Sepulang mengajar ngaji di di pondok pesantren yang ada dikampungnya, Anasya Azzara atau biasa disapa Zara buru buru pulang karena salah satu tetangganya mengatakan jika dirumahnya ada tamu dari kota.
Penasaran siapa yang datang padahal dirinya tak memiliki kerabat yang tinggal dikota. Dan sesampainya didepan rumah, Zara di buat bingung dengan dua mobil mewah yang terparkir didepan rumah orangtua nya yang sangat sederhana. Mobil mewah yang belum pernah Ia lihat secara langsung, hanya melihat dari drama korea yang biasanya Ia lihat melalui televisi.
"Assalamualaikum.'' ucapan salam dari Zara saat memasuki rumah, melihat diruang tamu sudah ada 4 orang yang duduk dan sedang menatap ke arahnya.
"Wa.alaikumsalam." suara Bahar sang Ayah menjawab salam dari Zara terdengar.
"Salim dulu nak sama tamu kita." kata Bahar pada putrinya.
Zara menurut saja, Ia menyalami wanita paruh baya yang tersenyum padanya juga seorang pria paruh baya yang menerima uluran tangannya. Dan yang ada disampingnya lagi wanita muda yang mungkin seumuran dengan nya.
"Hay kak, namaku Sena." sapa nya dengan wajah sumringah yang hanya disenyumi oleh Zara.
Terakhir pria muda yang sangat gagah dan tampan, Zara ragu hendak mengulurkan tangan nya karena Ia tahu pria itu jelas bukan mukhrimnya.
Beruntung sang Ayah menyelamatkan keraguan Zara.
"Selain dia, karena kalian belum mukhrim." kata Bahar sambil terkekeh yang juga membuat semuanya ikut terkekeh kecuali pria itu yang hanya diam dan dingin menatapnya.
Zara mengangguk lalu Ia ijin ke belakang membantu ibunya yang mungkin sibuk menyiapkan minuman untuk tamu mereka.
"Kamu sudah pulang nduk?" Asih sang Ibu yang sedang membuatkan teh hangat untuk para tamunya.
"Mereka siapa Bu? Zara kok belum pernah lihat?"
Asih tersenyum, "Nanti kamu juga tahu."
Zara mengangguk saja, Ia membantu Asih menyajikan pisang goreng hangat yang baru saja digoreng oleh asih.
"Ganteng nggak nduk yang cowok itu?" tanya Asih membuat pipi Zara mendadak memanas.
"Gan-ganteng kok bu, yang cewek juga cantik." ungkap Zara jujur.
"Itu adiknya."
"Kirain istrinya." kata Zara yang nyatanya salah menebak.
"Huss, ngawur kamu."
"Udah sana anterin teh sama pisang goreng nya." kata Asih yang langsung diangguki Zara.
Zara kembali keluar membawa nampan berisi 5 cangkir teh hangat juga sepiring pisang goreng.
Zara langsung menyajikan diatas meja, dan kembali ke belakang lagi untuk mengembalikan nampan yang Ia bawa.
"Nanti kesini lagi nduk." kata Bahar.
"Iya Yah."
Zara kini sudah duduk diantara orangtuanya,
"Ini Tuan Anggara bersama keluarganya, Tuan Anggara dulu adalah mantan majikan Ayah sewaktu masih bekerja dikota." jelas Ayah Bahar yang membuat rasa penasaran Zara terobati.
Zara masih ingat betul, hampir 20tahun lamanya sang Ayah bekerja dikota sebagai sopir untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama sang Ibu dikampung.
Meski begitu, dulu Bahar setiap satu bulan sekali datang mengunjungi Zara yang dulu pernah berada dipondok selama 9 tahun lamanya.
Dan kini di usia senja Bahar, Zara yang juga sudah lulus kuliah dan bekerja sebagai guru honorer dikampungnya meminta Bahar untuk berhenti bekerja dan dirumah bersama sang Ibu.
"Jangan katakan mantan majiakan Bahar, bahkan kau sudah ku anggap sebagai adik ku sendiri." kata Anggara sambil tertawa.
"Aku ingat dulu kamu yang mengantar kami kemana mana, bahkan dari Sean dan Sena masih bayi sampai sekarang sudah bekerja," ungkap Nyonya Anggara yang ikut mengenang pekerjaan sang Ayah.
"Sudah menjadi kewajiban saya Tuan dan Nyonya melakukan itu semua." kata Bahar merasa malu dan tak pantas dianggap berlebihan seperti itu.
"Jadi maksud kedatangan kami kesini ingin menagih janji yang dulu pernah kita ucapkan, kau masih ingat?" tanya Anggara pada Bahar membuat suasana sedikit tegang.
"Maafkan saya Tuan, bahkan saya belum memberitahu putri saya perihal itu.
"Jika Tuan dan Nyonya berkenan, izinkan saya mengatakan itu pada Putri saya secara perlahan lebih dulu." kata Bahar membuat Zara menatap ke arah sang Ayah bingung.
"Katakan sekarang saja, lebih cepat lebih baik.
"Bahkan Sean juga sudah menerimanya." kata Anggara sambil menatap putranya yang kini berwajah masam.
"Ada apa yah?" tanya Zara memberanikan diri karena penasaran dengan apa yang mereka katakan sejak tadi.
"Begini Zara, kedatangan kami sekeluarga kemari karena ingin meminang kamu untuk putra kami Sean."
Deg...
Seketika Zara membeku mendengar ucapan Tuan anggara yang to the point.
"Maafkan Ayah nduk, belum mengatakan apapun sebelumnya karena waktu itu-"
"Jangan dilanjutkan Bahar, aku dan istriku berjanji padamu akan menjaga Zara dan menyayanggi Zara seperti putri kami sendiri." kata Anggara yang langsung membuat Bahar terdiam.
"Saya dan Bahar dulu pernah berjanji akan menjodohkan Sean dengan kamu dan sekarang kami datang untuk menagih janji itu." kata Anggara lagi.
Zara menatap ke arah sang Ayah namun Ayahnya menunduk, bergantian Zara menatap ke arah Asih ibunya yang menatapnya dengan tatapan sendu, seolah mengerti apa yang putrinya pikirkan.
"Jadi bagaimana Zara? kamu mau kan jadi menantu kami?" tanya Nyonya Anggara seolah tak sabar dengan jawaban Zara.
"Bolehkah saya memikirkan lebih dulu Tuan, Nyonya?" tanya Zara memberanikan diri.
"Tidak ada waktu lagi untuk berpikir Zara, jangan ragu, Sean pasti akan membahagiakan kamu." kata Tuan Anggara.
"Beri kami waktu satu bulan Tuan, setelah itu mungkin putri kami akan menerima pinangan dari Tuan.
"Biarkan putri kami memikirkan sejenak." kata Asih.
"Baiklah, hanya satu bulan dan kami akan datang lagi." kata Tuan Anggara membuat Zara sedikit lega.
Setelah keluarga Tuan Anggara pulang, Zara langsung saja memasuki kamar di ikuti oleh sang Ibu.
"Ibu tahu nduk berat buat kamu menerima semua ini.
"Tapi mau bagaimana lagi? Ayahmu sudah terlanjur janji dengan Tuan Anggara dulu." jelas Asih.
"Harusnya Ayah bilang sejak dulu Bu, jadi Zara..."
"Ibu tahu, itu memang kesalahan kami sebagai orangtua. dulu Ayahmu pikir perjanjian itu batal karena putra dari Tuan Anggara-" Asih tersentak dan langsung tak melanjutkan ucapan nya.
"Kenapa Bu?"
Asih menggelengkan kepalanya, "Nggak nduk, nggak apa apa."
Zara menghela nafas panjang,
"Kamu harus segera memutuskan panji nduk sebelum Tuan Anggara datang kemari lagi." kata Asih.
Tampak mata Zara memerah tak kuasa menahan diri untuk tidak menangis.
Bagaimana ini?
Apa yang harus Ia katakan pada Mas Panji yang baru semalam memberinya cincin dan mengajak menikah.
Padahal sudah lama Zara menyukai Mas Panji yang tak lain adalah rekan guru di sekolahan tempat Ia mengajar.
Dan saat mas Panji mengajaknya menikah, Ia sekarang malah dipaksa menerima perjodohan dengan pria yang sama sekali tak Ia kenal.
Zara benar benar bingung dan kalut dengan apa yang harus dia lakukan.
BERSAMBUNG...
Hay selamat datang dicerita baru aku...
semoga kalian suka dengan ceritanya...
Dengan kepala pening karena kebanyakan minum, Axel Sean Anggara atau biasa disapa Sean membuka paksa pintu rumah orangtuanya yang sudah dikunci.
Karena tak sadar, Sean akhirnya mengedor gendor pintu itu hingga membuat suara yang cukup bising.
"Astaga Sean!" Ranti, Ibu Sean nampak histeris melihat putranya yang terkapar didepan rumah dengan mata memerah.
"Maafkan kami Nyonya, tadi kami sudah menahan nya tapi Tuan Sean marah dan mengatakan akan memecat kami." kata Paijo salah satu satpam yang berjaga dirumah Tuan Anggara.
"Bantu bawa masuk aja Jo." pinta Ranti.
Dengan sigap, Paijo mengangkat tubuh Sean dan membawanya memasuki kamar Sean.
"Anak itu mabuk lagi?" tanya Anggara yang ikut keluar kamar karena mendengar suara berisik dari luar.
"Iya Pah, sepertinya kita harus segera bertindak. kalau seperti ini terus siapa yang akan melanjutkan perusahaan Papa." kata Ranti dengan khawatir membuat Anggara hanya menghela nafas panjang.
Semalaman penuh Anggara sama sekali tak memejamkan mata, memikirkan putra pertama nya. Ia merasa gagal mendidik putranya menjadi anak yang baik. Berkali kali Sean diberikan kepercayaan nya untuk meneruskan perusahaan nya namun selalu berakhir Sean yang hampir membuat perusahaannya bangkrut.
Semua ini terjadi, Sean seperti ini karena wanita itu. Ya wanita yang membuat hidup putranya menjadi hancur seperti ini.
Anggara bangun dan berjalan menuju sebuah kotak brankas yang ada di ruang kerjanya. Kotak brankas yang sudah lama sekali tak Ia buka.
Dengan sekali putaran, Anggara membuka kotak itu dan mengambil sebuah amplop coklat dimana didalam amplop itu terdapat sebuah rekaman suara.
"InsyaAllah Tuan, jika nanti putri saya sudah menjadi sarjana. saya ikhlaskan putri saya menikah dengan Tuan Sean."
Anggara mematikan alat rekaman itu, lalu mengembalikan di amplop coklat dan membawanya keluar dari ruang kerjanya.
Anggara berjalan ke ruang tengah, disana Ia berdiri didepan bingkai foto keluarga yang cukup besar. Ada dirinya, Ranti sang istri, Sena putri keduanya juga Sean dan wanita itu. Didalam foto itu semuanya terlihat bahagia. berbeda sekali dengan kenyataan yang sama sekali tak ada kebahagiaan juga kehangatan seperti yang terlihat di bingkai foto itu.
Anggara menghela nafas panjang, Ia merasa harus melakukan semua itu. demi masa depan perusahaan nya dan juga kebahagiaan keluarganya.
Dan paginya, Sean bangun dengan kepala yang sangat pening. Bau alkohol menguar dari mulutnya membuat Sean ingat jika semalam Ia banyak sekali minum hingga membuatnya mabuk dan tak sadar setelah itu.
Pintu kamar terbuka, Bik Siti mendekat ke arahnya sambil membawa nampan berisi segelas air putih hangat.
"Tuan Sean sudah ditunggu dibawah." kata Bik Siti yang hanya diangguki oleh Sean.
Bik Siti keluar, Sean mengambil gelas berisi air putih dan langsung meneguknya hingga tandas dan tersisa.
"Bersiaplah dengan omelan pagi ini Sean." gumam Sean sambil berdiri mengambil handuk lalu bergegas mandi.
Sean turun ke bawah, melihat kedua orangtuanya sudah duduk di ruang tengah terlihat sedang menunggunya.
Ada yang berbeda saat Sean datang, seperti ada sesuatu yang hilang diruang tengah itu.
"kemana bingkai foto keluarga kita?"
"Papa buang!"
"Kenapa?" Sean menatap dingin ke arah orangtuanya.
"Untuk apa masih memajangnya? bahkan keluarga kita tidak sebahagia itu!"
"Pa, Sella hanya-"
"Cukup Sean!" Sentak Anggara yang membuat Sean akhirnya diam.
"Sudah cukup kamu membela perempuan itu dan sudah cukup kamu merusak dirimu sendiri!"
"Tapi Pa, Sean cinta-"
"Tidak ada cinta jika itu hanya merusak hidupmu Sean!
"Sudah cukup kami bersabar dan memberi kesempatan padamu!"
"Kami sudah tua nak, sudah waktunya untuk istirahat." kata Ranti dengan mata berlinang membuat Sean tak tega.
"Apa kamu ingat dengan Pak Bahar?"
Sean mengangguk,
"Papa berniat menjodohkan kamu dengan putri bahar!" kata Anggara yang langsung membuat mata Sean melotot tak percaya.
"Apa Papa gila? bagaimana Papa bisa mengatakan itu sementara Sean sudah-"
"Cukup Sean! sudah cukup dan untuk kali ini tolong turuti permintaan kami jika memang kamu masih menganggap kami orangtua mu!" kata Anggara lalu beranjak pergi meninggalkan ruang tengah.
"Mama mohon Sean, kamu terima keputusan Papa. ini semua demi kebaikan kamu nak." kata Ranti sambil berlinang air mata membuat Sean benar benar tak tega melihatnya .
"Tapi Ma..."
"Mama mohon, Mama dan Papa sudah semakin tua. kami ingin setidaknya menimang cucu sebelum ajal menjemput kami."
"Mama jangan katakan itu, Sean yakin Mama sama Papa berumur panjang." kata Sean sambil mengenggam tangan sang Mama.
"Sean mohon Mama sama Papa sabar, Sean janji nanti jika Sell-"
"Mama hanya inginkan itu tidak yang lain." kata Ranti memotong ucapan sang Anak lalu bergegas pergi meninggalkan Sean seorang diri.
Sean terlihat mengacak rambutnya frustasi. benar benar tak mengerti lagi dengan jalan pikiran orangtuanya.
Bagaimana bisa orangtuanya meminta Sean menikah disaat...
Ahh entahlah..
Tadinya Sean pikir Papa nya hanya bercanda namun siapa sangka siang hari setelah obrolan mereka pagi tadi, sang Papa mengajaknya pergi ke kampung halaman Pak Bahar mantan sopir yang pernah bekerja dirumah mereka.
Dan karena tak ingin melihat sang Mama menangis akhirnya Sean menuruti permintaan sang Papa.
Dan di sinilah Sean berada setelah menempuh perjalanan hampir 5 jam , kini Sean berada didepan rumah sederhana yang banyak sekali tanaman buah didepan nya. Sean memarkirkan mobilnya dan mengikuti kedua orangtua juga Sena adiknya memasuki rumah sederhana itu.
Nampak pak Bahar terkejut dengan kedatangan keluarganya, apalagi setelah sang Papa Anggara mengatakan maksud kedatangan mereka semakin membuat Pak Bahar terkejut.
"Tapi bukan nya tuan muda Sean..." Pak Bahar nampak menggantungkan ucapan nya sambil melihat ke arah Sean.
"Pak Bahar tenang saja, semua sudah saya pikirkan ke depan nya dan sekarang kami datang hanya ingin menagih janji yang dulu kita ucapkan." kata Anggara meyakinkan.
Bahar terlihat diam, sementara tak berapa lama sebuah suara salam lembut terdengar beriringan dengan seorang wanita yang mengenakan gamis putih bermotif bunga daisy dan hijab panjang menutupi perut dengan warna senada, memasuki ruang tamu itu.
Wanita muda yang cantik itu sempat membuat Sean menatap ke arahnya cukup lama sebelum akhirnya Sean menyadarkan dirinya untuk bersikap acuh pada wanita itu.
Dan yang lebih mengejutkan Sean ketika Anggara sang Papa mengatakan tujuan datang untuk meminang wanita itu langsung membuat Wanita itu terkejut bahkan matanya melotot seolah ingin keluar.
Bahkan berkali kali wanita bernama Zara itu memandang ke arah Sean dengan pandangan mata tak percaya.
"Jangan terlalu percaya diri, aku bahkan tak berminat pada wanita tertutup sepertimu!" batin Sean kesal sambil menatap sinis ke arah wanita itu.
BERSAMBUNG...
jika suka jangan lupa like vote dan komen yaa
Sudah hampir seminggu setelah kedatangan keluarga Anggara kerumah, dan sejak saat itu pula tak ada obrolan hangat yang terjadi dikeluarga Bahar.
Zara terlihat sama sekali tak semangat menjalani harinya. Dirinya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan jika hidup bersama pria yang sama sekali tak di cintainya.
Bahkan selama seminggu ini pula, Zara mengacuhkan Panji padahal mereka setiap hari bertemu, baik di sekolahan tempat mereka mengajar juga di pesantren saat sore hari mereka mengajar ngaji.
"Apa ada yang salah dengan aku?" pertanyaan Panji berputar putar di pikiran Zara saat ini setelah siang tadi saat jam pulang mengajar, Panji menghadang jalan pulangnya.
Zara yang tak tahu harus mengatakan apa hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menunduk lesu.
"Jika memang ada yang salah, katakan saja. aku akan memperbaiki semuanya." kata Panji lagi yang sama sekali tak dijawab oleh Zara malah Zara bergegas pergi meninggalkan panji.
Dan itu semua sukses membuat Zara tak tenang saat ini. dikamar sendirian sambil merenung memikirkan saat yang tepat Ia harus mengatakan semuanya pada Panji.
Kata kata panji kembali terdengar di telinga nya membuat Zara akhirnya menangis karena tak tahan lagi harus menahan semuanya.
"Aku mencintaimu, kenapa kita harus mengalami semua ini." batin Zara menelungkupkan kedua tangan diwajahnya.
"Nak..." suara Asih sang Ibu mengetuk pintu kamar Zara membuat Zara buru buru mengambil tisu dan membersihkan wajahnya agar tak terlihat menangis.
"Ada apa Bu? masuk saja pintunya tidak dikunci." suara serak Zara tak bisa membohongi Ibunya jika dirinya baru saja menangis.
Asih menatap lekat wajah putrinya dari pintu lalu berjalan mendekat.
"Apa kamu masih belum bisa menerima semuanya Nak?" tanya Asih sambil mengelus pipi Zara. Tahu betul jika Zara baru saja habis menangis.
"Apa salah bu jika Zara masih sulit menerimanya,"
Asih menggelengkan kepalanya, mengerti dengan apa yang dirasakan oleh putrinya.
"Kamu sangat mencintai Nak Panji?" tanya Asih lagi yang langsung diangguki Zara.
"Jika memang kamu mencintai Nak Panji, Ibu akan memdampingi kamu untuk berbicara dengan Ayah.
"Kita bicara dengan Ayah baik baik, siapa tahu Ayah bisa mengerti dan kamu tak harus menikah dengan anak majikan Ayah itu." kata Asih dengan penuh kelembutan.
Zara malah menggelengkan kepalanya, "Jika aku menuruti egoku dan menolak lamaran tuan itu, sama saja aku sudah membuat Ayah ingkar dengan janjinya Bu.
"InsyaAllah Zara siap menerima, hanya saja mungkin saat ini Zara masih kaget dan tak tahu harus mengatakan apa pada Mas Panji Bu." jelas Zara dan air matanya kembali berlinang didepan Asih.
"Jika memang kamu menerima lamaran Tuan muda itu, ibu harap kamu segera mengatakan pada Nak Panji, agar Nak Panji juga bisa segera mengikhlaskan kamu." kata Asih.
"Rasanya masih berat bu, aku takut mas Panji membenciku." ungkap Zara membuat Asih membawa tubuh Zara ke dalam pelukan nya.
"Jika Kamu hanya diam dan menunda seperti ini, sama saja kamu malah semakin menyakiti Nak Panji." jelas Asih.
"Semua keputusan ada ditangan Zara, entah menerima lamaran Nak Panji atau Tuan muda itu. Ibu tidak akan memaksa. Ibu akan selalu merestui semua pilihan kamu nak.
"Segera pikirkan dan ambil keputusan agar tak ada hati yang kamu sakiti nantinya.
"Shalat istiqarah, minta petunjuk Allah mana yang terbaik buat kamu."
Zara mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan sang Ibu. Sepertinya dirinya memang harus meminta petunjuk kepada sang pemilik kehidupan dengan siapa yang harus Ia pilih nantinya.
Tengah malam, Zara menggelar sajadahnya dan sholat dua rakaat untuk meminta petunjuk pada sang pencipta siapa yang harus Ia pilih. Zara memantabkan hatinya dan berdoa semoga pilihan nya saat ini tepat. Tak hanya baik untuknya namun juga baik untuk kedua orangtuanya.
"Mau kemana nduk?" tanya Asih saat menyapu halaman rumah melihat Zara sudah rapi mengenakan baju muslim siap untuk keluar padahal hari ini hari minggu, Zara libur mengajar di sekolahan.
"Mau ketemu mas Panji bu."
"Alhamdulilah, apa ini artinya kamu sudah memantabkan siapa yang akan kamu pilih Nak?" tanya Asih dengan senyuman mengembang.
"InsyaAllah bu."
"Ya sudah hati hati dijalan. salam buat Nak Panji ya." kata Asih kala Zara berpamitan mencium tangan sang Ibu.
"Assalamualaikum bu." salam Zara lalu berjalan meninggalkan pekarangan rumah.
"Wa alaikumsalam."
"Zara mau kemana Bu?" tanya Bahar mendekati sang istri.
"Lho, memang tidak pamit sama Ayah?" tanya Asih heran.
"Sudah pamit, cuma Ayah nggak nanya mau kemana."
Asih mengangguk paham, "Mau ketemu nak Panji."
Bahar nampak menghembuskan nafas panjang.
"Semua salah Bapak ya Bu?" Bahar merasa sangat bersalah telah memaksakan sesuatu yang tak di inginkan oleh putri semata wayangnya.
"Tidak ada yang perlu disalahkan Yah, semua sudah menjadi takdir Zara dengan siapapun nanti pilihan nya." kata asih mencoba menghibur suaminya.
"Andai saja waktu itu Ayah nggak ngomong aneh aneh sama Tuan Anggara mungkin semua ini tidak terjadi. mungkin sekarang Zara bahagia dengan pilihan nya sendiri." sesal Bahar.
"Semua sudah terjadi Ayah, sekarang kita hanya bisa mendoakan semua yang terbaik untuk Zara."
Bahar mengangguk setuju, Saat ini Ia hanya bisa pasrah dengan apapun nanti yang menjadi takdir Zara. Bahar hanya bisa berdoa semoga Tuan muda Sean bisa membahagiakan putrinya meskipun Bahar sendiri tahu kenyataan pahit yang akan di alami putrinya nanti namun saat ini Bahar tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan putrinya.
"Tadinya aku ingin menjemputmu dirumah, tapi kamu malah menolak." kata Panji yang saat ini tengajmh berada di sebuah taman kecil yang ada di pinggiran kampung mereka.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama mas Panji dan aku tak ingin mengatakan ini dirumah." kata Zara.
"Apa yang ingin kamu katakan? hal yang membahagiakan atau membuat sedih?" tanya Panji dengan raut wajah pura pura sumringah, menyembunyikan kesedihan seolah olah mengerti dengan apa yang akan Zara katakan.
"Mas Panji berharap apa?" tanya Zara sambil menahan diri untuk tidak menangis meskipun saat ini matanya sudah memanas ingin menangis.
"Tentu saja aku berharap hal yang membahagikan, seperti kapan aku dan keluargaku bisa datang kerumah mu untuk lamaran resmi kita?
"Aku sudah mengatakan pada orangtua ku jauh sebelum aku melamarmu malam itu. dan orangtua ku setuju aku menikah denganmu.
"Jadi apa memang itu yang ingin kamu katakan? kamu sudah mendapatkan hari kapan aku dan keluargaku bisa datang?" tanya Panji penuh harap membuat Zara akhirnya tak kuasa menahan tangisnya hingga akhirnya Ia menangis didepan Panji.
"Ada apa? apa bukan itu dik? maaf aku salah."
Zara menggelengkan kepalanya tak setuju, "Aku yang salah mas maafkan aku."
Zara mengambil kotak beludru merah yang ada di tas nya, kotak yang berisi cincin pemberian dari Panji sebagai tanda pengikat sementara di antara mereka.
Dengan tangan bergetar, Zara mengembalikan cincin itu pada Panji.
"Maafkan aku mas, aku tidak bisa menerima pinangan mas.
"Ak-aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku."
BERSAMBUNG...
jangan lupa like vote dan komen kalau suka...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!