NovelToon NovelToon

Menikahi Mantan Kekasih Ibu Tiriku

Najma Aksyaira Gustiawan

"Pagi bund!", sapa seorang gadis yang hampir berusia delapan belas tahun ke pada bundanya.

"Pagi juga sayang." Sapa seorang wanita yang sebenarnya masih pantas menjadi kakak atau Tante dari si gadis.

"Bund,bentar lagi Najma ulang tahun. Bunda udah gak mau nanya aku mau hadiah apa?", tanya Najma.

"Kamu sudah dewasa sayang, buat apa bunda nanya begitu?", tanya si bunda, Anisa.

"Hem....oke...jadi aku ga boleh minta hadiah nih?", Najma memanyunkan bibirnya.

"Hehehe kamu tuh ya kaya anak kecil aja sih. Sini deh peluk bunda. Kamu sudah dewasa lho, waktu bunda Segede kamu aja bunda sudah menikah sama papa kamu." Anisa memeluk sambil mengusap puncak kepala Najma.

"Jadi, maksud bunda aku juga harus nikah muda kaya bunda gitu?", najma berpura-pura melotot.

"Tergantung situasi." Anisa menjawab singkat.

"Ah...bunda.....", Najma semakin memeluk erat ibu tirinya tersebut.

Anisa, perempuan berusia 32 tahun, menjadi ibu tiri dari gadis berusia 17 tahun. Usia mereka terpaut tak terlalu jauh bukan?

Saat itu, Anisa masih seusia Najma. Bekerja ditoko kue Bu Aisyah,ibu kandung Najma.Sayangnya, saat usia Najma menginjak tiga tahun, Aisyah meninggal. Tapi sebelum meninggal ia berpesan agar mas Gustiawan menikah dengan Anisa. Mas Gusti sempat menolak, alasannya karena dia tak ada perasaan pada Anisa tapi juga usia Anisa yang masih sangat muda kala itu. Dengan segala pertimbangan, akhirnya Gusti menikah dengan Anisa.Meskipun...pernikahan itu hanya ada diatas kertas. Gusti hanya menganggap Anisa sebagai gadis kecil yang bersedia merawat Najma. Dia tak pernah memberikan nafkah batin seperti suami pada umumnya. Gusti terlalu mencintai Aisyah.Hingga suatu hari, Gusti memberikan sebuah wasiat untuk Anisa. Semua aset dan usaha yang mereka geluti, menjadi hak Anisa dan Najma kelak setelah ia dewasa.

Ternyata, wasiat itu benar-benar wasiat yang terakhir.Gusti menyusul orang yang dicintainya,Aisyah.

Iya, Anisa menjadi ibu tiri termuda mungkin.Di usianya yang baru tujuh belas tahun ia sudah merawat balita tiga tahun dan menjalankan bisnis mendiang suaminya. Karena keulatan dan kepandaian Anisa, toko kue yang ia jalankan maju pesat sampai saat ini. Baginya, Najma adalah segala-galanya. Najma sudah menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun Najma tidak lahir dari rahimnya, tapi kasih sayang mereka tak perlu diragukan.

"Bund.... menikah lah!", pinta Najma sambil memandang bundanya.

"Ngomong apa sih kamu!", Anisa melepaskan pelukan dari gadisnya.

"Bunda, bunda masih muda. Aku juga sudah dewasa, aku bisa jaga diriku sendiri. Sudah saatnya bunda membahagiakan diri bunda. Jangan terus-terusan memikirkan Najma Bun!", seru Najma.

"Iya, nanti lah nak."

"Memangnya om Azka belum ada niatan untuk melamar bunda?", tanya Najma penuh selidik.

"Hem? Sebenarnya sudah nak, tapi...sudah lah. Sana berangkat ke sekolah. Mau persiapan buat olimpiade matematika kan?Anak bunda pasti juara!", Anisa mengalihkan pembicaraan.

"Bunda selalu begitu tiap Najma ngobrolin tentang pernikahan."

"Udah sana. Hati-hatilah berangkat nya. Bekal nya sudah bunda siap kan di tas ya.Inget, badan kamu kecil motor kamu gede.Jangan ngebut-ngebut ya?!Bunda suka khawatir."

"Tenang aja bunda, Najma hati-hati kok. Dah bunda... assalamualaikum!".

"Walaikumsalam."

Anisa kembali merapikan meja makannya. Dia terhuyung hingga jatuh terduduk di kursi ruang makan.Pagi ini, untuk yang kesekian kalinya ia mimisan. Dia sadar,waktunya tak lama lagi. Tapi, dia tak ingin membuat putri kesayangan merasa cemas dengan kesehatannya.

"Lho, Bu...ibu mimisan lagi?", bibik mengahampiri Anisa.

"Iya bik, nggak apa-apa kok. Nanti juga sembuh sendiri. Bibik tolong bikinin teh panas aja ya."

"Ibu yakin nggak apa-apa?", tanya si bibik.

"Iya bik. Oh, iya tolong jangan bilang apa-apa sama Najma saya nggak mau kalau dia sampai khawatir sama kesehatan saya."

Si bibik yang bingung hanya mengangguk atas perintah majikannya yang baik ini.

"Ini Bu tehnya!", bibi menyerahkan teh panas itu.

"Makasih bik. Bibik boleh lanjutkan kerjaan bibi yang lain kok. Sebentar lagi saya juga mau ke depan. Seperti nya pelanggan kue sudah pada datang."

"Iya bu. Bibik permisi ke dapur dulu Bu."

Anisa menyesap tehnya perlahan. Setelah itu dia menuju ke depan, toko kue peninggalan orang tua Najma.

Saat sampai disana, Azka sudah menunggu di meja yang khusus untuk pelanggan yang akan makan ditempat. Iya, toko kue ini juga menyediakan tempat untuk pelanggan yang ingin sarapan atau sekedar ngopi.

"Mas, sejak kapan?", tanya Anisa mendekat Azka.

"Belum lama. Nis, kamu pucet banget. Habis mimisan lagi?", tanya Azka cemas melihat pujaan hatinya.

"Iyaa mas. Tapi nggak apa-apa kok."

"Kamu yakin kalau Laila mendiagnosis kamu anemia?", tanya Azka lagi.

Sejujurnya, bukan karena anemia mas. Tapi, kanker darah ini sudah terlanjur parah. Sudah terlambat untuk ditangani.Bagaimana mungkin akan jujur pada Azka apalagi Najma?

"Ya sudah, sekarang kita ke Laila!", ajak Azka.

"Nggak usah mas, kamu kan harus ngajar. Nanti kalau memang aku udah merasa nggak enak banget baru menemui Laila. Aku janji."

"Tapi aku cemas lihat keadaan kamu begini nisa."

"Nggak ada yang perlu kamu cemaskan dari aku mas. Aku baik-baik saja. Sudah sana berangkat.Malu kalau telat, bisa-bisa di katain tidak memberikan contoh yang baik buat anak didiknya."

"Iya iya ,aku berangkat nis. Kalau butuh bantuan apa-apa langsung hubungi aku.Ya sudah, aku jalan. Assalamualaikum!".

"Walaikumsalam."

Najma

Aku Najma, gadis dengan tinggi badan standar negeri Indonesia tercinta. Meskipun badanku tak terlalu tinggi bahkan cenderung pendek....tapi aku suka sekali mengendarai sepeda motor Ni\*ja pemberian bunda. Bukan pemberian, tepatnya 'memaksa' bunda untuk membelikannya untukku.

Bunda Anisa, dia yang selalu mengerti aku. Tak pernah membatasi apa pun selama itu positif. Norma-norma yang baik, akhlak ,bahkan hampir semua yang bunda bisa beliau ajarkan padaku. Sayangnya....aku tetaplah aku.Meskipun bunda sukses membuatku terbiasa dengan hijabku sejak kecil, tapi jiwa anak muda yang ingin banyak mencoba tetap menghampiri ku.

Motor besar ini, adalah hasil nodong bunda saat usiaku tujuh belas tahun.Dan bunda....tak menolak nya demi membuat ku, anak tirinya ini selalu bahagia.

"Woi.... Najma, udah ditunggu pak Samsir di ruang guru tuh,"kata seorang temanku.

"Iya, gue ke sana!", aku pun segera memarkirkan sepeda motorku lalu bergegas ke ruang guru.

"Pagi pak Sam, bapak nyari saya?", sapa ku sekaligus bertanya pada beliau.

"Iya, besok berangkat sekitar jam delapan. Jadi,sebelum jam delapan kamu harus sudah ada disini.Jangan telat ya.Ini kisi-kisi nya yang harus kamu pelajari."

"Siap pak."

Azka

Sebenernya Anisa sakit apa? Tidak mungkin hanya anemia. Laila pasti merahasiakan sesuatu dariku.

Aku sudah tiga tahun menjalin hubungan dengan Anisa. Aku dan kedua orang tuaku tak pernah mempermasalahkan statusnya. Tapi setiap kali dia diajak bicara tentang pernikahan dia selalu berkilah belum siap.

Dulu beralasan,Najma masih kecil ia takut tak bisa memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk Najma. Sekarang, Najma sudah dewasa Anisa masih tetap dengan pendirian nya. Sebenarnya anisa kenapa?

Jalanan menuju sekolah tempat ku mengajar begitu macet. Padahal ,ini hari terakhir ku mengajar di SMA pelita bangsa. Besok, aku akan mengajar di SMA Bhakti. Tempat Najma menuntut ilmu.Meski sudah lama saling kenal,aku tak dekat dengan nya. Entah karena apa. Padahal,jika aku menikah dengan Nisa otomatis dia akan jadi anakku juga.

Lihat saja nanti seperti apa masa depan kami.

Kepergian Anisa

Aku harus bangun pagi-pagi agar tak terlambat ke sekolah. Tapi nyatanya, setelah subuh tadi aku justru tertidur lagi gara-gara mempersiapkan diri untuk ikut olimpiade ini. Ini cita-cita ku, aku harus berhasil. Aku ingin membuat bunda bangga padaku.

Aku menuruni tangga menuju kamar bunda dibawah.

"Eh ,non sudah siap-siap berangkat?", tanya bibik padaku.

"Iya bik. Eh, bunda mana bik? Di depan?"

"Masih dikamar non, kayanya tadi pagi habis subuh tadarusan terus ketiduran deh. Kalo nggak, pasti ibu sudah duduk dimeja makan.Mungkin, doain Non Nana biar menang olimpiade nya nanti."

"Aamiin...iya mungkin bik. Ya sudah, nanti bibik anterin aja ya sarapan bunda. Aku nggak tega bangunin bunda. Salam aja ya buat bunda, bilang doa bunda pasti diijabah sama Allah."

"Iya non, semoga sukses ya. Aamiin."

"Nana berangkat ya bik, assalamualaikum."

"Walaikumsalam. Hati-hati non."

Aku pun mengacungkan jempolku. Hari ini, nggak ada bekal dari bunda. Tapi tak apa lah, aku bisa sarapan di kantin. Ah...Na...kapan sih kamu nggak bergantung sama bunda? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Ku lajukan motor gedeku melewati toko kue yang tepat berada disamping pintu gerbang rumahku. Kulihat om Azka sedang menikmati sarapannya di meja. Meskipun dia sudah lama menjadi kekasih bunda, aku tak terlalu akrab dengannya. Aku hanya mengangguk kan kepalaku saat mata kami saling beradu.

Motor kesayangan ku sudah mendarat tepat di parkiran sekolah.

"Na,sudah siap?", tanya pak Samsir.

"Sudah pak,tapi saya mau sarapan dulu. Masih keburu nggak?"

Pak Samsir melirik jam tangannya.

"Oke,masih sempat. Tapi jangan lama-lama, sepuluh menit bisa ya?"

"Siap pak!"

Aku pun bergegas menuju kantin, sedangkan teman ku yang sama-sama mewakili sekolah ku sudah siap di bus sekolah kami.

"Bu Tuti, teh manis hangat sama nasi uduk telor. Gak pake lama ya!"

"Siap neng!"

Bu Tuti cekatan sekali melayaniku.Aku pun lahap memakan sarapan ku, biasanya bunda sudah menyiapkan di tas gendong ku. Tapi ,hari ini mungkin bunda terlalu fokus mendoakan aku, anak tirinya yang selama ini merepotkan hidupnya. Beruntung sekali aku memiliki bunda.

"Lho, pak Azka di sini?", sapa bibik.

"Iya bik, sarapan. Anisa mana?"

"Masih dikamar pak."

"Nisa sakit?",tanya Azka cemas.

"Kurang tahu, mungkin begitu pak.Ini saya mau antar sarapan buat ibu."

"Oh, ya sudah."

Bibik pun meninggalkan toko kue lalu menuju kamar Anisa.

Tok...tok...

"Bu, ini bibik. Boleh masuk ya?"

Tidak ada sahutan apa pun ,bibik pun masuk kedalam kamar majikannya. Ia meletakkan makanannya di atas nakas. Terlihat Anisa menyandarkan kepalanya ke bibir ranjang. Ditangan kirinya terlihat tasbih masih menggantung, dan di pangkuannya ada kitab suci Al-Qur'an.

"Bu, ibu sarapan dulu ya. Ini bibik sudah bawakan."

Bibik menepuk bahu Anisa sebentar. Mengguncang sedikit tubuh Anisa, sayangnya tiba-tiba tubuh Anisa merosot vdari bibir kasur.

"Ya Allah Bu, Bu nisa!", panggil bibik. Dia melihat ada darah dari hidungnya.Bibik membenarkan posisi duduk Anisa sebentar. Lalu bibik lari kedepan.

"Tolong...tolong...Bu nisa tolong." Teriak bibik ke karyawan Nisa. Azka yang tadinya sudah duduk dimotor pun bergegas turun dari motornya.

''Anisa kenapa bik?", tanya Azka. Tanpa menunggu jawaban bibik, Azka berlari menuju rumah induk lewat sebuah lorong yang menghubungkan rumah dan toko.

Azka menuju kamar Anisa. Ia meraba pergelangan tangannya, detak jantungnya begitu lemah. Pikiran Aziz sudah mulai tak beraturan.

"Bik, dimana kunci mobil? Saya mau bawa Anisa ke rumah sakit."

"Iya pak Azka, saya cari sebentar." Bibik pun berlari meninggalkan kamar Anisa.

"Nisa, sayang....kamu baik-baik saja kan. Kita kerumah sakit sekarang! Bibik, sudah ketemu belum kuncinya?"Azka pun berteriak dirumah kekasihnya itu.

"Iiii....ni pak Azka." Bibik menyerahkan kunci mobil milik Anisa.Azka membopong tubuh Anisa yang masih mengenakan mukenah.Dia sedikit berlari membawa nisa ke dalam mobil.

"Ya Allah Bu nisa." Bibik menangis begitu pula beberapa karyawan Nisa.

"Bik, tolong jaga rumah sama toko ya!Saya minta maaf bukan maksud saya memerintahkan kalian."

"Iya pak, kami paham. Semoga ibu nggak papa ya pak Azka." Bibik mulai terisak.

Mobil meluncur begitu cepat. Suara klakson bersahutan memperingatkan laju mobil Azka yang kelewat batas. Akhirnya mobil masuk ke area rumah sakit.

"Sus, tolong sus....!", Azka berteriak memanggil suster jaga. Dan setelah itu,Anisa dibawa ke ruang IGD.

Azka menelpon sahabatnya ,Laila yang juga dokter dari Anisa.

"Ya pak guru!", sapa Laila .

"La, Nisa La."

"Iya, Anisa kenapa Ka?"

"Nisa di IGD ,Lo lagi tugas nggak? Gue dirumah sakit Lo."

"Oke, gue ke IGD sekarang. Tunggu gue!"

Laila berlari dari ruangan nya menuju IGD. Dia paham sekali apa yang terjadi dengan Annisa. Azka mondar-mandir di depan pintu IGD.

"Ka!", panggil Laila.

"Tolong Anisa ,La."

"Oke, gue kedalam. Lo, tenang jangan bikin panik gue." Laila pun masuk ke ruang IGD.

Azka yang cemas sampai tak tahu harus berbuat apa.Lama sekali mereka memeriksa Anisa. Bermenit-menit telah berlalu, akhirnya Laila keluar dari ruangan yang membuat orang awam spot jantung.

"La, gimana la? Nisa gimana keadaan nya?"

Laila menunduk ,dia menangis sesenggukan.

"La, Lo kenapa nangis? Anisa nggak apa-apa kan?" Azka mengguncang tubuh sahabatnya. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Laila, Azka pun masuk ke dalam ruang IGD.

Di shock dengan kenyataan yang dia hadapi. Badannya luruh seketika.

"Anisa.....!", panggil Azka sambil mengguncang tubuh kekasihnya itu.

"Sayang, bangun sayang!", Azka masih menangis,dia tidak rela Anisa pergi secepat ini.

Laila mengahampiri Azka, menepuk pundak sahabat nya. Dia sendiri tak sanggup melihat keadaan kedua sahabatnya.

Azka memeluk erat Laila, dia menumpahkan semua air matanya di pundak sahabatnya itu.

"Sabar Ka, Anisa sudah tenang disana. Dia sudah nggak merasakan sakit lagi Ka."

Laila mencoba menenangkan Azka. Seketika Azka menatap nanar mata Laila.

"Memangnya Anisa sakit apa? Apa yang kalian sembunyikan dari ku La?! Jawab!"

"Nisa, menderita kanker darah stadium akhir Ka.Tapi,dia sengaja merahasiakan itu dari Lo dan Nana.Nisa nggak mau Lo berdua mencemaskan dirinya. Gue udah sering bilang ke dia, biar dia dirawat paling tidak kemoterapi. Tapi, dia kekeh tak ingin melakukannya."Laila menangis menceritakan sahabat nya itu.

Azka bersandar ke dinding. Memukul-mukul dinding rumah sakit. Laila mencoba menghibur sahabatnya itu. Tapi, dia pun sama. Merasakannya kehilangan yang teramat dalam saat kehilangan Anisa.

Ditempat lain....

"Anak-anak, semua ponsel kalian biar bapak yang simpan. Bapak tidak mau konsentrasi kalian terganggu."

Nana dan temannya pun menyerahkan ponsel mereka pak Samsir.

Acara pun dimulai,para peserta pun mengikuti rangkaian acara dengan baik.

Pak Samsir menyimpan semua ponsel anak-anak termasuk milik Nana. Dari tadi, ponsel Nana bergetar. Menandakan ada yang menghubunginya . Dengan ragu-ragu pak Samsir mengangkat nya.

"Halo?", sapa pak Samsir.

"Halo, selamat siang pak. Maaf, ini ponsel Najma bukan ya? Atau saya salah nomor?"

"Oh, nggka Bu. Benar ini ponsel Najma. Berhubung Nana sedang mengikuti acara olimpiade matematika di dalam maka saya yang menyimpan ponsel nya. Saya guru pembimbing nya Bu."

"Oh, kira-kira kapan acara selesai pak?"

"Waduh, belum tahu Bu. Kebelutan Nana masuk ke grand final. Mungkin kurang lebih satu jam atau dua jam dari sekarang kami sudah pulang ke sekolah."

"Sebenarnya, saya mau memberi kabar buruk pak buat nana. Tapi sepertinya Nana sedang membutuhkan konsentrasi lebih pak."

"Maaf ya bu,kalau boleh tahu kabar apa? Biar nanti saya sampaikan?"

"Bundanya....meninggal pak."

"Inalillahi wa Ina ilaihi Raji'un."

"Maka dari itu pak, apakah kira-kira Najma masih lama?"

"Seperti yang saya bilang tadi Bu, mungkin kurang lebih dua jaman."

"Baiklah kalau begitu, terimakasih pak."

Sambungan telepon pun terputus.

"Najma sedang masuk grand final Ka.Gue rasa, sebaiknya kita menyiapkan pemakaman Anisa. Nanti, di rumah duka Najma akan tahu dengan sendirinya."

Azka mengangguk setuju dengan ide sahabatnya.

"Bik, Anisa meninggal!" . Azka mengabari art Anisa di rumah.

"Innalilahi wainailaihi Raji'un. Bu nisa....", Isak bibik.

"Tolong persiapkan semua yang dibutuhkan dirumah ya bik! Mungkin sekitar dua atau tiga jam lagi, jenasah Anisa bisa dibawa pulang."

"Iya pak. Lalu...non Nana ?"

"Nana...belum tahu bik. Dia sedang konsentrasi dengan lombanya. Nanti saat dirumah dia juga akan tahu."

Bibik menangis tersedu-sedu. Dia menutup gagang telepon rumah majikannya. Bibik pun berjalan menuju toko kue yang sedang ramai saat ini.

"Sis, toko tutup ya!", pinta bibik ke salah seorang karyawan Anisa.

"Tutup bik? Kenapa?", tanya nya sambil melayani pembeli.

Bukannya menjawab si bibik malah menangis.

"Bu nisa meninggal Sis", tangis bibik kembali pecah. Seketika orang-orang mengerumuni nya.

Dengan sigap, akhirnya toko kue pun ditutup. Yang awalnya akan makan ditempat, jadi minta untuk take away saja.

Bibik dan yang lainnya, menyiapkan segala sesuatunya. Sedangkan salah satu karyawan prianya, melaporkan ke pihak RT setempat.

Di olimpiade....

Najam keluar sebagai juara umum. Tapi, wajahnya datar seperti orang yang tak bahagia. Padahal kemenangan ini adalah keinginannnya.

"Selamat ya Na."Pak Samsir mengahampiri anak didiknya.

Najma hanya menampilkan sedikit senyuman.

"Makasih pak." Jawaban dari Najma yang kurang semangat, membuta pak Samsir ragu untuk menyampaikan informasi tentang meninggal nya sang bunda kepada Najma.

"Kalian pulang naik bus sekolah ya, biar Nana bapak yang antar pulang."

Anak-anak yang lain pun setuju saja, begitu pula dengan Najma.

"Motor kamu, biar nanti bapak yang antar. Sekarang bapak antar kamu pulang dulu."

"Bapak nganterin saya sampai ke rumah karena saya jadi juara pak?", tanya Najma penuh selidik.

"Bukan, tapi....nanti kamu tahu lah."

Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari tempat olimpiade sampai ke rumah Najma. Dan Najma pun tertidur pulas dalam perjalanan. Ada rasa tak tega dihati pak Samsir.Anak didik kesayangan nya, di hari yang seharusnya ia bahagia karena memenangkan ajang bergengsi justru mendapat musibah yang pasti akan sangat menyakitkan baginya.

'Semoga kamu sabar ya nak' ,pak Samsir mengusap kepala anak didiknya itu yang seumuran dengan anak bungsunya.

Wasiat Bunda

Bibik dan yang lain mempersiapkan kepulangan jenazah majikannya yang sangat baik itu. Bibik sudah ikut dengan Anisa sejak delapan tahun yang lalu.

Dengan perlahan, bibik membereskan kamar Anisa. Diangkat nya sajadah yang tadi dikenakan Anisa . Kamar Anisa selalu rapi, jadi bibik merasa tak ada yang perlu diberikan selain sajadah penuh darah Anisa.

Bibik mengangkat sajadah itu.Saat diangkat,bibik menemukan beberapa amplop yang ditujukan atas nama dirinya, pak Azka dan non Nana.

Bibik merasa sedih, dia tak tahan untuk tidak menangis.Bibik membaca surat yang ditujukan untuk dirinya. Mengamati setiap tulisan disurat itu, bibik terduduk disamping ranjang majikannya yang sangat baik itu. Air matanya tak sanggup ia bendung. Bagiamana ia akan menyampaikan surat itu untuk Nana dan Azka. Dia sendiri tak sanggup membayangkan nya .

Bahkan, majikannya sudah mempersiapkan wasiat ini. Anisa seolah tahu kapan ia akan pergi.

*

*

*

Nana menggeliat didalam mobil. Dia lupa jika saat ini ia sedang bersama guru pembimbing nya yang killer.

"Kami sudah bangun Na? Apakah kegiatan tadi sangat melelahkan?", tanya Pak Samsir.

"Hehehe iya pak." Nana menyahut singkat. Mobil sudah mulai memasuki komplek perumahan Nana. Dia bingung kenapa tumbasn sekali banyak mobil parkir ditepian jalan.

"Tumben ramai sekali ,ada apa?", Nana bergumam.

"Na....!", panggil pak Sam sambil menghentikan mobilnya.

"Nggak bisa masuk ke gang ya pak? Ya udah saya turun disini saja nggak apa-apa."

"Bukan ,nak!", tiba-tiba pak Samsir memeluk tubuh muridnya itu. Nana yang salah tanggap berusaha melepaskan pelukan gurunya yang lebih pantas menjadi kakeknya.

"Pak Sam. Jangan macam-macam ya pak." Nana berusaha melepaskan pelukan gurunya yang sudah ia anggap orang tua sendiri. Tapi, Nana terkejut saat mendengar isakan dari pak Sam.

"Na, kamu masih punya bapak,masih punya teman-teman yang menyayangi mu."

Aku bingung dengan ucapan pak Sam.

Ada apa ini?

Akhirnya pak Sam melepaskan pelukannya, mengusap kepala ku penuh kelembutan. Kenapa pak Sam jadi aneh seperti ini? Mobil pun kembali melaju menuju rumahku perlahan. Suasana semakin ramai. Ada rasa was-was saat ku melihat bendera kuning berkibar di depan toko kue nya. Aku memandang pak Sam yang tertunduk. Mobil bunda ada diluar pagar, tumben sekali bunda mengeluarkan mobilnya. Kenapa ramai sekali?

Pak Sam membukakan pintu mobil untuk ku. Lalu menggandeng tanganku. Kenapa pak Sam yang killer bisa semelow ini?

Aku berjalan menuju rumahku. Tatapan iba dari mereka mulai mengusik ku.

Aku masuk keruang tamu. Kulihat ada jasad yang sudah tertutup kain tergeletak dilantai. Jasad siapa ini? Aku memandang pak Sam yang merengkuh bahuku. Ada om Azka yang menangis disamping jenazah itu.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."Dijawab oleh sebagian orang yang ada didalam ruang tamu.

"Bik, bunda mana?Ini siapa?", tanyaku pada bibik yang juga sedang menangis. Bibik menghambur ke arahku.Memelukku dengan erat.

"Yang sabar ya non. Bunda sudah pergi, bunda sudah nggak akan merasakan sakit lagi." Bibik masih memelukku.

Maksudnya apa ini? Ada Tante Laila dan om Azka? Bunda? Maksudnya ?

Aku melepaskan pelukan bibik. Ku hampiri jenazah yang ada dihadapan ku. Ku buka kain yang sudah menutupi wajahnya.

Bunda....desisku....

Nggak, ini nggak mungkin. Bunda ku tidak mungkin meninggal. Pasti ini cuma mimpi!

"Bunda ...", Kuguncangkan tubuh bunda Anisa.

"Bunda, lihat aku bawa medali dan piala ini buat bunda. Doa bunda dikabulkan sama Allah bund. Ayo Bun ,bangun lihat ini."

Bibik meraih ku dalam pelukannya. Tak terasa air mataku luruh.

Aku tak tahu harus biacara apa. Mulutku terkunci mendapati kenyataan ini.

"Bunda, kalau bunda pergi nana sama siapa Bun?", aku tergugu. Entah lah, pandangan iba semakin menusuk jantung ku.

"Aku yang akan menjaga mu Na!", sahut Azka lantang. Seketika netra nya tertuju pada Azka, kekasih bundanya.

Aku mulai paham dengan nasihat pak Sam yang tadi memelukku. Banyak orang menyayanginya.

"Karena kamu sudah pulang, kita segera urus pemakaman Anisa ya Na. Kasihan Anisa."

Aku diam. Tak mengiyakan atau menolaknya.

*

*

*

Tahlilan dan mendoakan almarhumah Anisa juga sudah selesai sejak bada isya tadi. Rencananya, pengajian ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut.

Azka masih di rumah Anisa sampai detik ini. Aku duduk di sofa ruang keluarga.

"Non, ada yang ingin bibik berikan."

"Apa bik?"

Bibik menyerahkan sebuah amplop berwarna putih yang bertuliskan namaku.Aku buka amplop itu perlahan. Itu tulisan bunda.

Teruntuk putri bunda tersayang, Najma

Nana sayang,jika kamu baca surat ini berarti bunda sudah tidak lagi ada disamping mu. Jangan lupa doakan bunda ya nak,semoga Allah mengampuni dosa-dosa bunda.

Paragraf pertama sudah membuatku menangis.

Nana, maafkan bunda yang sudah tak bisa lagi merawat Nana. Kamu sudah dewasa.Jadilah perempuan yang tangguh. Bunda tahu, kamu pasti bisa.Maafkan bunda yang belum bisa membuat mu bahagia. Tapi, bunda ingin Nana tahu. Bunda sayang sekali padamu nak. Meskipun kamu tak lahir dari rahim bunda.

Aku menarik nafas panjang, agar aku sanggup membaca kelanjutan surat bunda.

Na, bunda punya satu permintaan untuk mu. Bunda berharap kamu mau memenuhi permintaan terakhir bunda. Bunda ingin kamu menikah dengan mas Azka.Karena bunda yakin dan akan merasa tenang jika ada orang yang sangat bunda kenal bisa menjagamu nak.

Maafkan bunda jika memaksa, tapi bunda hanya ingin seseorang yang benar-benar bisa menggantikan bunda untuk menjagamu.

Menikahi om Azka? Permintaan bunda tak masuk akal. Apa...ini yang pernah bunda katakan beberapa hari yang lalu.

Saat usianya seumuran ku, dia pun sudah menikah. Dan bunda ingin aku mengikuti jejaknya?

*Bunda berharap kamu mau ya Na. Kamu anak bunda yang penurut, kamu tahu selama ini bunda hanya ingin yang terbaik untuk mu. Dan bagi bunda, mas Azka adalah orang yang tepat untuk mu. Dia akan menjagaku dan menyayangimu. Terimalah sudah menjadi anak bunda selama lima belas tahun ini. Bunda berharap,kamu akan selalu menganggap bunda adalah bundamu selamanya. Jaga dirimu baik-baik ya Na. Jangan suka ngebut-ngebut. Bunda sayang Najma.

Bunda mu,

Anisa Rahma Gustiawa*

Kulipat kembali surat dari bunda. Menikah denga om Azka? Bahkan usia nya hampir dua kali lipat umurku?

Kulihat om Azka memandang kosong ke arah kamar bunda. Aku tahu, pria itu sangat kehilangan bunda. Seperti aku.

"Om Azka...", panggilku. Dia menoleh ke arahku. Wajahnya sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Iya, om pun mendapat wasiat yang sama Na dari bundamu." Dia menunduk dalam.

Bibik pun menghampiri ku. Dia mengusap bahuku.

"Bibik juga mendapatkan wasiat, bunda ingin agar bibi mengurus kalian dirumah ini. Sebagai tuan dan nyonya baru buat bibik."

Bunda sudah menyiapkan segalanya? Dia tahu dia akan segera pergi meninggalkan kami?

"Bunda sakit apa om?"

"Kanker darah stadium akhir. Om saja tak diberi tahu Na. Laila yang tadi baru memberitahu om."

Apakah mimisan yang sering bunda alami karena penyakit mematikan ini? Kenapa bunda tak mengatakan pada kami?

"Apakah kamu siap, melakukan wasiat Nisa?", tanya om Azka padaku.

Aku tercengang. Aku belum memikirkan apa pun.

"Om akan mempersiapkan semuanya. Om pulang dulu!"

Om Azka pun meninggalkan rumah kami. Sekarang aku hanya berdua dengan bibik. Bibik memelukku erat. Wanita berusia lebih dari setengah abad ini, memelukku seperti ia sedang memeluk cucunya sendiri.

"Aku nggak sendiri kan bik?", tanyaku dalam pelukannya.

"Nggak non, kami selalu bersama non."

Malam ini, bibik menemani tidur dikamar bunda. Aku ingin merasakan aroma bunda yang masih tertinggal diruangan ini. Perlahan, ku mulai menutup mataku. Aku harap ku bisa bertemu bunda, meski lewat mimpi yang semu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!