanpa belas kasihan. Kerutan itu memang menandakan kalau beliau tak lagi muda, tapi suara pelan dan dalam itu seakan menggelegar dan membuat siapa saja yang berhadapan dengannya gemetaran. Jangan mengira kalau ini hanyalah kamuflase. Penampilannya benar-benar sesuai dengan sikapnya.

Garis wajah yang tegas dan tatapan mata intimidatif itulah yang dimiliki Gemma, diwariskan dari sang ayah yang benar-benar galak.

“O-om? Malem Om…” ucap Diana dengan gentar. “Gemma ada?”

“Ada apa?” tanya Yahya tanpa basa basi.

“I-ini, Om. Mau ketemu Gemma.”

Kepala Gemma menyembul dari belakang Yahya. Mata Gemma terbelalak dengan horor saat melihat kedatangan Diana bersama dengan gitar miliknya.

“Ini gitar siapa?” tanya Yahya.

“Gi-gitar Gemma, Om.”

Terdengar dengusan dari mulut Yahya, tetapi dia tampak tenang. “Berikan gitar itu pada saya.”

Diana pun menatap Gemma dan Yahya secara bergantian dengan takut-takut.

“Ayo kemarikan.”

Tangan Diana mulai gemetar luar biasa saat mendapat tatapan misterius tapi menusuk dari Yahya. Dia memberikan gitar beserta soft case itu pada Yahya.

“Diana, kamu pulang sekarang.” Perintah Yahya.

Di belakang Yahya, Diana bisa melihat jelas kalau Gemma memejamkan matanya pasrah.

Diana pun hanya bisa berlari menjauh saat pintu itu tertutup. Meski dia adalah gadis kuat yang bersabuk hitam, mentalnya tidak tahan dengan peristiwa yang akan terjadi sebentar lagi.

***

Istirahat pertama, Gala dan rekan-rekan satu band-nya yang lain mendapat izin untuk latihan selama setengah jam. Mereka telah selesai latihan dan sedang membereskan alat-alat itu untuk dimasukan dalam hard case satu persatu.

“Men, gue denger si Gemma ternyata jago juga main gitar,” ucap Adit, vokalis band sekolah.

“Iya, kok nggak pernah muncul sih dia?” ujar Victor yang tengah menggelar kain lebar untuk menutupi drum set. “Gue sempat lihat video dari Bu Rosa. Gila men, jago bener. Sepintas, permainannya kayak Joe Satriani tapi lebih akustik …”

Emon sedang mencabut kabel jek bass-nya dan menggulungya, hanya bisa geleng-geleng kepala dan menoyor kepala Victor. “Lebay ah! Diem lo, Vic.”

Takut kalau Gala akan merasa tersinggung akibat pujian Adit dan Victor. “Galalah yang paling jago, nggak usah dibanding-bandingin!”

Gala diam saja mendengar perkataan teman-temannya. Hatinya sedikit tercubit saat mereka mulai membanding-bandingkan skill Gala dan Gemma yang notabene berbeda genre. Api emosi di hatinya semakin tersulut kala mengingat pilihan Rosa yang tetap tertuju pada Gemma.

***

“Kamu!”

Panggil seorang guru pada seorang anak perempuan pendiam yang sedang makan nasi kuning di meja kantin paling pojok.

“Lepas jaketnya! Kayak nggak tahu aturan aja kamu, udah kelas 3 juga! Ini lagi, kenapa rambutnya nggak diikat?”

Mendengar nyaringnya suara guru itu, Gala sampai mengangkat kepalanya pada si sumber suara. Kebetulan mejanya tak jauh dari meja Gemma, gadis yang dimaksudkan sang guru.

Sebenarnya peraturan mengikat rambut untuk anak perempuan yang rambutnya melebihi batas bahu, banyak membuat anak perempuan jengah. Tidak semua siswi dengan ikhlas mengikuti peraturan itu. Mereka akan menggunakan berbagai alasan mulai dari sakit, tidak gaul, jelek, dan sebagainya.

Entah dari mana, Diana muncul dan menengahi guru tersebut dan Gemma. “Bu, Biarin Gemma pake jaket, ya? Dia nggak enak badan.”

Maria, guru pengawas kantin bertubuh kecil pendek itu sepertinya tidak mempedulikan pembelaan Diana. Dengan kasar, Maria menarik rambut Gemma dan mengikat rambutnya dengan karet gelang secara sembarangan.

Tiba-tiba Maria tertawa. “Anak gadis kalo kerokan jangan sampe leher dong. Malu tau, tuh keliatan!” ledek Maria saat melihat bekas kemerahan melintang di tengkuk Gemma yang sepertinya memanjang dari punggungnya.

Wajah Gemma terlihat memerah karena malu, dia tidak merespon ledekan Maria yang masih terkekeh. Belum selesai kekehannya, Maria sudah melepas paksa jaket yang Gemma kenakan.

“Kalo sampe saya lihat kamu pake jaket lagi, saya tambah poin kamu. Ngerti?” kata Maria sambil menyita jaket Gemma dan berlalu pergi.

Beberapa anak menertawakan kejadian itu. Tetapi tawa yang paling nyaring dan mencolok adalah suara tawa dari mulut Erika dan kawan-kawan.

Tanpa mempedulikan teman-teman yang menertawakan Gemma, Diana langsung menarik tangan Gemma berjalan menjauhi kantin dan berhenti tepat di depan pintu masuk WC perempuan.

“I’m sorry gue baru dateng. Tadi jam 1 dan 2, gue dipanggil ke ruang OSIS. Lo nggak apa-apa ‘kan?” tanya Diana dengan cemas. “Sini, kemariin punggung lo, gue mau liat.

Gemma mengelak. “Udah, Di. Gue nggak apa-apa kok.”

Diana menghembus napas dengan kesal dan menarik kerah belakang Gemma secara paksa hingga turun beberapa senti. Matanya membesar saat melihat ada banyak garis-garis merah menumpuk di punggung Gemma. Kalau dilihat dari atas memang seperti bekas kerokan, tapi kalau dilihat keseluruhan, sungguh mengerikan.

“Kita ke UKS, sekarang!” paksa Diana sambil menarik tangan Gemma lagi menuju unit kesehatan sekolah yang dijaga oleh salah seorang anak PMR.

“Minta salep luka, sama pain killer,” kata Diana. Dia sudah sering terluka saat pertandingan dan tahu obat apa saja yang biasa digunakan untuk meredakan sakit.

Gemma duduk di bed pasien dengan kepala tertunduk lesu. Dia membiarkan saja temannya itu membuka seragam putihnya dan melepas pengait branya. Kemudian, mengoleskan salep di sepanjang punggung Gemma yang terdapat luka cambukan.

“Ssshhh!” ringis Gemma dengan mata terpejam erat dan air mata yang hampir tumpah.

“Tahan ya Gem …” ucap Diana tak tega. Tapi dia harus segera mengoleskan salep ini pada tubuh sahabatnya itu.

Setelah semua garis luka teroles dengan salep, Diana membaringkan tubuh Gemma dengan posisi miring. Saat meraba kulit Gemma, Diana mengambilkan termometer dan melihat kalau suhu tubuh Gemma sudah melewati batas normal. “Badan lo hangat, Gem.”

“Hm-m. Gue cuma perlu istirahat bentar. Thanks Di.”

“Gue bakal hajar siapapun yang ngerjain lo, Gem.”

“Nggak usah, Di. Gue nggak―”

Diana sudah gelap mata. Dia keluar dari UKS dan pergi mencari orang yang dimaksud.

“Ikut gue, SEKARANG!” geram Diana saat menemukan Gala yang baru saja selesai makan di kantin. Diana menarik Gala diikuti oleh Febri dan Niko yang hanya pasrah, tidak berani mendekat kalau Diana sudah marah.

Bruk!

Tubuh Gala terhempas ke paving blok setelah diterjang Diana. Kini mereka sedang ada di parkiran sepeda yang jauh dari keramaian dan pengawasan guru-guru.

“Brengsek lo ya! Lo kalo ada masalah ama cewek, jangan begini lo. Licik banget lo kayak uler!”

Gala menggosok pantatnya. Saking kerasnya tamparan itu, bokongnya sampai nyeri. “Eh kurang ajar! Salah gue apa sampe lo lempar gue kayak gini?”

Niko dan Febri buru-buru datang dan memegangi Diana. Tetapi wanita yang sudah kepalang marah itu menatap kedua cowok tampan itu macam bocah ingusan sampai mereka ketakutan. Mereka tidak jadi mendekat karena takut dihajar. Tetapi bersiap siaga akan membawa kabur Gala jika diperlukan.

“Lo ‘kan yang ngirim SMS sama gue? Pura-pura jadi Gemma, suruh gue datang ke rumah bawain gitar. Pake bilang bokapnya Gemma ngizinin pula. Bohong lo tuh niat banget.”

Kening Gala terlipat, kepalanya sedikit miring. Dia tidak mengerti apa yang Diana bicarakan. “SMS apa sih yang lo maksud? Ngizinin buat apa? Gue bener-bener nggak ngerti dah.”

Diana mengeluarkan ponselnya dan mempertunjukkan nomor dan SMS yang masuk tadi malam. “Ini nomor lo kan? Banci lo! Lo kenapa sih nggak biarin aja Gemma ikut kompetisi itu, hah? Terluka banget kayaknya harga diri lo liat cewek yang main. Selama ini, dia nggak pernah nunjukin bakatnya dia. Gue yang kasih rekomendasi sama Bu Rosa. GUE!”

“Bentar-bentar. Ini masalahnya apaan? Itu bukan nomor gue, sumpah!” Gala semakin bingung.

“Lo jangan belagak bego! Gemma itu nggak punya hape, asal lo tau! Dia selalu pake nomor tukang ojek di depan rumahnya buat ngirim pesan sama gue kalau dia udah di rumah dan butuh sesuatu.

Tadi malam, dia minta diantarin gitar yang selama ini dia sembunyiin di rumah gue. Dan apa yang jadi harapan lo akhirnya terjadi. SELAMAT! Keinginan lo kesampaian! Dia nggak bakal ikut kompetisi itu karena bokapnya udah hancurin gitarnya dia, rusak sampe nggak berSISA!”

Gala menganga, berusaha mencerna semua informasi beruntun yang dimuntahkan Diana dengan penuh luapan emosi. Tapi Gala benar-benar has no idea tentang apa yang terjadi. Berbagai pertanyaan berseliweran di dalam otaknya tentang siapa Gemma dan bagaimana keluarganya.

“Emangnya bokapnya Gemma semengerikan itu? Gosip itu … bener?”

“Lo jangan pura-pura nggak ngerti masalahnya gitu dong. Gentle jadi cowok! Akuin kalo lo emang salah!”

“Diana, gue nggak tahu gimana cara yakinin lo, tapi itu benar-benar bukan nomor gue. Kalo lo nggak percaya, tanya aja Niko atau Febri.”

Febri dan Niko mendekat, melihat nomor itu dan keduanya menggeleng dan berusaha meyakinkan Gemma kalau nomor itu bukanlah nomor Gala.

Gala menoleh pada Diana dengan tatapan penuh tanya, ingin mengkonfirmasi kalau pikirannya mungkin salah. “Emang Gemma diapain aja sama Bokapnya?”

Diana lantas memandang Gala yang sepertinya benar-benar tidak punya petunjuk apa-apa tentang kejadian ini.

“Lo bener-bener nggak pernah tahu gimana bokapnya Gemma kalo denger anaknya main gitar?”

...****************...

Visualnya nanti pas udah gede aja yaaa

kiss kiss 💋💋💋

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!