Petang yang indah berganti malam, kelompok musisi jalanan yang terdiri dari 5 pemuda ganteng itu pun sudah menyelesaikan pertunjukannya. Mereka berkumpul di sebuah warung makan sambil beristirahat menikmati makan malam. Salah seorang dari mereka nampak tengah sibuk menghitung uang receh dan beberapa lembar uang kertas berbagai pecahan.
"Hasil kita lumayan dan kita bisa makan enak hari ini" ucap pria tadi yang bernama Dimas sambil tersenyum dan membagikan uang tersebut kepada teman temannya.
"Kalau Jovan ikut kita pasti dapat banyak, kan Jovan itu idola pengunjung khususnya emak emak ama ciwi ciwi gitu hehe..." kekeh seorang lagi yang bernama Aldi sambil menepuk pundak temannya yang tengah asik menikmati segelas es teh sebagai penutup makan malamnya.
"Betul itu...!!" sorak Dimas, Aldi, Dewa dan Yusuf hampir bersamaan seraya memandang ke temannya yang akrab mereka panggil Jovan itu.
"Ah... kalian bisa aja, bukan aku lah kan emang karena kalian semua itu jago mainin musiknya aku cuma nyanyi doang!" Jovan menimpali sambil tersenyum.
"Besok pagi kita main di Alun Alun, kebetulan ada acara disana, kau bisa ikut kan?" Dimas menoleh ke arah Jovan. "Besok pagi aku bisa sampai jam 12 siang saja soalnya besok aku ada kelas tambahan Bahasa Inggris di sekolah"
"Ayolah Van sampean mesti ikut, biar hasil kita lumayan seperti malam ini" Dewa mendesak Jovan berharap sahabatnya itu ikut ngamen dengan logat Jawanya yang sangat kental.
"Ok aku usahakan" Jovan menutup pembicaraan diantara mereka.
Setelah menyelesaikan makan malam, mereka semua berjalan menuju parkiran tak jauh dari warung makan itu, satu persatu mereka berlalu dengan motornya masing masing.
Jovan mengendarai motor matic nya pelan menuju ke sebuah rumah kost di sebuah gang tak jauh dari kampus universitas negeri yang sangat ternama di Yogyakarta. Jovan masuk ke kamar kost nya di lantai dua rumah kost tersebut. Setelah melepaskan gitar dari gendongannya, Jovan duduk bersandar di ranjang, tangannya meraih sebuah map dari meja di sebelah tempat tidurnya. Perlahan dibukanya map itu, sebuah sertifikat kelulusan dengan bertuliskan nama JOVANDRA MAHESA HADIWIGUNA bergelar magister tertera disitu.
Jovan menghela nafas panjang sambil memamdangi lembaran kertas itu. Sudah hampir 3 tahun dia meninggalkan ibu kota tempat kelahirannya untuk meraih gelar magister di Daerah Istimewa ini. Sambil kuliah Jovan mengisi waktunya dengan mengamen bersama teman temannya sekedar untuk biaya makan sehari hari selama tinggal di rantau. Sedangkan untuk biaya kuliah dan sewa kost dia dapatkan dari hasilnya menjadi guru Bahasa Inggris honorer di sebuah SD swasta yang cukup ternama di kota itu.
Ketampanan dan keramahannya serta keahliannya menarik perhatian anak anak membuatnya dijuluki Mr Handsom oleh anak anak didiknya.
Begitulah kehidupan Jovan selama 3 tahun terakhir semenjak dia memutuskan meninggalkan Jakarta dan mengejar gelar S2 nya di Daerah Istimewa
Jovan masih terus memandangi map ditangannya.
"Apa kabar ayah? .... Andra rindu ayah... Andra sudah lulus dan pengen pulang ke Jakarta Yah.. tapi sepertinya Ayah masih marah padaku" gumamnya dengan mata berkaca.
Andra, begitulah nama panggilannya semenjak dia kecil. Selama di Jogja semua orang terbiasa memanggilnya Jovan dan dia membiarkannya saja untuk menutupi identitasnya yang merupakan calon pewaris tunggal perusahan ekspedisi besar di negeri ini yaitu HW Logistic. Meskipun lahir di keluarga yang sangat berkecukupan sebagai pengusaha kaya raya, namun orang tuanya terbiasa mendidiknya hidup sederhana dan tidak berpoya poya seperti umumnya putra dari pengusaha kaya raya di Ibu Kota. Hal ini pula lah yang membuat Andra mampu hidup sederhana selama di Jogja bahkan dari hasil kerja kerasnya sendiri dia bisa membayar biaya kuliahnya yang tidak sedikit selama disana.
Siang yang cerah dan cuaca panas berpadu dengan kemacetan jalan jalan Ibu Kota, gedung gedung pencakar langit nampak berdiri angkuh menantang kerasnya kehidupan warga Jakarta.
Dari satu sudut jalan, sebuah gedung berlantai 35 dan bertuliskan PRIMA GO CONSTRUCTION nampak sangat megah terlihat dari kejauhan.
Seorang pria paruh baya nampak keluar dari lift menuju ke Lobby khusus perusahan kontraktor ternama di Jakarta tersebut, suasana lengang terasa disana tidak seperti lobby utama yang selalu penuh oleh lalu lalang pekerja pekerja dari berbagai perusahan berbeda yang berkantor di area gedung perkantoran itu. Hanya kantor utama Prima Go Construction yang berada di lantai 25 gedung itu dan memiliki lobby serta lift khusus hanya menuju lantai 25 untuk akses karyawan serta tamu tamu perusahan itu saja.
Saat tiba di lobby, tiba tiba pria itu merasakan seperti sesak di dadanya, pandangannya mendadak berkunang kunang dan tubuhnya ambruk ke lantai lobby tak sadarkan diri.
Saat yang bersamaan, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan lobby itu dan dari mobil itu turun seorang gadis cantik seraya berlari menghampiri pria yang jatuh pingsan tadi.
"Pak Totok ambilkan air di mobil cepat...." teriaknya kepada sopirnya. Pak Totok segera masuk kedalam mobil dan mengambil sebotol air mineral, sementara gadis itu masih disana menggoyang goyang kan tubuh pria yang tadi pingsan.
"Pak bangun pak...." ucapnya.
"Kenapa gak ada satu orangpun disini, where is the security?" Teriaknya keras.
"Ini airnya Nona Amelia" Pak Totok sudah kembali dengan botol air mineral ditangannya.
Amelia lalu meraih air mineral dan mencipratkannya ke wajah pria yang pingsan dihadapannya. Beberapa detik belum juga ada tanda tanda pria itu akan sadar dari pingsannya.
Seorang pemuda muncul dari balik pintu lobby dan bergegas menghampiri Amel.
"Nona ada yang bisa saya bantu?" Sekilas pemuda tadi memandangi wajah Amel yang terlihat panik.
"Cantik sekali, Non Amel putri tunggal Pak Firmanto ini" batinnya memuji.
"Heh Yogi buruan.... help me to bring him to my car, kita harus bawa dia ke klinik!" bentakan keras Amelia membuyarkan kekaguman Yogi terhadap gadis itu.
"Nona tahu nama saya?" Yogi heran bercampur gugup karena putri bos besar Prima Go Construction itu menyebut namanya.
"Heiii...jangan ge-er ya.. itu name tag mu" Amelia menunjuk name tag yang tergantung di leher pemuda itu. "Kamu karyawan perusahan papa ku kan? Ayo cepat bantu aku bawa Bapak ini ke klinik, dia harus cepat dapat pertolongan" lanjut Amel lagi.
Dengan dibantu Pak Totok, Yogi mengangkat tubuh pria itu ke mobil Amel.
"Maaf Non Amel saya tidak bisa ikut mengantarkan ke klinik, saya harus menyerahkan laporan kantor cabang ke Pak Benny"
Yogi menutup pintu mobil dan melangkah meninggalkan Amel menuju lift.
Dalam perjalanan menuju klinik Amel memandangi tubur pria yang pingsan di hadapannya. "Bapak ini berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasinya, sepertinya dia bukan karyawan papa, atau mungkin dia relasi bisnis papa, kenapa dia hanya sendirian saja tak ada assistant yang menemaninya?" Beragam pertanyaan muncul di benak Amelia.
"Pak Totok tahu siapa Bapak ini?" Amel bertanya ke supirnya.
"Maaf Non saya kan baru sebulan kerja disini, saya belum hafal semua karyawan atau relasinya Tuan Firman" kilah Pak Totok sambil terus memacu mobilnya menuju rumah sakit terdekat dari gedung Prima Go. Amel terus memandangi wajah pria dihadapannya.
"Walau sudah berumur bapak ini masih terlihat gagah dan tampan, kebayang waktu mudanya pasti dia idola para wanita" lamunan Amel tiba tiba terhenti ketika Pak Totok sudah memghentikan laju mobilnya di depan IGD Rumah Sakit Metro Medika. Amel bergegas turun dan beberapa orang paramedis sudah siap siaga membawa pria itu ke ruang IGD dan menutup pintu.
"Mbak tunggu di luar kami akan menangani pasien ini" seorang pria berpakaian dokter menahannya agar tidak ikut masuk.
"Tolong beri penanganan terbaik untuknya Dok" sahut Amel kepada dokter tadi yang kini sudah menghilang dibalik pintu ruang IGD.
"Mbak keluarga pasien kan? Mari ikut saya ke meja registrasi, kami membutuhkan beberapa data tentang pasien" Seorang suster menghampiri Amelia dan mengajaknya ke meja registrasi.
"Mbak tolong isi form ini!" Suster tadi menyodorkan selembar kertas dan pena kepada Amel.
"I don't know who is he, dia bukan keluargaku maaf aku tidak tahu bagaimana harus mengisi formulir ini" Amel nampak kebingungan.
"Baiklah kalau begitu... mbak tolong diselesaikan dulu administrasinya supaya kami bisa memberi penanganan untuk pasien". Mendadak mata Amel membulat mendengar apa yang dikatakan suster itu.
"What?? Administrasi? Bayar??"
"Hei... kamu belum tahu siapa wanita dihadapanmu ini? Aku ini Amelia putri dari Pak Firmanto, Presdir Prima Go Construction, apa kamu pikir aku akan kabur tanpa membayar hah?" Amel mengeprak meja registrasi dengan penuh kekesalan sambil mengacungkan telunjuknya ke arah suster itu.
Sontak suster itu menundukkan kepalanya "ma..maafkan saya Nona Amelia" tubuhnya bergetar "kalau atasanku tahu bisa bisa aku langsung dikeluarkan dari rumah sakit ini", wajahnya mendadak pucat menahan ketakutannya. Jangankan berani melakukan kesalahan kepada perusahan Prima Go, mendengar nama besar Firmanto saja semua orang di RS itu sudah sangat sungkan, Prima Go lah yang membangun gedung RS itu sekaligus menjadi investor disana, selain gedung RS, sudah sangat banyak gedung gedung megah di Jakarta yang sudah dibangun oleh Prima Go yang membuat Prima Go menjadi kontraktor besar dan ternama bahkan sampai seantero negeri ini.
"Papa... ya aku akan telpon papa!" Amel mengeluarkan ponselnya dari hand bag yang sedari tadi melekat di lengannya.
Di lantai 25 Gedung Prima Go, sebuah ruang kerja besar nan mewah dengan penataan furniture apik dengan benerapa pot bunga yang mengesankan ruang kerja yang sangat nyaman untuk seorang Presiden Direktur perusahan kenamaan.
Drettt...drettt....drettt.... ponsel Firmanto berdering lirih namun getarnya cukup keras mengguncang meja kerjanya. "Hallo sayang.... sudah sampai di Jakarta ya? Maafkan papa gak bisa jemput kamu di bandara"
"Pa.... Amel tadi sudah sampai di Gedung Prima Go, tapi ada sedikit masalah pa.." terdengar Amelia menyahut dari ponselnya.
"Masalah? Masalah apa sayang? Dan sekarang kamu dimana?" Firman nampak panik ketika mendengar putri kesayangannya dalam masalah.
"Sebaiknya papa segera kesini, RS Metro Medika, tadi ada Bapak Bapak tiba tiba pingsan di depan lobby Prima Go, Amel membawanya kesini, tapi Amel gak tahu siapa Bapak ini pa. Dia berpakaian rapi, usianya sekitar.... ahh..mungkin sebaya papa, kayaknya relasi papa" Amelia berbicara sambil merengek agar papanya menyusulmya ke RS.
"Baiklah... Papa segera kesana" Firman menutup telpon dan menyuruh sekretarisnya mempersiapkan kendaraan untuk mengantarnya segera ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit Firman segera menghampiri putrinya yang sudah menunggu di depan ruang IGD. Seorang pria berpakain dokter keluar dari ruangan itu, Amel dan Firman pun bergegas menghampirinya.
"Bagaimana keadaanya Dokter?" Tanya Firmanto.
"Pak Joddy masih belum sadar Pak Firman, sepertinya beliau kelelahan dan sedang banyak pikiran, tekanan darahnya sangat tinggi, tapi kami sudah memberikannya suntikan dan mungkin beliau akan masih tertidur dalam beberapa menit kedepan"
"Joddy? Joddy Hadiwiguna maksud anda Dok?" Firman menampakkan wajah khawatirnya begitu mendengar nama sahabatnya disebut oleh dokter tadi.
"Iya Pak Firman, Pak Joddy Hadiwiguna. untung saja Nona Amelia cepat membawanya kesini, kalau tidak, mungkin kondisinya bisa semakin buruk Pak"
"Boleh kami melihatnya ke dalam Dok?"
"Silahkan Pak Firman, tapi sebentar saja karena Pak Joddy akan kami pindahkan ke ruang perawatan. Pak Joddy sebaiknya dirawat beberapa hari disini sampai pulih" Dokter itu membukakan pintu ruang IGD lalu mempersilahkan Firman dan Amelia masuk.
"Joe... aku tidak tahu kalau kau sakit, tadi waktu di kantor kau kelihatan baik baik saja" Firman memegang tangan Joddy yang masih tertidur lemas di ranjang ruang IGD.
"Dia sahabat papa?" Amelia menyentuh punggung papanya dan bertanya.
"Iya dia sahabat lama papa, dia CEO perusahan ekspedisi HW Logistic, makanya dokter tadi langsung mengenalinya. Tadi dia ke kantor papa untuk urusan bisnis"
"Sebaiknya papa telpon keluarganya pa!"
Amelia dan Papanya keluar dari ruang IGD menuju ruang tunggu.
"Pa... apa papa sudah menghubungi keluarga Om Joddy?" Amelia melanjutkan pertanyaan yang belum dijawab oleh papanya.
Firman menghela nafas panjang "Om Joddy tidak punya siapa siapa disini sayang, kami sudah lama tidak berjumpa, waktu ke kantor tadi dia cerita kalau istri dan putrinya sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta dan kini sudah tenang disana. Sedangkan putra sulungnya sekarang kuliah di Jogja untuk mendapatkan gelar magisternya".
"Papa telpon saja putranya itu" Amel berusaha meyakinkan papanya.
"Menurutku putranya itu egois banget pa, masa dia tega ninggalin Ayahnya sendiri mengurus perusahannya disini!!" Amel melanjutkan kata katanya.
Firman kemudian memegang kedua pundak putrinya "Papa baru ketemu Om Joddy setelah sekian lama sayang..... pastinya papa belum punya nomor kontak putranya. Dan kau bilang dia egois meninggalkan ayahnya untuk kuliah di Jogja? Hei... apa bedanya denganmu sayang... kau meninggalkan papamu ini untuk pendidikanmu bahkan sampai ke Sydney, apa itu egois juga namanya hehe..?"
"Papa.... that is different case, Amel kuliah di Sydney kan karena permintaan Papa.... lagian tinggal satu semester lagi kan Pa... setelah lulus Amel akan tinggal di Indo lagi bersama Papa" Amelia bergelayut manja di pundak papanya yang sudah 6 bulan ditinggalnya ke luar negeri dan seperti biasanya setiap liburan winter di Australia dia akan pulang ke Indo menemui papanya.
Siang berganti sore dan cuaca cukup cerah di Jogja ketika itu.
Andra keluar dari sebuah ruang kelas dan bergegas meninggalkan sekolah tempatnya mengajar.
"Mas Jovan..!!" Terdengar seseorang memanggilnya dari halaman sekolah. Seorang gadis manis sudah berdiri di belakan Andra.
Arini adalah guru kesenian di sekolah itu, selain cantik dia sangat piawai menari tarian Jawa dan Nyinden. Kepalanya tertutup hijab berwarna krem dengan gamis warna senada. Senyum manis tersungging di bibirnya menambah aura kecantikannya.
"Arin.... kelasmu sudah selesai?" Andra kaget ketika Arin menghampirinya.
"Aku nebeng pulang ya Mas Jovan... tadi pagi motorku mogok jadi tadi Mas ku yang antar kesini..."
"Baiklah ayo berangkat...!" Andra menyalakan scooter matic nya dan Arini pun duduk dibelakangnya. Rumah Arini memang searah dengan tempat kost Andra dan apabila mereka menyelesaikan kelasnya di waktu yang sama, Arin akan sesalu mencari kesempatan untuk bisa nebeng di motor Andra.
Tiba di kost, Andra meletakkan buku dan tas laptopnya di meja, diraihnya ponsel di saku jaketnya yang sedari tadi dia rasakan bergetar seolah ada yang terus menerus menelponnya namun tidak diangkatnya karena dia sedang mengendarai motor. Andra membulatkan matanya saat melihat ada 10 panggilan tak terjawab di ponselnya.
"Telpon dari rumah, ada apa ya? Siapa yang menelpon? Ada hal penting kah?" pikiran Andra mulai tidak tenang, dia menekan nomor telpon rumahnya itu.
"Hallo kediaman Hadiwiguna disini, ada yang bisa dibantu?" Suara berat seorang wanita terdengar dari seberang sana.
"Bi Nur.... ini Andra, siapa yang menelponku dari rumah tadi Bi?"
"Bibi yang nelpon Den Andra... Bibi mau mengabari kalau Tuan Joddy, eee........Tuan Joddy masuk rumah sakit Den..." Bibi Nur pelayan di rumah keluarga Hadiwiguna itu bercerita dengan suara terbata karena takut tuan mudanya itu kaget mendengar berita Ayahnya masuk rumah sakit.
"Ayah sakit apa Bi?. sejak kapan... kenapa sampai masuk rumah sakit?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya yang bergetar penuh kekhawatiran.
"Den... sebaiknya Den Andra pulang ke Jakarta Den... beberapa hari terakhir Tuan memang terlihat kurang sehat, Tuan merindukan Den Andra" Bibi menutup telponnya.
Sejenak Andra terdiam dalam kegalauannya. Dia memang sudah sangat rindu ingin pulang namun bukan karena mendengar alasan ayahnya sedang sakit seperti ini.
Andra menatap layar ponselnya, perlahan dia buka aplikasi penjualan tiket online dan mulai mencari penerbangan tercepat ke Jakarta, ingin rasanya dia pulang malam itu juga.
"Sial... penerbangan tercepat ke Jakarta hanya ada besok pagi" gumam Andra sambil terus mencari cari tiket di situs situs pencarian tiket lainnya.
"Yah... besok pagi aku akan pulang", batinnya meyakinkan sambil mengkonfirmasi pemesanan tiketnya secara online.
Malam itu menjadi malam yang amat panjang bagi Andra, sedetikpun dia tidak mampu memejamkan matanya untuk tidur, pikirannya tertuju pada Ayahnya, dia sangat ingin segera pulang ke Jakarta.
Meskipun sudah pukul 5 pagi suasana masih sangat gelap ketika sebuah taksi online menjemput Andra di tempat kost nya untuk mengantarnya ke bandara. Andra mengambil penerbangan pertama menuju Jakarta. Tas ransel digendongnya, namun Andra tidak lupa membawa gitar kesatangannya bersamanya.
Andra tiba di bandara tepat waktu dan langsung check in, tak lama menunggu, panggilan boarding pesawat yang akan membawanya ke Jakarta pun sudah terdengar. Andra masuk ke pesawat dan mencari tempat duduk sesuai boarding pass nya.
Lalu lalang penumpang di dalam pesawat tak dihiraukannya, dia hanya berpikir sampai secepatnya di Jakarta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!