Duhai Sang Pencipta betapa rindunya hati ini yang tak tau ujungnya.
Ah! Mikir apa aku ini jelas-jelas dia sudah tidak memikirkanku lagi.
Namaku Raisa (Raisa Adita), aku lahir di Bandung, aku tinggal bersama Ayah (Agus Salim), Ibu (Maryati) dan Kakak laki-lakiku (Rangga), aku berada didalam kisahku nampaknya hidupku tak kalah gelap dengan lampu.
"Dasar ayam kampung!" aku kaget kucari denging suara itu.
"Miskin!" kali ini aku menoleh keluar.
"Kau tau? Kehadiran keluargamu pembawa sial!" ini adalah kata kata yang sangat menyedihkan bagiku.
Kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah, tetapi aku tak pamit karena Orang Tuaku sudah pergi ke sawah untuk menanam padi kalau di kampung di sebutnya nandur. Aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki bersama teman perempuanku bernama Delia dan Astuti. Aku melewati perjalanan yang cukup jauh kurang lebih 4 Km dari rumah. Meskipun banyak yang menghinaku dan masalah datang lagi - datang lagi.
"Ca?" teman-temanku memanggilku Caca.
" Bagaimana ulanganmu hari ini sudah belajar belum?" tanya Astuti.
"Kalau aku sih semalam sudah belajar sistem kebut semalam, hahahaha..." lanjut astuti sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sudah Tut sama aku juga," Jawabku sambil tersenyum.
"Kalau kamu, Del?"tanya Astuti ke Delia sambil menabok punggung Delia.
"Eeeeeemmmm belum Ca, Tut aku semalam ketiduran gimana donk?" jawab Delia panik.
"Ya sudah nanti kita belajar sama-sama lagi Del, Tut?" jawabku sambil menenangkan Delia.
Setiap perjalanan menuju ke Sekolah aku, Astuti dan Delia suka bertukar cerita, eh bukan hanya perjalanan menuju ke sekolah saja tetapi setiap kami berkumpul kami selalu bercerita atau bisa di sebut curhat hehe.
Tak ku hiraukan pandangan-pandangan aneh yang terpancar dari mata orang-orang di sekitarku. Aku bersama teman-teman hanya terus melangkah hingga masuk ke kelas dan duduk di bangkuku, mengambil pulpen dalam tas dan mengerjakan soal ujian.
"Kamu nyontek ya...?" ku dengar kalimat itu aku hanya tersenyum kepada teman yang telah melontarkan kalimat itu, dia teman sekelasku (Sintia Ariani).
"Tidak!" aku menoleh kepadanya dan menjawab.
"Lain kali kumpulkan ya Handphone nya kedepan tidak enak dilihat yang lain!" lanjutnya sambil tersenyum miris.
"Ya Allah sebenarnya Aku tidak nyontek..." kataku didalam hati, tapi aku hanya bisa pasrah.
"Apaan sih, Sin...?" sahut Delia membelaku.
"Diam ya Del aku tak bicara denganmu...!" sambil melotot dengan nada tinggi.
Sintia memang orang yang sangat terkenal di Sekolah. Selain orangnya yang cantik, jago memanah dan idola kaum laki-laki.
"Caca tidak nyontek Sin. Kamu kenapa sih nuduh-nuduh Caca nyontek? Oh...atau Kamu yang tidak bisa mengerjakan soalnya, bilang saja la....h!" Sambung Delia kepancing Emosi.
"Benar Sin Caca tidak nyontek..." Astuti sama-sama kepancing emosi.
Mereka hampir berantem gara-gara Sintia menjudge diriku nyontek, tetapi aku berusaha menenangkan Astuti dan Delia Agar tidak terpancing emosi.
" Sudah!" kataku.
"Tapi Ca... ini harga diri..." kata Astuti masih emosi.
"Ia Ca... Sintia sudah mencemarkan nama baikmu di depan teman-teman. Padahal kamu gak nyontek," sambung Delia sambil gereget.
"Tidak apa-apa del, Tut aku nyontek atau tidaknya hanya Allah yang tahu, serahkan saja pada yang di Atas!" aku berusaha menenangka Astuti dan Delia sambil memeluk mereka.
"Jangan terlalu baik kamu, Ca...! nanti dia malah ngelunjak," kata Delia sambil pergi menuju kantin sepertinya dia kecewa dengan perkataanku.
"Del comeon, Del...!" kataku meyakinkan Delia
"Sudah-Sudah kita ke kantin saja yu! Ca sudah lapar nih." ajak Astuti sambil menggandeng tanganku karna Bel sudah berbunyi tandanya telah istirahat.
"Huuuuuuuu....!" semua teman-teman gengnya Sintia menyorakiku.
Setibanya di kantin aku dan teman-teman ku di hampiri seorang pemuda tampan bernama Satria (Satria Sandiega). Satria kakak kelas ku di sekolah kelas XII IPS 1 sedangkan Aku kelas XI IPA 2, Satria duduk di sebelahku sambil memesan makanan.
"Bi...!" Sambil melambaikan tangan ke pelayan kantin Bi Jua namanya.
"Iya Jang," Bi Jua memanggil Satria dengan sebutan Jang karena Jang itu berasal dari kata Ujang yang berarti Sebutan kepada Anak laki-laki.
"Bi, aku mau Bakso sama Teh manis 1," kata Satria.
"Siap Jang laksanakan...!!!" kata Bi Jua. Karena Bi Jua adalah pelayan yang sangat ramah.
Diriku Terus menunduk dan mataku tak kuasa melihatnya akan tetapi Satria terus berusaha mengobrol dengan Delia seakan-akan ini dunia mereka.
"Del, Tut Aku Duluan masuk kelas ya ada yang harus aku selesaikan," aku buru-buru ke kelas karena jika aku terlalu lama dekat dengan Satria lama-lama aku mati gaya.
"Del, kenapa Raisa diam saja?" tanya Satria seakan-akan dia ingin tahu banyak tentang Raisa.
"Sepertinya Caca Sariawan hahahahaha..."jawab Delia sambil tertawa riang. Memang tertawanya Delia seperti tertawa julid.
"Suts... jangan berbicara seperti itu, nanti kalau Caca tahu Dia bisa nangis! hahahahaha..." Ledek Astuti sambil ketawa.
"Kamu suka sama Caca?" tanya Delia ke Satria penasaran.
"Apaan sih..." sambil malu-malu dan menunduk.
"Sudah ngaku saja!" kata Delia mendesak Satria.
"Mau kita jodohkan gak?"tanya Astuti.
"Nanti Aku beri nomernya Caca,"
"Kalau kalian siap menjodohkan mana mungkin saya nolak perempuan secantik Raisa,"
"Tapi kamu harus tau Sat! Caca masih mengingat-ingat masalalunya. Aku minta tolong sama kamu Sat! Untuk bisa membantu Caca agar bisa melupakan masalalunya, Aku kasian sama Caca yang setiap harinya penuh dengan bayangan masalalunya," Delia menjelaskan panjang lebar tentangku.
"Ia Sat, kamu pasti bisa dan kalau kamu berhasil mengubah hidup Caca, aku dan Delia akan mengizinkan kamu dekat dengan Caca," Astuti membujuk Satria agar bisa dekat denganku, Ahhh mereka ini ada-ada saja kelakuannya.
setelah mereka selesai ngobrol kemudian Astuti dan Delia menuju ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi tandanya memulai kembali pelajaran.
"Ca!" Delia memanggilku tetapi aku pura-pura tak mendengarnya.
"Suts..."
"Suts..." Delia terus memanggilku lalu aku menolehnya karena Aku penasaran apa yang akan Delia katakan.
" Kenapa, Del?" aku menjawab dengan nada pelan karena takut terdengar oleh Pak Guru.
"Menurutmu Satria bagaimana?" tanya Delia berusaha menggodaku.
"Bagaimana apanya? Tanyaku pura-pura tak ngerti maksud Delia sambil tersenyum.
"Ia Satria sepertinya Dia meyukaimu," kata Delia.
"Ah... kamu ada-ada saja," aku berusaha tidak memperpanjang perkataan Delia yang akan menjodohkanku dengan Satria.
"Moveon Ca, moveon...!" kata Delia terus menggangguku.
"Sudah-sudah nanti aku bicarakan lagi!" aku berusaha mengakhiri pembicaraan Delia Soal Satria.
Kring...Kring...Kring...
tandanya bel berbunyi dan diriku buru-buru pulang karena banyak urusan di rumah.
Sejak kecil aku merasa kedua orang tua ku memperhatikan kakak ku dibanding aku, tak peduli dia salah atau benar mereka akan selalu membelanya, hingga suatu saat terjadi pertengkaran pun aku yang harus mengalah, aku pun mulai melakukan apapun untuk menarik perhatian mereka. Cara yang aku pilih adalah berusaha keras sekolah agar bisa seperti orang lain.
"Yah...?" tidak menjawab.
"Yah...?" masih tidak menjawab Ibu pun mulai kesal.
"Yah, kalau Ayah seperti ini terus bagaimana kita bisa punya uang?" tanya Ibu dengan nada tinggi. Ayah hanya diam dan tidak menanggapi amarah Ibu.
"Kamu lihat sendirikan? Kenapa Ibu tidak bisa biayain kamu sekolah, Ayah kamu jarang usaha, darimana ibu bisa bayar sekolah kamu?" sambil banting-banting barang dapur karena terlalu emosi.
Pagi itu ibu tidak berhenti marah-marah hingga semua kesalahan-kesalahanku di masalalu di ungkit hingga larut malam pun masih marah-marah dan seakan-akan apa yang ada di dunia ini adalah kesalahanku hingga datang lah kakak ku pulang main.
Malam itu kami makan bersama-sama duduk satu meja dan saling behadap-hadapan tetapi tidak di hadiri Ayah karena Ayah masih marah.
"Kak sudah makan?" tanya Ibu dengan penuh kasih sayang sambil menyediakan makanan untuk Kak Rangga karena Kak Rangga adalah anak kesayangannya.
"Belum, Bu,"
"Loh! Kok belum sih, mau makan sama apa?"
"Sama ayam aja Bu..."kata Kak Rangga karena Kak Rangga tidak bisa makan selain sama ayam dan telur.
"Siap Bos!" kata Ibu memanjainya.
Buek... Buek... Buek...
Suara Burung hantu di malam yang sunyi dan hati yang sepi. Lalu aku keluar rumah dan memandang bintang sambil memikirkannya. apakah aku akan bertemu dia lagi ya Allah, rasa apa ini apakah ini bisa di sebut zina hati? ahhh entahlah.
"Kamu cantik..." dalam bayanganku terus terbayang apa yang di katakan dia waktu dulu.
"Meong... meong... meong..." malam itu aku di hampiri seekor Kucing cantik dan aku pun mengelusinya.
"Hay Kucing cantik?"
"Meong... meong..." ah entah apa yang kucing ini katakan tapi yang pasti dia menjawab kata-kataku.
"Kucing, apa kamu mempunyai nama?" Kucing itu mendengkur kakiku.
"Baik lah, aku akan memberimu nama dan mulai malam ini kamu aku panggil Imut ya, Imut karena kamu adalah kucing yang imut dan lucu.
"Imut... aku masuk dulu ya, aku ngantuk mau bobo, sekarang kamu pulang dulu besok kamu boleh datang lagi kesini!" lalu aku masuk dan berbaring di atas ranjang sambil memikirkannya lagi.
"Raisa!"
"Raksa!"
"Yusuf, kamu kemana aja?"
"Ada," sambil tersenyum dan memandangku.
"Tapi Yusuf, aku sangat merindukanmu aku tiap hari selalu memikirkanmu," jawabku dengan nada bahagia.
"Lupakan aku Raisa! Aku sudah tidak mencintaimu lagi, kamu harus membuka lembaran baru dengan orang lain!" Jawaban Yusuf sambil meninggalkan rumahku.
"Tapi Yusuf!" aku berteriak memanggil namanya.
" Yusuf!"
"Yusuf, jangan tinggalkan aku Yusuf!"
dan aku pun terbangun dari tidurku.
"Hah... hah...hah..." keringat bercucuran.
Astagfirullahaladzim cuman mimpi. Badan ku lemas dan aku langsung ke kamar mandi dan mengambil air Wudhu lalu melaksanakan Shalat Tahazud.
Malam itu setelah Shalat Tahazud aku mencurahkan hati ini kepada Allah.
"Ya Allah rasa apakah ini? Mengapa aku tidak bisa melupakannya?" sambil menangis dan kemudian bersujud lalu berdo'a lagi.
"Ya Allah, jika dia jodohku tolong pertemukan lagi hamba dengan nya dan jika dia bukan jodohku tolong hapus dirinya dalam pikirkanku dan fokuskan aku dalam menuntut ilmu, berikan hamba jodoh yang menurut Engkau yang terbaik ya Allah,"
Aku harus menceritakan mimpiku ini kepada Delia karena Delia adalah pendengar yang sangat setia. Dari mulai aku berkenalan dengan Yusuf, sampai aku berpisah dengannya dia selalu mendengarkan curahan hatiku dan memberikan seribu solusi.
"Halo..."
"Ya halo..." Delia terbangun dari tidurnya dan menjawab telepon ku.
"Siapa nih...?" sepertinya Delia tidak melihat siapa yang menelponnya.
"Ini aku Caca, kenapa Del kamu masih tidur ya? Bangun Del! Aku mau curhat nih..."
"Kebiasaan kamu ah nelepon malam-malam enggak bisa besok-besok?"
"Enggak Del ini tentang Yusuf."
"Apa! Yusuf...?" Delia terkejut dan langsung terbangun sepertinya Delia tertarik dengan curhatanku.
"Terus! Terus!" sambung Delia penasaran ingin mendengarkan penjelasannya.
"Barusan aku memimpikannya,"
Aku terus menceritakan kejadian di mimpiku kepada Delia.
"Gimana, Del?"
"Gimana apanya, Ca?"
"Ya maksudnya apa aku harus melupakan Yusuf yang sudah menguasai hati ku?" kataku meminta saran kepada Delia.
"kalau menurut aku iya Ca kamu harus melupakan yusuf! Ya karena kamu itu cantik, baik, Solihah kamu harus mulai membuka hati kepada orang lain!" kata Delia menasehatiku.
"Dengarkan aku Ca! Sekarang kamu fokus aja kepada belajar kamu! Jangan terlalu memikirkan yang kan milikmu nanti kamu sakit!" sambung Delia dengan penuh kasih sayang.
"Iya Del terimakasih ya? Kamu memeng sahabatku dan pendengar yang baik dengan sejuta solusi."
" Ah, kamu ini kalau bicara suka berlebihan biasa aja kali, kan memang sudah seharusnya seorang sahabat memberikan yang terbaik buat sahabatnya, iya gak?" kata Delia, Delia memang Motivatorku.
"Ya Sudah kita tidur takut kesiangan besokkan ujian terakhir di Sekolah...!" Delia mengahiri teleponnya.
Aku kembali ke kamar tetapi aku tidak melanjutkan tidurku karena jika aku sudah terbangun suka tidak bisa tidur, lalu aku membuka buku dan belajar karena besok ujian terakhir.
Meskipun aku tidak bisa tidur, tapi lama kelamaan aku kembali tertidur pada waktu akan menjelang waktu subuh.
Dalam mimpi pemuda yang bernama Yusuf itu datang lagi. Tapi kedatangannya kali ini sedikit berbeda. Yusuf datang membawa seorang gadis cantik berkimar merah, bibirnya tipis, matanya sipit, alisnya tebal menyatu dan mempunyai lesung pipit tentu saja berbeda dengan diriku yang jauh dari kata cantik. Entah siapa gadis yang di bawa Yusuf itu, tetapi yang jelas mimpiku ini membuat diriku sangat cemburu.
Aku membukakan mataku, mengusuap wajahku dengan kedua tanganku. Tak sadar air mataku mengalir deras di pipiku. Entah apa maksud dengan semua mimpi ini. Apakah aku terlalu merindukan Yusuf? Atau apakah Yusuf memang bukan Jodoh yang di takdirkan tuhan untuk ku?
Aku tidak mau memikirkan mimpiku lagi, aku hanya bangkit dari tidurku dan masuk kedalam kamar mandi untuk mengambil Wudhu untuk menjalankam Shalat Subuh.
Ketika aku masuk kekamar mandi, aku hendak melihat cermin yang terpajang di kamarku lalu menatap wajahku, aku teringat pada gadis yang ada di mimpi yang di bawa Yusuf.
"Ah, aku tidak boleh memikirkan yang tidak seharusnya aku pikirkan," batinku.
Setelah mengambil wudhu aku langsung melaksanakan Shalat Subuh.
Aku pernah mencurahkan segala sakit yang kurasa ini kepada Guruku ( Pak Andri ) sambil menahan air mataku, yah! Sudah seharusnya seorang Guru menjadi tempat keluh kesah muridnya, dan pada umumnya mereka akan mencoba mengerti, menenangkan dan memberikan solusi.
"Pak, apa kehadiranku di dunia ini adalah kesalahanku? Sehingga banyak orang yang menghinaku, beginilah ku kubur semua yang ada pada diriku," aku mencurahkan semuanya kepada Pak Andri.
"Kamu salah Raisa, kamu jangan hanya memikirkan yang menghinamu saja, tapi kamu harus melihat bahwa di luar sana masih banyak yang menyayangimu, yang memujimu bahkan memperhatikanmu," Pak Andri memberiku saran.
"Tapi Pak! Bukan hanya orang lain yang menyakitiku tetapi orang tua ku sendiri pun selalu menyakitiku bahkan aku tak pernah sekalipun Ibu ku memperhatikan aku, aku ingin dekat Pak sama keluarga ku seperti mereka dekat dengan Kakak ku," aku menjelaskan kepada Pak Andri sambil menangis terisak-isak.
"Oke, sekarang Bapak mengerti," Pak Andri berkata sambil berpikir sejenak dan tarik napas.
"Sepertinya kamu butuh liburan,"
" Li... li... liburan, Pak?" tanyaku dengan wajah kaget dan sedikit keheranan.
"Iya,"
"Ta... ta... tapi, Pak!" aku tarik napas sebentar.
"Apa hubungannya ceritaku dengan liburan?" sambungku dengan penasaran.
"Iya karena agar kamu bisa dekat dengan keluargamu lagi. Nanti Bapak akan telepon Ibu kamu untuk menemani kamu liburan maka dengan itulah kamu akan bisa dekat lagi dengan keluargamu,"
"Tapi Pak!" kataku memotong pembicaraan Pak Andri.
"Kenapa Raisa...?" sambung Pak Andri.
"Apakah Ibu Saya mau?" aku tak yakin dengan rencana Pak Andri.
" kamu serahkan saja kepada Bapak...!" sambil tersenyum.
Kring...kring...kring...
Suara telepon di rumahku berbunyi kemudian Ibu mengangkatnya.
"Halo..."
"Ia, halo..."
"Bisa bicara dengan Ibunya Raisa?!"
"Iya... saya sendiri?" ibu keheranan kenapa Pak Guru bisa menelepon Ibu, pikirannya karena aku ada masalah di sekolah.
"Begini Bu, kami selaku pihak sekolah mengadakan liburan Individu secara bergilir dan kebetulan minggu ini adalah gilirannya Raisa," kata Pak Andri memberi informasi liburan kepada ibu.
"Iya... terus apa yang harus saya lakukan, Pak?" kata Ibu.
"Tugas Ibu adalah menemani Raisa! Karena liburan ini adalah liburan Individual bersama keluarga dalam rangka agar murid-murid SMA Bandung bisa lebih dekat dengan keluarga..." kata Pak Andri terus membujuk Ibu.
"Baik, tapi saya tidak punya uang untuk menemani Raisa liburan,"
"Oh, tidak-tidak! Bu soal biaya itu sekolah yang tanggung, karena ini adalah perogram sekolah," kata Pak Andri menjelaskan kepada Ibu dan akhirnya Ibu pun terbujuk untuk mau menemaniku liburan.
Hatiku berubah menjadi bahagia dan rasanya ingin cepat-cepat pergi liburan dan menjadi keluarga yang selayaknya.
"Nah... Raisa mulai besok dan tiga hari ke depan kamu bisa pergi liburan!" kata Pak Andri dengan penuh kasih sayang.
"Terimakasih Pak, Bapak memang Guru terhebat yang pernah Raisa kenal."
Setelah berbicara dengan pak Andri, aku langsung kembali masuk kedalam kelas untuk melanjutkan belajar.
Setelah masuk ke kelas ternyata guru Bahasa Indonesia Izin karena ada urusan keluarga, jadi kelas kosong. Aku, Delia dan Astuti jadi asyik ngerumpi.
"Eh... Del, Tut?" kataku.
"Apa?" jawab Delia dan Astuti kompak.
"Curhat donk!" kataku.
"Ia Donk, hehehe..." balas Delia dan Astuti kompak.
"Ih, udah kayak acara Mamah dan Aa aja, hahahaha..."kata Delia sambil terbahak-bahak.
"Tadi aku mencurahkan hati aku ke Pak Andri," tarik napas sebentar.
"Terus! Terus!" kata Astuti penasaran dengan kelanjuyannya.
"Aku menceritakan semua isi hatiku pada Pak Andri," tarik napas lagi.
"Ya terus apa kelanjutannya, Ca?!" Delia dan Astuti di bikin penasaran.
"Setelah semuanya aku ceritakan, Pak Andri menyuruhku untuk LI - BU - RAN!, LIBURAN!" sambil berteriak.
"Hah! Liburan!" kata Delia dan Astuti kompak.
"Iya liburan! dan besok aku dan Ibu berangkatnya," balasku.
Tak lama kemudian bel berbunyi tanda istirahat.
"Del, Tut... aku duluan ya? Gak kuat mau ke kamar mandi." kataku buru-buru.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku langsung mengambil wudhu untuk melaksanakan Shalat Dzuhur. Saat aku mengambil widhu, terdengarlah suara Adzan di angkasa membuat hati menjadi lebih tenang. Setelah aku mengambil wudhu aku langsung bergegas ke masjid.
Aku tak sengaja bertemu Satria, di masjid waktu mau Shalat Dzuhur, disaat aku melihat Satria, ternyata Satria sudah memperhatikanku dari tadi. Aku yang tak sengaja melihat Satria tentu saja malu dan membuatku salah tingkah, dan kepalaku sepontan mengarah ke pandangan lain.
Satria tersenyum melihat tingkah laku aku yang salah tingkah.
"Raisa... Raisa..." gumam Satria sambil geleng kepala dan tersenyum nakal.
"Duh, kenapa aku bisa nengok ke Satria Sih?" batinku sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Setelah melaksanaman Shalat Dzuhur aku langsung pergi ke kantin untuk makan siang karena perut sudah lapar.
Sesampainya di kantin, Delia dan Astuti sudah menungguku di meja dan sudah memesankan makanan untukku, karena Delia dan Astuti udah tahu makanan kesukaanku.
Tak lama kemudian Satria datang menghampiriku dengan percaya diri.
"Raisa..." kata Satria menyapaku lalu duduk di kursi samping Delia.
"Iya, Kak," balas aku simple.
"Jutek amat..." ledek Satria.
"Ada apa ya kak?" tanyaku kesal.
"Ya mau ngobrol sama kamu lah...!" Sambung Satria.
"Udah Sat mending kamu pergi deh!" kata Delia menyuruh Satria pergi.
Siang itu bel pun berbunyi tandanya pulang. Aku pun terburu-buru karena ingin cepat pulang, aku pulang sambil lari-lari sampai terjatuh.
Brug...
Diriku terjatuh di tangga depan gerbang sekolahan dan buku-buku yang aku bawah pun berjatuhan.
"Sini, aku bantu!" suara laki-laki menghampiriku kemudian aku menoleh kepadanya.
"Eh, Kak Satria..."sambil tersenyum malu. Satria membantuku membereskan buku yang aku bawa dan membantuku berdiri.
"Buru-buru amat..." kata Satria.
"Iya, kak," jawabku sambil menunduk tidak berani menatapnya.
"hati-hati dong, gimana? Ada yang sakit?" tanya Satria perhatian.
"Enggak kak, permisi aku buru-buru! Assalamuallaikum," kataku buru-buru pergi.
"Waalaikumsalam." Satria menjawab salamku dengan penuh senyuman dan tidak berhenti melihatku sampai aku naik angkot.
"Kamu semakin cantik saja, Raisa." Gumamnya.
Setelah aku naik angkot Satria langsung menemui Delia karena dia penasaran kenapa aku buru-buru pergi. Di sebuah perpustakaan Delia sedang mencari buku, kemudian Satria menghampiri Delia.
"Del..." Satria Ngos-ngosan.
"Iya, Sat..." Delia kaget kenapa Satria menghampirinya.
"Itu si Raisa kenapa buru-buru pulang? Gak pulang sama kamu?" tanya Satria kepo.
"Aku belum tahu Sat, aku belum ketemu dia lagi,"
"Yasudah! Aku minta nomor Handphone nya aja..."
"Oke deh..."
Uhh dasar Delia. Kenapa dia memberikan nomorku ke Satria.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!