NovelToon NovelToon

Belenggu Mafia Lapuk

1. Door

Door

Door

Door

Suara baku tembak sedang berlangsung disebuah gudang tempat penyimpanan baja ringan. Tidak ada suara lain selain kebisingan yang ditimbulkan dari suara peluru yang meluncur kearah lawan baik yang mengenai tubuh, maupun yang berdenting mengenai baja.

"Sial! kapan selesainya kalau begini? apa persedian peluru kalian masih banyak?" Yansen bersuara disela-sela bisingnya tembakan.

"Masih cukup untuk membinasakan geng sampah itu. Pokoknya malam ini kita harus membuat nama mereka hilang dari peredaran dunia bawah tanah,"

Zavier yang seorang penembak jitu, bakatnya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan meski sedang menjawab pertanyaan Yansen, pria itu mampu mengenai lawan dengan tepat sasaran.

Owen si mata empat menghampiri teman-temannya yang tengah berbincang sembari tetap melakukan baku tembak dengan musuh-musuhnya.

"Apa matamu tidak bermasalah? tempat ini terlalu remang," Diego menoleh kearah Owen yang baru saja menghampiri mereka.

"Santai, ini softlens terbaik yang pernah aku pakai. Bahkan aku bisa melihat wajahmu meskipun dalam kegelapan." Jawab Owen.

Tap

Tap

Tap

Hosh

Hosh

Hosh

Evelly berlari terengah-engah saat menghindari kejaran beberapa pria bertubuh besar. Tubuh mungil itu berlari tidak tahu arah, bahkan tanpa sadar dia memasuki sebuah gudang yang didalamnya sedang dalam situasi tidak kalah menegangkan.

Sudah kepalang masuk, dirinya tidak bisa mundur lagi. Evellyn tidak perduli dirinya terkena tembakan peluru, baginya mati tertembak cara kematian yang jauh lebih terhormat daripada dijual pada pria hidung belang dan digilir.

Brukkkkk

Tubuh Evelly terpental, saat menabrak suatu yang keras, namun lebih lembut dari sebatang besi. Kepala Evellyn mendongak keatas untuk memastikan benda apa yang dia tabrak itu.

Secepat kilat Evelly bangun, saat melihat sosok pria dihadapannya. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu saat ini, tubuh mungil itu malah berlari dalam pelukkan pria yang tengah sibuk dengan pistolnya.

"Hey...bocah ini munculnya dari mana?" hardik Yansen yang merasa risih.

"Om tolongin Eve om," Evelly semakin mengeratkan pelukkannya pada tubuh kekar Yansen.

Yansen bisa merasakan kalau saat ini tubuh gadis itu sedang gemetar hebat, tapi urusannya jauh lebih penting dari menolong gadis kecil itu.

"Menyingkirkah dariku!" hardik Yansen.

Evelly memejamkan matanya saat mendengar teriakkan itu, namun kepalanya menggeleng dan semakin memeluk Yansen dengan erat.

Zavier yang tahu temperament Yansen sangat buruk, sedikit khawatir kalau kepala gadis itu akan menjadi sasaran peluru Yansen.

"Zavier. Singkirkan anak ini dariku!" teriak Yansen.

Zavier mendekati Yansen dengan sedikit mengendap-endap dari incaran peluru lawan. Zavier kemudian menarik tangan Evellyn, namun Evellyn malah semakin mengencangkan pelukkannya karena ketakutan.

Door

Karena kehilangan konsentrasi, sebuah peluruh berhasil mengenai lengan Yansen.

"Yansen!"

Ketiga teman Yansen berteriak bersamaan saat melihat dirinya terkena sebuah tembakan. Evellyn yang merasakan ada sesuatu yang basah mengenai tangannya, melihat kearah Yansen yang terlihat memegang bahunya yang sudah bersimbah darah.

"O-Om...."

Bibir Evelly bergetar, mata gadis itu mendadak buram seketika. Dirinya yang memang belum makan dari pagi, ditambah kelelahan dan melihat banyak darah, jadi hilang kesadaran seketika. Dengan kekuatan satu tangan, Yansen menahan berat tubuh Evellyn agar tubuh gadis itu tidak terjatuh ketanah.

"Mundur!" teriak Zavier.

"Tidak! singkirkan saja gadis ini, kita harus tuntaskan malam ini juga," ucap Yansen.

"Tapi kamu terluka, kamu harus dirawat."

Owen terlihat khawatir karena darah yang mengalir dari lengan Yansen tampak sukar dihentikan, meskipun Yansen sudah menekannya dengan sebuah sapu tangan.

"Jangan keras kepala, nyawamu jauh lebih berharga. Kita bisa membantai mereka lain kali," timpal Diego.

"Sial!" gerutu Yansen yang merasa kesal karena misi mereka harus gagal malam ini.

"Hadang mereka! setelah itu kalian harus kembali kemarkas dengan selamat. Bawa juga yang luka-luka ataupun yang tewas," Zavier memerintahkan anak buahnya.

Zavier membuat gerakan waspada, agar musuh-musuh mereka tidak menembak kearah mereka, saat mereka akan melewati pintu utama gudang.

Chiiiiiitt

Mobil mewah yang sudah dilengkapi dengan anti peluru melesat meninggalkan gudang itu. Yansen terlihat bersandar dikursi bagian belakang, sembari menutup matanya dengan lengan kanannya. Sementara itu Evellyn yang tidak sadarkan diri, sedang berada dipangkuan Owen.

"Yansen, apa kamu baik-baik saja?"

Diego yang mengemudikan mobilnya melihat kearah belakang melalui kaca mobil bagian depan.

"Emm."

Hanya kata itu yang terdengar dari Yansen yang biasa bersuara tegas. Diego semakin mempercepat laju mobilnya, dia tidak ingin terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.

Setelah melewati perjalanan yang lumayan jauh, dan beberapa kali menerobos rambu-rambu lalu lintas, akhirnya Diego berhasil membuat Mobilnya parkir di salah satu rumah sakit terbesar di Kota J.

Para suster dan dokter dibuat sibuk, karena Zavier ingin mereka segera menangani Yansen. Bahkan dokter itu tampak berkeringat, karena Zavier menodongkan pistolnya agar dokter itu bekerja dengan cepat.

"Zavier. Turunkan pistolmu, kamu membuat dokternya takut. Itu akan mengganggu konsentrasinya," ucap Diego.

Zavier perlahan menurunkan pistolnya, dia sangat takut kehilangan Yansen dan malah bersikap impulsif.

"Maaf dokter, tolong bekerjalah dengan tenang."

Zavier sedikit melunak dan meminta maaf pada dokter yang sedang menangani Yansen.

"Tidak apa-apa, saya bisa mengerti kekhawatiran anda. Tapi Tuan, sepertinya peluru yang masuk cukup dalam, kita harus segera melakukan tindakan operasi agar bisa mengeluarkan pelurunya dan menghentikan perdarahannya,"

"Tolong lakukan apapun, agar teman kami bisa selamat," ucap Owen.

"Kalian terlalu berlebihan, kalian seperti mengira aku akan mati saja hanya dengan satu tembakan peluru," Yansen menyela.

"Kamu diamlah, jangan suka meremehkan sesuatu. Misi kita belum tuntas, kalau kamu mati sekarang, aku akan mengencingi kuburanmu!" Zavier memarahi Yansen.

Yansen tertawa mendengar ucapan Zavier yang konyol, namun pria dingin itu tidak marah sama sekali, karena dia tahu sahabatnya itu sedang mengkhawatirkan dirinya.

"Bawa saja dia keruang operasi dok," ujar Owen.

"Baiklah."

Dokter itu memberikan kode pada suster untuk mendorong brankar, dan memindahkan Yansen keruang operasi.

Setelah hampir 2 jam diruang operasi, akhirnya lampu merah didepan ruangan itu mati juga. Seorang dokter yang mengoperasi Yansen keluar dengan senyum terbit dibibirnya.

"Bagaimana keadaan teman kami dok?"

"Kalian tidak perlu khawatir, operasinya berjalan lancar, pelurunya juga berhasil dikeluarkan. Sebentar lagi dia akan kita pindahkan diruang perawatan, kalian bisa menunggunya disana." Jawab sang dokter.

"Terima kasih dok. Maaf tadi sudah sempat membuat anda takut," ucap Zavier.

"Tidak apa. Tapi sebaiknya simpan senjata anda dari jangkauan mata pasien yang lain, benda itu bisa membuat mereka panik,"

"Baik dok."

Dokter itu kemudian berlalu pergi meninggalkan Zavier dan teman-temannya. Setelah menunggu beberapa saat kemudian, Yansen dibawa keluar dari ruangan operasi untuk dipindahkan keruang perawatan.

2. Pembantu Gratis

Zavier, Owen, dan Diego mengekor dibelakang para perawat yang sedang mendorong brankar. Yansen tampak baru merespon, setelah fungsi obat bius berangsur berkurang. Dan merekapun tiba disebuah ruang perawatan kelas vip.

"Stttttt"

Yansen mendesis saat pengaruh obat anastesi dilengannya sudah habis. Pria itu merasakan sakit berdenyut hingga terasa menyentuh tulangnya.

"Apa itu sangat sakit?" tanya Zavier.

"Sial! kenapa ini lebih sakit dari sebelum di operasi? apa dokter itu memiliki dendam padaku?"

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan, kalau dia ingin membunuhmu, mana mungkin dia mau mengeluarkan peluru itu dari tubuhmu?" ujar Zavier.

"Apa kau lapar? apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Owen.

"Aku tidak lapar, aku butuh minum. Tenggorokkanku terasa kering sekali." Jawab Yansen.

Diego meraih botol air meneral yang baru dia beli dari mini market seberang rumah sakit. Karena terlalu haus, air mineral 600 ml itu begitu cepat tandas tanpa sisa.

"Apa kamu punya sebotol lagi?"

"Hey...mana boleh berlebihan seperti itu? jahitanmu akan selalu basah kalau begitu," ujar Zavier.

"Sok tahu, kamu bukan dokter disini." Jawab Yansen.

"Tidak ada. Aku cuma beli satu botol itu," ujar Diego berdusta.

"Sial. Tenggorokkanku rasanya belum lega, tolong kamu belikan lagi untukku Diego."

"Ya nanti ya?"

"Nanti? kamu ini bagaimana? aku gatalnya sekarang, masa menggaruknya besok?" hardik Yansen.

"Terserah, kalau mau dua jam lagi aku belikan. Lagian kamu lagi sakit ini, jangan macam-macam, atau aku akan memencet lukamu," kata Diego.

"Kalian semua sialan. Lihat saja kalau aku sudah sembuh nanti,"

"Sekarang kamu lagi sakit, jadi bersikaplah seperti seorang pasien," timpal Owen.

Yansen menutup mulutnya dengan rapat. Terlalu banyak bicara, akan membuat dirinya bertambah haus.

"Oh ya, gadis kecil itu sudah sadar, dia ingin menemuimu," ucap Zavier.

"Aku tidak ingin bertemu dengannya. Gara-Gara dia aku jadi begini,"

"Mungkin dia merasa bersalah padamu. Apa kamu yakin tidak ingin menemui gadis kecil itu? dia sangat cantik dan manis, masih candy-candy," goda Diego.

"Maaf aku tidak tertarik dengan model lolypop seperti itu. Sebaiknya kalian suruh dia pergi, aku tidak ingin melihat wajahnya."

"Tapi dia sudah ada diluar pintu ini,"

Owen melirik-lirik kearah luar pintu, Evellyn yang masih mengenakan pakaian seragam rumah sakit, tampak berdiri diluar pintu untuk menunggu perintah.

"Kenapa kalian tidak mengerti juga, aku tidak ingin bertemu dengannya. Usir saja dia dari sini,"

"Tidak ada salahnya bertemu dengan gadis itu, kamu dengarkan saja apa yang ingin dia katakan. Setelah itu kamu boleh mengusir dia,"

Yansen menghela nafasnya, tenggorokkannya kembali kering karena terlalu banyak berdebat.

"Terserah!"

Akhirnya Yansen menyerah juga, dia ingin segera mengusir gadis itu yang dianggapnya pembawa mala petaka.

"Masuklah!"

Owen membukakan pintu untuk Evellyn. Gadis kecil itu tampak melangkah dengan ragu. Terlebih tatapan keempat pria itu hanya tertuju kepadanya.

"Ada apa?" tanya Yansen.

"O-Om. Eve mau minta maaf, gara-gara eve om jadi seperti ini."

"Artinya kamu sudah sadar, kalau kamu itu membawa kemalangan bagi orang lain?"

Evellyn menautkan jari jemarinya satu sama lain sembari tertunduk.

"Ba-Bagaimana kalau eve membayar kebaikkan Om, dan juga kemalangan Om ini?"

"Memangnya kamu punya apa? tadi malam saja kamu memohon bantuanku bukan?"

"Eve memang tidak punya uang untuk saat ini, bagaimana kalau eve membayarnya dengan cara lain?"

Diego, Owen, Zavier, dan Yansen saling berpandangan. Sebagai pria dewasa yang sering menjelajah banyak lubang, tentu otak mereka langsung traveling seketika.

"Heh. Ternyata ja*ang kecil," Yansen menatap sinis kearah Evellyn yang tampak kebingungan.

"Adik kecil. Apa kamu sudah biasa melakukan hal itu?" tanya Diego.

"Iya. Kalau dirumah aku sering melakukannya,"

"Apa? dirumah?" Diego, Owen, dan Zavier berteriak bersamaan.

"Kenapa kamu melakukannya dirumah? apa orang tuamu tidak mengawasimu?" tanya Zavier.

"Ibu tiriku selalu mengawasiku. Dia sangat senang saat aku melakukannya."

"Apa ayahmu tahu?" tanya Owen.

"Tahu. Tapi ayah sedang tidak berdaya, dia lagi sakit sekarang."

"Apa kamu tidak memilik saudara?" tanya Zavier.

"Ada. Saudara perempuan, anak dari ibu tiriku."

"Dia juga tahu kamu sering melakukan itu dirumah?"

"Tahu."

"Berapa uang yang kamu dapat?"

"Gratis."

"Gratis???"

Ketika teman Yansen kembali berteriak, hingga membuat Yansen berdecak kesal.

"Berapa jam kamu sanggup melakukannya dalam sehari?"

"Aku hanya istirahat saat akan pergi sekolah saja. Saat pulang kerumah, aku kembali melakukannya."

"Kejam sekali ibu tirimu itu, kamu dipaksa bekerja, sementara dia pasti menikmati hasilnya."

"Ya. Ibu tiriku selalu merasa puas dengan hasil kerjaku. Kalau kerjaku tidak beres, maka dia akan memberiku pelajaran."

"Zavier. Bisakah kamu membawa gadis kecil ini keluar dari sini? aku benar-benar pusing mendengar ocehan yang membuatku jijik itu."

Yansen menurup matanya dengan lengan, dan enggan menatap kearah Evellyn.

"Tapi Om, bagaimana dengan tawaranku tadi? saat ini aku tidak memiliki tempat tinggal lagi, semalam aku kabur dari rumah, karena ibu tiriku ingin menjualku. Eve janji akan bekerja dengan baik, sampai Om puas dengan hasil kerjaku."

"Astaga Zavier...aku benar-benar bertambah pusing mendengarnya. Seret dia keluar!"

Zavier menuruti permintaan Yansen, dan menarik tangan Evellyn perlahan.

"Om dengarkan aku dulu Om, aku tidak bohong. Kerjaku sangat bagus, aku bisa semua pekerjaan rumah. Mulai dari masak, nyuci, ngepel, cuci piring, dan merapikan tempat tidur. om tidak perlu membayarku, aku cuma butuh tempat tinggal," teriak Evellyn.

Zavier, Owen, Diego dan Yansen kembali berpandangan. Sepertinya mereka baru mengerti, kalau tadi mereka sudah salah faham dan salah mengartikan ucapan Evellyn.

"Lumayan juga punya pembantu gratis. Hitung-Hitung mengurangi biaya hidup. Lagipula aku butuh orang merapikan rumahku," batin Yansen.

Melihat ada keraguan diwajah Yansen, Evellyn kembali meyakinkan pria itu agar mau menerima dirinya jadi pembantu dirumahnya.

"Eve janji tidak akan membuat ulah, eve benar-benar ingin bekerja. Minimal sampai Eve bisa mandiri dan mencari kerja sendiri."

"Baiklah. Aku terima kamu jadi pembantu gratis dirumahku selama satu tahun. Kalau pekerjaanmu bagus, tahun berikutnya aku akan mulai membayar gajimu."

"Sungguh Om?" Evellyn tersenyum senang.

"Emm."

"Ah...senangnya, om baik banget sih om?"

"Aku bukan om mu. Panggil aku tuan, mulai hari ini aku adalah majikkanmu."

"Baik tuan." Jawab Evellyn semringah.

"Sekarang tugas pertamamu, kamu ganti pakaianmu, terus turun! belikan aku air mineral botol besar," perintah Yansen.

Diego menepuk dahinya, karena misi mencegah Yansen minum berlebihan dirasa akan gagal.

"Duitnya?" Evellyn menadahkan tangan.

"Zavier. Berikan uang padanya,"

Zavier terpaksa mengeluarkan uang dari dompetnya, Evellyn senyum semringah saat mendapat perintah dari majikan barunya itu. Evellyn kemudian melenggang pergi, sementara itu Zavier, Owen, dan Diego menatap Yansen yang berpura-pura tidak melihat, bahwa ketiga temannya itu sedang menatap kearahnya.

3. Merawat Majikan Galak

Sudah hampir seminggu Yansen mendekam dirumah sakit, tubuhnya mulai terasa sakit semua karena terlalu lama berbaring dan tidak melakukan aktifitas apapun.

"Zavier. Aku sudah merasa baikkan sekarang, tubuhku jadi terasa sakit kalau terlalu lama berbaring disini."

"Jadilah pasien yang patuh, sebelum dokter memperbolehkanmu pulang, jangan harap kami akan membawamu pulang."

"Ya sudah. Aku kabur saja kalau begitu,"

"Maka aku akan membuat tanganmu yang lain jadi sasaran peluruhku. Kamu akan bertambah lama disini,"

"Sudah belum ngupas jeruknya? ngupas jeruk aja pakai lama." Bentak Yansen yang melampiaskan kekesalannya pada Evellyn.

"Maaf tuan, bukankah anda ingin jeruk yang benar-benar bersih dari seratnya?" tanya Evellyn.

"Jangan cerewet. Cepat suapi aku,"

Evellyn segera memasukan ruas-ruas jeruk satu persatu kedalam mulut Yansen.

"Cukup!"

Yansen menolak untuk disuapi lagi, setelah menghabiskan setengah dari jeruk yang Evellyn kupas.

"Kemana Owen dan Diego?" tanya Yansen.

"Mereka sedang mengurus markas dan menghandle perusahaanmu."

"Makanya cepat keluarkan aku dari sini, agar kalian tidak terlalu repot,"

"Kami sama sekali tidak merasa repot. Kami akan merasa repot kalau kamu memaksa pulang, sementara tanganmu belum sembuh. Itu akan menyusahkan!"

"Aku kan sudah ada dia, dia yang akan merawatku saat dirumah," Yansen menunjuk Evellyn tanpa melihat kearah gadis kecil itu.

Zavier hanya bisa menghela nafas panjangnya. Dia tahu betul sosok Yansen memang terkenal keras kepala sejak dulu.

"Baiklah. Aku akan bicarakan dulu dengan doktermu, kalau dia mengizinkan, sore nanti kita akan pulang."

"Nah...begitu dong, jadi aku kan agak semangat dikit menjalani hidup," ujar Yansen.

"Ayo suapi lagi jeruknya," sambung Yansen.

"Pria ini. Selain galak, dia juga sangat menyebalkan!" batin Evellyn.

"Jangan mengutukku. Kualat nanti," ucap Yansen.

"Si-Siapa yang mengutuk tuan?" Evellyn terbata.

"Awas saja kalau kamu berani mengumpatku, akan kugantung kamu ditiang monas," ketus Yansen.

"Ti-Tidak berani tuan."

Zavier lagi-lagi menggelengkan kepala saat melihat Yansen yang suka sekali menindas dan membuat Evellyn ketakutan.

"Kapan kamu akan bicara dengan dokternya?"

"Sebentar lagi. Sekarang sudah waktunya makan siang, mungkin dokternya juga butuh makan dan istirahat."

"Kalau begitu ajak dia bersamamu, aku tidak mau dia berpikir aku majikan yang tidak punya hati nurani. Berikan dia makanan yang layak,"

Zavier memberikan kode pada Evellyn dengan anggukkan kepalanya. Evellynpun mengekor dibelakang Zavier.

"Jangan masukkan hati semua kata-katanya. Dia memang galak, tapi aslinya baik kok," ujar zavier.

"Tidak masalah tuan. Saya mengerti, mungkin tuan Yansen merasa kesal karena terlalu lama berada dirumah sakit."

"Baguslah kalau kamu mengerti. Kalau dia marah-marah padamu diamkan saja, nanti juga baik sendiri."

"Ya tuan."

"Satu lagi. Jangan panggil aku tuan, panggil aku kakak saja."

"Ya Kak."

"Kamu mau makan apa?"

"Apa saja kak. Yang penting perut ke isi."

"Biasanya anak seusiamu paling suka makan junkfood. bangaimana kalau kita makan di MD?"

"Boleh."

Zavier membukakan pintu mobil untuk Evellyn. Evellynpun menerima kebaikkan Zavier dengan sepenuh hati.

"Berapa usiamu?" tanya Zavier saat mereka sudah membelah jalan.

"17 tahun kak."

"Masih sangat muda. Apa sekolahmu sudah selesai?"

"Belum. Saat ini aku baru masuk kekelas 3."

"Jadi bagaimana dengan sekolahmu?"

"Aku tidak tahu. Mungkin sudah nasibku harus putus sekolah, masalahnya aku tidak mungkin kembali lagi kesekolah itu. Ibu tiriku pasti akan menemukanku."

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Ibu tiriku seorang pecandu judi kasino. Dia bisa mengahabiskan uang puluhan juta dalam sekejap. Dia terlilit hutang judi, dan bermaksud ingin menjadikanku untuk membayar hutang-hutangnya. Itulah sebabnya aku kabur dari rumah."

"Ckk...kenapa tidak ibu tirimu itu saja yang menjual dirinya. Kejam sekali," gerutu Zavier.

"Terus terang aku sangat takut kak. Aku takut ibu tiriku menemukanku dan menjualku,"

"Kamu tenang saja. Selama kamu dalam pengawasan Yansen, semuanya akan baik-baik saja."

"Tapi sepertinya tuan Yansen tidak terlalu menyukaimu, bahkan cenderung seperti membenciku. Apa aku bisa bertahan lama dirumahnya?"

"Kamu tenang saja. Kalau Yansen mengusirmu, kamu bekerja saja dirumah kakak."

"Sungguh?" Evelly tersenyum senang.

"Of course."

"Makasih ya kak. Kadang orang lain benar-benar terasa seperti saudara. Tapi keluarga sendiri malah seperti orang asing."

"Sudahlah jangan bersedih. Nanti aku akan bicarakan tentang sekolahmu pada Yansen."

"Jangan kak. Nanti dia marah dan memecatku. Lagian tidak masalah tidak sekolah. Selesai sekolah juga tidak akan lanjut lagi. Jadi sama saja kan?"

"Tentu saja beda. Minimal kalau kamu sudah tamat sekolah, kamu sudah mempunyai modal untuk melamar pekerjaan setelah kamu keluar dari rumah Yansen."

"Baiklah aku menurut saja."

Zavier membelokkan mobilnya kearah tempat yang ingin mereka tuju. Mata Evellyn berbinar saat melihat potongan-potongan ayam yang tampak garing dan gurih.

Zavier memesan satu ember ayam goreng dan juga dua gelas minuman untuk Evellyn.

"Ini untuk Eve semua kak?"

"Habiskan. Kakak tahu kamu menyukainya bukan?"

"Emm." Evellyn mengangguk cepat.

Evellyn yang kelaparan memakan ayam itu dengan lahap. Sementara itu Zavier hanya memakan setangkup hamburger untuk mengisi perutnya.

"Kakak tidak suka ayam?"

"Suka. Tapi tidak dimasak dengan cara seperti ini,"

"Takut kolesterol ya?"

"Emm."

"Kakak masih muda. Belum tentu kena penyakit yang aneh-aneh."

"Apa menurutmu kakak terlihat masih muda?"

"Ya. Aku bisa menebak, usia kakak pasti sekitar 25."

Zavier terkekeh saat mendengar jawaban polos dari Evellyn.

"Sayangnya tebakkanmu meleset jauh. Kami berempat seumuran, tahun ini kami semua genap berusia 34 tahun."

"Ah...kakak ngarang nih,"

Zavier tiba-tiba mengelurkan dompetnya dan memperlihatkan kartu identitasnya.

"Oh iya bener. Kok bisa?"

"Apanya?"

"Kok bisa nggak kelihatan tua? apa kalian melakukan operasi di negeri tetangga?"

"Tidak. Semuanya masih asli alias orisinil."

"Benar-Benar ajaib. Padahal kalau kakak ngaku masih sekolahpun, aku pasti akan langsung percaya."

"Ah...kamu ngeledek ya?"

"Biar sering ditraktir ayam goreng."

Evellyn cekikikkan. Setelah kenyang, Evellyn membawa sisa ayamya kerumah sakit. Dia tidak mungkin menghabiskan semuanya sendirian, karena potongan ayamnya terlalu banyak.

"Apa itu?" tanya Yansen.

"Ayam goreng."

"Kamu mengajaknya makan junkfood?"

"Eh? bukan tuan. Ini aku yang ingin makan ayam goreng."

"Aku tidak bertanya padamu," ketus Yansen.

"Sesekali. Dia menyukainya, makanya aku mengajaknya kesitu."

"Ini terakhir kalinya. Aku tidak mau punya pelayan yang tidak memperhatikan kesehatan."

"Ba-Baik tuan."Jawab Evellyn.

Evelly melirik kearah Zavier. Dua orang itu saling berbagi senyum.

"Kupaskan aku apel!"

"Baik tuan."

Evellyn mulai mengupas buah apel untuk Yansen. Sementara itu Zavier pergi keruang dokter untuk membicarakan kesehatan Yansen. Setelah bicara cukup lama, akhirnya dokter mengizinkan Yansen pulang keesokkan harinya. Jangan ditanya betapa kesalnya Yansen, karena dia menginginkan kepulangannya pada hari ini juga. Tapi dia harus bersabar, paling tidak dirinya akan bebas keesokkan harinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!