...
Hidup belakangan ini semakin sulit. Banyak orang yang bekerja tak sesuai pendidikannya. Tapi apa mau dikatakan lagi, mencari pekerjaan pun sulit. Begitu lah nasib yang dihadapi Rima. Sehari-hari dia hanya bekerja di sebuah rumah sakit sebagai cleaning service. Dengan gaji yang bisa dikatakan tidak banyak.
Apalagi, dia harus mengirimkan uang setiap bulannya pada adik dan neneknya di kampung.
"Permisi Pak, Bu. Saya bersihkan sebentar kamarnya ya." ucap Rima izin untuk memasuki suatu kamar pasien.
"Nggih, Nduk. Silahkan."
Kegiatan Rima setiap hari ya seperti itu. Masuk ke kamar-kamar pasien dan membersihkan bergantian. Setelah itu dia membersihkan lorong-lorong rumah sakit.
"Tolong minggir-minggir!"
Beberapa perawat lewat sembari membawa seorang pasien terlihat sangat terburu-buru. Tapi sepertinya pasien itu telah tiada. Sebab sudah ditutupi oleh kain putih.
Baru saja Rima ingin melanjutkan membersihkan lorong, terlihat secarik kertas jatuh di dekat kakinya. Segera Rima mengambil setelah sebelumnya dia melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak ada orang.
"Rima!"
Spontan Rima menyimpan kertas tadi di saku celananya. Teman satu kerjaannya Euis menegurnya.
"Tau gak yang lewat tadi siapa?" tanya Euis dengan berbisik.
"Siapa, Euis?" tanya Rima membalas.
"Itu, yang kecelakaan kemarin Rim. Tau gak, istrinya meninggal. Padahal lagi proses bayi tabung."
"Innalillahi. Pantesan tadi aku liat kok pernah liat perawat yang jaga." jawab Rima.
Lalu, Euis membisikkan sesuatu di telinga Rima. Membuat Rima cukup kaget. Setelahnya Euis pergi meninggalkan Rima yang penuh tanya. Segera Rima menyelesaikan pekerjaannya.
Perkataan Euis terbayang-bayang di pikiran Rima. Apa benar yang dikatakan Euis tadi?
"Rim, mau pulang bareng gak?" tanya teman Rima yang lain.
"Aku pulang sendiri aja, Yud."
"Oke deh. Hati-hati ya Rim..."
Rima membereskan tasnya dan bergegas pergi. Kini, shiftnya bersih-bersih sudah selesai. Digantikan oleh shift malam. Kos-kosan tempat Rima tinggal tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Berjalan kaki 10 menit tidak lah berat.
Ketika sampai di kos, Rima segera membereskan barangnya. Pikirannya masih saja penasaran dengan kertas yang belum sempat dia baca. Jikalau itu surat penting bagaimana? Tanya Rima dalam hati.
"Kepada Yayasan Ibu dan Anak..."
Rima membaca kertas itu sengan teliti.
"Kami mencari seorang wanita yang mau meminjamkan rahimnya selama 9 bulan untuk mengandung hasil bayi tabung. Jikalau ada yang bersedia menjadi Ibu Pengganti maka akan diberi uang yang setimpal dan jaminan hidup yang jelas. Surat ini dikeluarkan sejak hari ini dan harap segera hubungin nomor di bawah ini.
+62 888899"
Kini Rima mengerti apa yang dimaksudkan Euis sebelumnya. Rima membuang kertas itu sembarang. Tapi baru sebentar, ponselnya berbunyi. Ada pesan disana.
Ternyata itu pesan dari adiknya Rida.
Dari : Rida
Mbak, nenek jatuh sakit lagi. Uang sekolahnya Rida juga sudah nunggak Mbak. Ijazah Rida akan ditahan di sekolah Mbak. Bagaimana ini Mbak?
Rima menangkupkan wajahnya dengan kedua tangan. Sudah 6 bulan belakangan ini uangnya habis untuk membiayai sang nenek yang memang sudah cukup parah. Sehingga adiknya terpaksa tidak membayar uang sekolah.
Matanya kembali melihat kearah kertas yang dia buang tadi. Lalu dia membaca pesan adiknya lagi.
"Haruskah aku? Menjadi Ibu Pengganti?"
...
Hii!!! Semoga kalian suka cerita aku yaaaa. Secepatnya bakal aku lanjutin. Kalau kalian suka boleh tekan tombol like dan komen ya ☺ terima kasih ☺
...
Sudah dua hari ini pikiran Rima tertuju pada kertas yang ia baca waktu lalu. Haruskah dia? Itu yang dia tanyakan. Apa dia siap dengan itu semua? Dia terus memikirkan itu bahkan ketika dia bekerja. Bahkan adiknya masih terus memberi kabar tentang kondisi mereka. Itu cukup membuat Rima semakin pusing. Berulang kali dia memikirkan jalan kelusr dari ini semua.
Ingin meminjam uang? Dia tak yakin bisa membayarnya kembali. Cukup hanya Euis menjadi tempat Rima meminjam uang.
"Rim, kamu gak makan?" tanya Euis menyadarkan Rima dari lamunannya.
"Eh... Makan kok, ini mau makan nih." jawab Rima.
Segera Rima membuka bekalnya dan menyuapkan makananya dengan cepat. Euis memperhatikan Rima dengan seksama. Dia tahu benar temannya ini bagaimana. Tidak biasanya dia melamun seperti ini. Biasanya kalau sudah begini, Rima pasti sedang ada masalah.
"Kamu ada masalah, Rim? Kalau ada masalah cerita Rim. Kali aja aku bisa bantu." gumam Euis.
"Enggak kok. Aku gak apa-apa, Euis."
Rima menyuapkan makannya dengan cepat. Hingga tak terasa sudah habis bekalnya. Namun, pikiran Rima masih memikirkan bagaimana jalan keluarnya untuk membayar spp dan pengobatan neneknya.
"Habis ini langsung pulang, Rim?" tanya Euis lagi.
"Iya nih. Aku mau istirahat langsung. Lagi gak enak badan soalnya." bohong Rima.
"Padahal aku mau ajak kamu nonton. Soalnya ada film baru, Rim. Aku gak ada temen. Mau nonton sendiri gak berani takuttt hehe..." sambung Euis.
"Sabtu ini deh. Gimana?" tawar Rima.
"Oke deh! Janji yaaa..."
Rima menganggukkan kepalanya. Ya, selama ini Euis adalah teman yang paling dekat dengannya. Euis sudah membantu dirinya. Bahkan hal pekerjaan pun Euis yang membantu mencarikan.
"Aku balik kerja ya Rim. Jangan ngelamun lagi. Biar cepat pulang. Cepat sembuh ya Rim!"
Euis pun pergi. Meninggalkan Rima sendiri. Rima menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. Mencoba berkomunikasi pada dirinya sendiri. Akhirnya Rima beranjak dari kursinya dan segera menuju toilet. Untungnya toilet sedang tidak ada orang. Dia mengunci kamar mandi itu sebentar.
Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan mengeluarkan kertas yang dia simpan. Dia mengetik 12 nomor itu di ponselnya. Dengan jantung yang berdebar dia menekan tombol telfon dengan yakin.
Rima menunggu sambungan itu. Hingga...
"Halo."
"Halo... Apa benar ini dengan Bapak yang membuat pengumuman mencari Ibu Pengganti?" sapa Rima membuka percakapan
"Ya benar. Saya perwakilannya. Apa saya berbicara dengan ketua yayasan Ibu dan Anak?"
"Oh... bukan Pak. Se--sebenarnya begini, Pak. Saya mau mengajukan diri untuk menjadi Ibu pengganti, Pak."
"Maaf, Bu. Kami tidak menerima orang yang berasal dari yayasan dan kami tidak menerima orang yang tidak jelas asal dan usulnya--"
"Saya sungguhan ingin menjadi Ibu Pengganti, Pak. Bapak bisa periksa latar belakang saya jika Bapak mau."
Rima menjelaskan dengan jantung yang berdebar.
"Nama saya Rima, Pak. Usia saya masih 25 tahun. Saya tidak punya riwayat sakit, Pak. Saya bekerja di rumah sakit Prambudi, Pak. Kalau Bapak ingin mengetahui asal usul saya, saya bisa menemui Bapak." sambung Rima.
Seseorang yang berada di seberang sana terlihat terdiam. Dia berdiskusi sebentar dengan orang yang memerintahkannya. Siapa lagi kalau bukan Evan. Setelah mendapat perintah kembali barulah dia berbicara kembali dengan Rima.
Tut... tut... tut.
Panggilan itu terputus. Rima melihat ponselnya tidak percaya. Sejenak dia merasakan sedih di hatinya. Bahwa dia kehilangan kesempatan ini.
Perlahan Rima menyimpan ponselnya kembali. Tangannya membuka pintu kamar mandi yang terkunci. Dia memasukkan kembali bekalnya ke dalam tas. Apa aku telefon lagi nanti? tanyanya dalam hati.
Langkah Rima pun bergegas mengambil peralatan kebersihannya. Dengan lesu dan pikiran yang ruwet dia membersihkan lantai dengan tatapan yang kosong.
Drrtt, drtt. Rima menghiraukan bunyi ponsel yang bergetar di saku celananya.
"Apa yang harus kulakukan lagi?" tanya Rima dalam hati.
Tangannya perlahan menyeka air mata yang sesekali keluar tak tau diri.
Drrttt, drrt.
Ponsel Rima bergetar beberapa kali. Hingga dengan putus asa dia mengangkat telfon itu.
"Halo Rida... Mbak--"
"Halo. Jika anda memang benar serius kami akan mengirimkan alamat dimana akan bertemu. Saya harap anda tidak menyebarkan hal ini pada siapapun."
"Baik, Pak. Saya jamin yang tau hal ini hanya saya saja."
"Baik. Saya akan kirim alamatnya."
Rima mengucap syukur dalam hatinya. Semoga pengorbanan ini tidak sia-sia, gumamnya.
...
Langkah kaki itu terhenti pada sebuah rumah besar yang memiliki pagar yang tinggi. Rima memegangi tasnya erat. Benar, alamat ini sesuai dengan yang dikirimkan. Rima menekan bell, ketika bell berbunyi pintu langsung terbuka otomatis. Lalu, disambutlah Rima dengan tangga menuju pintu utama.
Melihat pintu utama itu terbuka mata Rima terbelalak. Rumahnya besar dan bagus sekali.
"Rima? Silahkan masuk."
Rima terkejut ketika seorang pria yang sangat rapih datang dan menemuinya.
"Saya adalah orang yang berbicara dengan anda di telefon. Saya akan mengantar anda pada Bapak Evan."
Rima menganggukkan kepalanya. Dia berjalan di belakang pria itu. Rima mengikut saja padahal dia tidak mengetahui siapa Bapak Evan. Rima pun melirik pakaiannya dari atas sampai bawah. Dia masih memakai pakaian kerjanya. Benar-benar tidak pantas berada di rumah seperti ini. Harusnya dis mengganti pakaiannya dahulu.
"Saya, Erlang. Adik dari Bapak Evan." sebut pria itu menoleh ke arah Rima sembari tersenyum dengan lebar.
"Oh--begitu--ya..." respon Rima terbata.
Pria bernama Erlang itu membawa Rima ke sebuah ruangan kerja. Ya, ruangan kerja Evan. Sang kakak tertua.
"Mas, ini adalah Rima. Rima, ini adalah Pak Evan. Silahkan, berdikusi." pamit Erlang.
Rima menurut. Rima memasuki ruangan Evan. Evan yang tadinya duduk membelakangi kini memutar arah dia duduk. Terlihat lah wajah Evan yang sungguh membuat Rima kaget. Evan sangat tampan. Rambutnya ditata rapih, hidung yang mancung, dan wajah dinginnya.
"Silahkan duduk." perintah Evan.
Rima menganggukkan kepalanya dan duduk di kursi dengan gugup. Evan pun menyadari kegugupan Rima.
"Saya Evan. Saya yang mencari seorang Ibu Pengganti. Kamu Rima, benar?" Evan membuka suara.
"Saya Rima, Pak."
"To the point saja, kamu bersedia menjadi Ibu Pengganti?" tanya Evan.
"Saya bersedia, Pak. Saya sudah berpikir matang-matang akan hal ini." jawab Rima dengan yakin.
Evan menganggukan kepalanya. Dia memandangi Rima. Sembari memikirkan apa Rima benar bisa menjadi Ibu Penggati untuk anaknya.
"Apa kamu sudah tau menjadi Ibu Pengganti itu bagaimana?" tanya Evan meyakinkan.
Rima menganggukkan kepalanya. Berbekal mencari informasi melalui internet, Rima tau benar apa yang akan dia lakukan dan tidak.
"Apakah kamu pernah melahirkan sebelumnya? Program ini bisa berjalan kalau seorang wanita sudah pernah hamil atau melahirkan sebelumnya." Jelas Evan.
Rima terdiam sebentar. Dia tidak mengetahui bagian yang ini.
"Saya--saya belum pernah hamil atau pun melahirkan sebelumnya." ucap Rima terbata.
"Maaf, jika saya terlalu menyinggung perihal pribadi. Apakah kamu seorang perawan?"
Rima terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka pertanyaan ini akan keluar. Sejenak memori-memori lama terputar di pikiran Rima. Memori-memori yang tidak baik sama sekali.
"Tidak, Pak." jawab Rima dengan nada pelan sembari menundukkan kepalanya. Malu.
"Baiklah. Saya tidak bermaksud menggali masa lalu kamu. Saya hanya ingin selektif." gumam Evan. "Kamu tidak ada penyakit keturunan?"
"Tidak, Pak. Saya sehat Bapak bisa melakukan rontgen untuk mengetahui saya sehat atau tidak."
Tiba-tiba Evan mengeluarkan sebuah kertas perjanjian kontrak. Sebagai tanda jadi antara mereka berdua.
"Tapi, saya ingin kamu tetap akan melakukan pemeriksaan. Apakah kamu memang benar bisa dan siap untuk menjadi Ibu Pengganti anak saya." ucap Evan.
"Nanti, Erlang, adik saya, dia akan mengecek mental kamu. Dia seorang psikologi. Erlang akan menjelaskan apa yang akan terjadi selanjutnya."
"Baik, Pak."
"Silahkan, kamu isi biodata kamu disini. Agar saya tau kamu itu bagaimana." ucap Ervan sembari menyerahkan secarik kertas pada Rima.
Rima dengan canggung mengambil surat itu. Itu benar-benar kertas untuk mengisi biodata hanya saja ada tambahan poin-poin baru. Rima mengisi biodata itu satu persatu. Tentunya dengan kejujuran bukan kebohongan.
Sedang, Evan? Dia hanya memandang kosong foto sang istri yang berada di atas meja tepat menghadap dirinya. Aku akan menyelamatkan anak kita sayang, gumamnya. Tak lama menunggu, Rima sudah menyerahkan kembali biodatanya.
"Rima Wulandari, 25 tahun, Office Girl, SMA, Golongan Darah O, Mengekos, Punya 1 adik, Yatim Piatu, Sudah 7 tahun tinggal di kota ini, Gaji UMR..."
Evan membuka halaman selanjutnya. Membaca kelanjutan biodata Rima dengan seksama. Hingga dia menemukan jawaban yang diluar dari ekspektasi.
"Tujuan ingin menjadi Ibu Pengganti saya melakukan ini dengan yakin dan mengetahui resiko yang akan saya dapatkan nantinya. Saya melakukan ini hanya untuk mendapatkan uang agar nenek saya bisa mendapatkan perawatan lebih baik. Supaya Rida juga bisa melanjutkan studi perawatnya. Adik saya ingin sekali menjadi perawat. Semoga Bapak mau memilih saya, Pak. Adik dan nenek saya sangat membutuhkan ini semua."
Evan tidak menemukan tujuan Rima sendiri apa.
"Saya kira kamu akan minta rumah, mobil, perhiasan. Sungguh saya bisa memberi lebih. Kamu ingin minta apa lagi?"
"Tidak ada, Pak. Saya hanya butuh uang untuk sekolah adik dan pengobatan nenek saya saja Pak."
Mustahil.
...
Hiii! Ini kelanjutannya. Gimaanaa? hehe silahkan di komen yaaaa. Atau like juga bisa lhooo 😊 Semoga kalian suka yaaa. Terima kasih 😊😊😊
...
Rima duduk di suatu ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya dia sudah diinterview oleh si empunya dalang dari ini semua. Ya, Rima baru saja selesai dari ruang kerja Evan. Kini, Evan memperintahkan Erlang, adiknya untuk melihat kondisi mental Rima. Apakah dia benar siap atau tidak.
Agar Rima lebih leluasa untuk berbicara, Evan memilih untuk menunggu di luar ruangan kerja Erlang.
"Rima, kamu rileks saja. Saya tidak tanya yang sulit kok. Bersikap santai lah dengan saya." gumam Erlang pada Rima yang sedari tadi terus memegangi tasnya.
"Iya--iya Pak."
Erlang tersenyum memandangi Rima beberapa saat. Memperhatikan Rima beberapa menit. Dia bisa tebak kalau Rima bukanlah perempuan yang nakal. Dia bisa membaca Rima itu cukup tertutup, seadanya saja dan cenderung ada rasa tak percaya diri dalam dirinya.
"Kamu tidak dipaksa dan terpaksa untuk menjadi Ibu pengganti?" tanya Erlang.
"Tidak, Pak. Saya memang ingin melakukan ini dengan pertimbangan yang sudah matang."
"Kamu tau prosedurnya? Kamu tau menjadi Ibu pengganti itu bukan berarti kamu akan dinikahi oleh Bapak Evan?"
"Ya, Pak. Saya tahu."
Ya, Rima sudah membaca hal ini sekilas di internet. Dia tahu benar apa yang akan dia lakukan.
"Saya dengar kamu belum pernah menikah, hamil bahkan melahirkan sebelumnya. Benar?" tanya Erlang ingin memastikan.
"Benar, Pak."
"Sebenarnya kami mencari yang sudah pernah hamil atau melahirkan sebelumnya. Tapi, tak ada satu pun yayasan yang mau menerima tawaran ini. Mungkin mereka kira kami bercanda. Tapi, akhirnya kamu menghubungi." sambung Erlang.
"Saya menemukan kertas yang terjatuh saat Bapak Evan dan sepertinya Bapak buru-buru masuk ke dalam ambulan."
Erlang menganggukkan kepalanya. Mengerti bagaimana Rima mendapat informasi tentang mereka.
"Informasi ini kami simpan secara tertutup. Tidak ada yang mengetahuinya selain kamu, yayasan, keluarga kami dan pihak rumah sakit. Saya harap kamu bisa tutup mulut."
"Saya bisa jamin saya bisa menjaga ini semua Pak."
"Baiklah. Saya rasa kamu sudah siap. Setelah ini saya akan antar kamu ke Dokter Lusi. Dia akan mengecek kesehatan kamu."
"Sekarang juga Pak?" tanya Rima merespon perkataan Erlang.
"Ya, kamu tidak siap?"
"Siap kok Pak. Saya hanya memastikan, Pak."
Erlang beranjak dari kursinya. Dia memberi kode pada Rima untuk mengikutinya keluar dari ruang kerjanya. Begitu keluar, terlihat Evan sudah menunggu mereka. Erlang dan Evan berjalan sembari berbincang sepanjang jalan menuju suatu ruangan lagi di rumah ini yang besar.
Tak salah Rima memandang wah rumah ini. Memang ini sangat besar, bahkan dia hanya mengira yang seperti ini hanya ada di dalam film saja.
"Lusi sudah di dalam kan?" tanya Evan pada Erlang.
"Ya, Mas. Masuk saja. Saya balik ke ruang kerja dulu." pamit Erlang.
Tinggal lah Evan dan Rima berdua disana. Keadaan menjadi canggung lagi. Evan membuka pintu ruangan dimana Lusi berada. Terlihat lah seorang perempuan cantik muncul dan saling mencium pipi bergantian dengan Evan.
"Silahkan masuk, Rima." gumam Evan membuka pintu lebih luas agaf Rima masuk.
"Terima kasih, Pak."
Rima segera memasuki ruangan Lusi. Terlihat Lusi yang begitu cantik dengan pakaian khas Dokter. Tiba-tiba saja Rima dipeluk oleh Lusi cukup erat.
"Semoga proses ini berhasil ya Rima. Ini cucu pertama keluarga kami." ucap Lusi sembari melepaskan pelukannya pada Rima.
Rima hanya bisa tersenyum kikuk. Sembari Rima menebak-nebak hubungan Lusi pada keluarga Evan dan Erlang. Ah, tidak perlu aku pikirkan, gumamnya dalam hati.
"Rima, ayo sini baring dulu. Saya mau cek kamu dulu." gumam Lusi menepuk-nepuk tempat tidur yang tersedia disana.
Berbaring lah Rima di tempat tidut sembari matanya melihat-melihat sekitar. Dia melihat ada usg dan peralataan khas Dokter Kandungan. Apa dia akan di usg?
"Mas mau menunggu disini? Atau mau diluar saja?" tanya Lusi pada Evan yang tengah memandangi mereka.
"Disini saja. Saya mau lihat apa Rima benar-benar sehat." jawab Evan.
"Baiklah, Mas. Semoga Rima tidak mengecewakan kita ya."
Perlahan Lusi mendekati Rima yang tengah berbaring memeriksa tensi, denyut nadi dan jantung Rima. Semuanya normal. Lusi menuliskankan beberapa hal pada catatannya. Diperhatikan seperti ini membuat Rima cukup gugup sebenarnya. Tapi mau apa lagi.
"Rima, siklus menstruasinya lancar?"
"Lancar Dok."
"Bagus. Tidak pernah melakukan hubungan berganti-ganti? Saya takut ada penyakit, infeksi atau bakteri yang menghambat."
"Tidak juga, Dok."
Lusi menganggukkan kepalanya. Lalu mencatat kembali jawaban-jawaban yang telah Rima jawab.
"Sebenarnya, sedikit sulit untuk menanamkan hasil bayi tabung pada rahim kamu Rim. Karena, kamu belum pernah hamil sebelumnya. Tapi akan kami coba. Mungkin saja rahim kamu bisa kuat untuk mengandung. Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?" ucap Lusi dan senyum pada Rima yang masih diam kikuk.
"Rima sudah pernah berhubungan kah? Karena, tidak mungkin kami melakukan ini pada seorang perawan,"
Perkataan Lusi langsung dipotong Evan dengan interupsi kecil. Evan memberi kode pada Lusi untuk tidak membahas itu. Namun, Lusi sudah mengerti apa yang dimaksud oleh Evan.
"Baiklah, sekarang kita usg dulu ya. Saya mau lihat apakah ada kista atau miom di rahim kamu."
Lusi mempersiapkan alat-alatnya. Menyalakan alat-alat yang akan dia butuhkan. Evan masih melihat sedikit jauh. Namun, matanya dengan jelas masih memperhatikan Lusi dan Rima bergantian.
Rima membuka sedikit kancing baju pakaian bawahnya agar Lusi dengan mudah memoleskan gel diatas perutnya. Sedikit ada rasa enggan dan malu karena Rima tahu Evan memantaunya dari jarak yang lumayan jauh.
"Rahimnya bagus. Saya ambil sample darah ya sekalian. Agar besok sudah bisa dilakukan pemindahannya ke rahim kamu."
Besok?
...
Semua terjadi begitu cepat. Rima juga tidak percaya bahwa ini akan dilakukan secepat mungkin. Semua terjadi dalam satu hari. Dia menjalani interview singkat, lalu melalui pemeriksaan psikologi yang juga singkat dan tadi pemeriksaan kesehatan. Hasilnya akan keluar besok.
Kini, dia sudah berada di mobil. Tepatnya mereka sedang perjalanan menuju suatu tempat. Yang bahkan Rima tidak tau kemana. Tapi sepertinya mereka menuju kos-kosan Rima.
"Kos-kosan kamu yang diujung kan, Rima?" tanya Erlang yang tengah menyetir.
"Iya, Pak." balas Rima menjawab seadanya.
Matanya terlihat enggan melihat kearah Erlang dan Evan yang tengah duduk di sebelahnya. Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Mereka parkir beberapa meter dari kos Rima. Untungnya kos-kosan tak terlalu ramai. Sepertinya para penghuni kos itu tengah beristirahat di dalam.
"Kamu tidak perlu turun, Rima. Biar Erlang saja yang turun." ucap Evan menahan pintu mobil yang hendak dibuka Rima.
"Kenapa hanya Pak Erlang?" tanya Rima.
Erlang sudah hilang keluar dari mobil. Tinggal lah Rima dan Evan berdua di dalam mobil. Keadaan pun semakin canggung saja.
"Dia yang akan mengurus kepindahan kamu. Kamu disini saja. Saya tidak mau teman-teman kamu bertanya mengapa kamu pindah. Mereka tidak perlu tahu alasannya." Ucap Evan dengan mata yang menatap lurus ke depan.
Pindah? Jantung Rima berdetak kencang lagi.
"Saya pandai berbohong, Pak. Saya harus menyusun pakaian saya. Saya juga harus mandi." cerocos Rima tanpa dia sadari langsung menutup mulutnya.
"Rima... Biarkan Erlang yang mengurusnya. Kamu hanya perlu tenang dan tidak memikirkan banyak hal. Mulai besok kamu sudah pindah ke apartemen yang sudah saya sediakan." Potong Evan yang tak menoleh sedikit pun penglihatannya pada Rima.
"Apartemen--Pak?"
"Ya. Kamu akan aman disana dan dengan begitu rahasia ini akan aman terjaga." jawab Evan sembari menganggukkan kepalanya.
Rima hanya bisa berdiam di kursinya sembari menunggu Erlang mengambil barang-barang dari kosnya. Entah apa yang akan Erlang katakan pada Ibu kosnya. Tapi yang jelas jantung Rima sudah sangat berdebar dibuatnya.
"Satu hal lagi, masalah pekerjaanmu jangan dipusingkan. Kami sudah mengurus semuanya. Tugas kamu hanya untuk menjaga anak saya saja. Menjaganya dengan baik. Sampai dia lahir." tambah Evan.
Rima hanya menganggukkan kepalanya. Sembari sesekali melirik Evan yang ada di sampingnya.
"Semoga prosesnya berjalan dengan lancar. Semoga kamu bisa menjaganya. Saya sangat berterima kasih pada kamu."
"Apapun yang kamu inginkan akan saya beri. Saya sudah sediakan apartemen mewah beberapa, tabungan, asuransi kesehatan kamu dan keluarga kamu, pekerjaan yang lebih baik. Sekolah adik kamu akan saya biayai penuh bahkan jika dia ingin mengambil sekolah kedokteran pun saya tidak masalah."
Evan sungguh yang paling berharap supaya proses ini bisa berjalan dengan lancar. Ini adalah peninggalan almarhumah sang istri satu-satunya. Dia harus menjaganya dengan baik. Mereka sudah menunggu ini lama sekali.
"Semoga kamu tidak mengecewakan saya, Rima. Saya berharap banyak padamu..."
Rima...
...
Hiii akhirnya aku update lagi, maaaf ya kalau aku lama updatenya. Semoga kalian masih pada sabar nungguinnya. Buat yang puasa semangat yaaa ☺☺☺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!