Maria mengangkat wajah, menaruh tangan di sisi kening untuk melindungi mata dari cahaya matahari siang. Ia menatap ke arah pohon, tahu bahwa orang yang ia cari pasti ada di dahan tertinggi, bersembunyi di sana untuk menghindar dari tugas-tugas yang diberi keluarganya.
"Jose!" Maria berseru, tangannya terjulur ke depan, berusaha menggoyang-goyangkan pohon tilia dengan percuma. Jangankan batang, bahkan dahannya pun tidak bergerak. "Jose, turun!" serunya lagi.
Terdengar suara gesekan daun dari atas, tapi tidak ada gerakan lebih lanjut. Suasana masih hening. Hanya sesekali terdengar suara desau angin.
"Jose, ini aku! Turun!" Kali ini Maria mengangkat rok panjangnya sampai betis, menendang pohon di depannya dengan penuh semangat.
"Itu bukan sikap tuan putri yang baik!" sebuah suara terdengar geli dari atas pohon.
"Kau juga tidak bersikap seperti tuan muda yang baik," sergah Maria, berusaha mencari di mana lelaki yang diajaknya bicara bergelantungan, tapi pandangannya tertutup dedaunan. "Aku bertemu pamanmu tadi! Dia mencarimu!"
Ada suara gemerisik lagi dari atas, kemudian sesuatu ambruk jatuh di sisi Maria, membuat gadis itu bergeser satu langkah. Ia tidak kaget. Sesuatu yang jatuh itu—yang adalah lelaki seumuran dengannya—sudah sering meloncat ke sampingnya dengan cara barusan. Umur mereka hanya selisih satu tahun. Jose lebih tua darinya dan baru saja melewatkan ulang tahun ke-23 Agustus lalu.
"Maksudmu Paman Marco?" Jose mengangkat tubuh, merapikan rambut hitam berombaknya dengan jari. Di tangannya yang lain terdapat buku tebal. "Kau tidak memberitahunya aku ada di sini, kan?"
Maria menarik satu helai daun yang tersangkut di bahu lelaki itu. "Kurasa dia sudah tahu."
"Kalau begitu biar saja. Paman bisa datang sendiri ke sini kalau mau." Jose menjatuhkan diri ke atas rumput hijau pendek yang merapat di bawah mereka. Buku yang dibawanya ia jatuhkan ke sisi tubuh. Maria mengikuti contoh Jose, ikut berbaring di samping lelaki itu. Ini adalah tempat favorit mereka sejak kecil karena sejuk dan dekat dengan danau. Tujuh meter dari mereka, sebuah danau jernih kebiruan membentang luas.
"Kudengar mereka memilihkan banyak perempuan untukmu." Maria memejamkan mata, menyikut sedikit lengan Jose agar lelaki itu bergeser dan memberi tempat teduh untuknya.
"Ya, perempuan-perempuan yang bahkan belum tahu caranya berdansa."
"Tidak masalah. Kau saja yang mengajari. Mendidik sendiri calon pengantinnya kan impian para lelaki?"
Jose tertawa. "Aku saja terlalu malas untuk mendidik diri sendiri."
Maria mengulum senyum. "Yah, itu benar," katanya, makin keras menyikut karena Jose tidak mau bergeser. "Tukar tempat! Di sini panas."
"Kau harusnya pakai mantel dan pakaian yang lebih ringkas, bukannya gaun seperti itu," Jose menggerutu, tapi akhirnya bangun dan bertukar tempat dengan gadis di sampingnya. "Mana Susan? Kau datang bersamanya, kan?"
"Gaun yang ini tidak gampang kotor," kilah Maria. "Susan? Di rumah. Kenapa? Kau ingin main dengannya?"
Susan adalah dayang Maria. Biasanya perempuan itu menemani Maria ke mana-mana. Jose menatap kawannya dengan ekspresi campur aduk. "Kalau ayahmu tahu putrinya pergi sendirian menemui lelaki—"
"Dia akan mengomeliku," tukas Maria, "tapi kau kan Jose."
"Dan aku bukan lelaki?"
Maria tertawa mendengarnya. Ia tak mungkin tidur-tiduran di sisi sembarang orang. Namun keluarganya dan keluarga Jose sudah lama berkawan. Hubungan keduanya lebih mirip saudara ketimbang teman biasa. Tak akan ada yang berkomentar meski mereka hanya berduaan.
"Biasanya juga aku pergi tanpa Susan dan kau tak pernah protes," tambah Maria. Ia tersenyum simpul melihat wajah Jose. "Kau cuma ingin mengalihkan pembicaraan dari topik kita, ya. Bagaimana rupa gadis-gadismu? Cantik? Pilihan Paman Marco pasti cantik-cantik."
"Mereka bukan gadis-gadisku," koreksi Jose. "Biasa saja. Rambutnya merah semua. Lebih lama lagi melihat rambut-rambut merah itu, aku pasti buta warna."
"Omong kosong!" Maria tergelak, "Tapi rambut merah kan cocok denganmu. Aturannya seperti itu. Rambut merah sebaiknya menikah dengan rambut hitam."
"Tradisi aneh. Masa menikah karena warna rambut?" Jose melirik kepala berambut cokelat madu di sampingnya. "Kau sendiri? Kudengar bulan ini keluargamu menerima banyak pinangan."
"Ya, ada tiga yang datang. Tapi, oh ya, aku bukan datang untuk membahas ini denganmu!" Maria bangkit. Matanya berbinar. "Aku mendapat undangan ke rumah Sir William!"
"Kurasa lebih baik kau diskusikan ini dengan teman perempuanmu. Masalah pesta dansa dan sebagainya bukan keahlianku."
"Nanti ketahuan dong kalau aku suka pada Sir William?"
"Memang itu tujuannya, kan?"
Maria tertawa renyah. "Tidak mau," katanya. "Sainganku terlalu banyak." Ia mengedikkan bahu. "Lagi pula, semua orang sedang fokus dengan Misteri Bjork. Berita-berita muram berkeliaran. Kalau aku membicarakan Sir William dengan mereka, orang lain bisa mengira aku tak punya empati."
"Memang tak punya, kan?"
Maria mencubit lengan Jose, yang memberi reaksi kesakitan berlebihan.
Bjork adalah nama kota tempat mereka tinggal yang diapit oleh gunung vulkano mati dan lautan. Bjork adalah salah satu daerah otonomi di Kerajaan Albion, dengan Lieutenant Governor sebagai pimpinan administratif.
Sejak gubernur terakhir sakit sampai mangkat, keluarga Jose membantu penataan kota dari belakang. Sampai sekarang, kekuasaan Bjork masih dibiarkan kosong. Dewan rakyat dan dewan bangsawan masih berdebat mengenai status Bjork berhubung kota ini merupakan kota pelabuhan dengan banyak kepentingan.
Bahkan dengan segala hiruk pikuk tersebut, Bjork telah sejak lama dicekam kengerian. Anak-anak perempuan menghilang secara tiba-tiba. Awalnya, dua orang anak perempuan menghilang. Kemudian ada tiga orang menghilang. Pada akhirnya bahkan orang dewasa juga hilang—tak peduli jenis kelaminnya apa. Penyelidikan dilakukan, tapi tidak ada hasil. Masyarakat beranggapan bahwa ada gerakan perekrutan manusia atau perdagangan perempuan. Karena keresahan orang banyak makin tinggi, jam malam diberlakukan dan polisi patroli dilipat-gandakan mulai pukul lima sore ke atas. Hal ini sedikit banyak menimbulkan perdebatan, tapi karena takut keluarga mereka lenyap tanpa sisa, keributan hilang dengan sendirinya.
"Menurutmu sendiri ke mana mereka pergi? Apa benar semuanya diculik untuk dijual?" Maria bergidik. Ia menyandarkan tubuhnya ke pohon. Sekejap merasa dingin seolah ada yang menatap dengan penuh kebencian. Tapi tidak ada orang selain mereka berdua di sana. "Aku pernah baca tentang para perempuan yang dijadikan budak. Mereka disiksa dan diper—"
"Maria." Jose berguling, menumpu tubuh dengan kedua sikunya. Mata lelaki itu menyorot teduh. "Tidak akan ada yang terjadi padamu. Aku janji."
"Manis sekali, Jose." Maria tersenyum, sorot wajahnya tampak lebih lega. "Eh, sebentar. Bukan ini yang mau aku bahas! Kau selalu mengalihkan topik! Sir William mengundangku ke pestanya."
"Sir William yang mana, sih, maksudmu? Setahuku yang bernama William cuma si tua Billy penjaga makam."
"Sembarangan! Masa kau tidak tahu Sir William? Orang baru yang membeli rumah puri bekas gubernur!"
"Eh? Rumah itu dibeli?"
Maria menatap kawannya dengan heran. "Kau tidak tahu? Kurasa Paman Marco benar, kau seharusnya diseret paksa ke pergaulan sosial."
Jose tertawa. "Siapa yang bisa menangkapku? Aku mau lihat apa ada yang bisa mengejar jago kabur ini."
"Seharusnya itu bukan sesuatu yang kau banggakan, Jose."
"Aku bangga dengan kecepatanku."
"Ya, ya, kau sudah sering memamerkannya," sahut Maria sambil tersenyum. "Sekarang dengarkan aku dulu. Sampai mana kita tadi? Puri? Ya, aku diundang ke sana nanti malam jam tujuh. Kau tidak tahu soal ini berarti tidak diundang?" Ia memasang wajah kecewa. "Sebenarnya aku tidak boleh pergi kalau tidak punya pengawal."
Jose mengerti ke arah mana pembicaraan ini. "Kau minta aku jadi footman?"
"Escort!" koreksi Maria. "Kau kurang tinggi untuk jadi footman!"
"Orang yang kurang tinggi ini diperebutkan banyak perempuan, tahu."
"Perempuan yang mengincar hartamu?" olok Maria. Tapi kemudian ia menutup mulutnya dengan menyesal.
Keluarga Argent adalah keluarga tua yang bisa dibilang menjadi pondasi berdirinya kerajaan ini. Bahkan meski Jose hanya seorang putra keempat, tetap banyak keluarga berminat mengajukan diri untuk dipinang. Kebanyakan orang tersebut tentu saja mengincar koneksi dengan Marquis Argent yang merupakan paman Jose.
Tak banyak yang melihat Jose sebagaimana adanya lelaki itu berhubung Jose jarang tampil dalam pergaulan dan pesta. Alih-alih pergi ke ibu kota untuk bersosialisasi, Jose lebih suka bermalas-malasan di Bjork. Jose juga tidak pernah mau datang ke Gedung Diskusi yang digelar kaum elite sebagai lahan pergaulan dan ajang pamer kebolehan.
"Maaf," Maria berkata pelan ketika Jose hanya diam saja. Ia jadi merasa bersalah karena sudah kelewatan. Ada hal-hal yang tidak seharusnya dijadikan candaan, seakrab apa pun mereka. "Aku tidak bermaksud—"
Jose mengangkat wajah dengan cepat, menatap langsung ke dalam mata biru Maria, membuatnya sempat tersentak kaget.
"Kau bawa undangannya tidak?"
"Undangan apa?"
"Undangan dari Sir William. Kita tadi sedang membicarakan itu, kan?" Jose bertanya heran.
"Eh? A-aku bawa, sih ..." Maria menarik tas tangannya ke pangkuan, merogoh ke dalam salah satu kantong yang dikaitkan dengan kunci manis. Secarik kertas tebal dengan hiasan renda dan tulisan emas ia keluarkan dengan hati-hati dan serahkan pada kawannya.
"Ah, aku ingat undangan genit ini," Jose berkata sambil mengangguk. "Sir William. Pantas saja aku merasa pernah tahu nama itu. Setelah kuingat-ingat barusan, memang benar aku sudah pernah membacanya. Aku juga dapat undangan ini." Dia menyerahkan kertas itu kembali pada Maria. "Aku bisa menemanimu."
"Dari tadi kau diam saja karena sedang berpikir?"
"Mengingat," koreksi lelaki itu.
"Kau dengar apa yang kukatakan tadi, tidak?"
"Tentang apa?" Jose memiringkan kepala.
"Ah, sudahlah, tidak apa-apa." Maria menoleh sekilas ke belakang, tapi tidak menemukan apa-apa. Hanya ada rerumputan hijau dan jalan setapak panjang. Tak ada siapa pun.
"Kenapa?" Jose mendesak, penasaran. "Dari tadi kau menoleh terus ke belakang?"
Maria barusan merasakannya lagi, perasaan seolah mereka diawasi dengan sengit. Namun, ia menggeleng, merasa konyol sendiri. "Tidak apa-apa."
***
“Kudengar kau akan mengajak kencan putri keluarga Garnet?” Marco menyambut kepulangan Jose dengan pertanyaan itu.
“Dengar dari siapa?” Jose bertanya sambil lalu. Ia tahu tidak ada yang bisa disembunyikan dari telinga pamannya. Mungkin ada yang mendengar ketika ia dan Maria berbincang di jalan, kemudian orang itu menyampaikannya pada Marco.
Pamannya Marco sudah berusia 50an tahun, tetapi posturnya yang tinggi dan atletis tetap selalu tegap. Rambutnya putih perak berombak, wajah kerasnya dihias brewok yang sama putihnya. Meski sudah mencapai kepala lima, mata pria itu tetap saja setajam elang. Kali ini Marco memandangi Jose dengan kritis. “Tidak ada yang bisa disembunyikan di kota ini," ucapnya, “Semua orang diundang ke pesta orang baru itu. Kalau saja kau lebih memperhatikan surat-surat yang datang dan juga—“
“Dia sudah tiga bulan di sini, si William itu,” potong Jose cepat. Ia berjalan ke ruang tamu, memberi salam dengan sopan pada Marco yang duduk di sana.
“Sir William Bannet,” ralat pamannya. Ekspresi di wajah tirus itu berubah tajam. Ia menggerakkan tangan, meminta Jose duduk. “Dia tetap seorang Sir."
“Ya, maksudku Sir William.” Jose menyingkirkan anak rambutnya yang jatuh ke depan kening. “Paman juga diundang ke sana?”
Marco menggeleng. “Aku tidak akan datang.”
“Tidak akan datang atau tidak diundang?”
Marco tidak menjawab.
“Paman tidak diundang?”
Marco mengangkat sebelah alisnya. “Meskipun diundang, aku tidak akan ke sana, Jose. Tidak akan.”
Undangan pesta bukan sesuatu yang terlalu penting. Memang, semakin banyak undangan yang diterimanya akan menunjukkan status yang makin tinggi. Tetapi pamannya bukan tipe orang yang mempermasalahkan undangan pesta dari orang baru. Marco sudah cukup populer dan terhormat.
“Kenapa, Paman?” Jose tertawa. “Dia cuma orang baru yang tidak penting. Tidak perlu segusar itu.”
Marco menegakkan punggung, membuat tubuhnya jadi kelihatan seolah lebih besar dari pada semula. Pamannya selalu melakukan hal ini kalau mau bicara serius, dan Jose menangkap tandanya. Ia ikut menegakkan tubuh, siap mendengarkan.
Setelah agak lama mereka saling beradu diam, akhirnya Jose menyerah. “Apa?” Dia mengulurkan kedua tangan dalam posisi bingung. “Kupikir Paman mau menceritakan sesuatu.”
Marco mengerutkan kening. “Orang itu sering muncul di Gedung Diskusi.”
Gedung Diskusi terletak di pusat Bjork. Tempat itu mengadakan acara diskusi sebagai salah satu bentuk sosialisasi setiap seminggu sekali. Undangan disebar kepada para teknokrat dan juga bangsawan. Kegiatan tersebut bisa dibilang sudah menjadi budaya setempat, hiburan yang populer hingga banyak bangsawan dari penjuru kerajaan datang hanya untuk menonton atau berdebat. Jose jarang ke sana, tetapi ia tahu tempat itu.
“Sayangnya, dia selalu membicarakan hal yang menyeramkan. Hal-hal yang,” Marco diam sejenak. Biji matanya bergerak pelan ketika memikirkan padanan kata yang tepat. Akhirnya pria itu hanya mengatakan, “kontroversial,” dengan nada yang dingin.
“Kontroversial seperti apa?” Jose mulai tertarik.
Marco menggeleng. “Hal-hal yang buruk. Ide-ide yang tak pantas. Sebenarnya aku lebih suka kau tidak datang. Tetapi kalau harus menemani putri Garnet, itu lain soal. Lord Garnet pasti lebih tenang jika putrinya didampingi olehmu."
“Paman tidak suka pada orang itu karena ide-idenya?”
“Kita bisa menilai karakter seseorang dari ide yang mereka lontarkan.” Marco menyandarkan kembali punggungnya. Rambut putihnya yang berombak menyentuh sandaran kursi. “Kau harus banyak belajar soal ini, mengingat kau seorang Argent.”
Jose tersenyum kering. “Aku cuma anak keempat.”
“Lalu kenapa?”
Nasib anak keempat sudah jelas baik di kalangan atas maupun orang biasa. Anak pertama keluarga bangsawan akan mewarisi nama dan usaha keluarga, anak kedua mendapat sedikit bagian, anak ketiga dan keempat bisa dibilang hanya pembantu.
“Aku tidak bisa tidur semalam,” Jose berkata, mengalihkan topik.
“Itu alasanmu lari dari tugas pagi ini? Untuk istirahat siang di pohon?” Marco menaikkan sebelah alis.
Jose tertawa, sudah menebak pamannya tahu di mana ia sembunyi. “Maaf soal itu. Aku tidak lari begitu saja, kok. Segala yang Paman minta aku kerjakan sudah hampir beres." Ia menambahkan cepat sebelum ditegur, “tapi aku memang tidak bisa tidur. Kuda-kuda ribut sepanjang malam, aku terganggu.”
“Aku tidak mendengar apa-apa.”
“Kamar Paman ada di sayap timur, tentu saja tidak dengar. Dari kamarku kedengaran sangat jelas, aku sampai melihat keluar.”
“Lalu?”
“Lalu?” balas Jose heran.
“Kau jadi melihat ke luar, kan?” Marco bertanya. “Apa yang membuat mereka ketakutan?”
“Entahlah, aku cuma berusaha menenangkan mereka.”
“Tidak menyuruh Higgins?”
Higgins adalah pengurus kuda Keluarga Argent.
“Dia tidur, aku tidak bisa membangunkannya.”
“Oh, bagus,” Marco tertawa dingin. “Kenapa tidak dia saja yang jadi putra keluarga Argent dan kau pengurus kudanya?”
“Dia tidak bisa dibangunkan, aku sudah memanggilnya.” Jose meraih koran yang tergeletak di depan meja. “Mungkin dia kelelahan atau apa. Memaksanya menenangkan kuda dengan kondisi seperti itu, badannya cuma akan disepak sampai remuk. Kuda itu binatang yang pintar.”
“Sekarang kau mengajari pamanmu soal kuda?”
Jose meringis. Ia baru saja membuka mulut untuk membalas ucapan itu dengan ledekan ketika George, kepala pelayan di rumah itu, berjalan masuk dengan tergesa.
“Kenapa, George?” Marco bertanya heran melihat wajah pucat pria itu. “Kau sakit?”
“Bukan Tuan, Higgins yang sakit.”
“Sudah kubilang,” Jose berkata.
Marco menggeleng heran. “Periksakan saja, George. Panggil Dokter Rolan.”
“Tidak, Tuan. Sudah terlambat,” George menjawab lembut. “Higgins sudah meninggal.”
Jose dan Marco saling berpandangan.
***
“Mengerikan sekali, kenapa bisa?” Maria bertanya melalui sambungan telepon. Suaranya sedikit teredam, mungkin gadis itu bicara dengan tangan ditangkupkan pada telepon. “Katamu tadi darahnya habis? Padahal tidak ada luka? Kau serius?”
“Aku serius, Mary,” Jose ikut berbisik. Ia ada di kamarnya, sudah mengenakan jas rapi untuk pesta. “Padahal waktu semalam melihatnya, dia masih baik-baik saja. Memang tidak menjawab ketika kupanggil, tapi kulihat dia baik-baik saja.”
“Di rumahmu ada banyak polisi, dong?”
“Ada detektif datang, petugas paramedis dan semacamnya. Mereka hilir mudik cukup sibuk sejak jam sebelas tadi. Keluargaku ingin semuanya tetap jadi rahasia dulu. Kami tidak mau membuat keributan pada masa yang mencekam seperti ini.”
“Maksudmu, ini mungkin ada hubungannya dengan hilangnya orang-orang di Bjork?“
“Entahlah, tidak ada yang tahu.”
“Dan keluargamu memutuskan ini harusnya jadi rahasia, tapi kau malah memberitahunya padaku?”
Jose tidak menjawab. Selama beberapa menit hanya terdengar dengung telepon. Kemudian lelaki itu berkata pelan, “Aku akan menjemputmu sekarang.”
***
“Kau sungguh-sungguh hanya pergi ke sana bersama Jose kan, Sayang?”
Maria mengangguk untuk kesekian puluh kalinya sore itu. Ia sudah siap, sudah berdandan, dan hanya tinggal menunggu Jose datang. Ibunya menemani menunggu di ruang tengah, wajah wanita itu dipenuhi kecemasan. Suasana kelam Bjork membuat banyak orang tua jadi protektif pada anak-anak mereka. Terlebih Keluarga Garnet.
Kalau saja bukan karena pendampingnya malam ini adalah Jose, Winona pasti sudah menyuruh putrinya memilih antara pergi pesta atau melihat ibunya gantung diri. Winona, istri Marquis Garnet, bertubuh ringkih dan sering sakit-sakitan.
Tadinya Marquis Garnet hanya ingin istrinya menghirup udara laut di Bjork, kemudian kembali ke Garnet saat sudah sehat. Namun, kondisi Winona justru memburuk. Khawatir istrinya tak akan kuat menempuh perjalanan panjang ke Garnet, Marquis Garnet membuat tempat tinggal kedua di Bjork yang tak bertuan.
Keluarga Argent yang menjadi wali sementara kota tersebut adalah kawan lama keluarga Garnet, jadi Marquis Garnet cukup tenang.
Winona berteman akrab dengan Renata, ibu Jose. Keduanya berkali-kali meminta Maria mempertimbangkan Jose sebagai tunangan, tetapi Maria selalu punya alasan untuk mengelak. Semua alasannya kebanyakan benar. Jose tidak cukup bertanggung jawab. Pemuda dua puluh tiga tahun itu lebih suka main-main daripada bicara serius. Sebagai sahabat pasti menyenangkan, tetapi tidak untuk pasangan hidup. Maria menginginkan seorang pria yang bisa lebih diandalkan, lebih mampu menjadi gantungan hidupnya.
Pria yang, Maria berpikir-pikir, seperti Sir William.
Ia berpapasan dengan pria itu di jalan. Ah, ralat. Ia hanya melihatnya lewat. Pria yang berambut pirang, bermata biru, suaranya ramah dan manis, mengucapkan salam dan mengangkat topi pada setiap orang yang kebetulan bertatapan mata dengannya. Saat melihat matanya, Maria merasa seperti mereka sudah lama bertemu, sudah ditakdirkan bersama. Jantungnya berdegup lebih kencang dan napasnya bahkan berhenti beberapa detik. Ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Sensasi ini terasa ... aneh.
Maria baru saja memulai lamunannya tentang awal perkenalan dengan pria berambut pirang yang sopan itu ketika seorang pelayan menginterupsi, menyampaikan bahwa mobil Jose sudah datang.
Setengah berlari, Maria berjalan menyambutnya di foyer. Rambut hitam lelaki itu disisir rapi ke belakang dan raut wajahnya sangat sopan—jenis ekspresi yang hanya diperlihatkan kalau tidak sedang berdua dengan Maria.
“Marchioness, lama sekali tidak melihat Anda,” Jose mencium cincin di jari Nyonya Garnet dengan sopan, lalu menunggu untuk dipersilakan mengangkat wajah.
“Jangan sungkan begitu, Jose. Kau sudah seperti putraku sendiri," Nyonya Garnet berkata gembira.
Khawatir akan muncul topik soal pertunangan lagi, Maria segera menyerobot pembicaraan dan menggeret Jose pergi, tidak memedulikan kerut tak senang di kening halus ibunya.
“Kau tidak perlu sekasar itu padanya, kan?” tanya Jose ketika mereka berada dalam otomobil. “Ibumu cuma mencoba ramah.”
“Apa aku sekasar itu?” Maria bertanya kaget. “Aku tadi tidak berpikir waktu menyeretmu pergi. Aku cuma … yah, ingin kita segera pergi dari rumah.”
“Yah, lumayan.” Jose mengangguk main-main padanya ketika mengganti perseneling. Meskipun punya supir pribadi, ia lebih suka mengendarai Tin Lizzie-nya sendiri. Keluaran yang paling baru bisa berjalan sampai empat puluh kilo per jam. “Pada ibumu maksudku, bukan aku. Kadang kita memang tidak merasakan betapa kasarnya perbuatan yang kita lakukan pada orang lain. Kita pikir semuanya sudah biasa terjadi dan sudah wajar.”
“Wow, kau jadi bijak begini karena ibuku?” Maria mulai berpikir bahwa tindakannya barusan mungkin memang terlalu kasar.
Jose menggeleng. “Aku teringat Higgins.”
“Ah, bagaimana perkembangan kasusnya?”
“Bukan kasusnya, maksudku aku.” Jose mendadak berubah muram. “Rasanya aku tidak memperlakukannya dengan baik. Aku menganggap hubungan kami sekadar atasan dan bawahan. Kalau kupikir-pikir lagi, apa aku pernah memperlakukannya dengan baik? Apa aku keterlaluan padanya? Apa yang dia pikirkan tentang aku?”
“Kau memperlakukannya dengan baik,” hibur Maria. “Kau tidak membangunkannya supaya dia bisa istirahat.”
“Itu masalahnya. Bagaimana kalau seharusnya aku membangunkan dia? Bagaimana kalau dia bisa selamat seandainya bangun?”
“Jose, kau menyalahkan dirimu sendiri.”
“Setengahnya memang tanggung jawabku.”
“Tidak, bukan kau yang mengisap darahnya,” Maria mencoba bercanda, tetapi kawannya sekarang sedang dalam suasana hati yang buruk sehingga bahkan tersenyum pun tidak bisa.
“Dia ada di bawah lindunganku.”
“Di bawah lindungan orangtuamu.”
“Malam itu aku merasakan hal yang aneh!” Jose menoleh, wajah tenang dan sopan yang ada di hadapan Nyonya Garnet hilang digantikan seraut ekspresi putus asa seorang pemuda. “Kuda-kuda berisik setengah mati sampai aku tidak bisa tidur! Higgins pengurus kuda! Binatang-binatang itu memberi kode untukku, mencoba menarik perhatianku agar menolong Higgins. Tapi apa yang kulakukan? Tidak ada. Aku tidak menyadarinya. Dia tidur di pondoknya, aku melihatnya lewat jendela, dia tidur di atas meja. Tapi aku tidak membangunkan dia. Apa yang kulakukan?”
“Kau tidak tahu apa yang akan terjadi, Jose.”
“Jendelanya terbuka tapi aku tidak menganggap itu hal yang besar!” Mereka berbelok ke daerah yang lebih tinggi, tepat ke arah puri gubernur yang lama tinggal. “Aku cuma mengintipnya sekilas lalu kembali tidur! Bukankah aku juga membunuhnya? Aku juga punya andil karena sudah tidak peduli.”
“Jose, kurasa kau sedang kacau.”
“Tidak, aku cuma sadar bahwa mungkin ini juga yang terjadi di Bjork! Bukan sesuatu yang misterius yang membawa pergi orang-orang itu. Bukan apa-apa selain ketidakpedulian kita semua. Perasaan kelewat nyaman yang membuat kita mengangap remeh hal-hal kecil!”
“Jose, ada apa denganmu?” Maria melotot. “Kita mau ke pesta dan kau malah bermuram durja?”
Jose memutar kemudi, gantian menatap Maria dengan kesal. “Dan ada apa denganmu!? Ada orang mati tapi kau tidak merasakan apa pun? Dari dulu kau memang selalu begini! Tak peduli pada penderitaan orang kalau kau tak kenal dengannya!"
“Kau mau bilang aku tidak punya hati?"
“Wow, bukan aku yang mengatakannya. Kau mengambil kesimpulan itu sendiri.”
“Cukup! Ini mulai menyebalkan!” Maria memalingkan wajah. Kedua matanya berkaca-kaca.
Jose menarik napas perlahan, lalu berkata lembut, “Maafkan aku, Mary. Tidak bermaksud jadi orang yang menyebalkan buatmu. Aku cuma merasa ... gelisah, kurasa.”
“Aku tahu." Maria mengusap sudut mata dengan hati-hati, mencegah supaya riasannya tidak rusak. “Aku juga minta maaf.”
Jose menepuk singkat punggung tangan Maria. Mobil berjalan mulus melewati gerbang besi raksasa yang melindungi puri tujuan mereka. Jose menelan ludah, mendadak merasa bulu kuduknya merinding. Namun perasaan itu ditepisnya kuat-kuat.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!