"Saya terima nikah dan kawinnya Kinan Adelia binti Husein Abdurrahman dengan mas kawin lima puluh gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi, sah?"
"SAH!"
...*****...
Adzan subuh berkumandang. Suara keran air dari kamar mandi yang ada di seberang kamar Kinan cukup mengganggu nyenyaknya tidur gadis yang belum lama lulus dari akademi keperawatan itu.
"Nak, udah subuh. Bangun gih, jangan sampai terlambat sholatnya." Suara itu samar terdengar oleh Kinan yang tampaknya sangat kelelahan. Matanya tadi terbuka, tapi sekarang tertutup lagi.
"Kinan Adelia. Bangun!" tegas Ibu Kinan yang akhirnya masuk ke kamar putrinya sambil menyipratkan air agar Kinan segera bangun.
"Eh, Ibu. Iya, ini Kinan bangun kok," ucap Kinan yang segera duduk sambil mengusap wajahnya.
"Bangun sholat."
"Iya, Bu." Kinan menguap berulang kali, sebenarnya ia masih sangat mengantuk. Tapi mengingat sholat subuh itu wajib, maka Kinan pun segera menghilangkan kantuknya dan segera mengambil air wudhu.
...*****...
"Papa, bangun udah subuh loh," ucap anak lelaki yang sudah rapi mengenakan peci berwarna hitam lengkap dengan baju Koko dan sarung. Ia sengaja membangunkan papanya yang masih tidur pulas di atas ranjangnya.
"Hhm," jawab pria itu hanya berdekhem.
"Papa, kok cuma hhm sih? Bangun ih, ayo kita sholat berjamaah."
"Rey sholat duluan, gih. Papa masih ngantuk, semalam lembur," kilah pria itu.
"Nggak mau! Rey mau sholat bareng Papa. Kata pak ustad kalau sholat berjamaah itu pahalanya lebih besar Papa!"
Tidak bisa mengelak, akhirnya pria itu pun bangun. "Iya iya, Papa wudhu dulu," ujarnya.
"Alhamdulillah, kemarin papa sholat subuh jam delapan pagi. Itu mah sholat Dhuha namanya, Pa."
"Itukan karena Rey nggak bangunin papa," jawab pria itu yang tidak mau disalahkan oleh anak lelakinya.
Raihan namanya, tapi lebih akrab disapa Rey. Putra seorang pengusaha bernama Dude Danuarta itu kini genap berusia 10 tahun.
"Huh dasar Papa. Selalu aja deh, Rey yang disalahkan," geleng anak lelaki yang kini sudah duduk di atas sajadah menunggu papanya selesai berwudhu.
...*****...
Kinan Adelia berumur 22 tahun. Lulusan akademi keperawatan yang meraih full beasiswa itu kini berkerja di sebuah rumah sakit swasta. Tentunya Kinan bekerja sebagai perawat di rumah sakit tersebut.
"Kinan, kamu udah umur berapa sih, Nak?" tanya Halimah sambil mengaduk nasi yang baru saja masak hingga asapnya mengepul keluar dari rice cooker.
"22 tahun, Bu." Kinan menjawabnya agak malas. Bukan pertama kali ibunya itu menanyakan umur, kali ini alasannya pasti sama. Pertanyaan ibunya tidak jauh dari seputaran, jodoh.
"Dulu ibu melahirkan kamu umur 22 tahun loh, Ki."
"Terus?" jawab Kinan sambil memutar bola matanya. "Kinan udah telat nih, Bu. Kinan berangkat dulu ya," ucapnya yang sudah tahu akan ke arah mana pembicaraan ibunya.
"Eh eh, kamu nih ya. Ibu kan belum selesai bicara, tahu nggak?"
"Ingat pesan almarhum ayah kamu, Nak. Kelak kalau ada pria Sholeh yang melamar, kamu jangan langsung menolaknya."
"Iya, Kinan tau kok apa yang mau ibu bicarakan. Jodoh itu ditangan Allah, Bu."
Ayah Kinan meninggal saat Kinan baru akan memasuki kuliah. Tepat di hari kelulusan Kinan, ayahnya mengalami kecelakaan. Nyawanya tidak tertolong saat Kinan baru akan memasuki dunia perkuliahan. Beberapa bulan ayahnya di rawat di rumah sakit, dan Kinan harus ikhlas, Ayahnya tiada.
Halimah menganggukkan kepalanya. "Bener, tapi Ibu cuma mau kasih tahu kamu. Jangan selalu menolak kalau ada yang datang melamar kamu. Nggak baik," ucapnya.
"Lalu Kinan harus menerimanya gitu? Meski Kinan ngga sreg?"
"Bukan gitu loh, Nak. Kamu kan bisa istikharah dulu, jangan langsung tolak. Takutnya jodoh kamu jauh kalau keseringan nolak lelaki Sholeh."
Kinan terdiam. Meski kata-kata ibunya tidak salah, tapi dia tidak sepenuhnya mengiyakannya juga.
"Ibu maunya gimana?" tanya Kinan dengan bibir maju ke depan.
"Kok Ibu? Itu kan terserah kamu, Nak. Cuma kalau ada lelaki baik yang datang, Ibu minta kamu jangan langsung menolaknya, bisa?"
Kinan tidak dapat berdebat tentang itu dengan ibunya. "Baik, nanti kalau ada yang datang lagi. Kalau ada loh, Bu."
"Ya jelas ada lah, Nak. InsyaAllah. Buktinya minggu depan ada yang bakalan datang loh ke rumah."
"Hah? Siapa?" tanya Kinan kaget.
"Ada deh, nanti juga kamu tahu. Kamu nggak mau sarapan dulu?" tanya Halimah pada anak satu-satunya itu.
"Ngga usah deh, Bu. Kinan minum teh anget udah cukup, belum lapar. Kinan berangkat dulu ya, takut telat. Assalamu'alaikum."
Halimah mengangguk sambil memberikan punggung tangannya untuk dikecup oleh Kinan. "Wa'alaikumsalaam. Hati-hati ya,"
"Iya, Bu."
Jalanan kota Jakarta selalu ramai. Bukan Jakarta namanya jika tidak mengalami yang namanya macet. Kinan harus menaiki angkutan umum menuju rumah sakit tempat ia bekerja.
Suara klakson mobil bersahutan sudah biasa didengar Kinan, meski kupingnya sedikit merasa bising mendengar keributan yang diakibatkan oleh jalanan yang macet.
Kedua mata Kinan terperanjat menatap orang yang ada di dalam mobil tepat di sebelah angkutan umum yang sedang dinaikinya.
Pria tampan.
"Astaghfirullah." Kinan sempat terpesona, sebagai insting perempuan normal pada umumnya. "Kayak artis Korea. Masya Allah sungguh indah ciptaan-Mu," ucapnya sambil berusaha mengalihkan pandangan.
Di sebelah pria itu terlihat seorang anak laki-laki yang sedang duduk tenang sambil memegangi sebuah buku di tangannya. "Apa itu anaknya, ya?" gumam Kinan yang entah kenapa malah penasaran.
Alih-alih menundukkan pandangan, Kinan malah ingin melihat pria itu sekali lagi.
"Ya Allah kenapa ya, kok kayaknya aku pernah ketemu gitu sama dia di suatu tempat. Wajah dia kayak nggak asing gitu," sambil terus mengelus dadanya. "Istighfar kamu, Kinan. Jaga hati, jaga hati," ucapnya berulang.
Batin Kinan terus bermonolog. Dia berpikir pria itu pasti sudah memiliki istri. Yang di sebelahnya itu pasti anaknya. Ya Allah kok bisa sih Kinan sempat kagum sama pria yang sudah memiliki anak. Tak henti-hentinya Kinan terus beristighfar, tidak seharusnya Kinan menatap pria itu. Kinan lupa menundukkan pandangan yang sulit ia elakkan. Pesona pria itu, Kinan terlena. Meski pada akhirnya dia tetap saja menyesali perasaan yang tidak seharusnya ada padanya sekarang.
"Assalamu'alaikum, Kinan." Suara lelaki yang tidak asing lagi bagi Kinan. Dia adalah Hamzah, dokter umum di rumah sakit tempat ia bekerja. Sudah sejak lama Hamzah menaruh perhatian pada Kinan. Tapi, gadis itu tidak pernah merespon lebih, hanya sekedar tegur sapa seperti biasa saja.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh." Kinan menjawab salam Hamzah dengan lengkap. Bukan tanpa alasan, karena jika Kinan menjawabnya pendek, maka Hamzah akan memintanya mengulang dengan salam yang lebih lengkap. Kinan sangat hapal dengan kebiasaan Hamzah.
"Udah sarapan?" tanya Hamzah.
Kinan tersenyum sekilas tapi tidak berlama-lama menatap Hamzah. "Udah kok, Dok."
"Alhamdulillah. Kalau gitu saya ke ruangan dulu ya."
"Baik, Dokter." Kinan mengangguk. Hamzah pun berlalu menuju ke ruangan kerjanya.
Kinan juga akan segera memulai pekerjaannya sebagai perawat. Saat ia sedang berjalan menuju ruangan loker. Sosok pria berjalan di depan Kinan. Pria itu tampaknya tidak asing bagi Kinan. Sepertinya mereka sudah pernah bertemu. Tepatnya, dirasa Kinan pernah melihat pria tersebut, tapi dimana ya? Kinan masih berusaha mengingatnya lagi.
"Astaghfirullah. Bukannya itu cowok yang ada di dalam mobil tadi?"
Kinan terperanjat.
"Permisi," suara pria itu membuat Kinan memaku di posisinya.
...______...
Assalammualaikum. Apa kabar? Udah lama banget, ya. Cherry nggak nulis di sini. Mungkin buat yang udah pernah baca cerita ini di aplikasi orange pasti ngga asing sama nama Kinan. Kali ini Cherry memutuskan menuliskan kembali cerita ini di sini, karena sewaktu di apk Orange masih menggantung, hehe.
Kabar baiknya, cerita ini sudah di kontrak oleh pihak Noveltoon.
Jadi, pembaca tidak perlu merasa cemas kalau cerita ini akan setengah-setengah lalu diboyong ke tempat lain. Sebab, ini sudah menjadi karya yang di kontrak dan insyaAllah akan di selesaikan sampai TAMAT di Noveltoon. Doakan saja agar cherry sehat selalu, aamiin.
Semoga pembaca terhibur dan mendapatkan sedikitnya hal bermanfaat setelah membaca ini.
Kunjungi juga social media aku ya.
IG : Cherry.apink
Tik Tok : Checherryyy
Wp/apk Orange : Myapplecherry
Dr*eame/*** **** : Apple Cherry
GN/Apk merah : Apple Cherry
Kb*m ada tapi aku gak nulis di sana, ada karya gak aku lanjutkan 🤣 efek kebanyakan APK.
Yang sedang aktif di sini, di orange dan di ungu 🥰😇
Khusus Takdir Cinta Kinan exclusive only Noveltoon ☺😚
Terima kasih ^^
Happy Reading.
^^^Xoxo Cherry^^^
^^^3/desember/2021^^^
...Mencintai dalam diam, senyatanya butuh pergelutan batin . Lantaran senyapnya seorang gadis tidak sekadar keheningan semata, melainkan jua tersemat sebuah asa. ...
...******...
"Permisi, Mbak. Ruangan dokter Angga dimana ya?" tanya pria itu pada Kinan yang malah membungkuk, gugup.
Namun menyusul mengangkat kepala sebentar untuk menjawab.
"Dokter Angga? Oh, bisa saya antar kalau mau," Kinan menawarkan bantuan.
Kenapa dengan dia? Dari tadi tidak mau menatapku? Pikir si pria yang tengah menggandeng anak lelakinya.
"Pa, jangan di liatin terus. Ingat, nggak boleh kata pak ustad." Anak lelaki itu lebih-lebih paham ketimbang papanya.
"Oh, iya ya? Papa lupa." Lagi-lagi pria itu membalas santai.
"Boleh, Mbak. Eh, Mbak ini suster ya?" tanya pria itu saat melongok seragam perawat yang dikenakan Kinan.
"Iya, Mas. Eh, Pak."
Kinan mendadak salting.
"Saya Dude, panggil aja Dude."
Dag-dig-dug.
Kinan berdebar mendengar pria itu akhirnya memberitahukan namanya.
"Oh, iya silahkan biar saya antar ke ruangan dokter Angga ya," angguk Kinan enggan berlama-lama terpesona.
Dude mengikuti Kinan dari belakang sambil memperhatikan gelagat Kinan yang aneh. Biasanya perempuan jika berhadapan dengannya tidak pernah menundukkan pandangan. Apa karena dia menggandeng Rey? Terkadang Dude sering merasa perempuan menjauhinya karena dia memiliki anak. Tapi jika begitu, terserah saja. Toh Dude hanya akan melihat wanita yang mau menerima kehadiran anak lelakinya.
"Silahkan, Pak. Ini ruangan dokter Angga." Senyum gadis bertudung rapih itu kepada Dude yang tak melepaskan gandengan tangannya pada anak lelaki di sisinya.
"Terima kasih, Suster."
"Makasih ya Kakak cantik," ucap anak lelaki di samping Dude.
Dude ikut tersenyum sambil mengacak rambut putranya. "Dasar kamu, bisa aja memuji cewek."
"Ih, kan memuji itu termasuk menyenangkan hati orang lain, Pa."
"Iya iya," jawab Dude menyerah tanpa perlawanan.
Kinan terkekeh pelan. Ternyata papa dan anak itu dua-duanya sama lucunya, batin Kinan.
"Iya, sama-sama. Nama kamu siapa?" tanya Kinan pada anak tersebut.
"Nama suster Kinan Adelia, iya kan?" ucap Dude yang baru saja mengetahui nama itu dari name tag yang menempel di seragam Kinan.
"Kok tau?"
"Ada di situ, Kak," tunjuk anak kecil itu pada name tag Kinan.
"Astaghfirullah, maaf." Kinan tertawa kecil. Sejenak ia berpikir Dude bisa menebak namanya, padahal kan tidak mungkin.
"Nama Kakak bagus, kenalin namaku Raihan. Panggil aja Rey."
Kinan memasang wajah mesem sembari mengangguk. "Oke, Rey."
"Ini papaku, namanya Dude. Dia jomblo loh." Rey tertawa, tapi lebih mirip nyengir.
"Hushh! Masih kecil kayak tahu jomblo itu apa!" tegur Dude.
Kinan tersenyum samar. Meski ia sudah mengetahui pria itu memiliki anak. Tapi entah kenapa Kinan tetap saja menaruh simpati pada pria tersebut. Kinan terus menerus beristighfar dalam hatinya. Ini kali pertama Kinan menaruh kagum pada seorang pria. Tapi, kenapa Kinan harus memiliki perasaan seperti itu pada pria yang sudah memiliki anak? Bagaimana kalau dia juga masih memiliki istri?
"Terima kasih suster Kinan. Kalau begitu saya dan anak saya masuk dulu," ujar Dude pada Kinan.
"Iya, sama-sama. Silahkan," jawab Kinan.
Dude dan Rey pun masuk ke dalam ruangan dokter Angga.
"Huhh..." Kinan menghela napas panjang.
"Ya Allah, gerah banget ya. Kenapa jadi terasa panas gini sih, kamu sih Kinan. Ingat jaga hati. Astaghfirullah. Kenapa ujian-Mu sungguh berat pada hamba. Kok bisa ada cowok gantengnya Masha Allah gitu ya. Kinan! Lupakan Kinan!"
Akhirnya Kinan memilih pergi untuk memulai pekerjaannya.
"Assalamu'alaikum, Dokter Angga."
"Wa'alaikumsalaam, Dude?"
"Hai, udah lama nggak ketemu, Dok? Gimana kabarnya?" sapa Dude akrab. Keduanya merupakan teman lama.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana? Wah, Rey ikut juga. Gimana Rey udah merasa sehat kan sekarang?" tanya Dokter Angga pada Rey.
"Udah, Dokter. Alhamdulillah," jawab Rey dengan senyum kecilnya.
"Alhamdulillah. Silakan duduk, Dude. Duduk ya Rey. Ada apa nih tumben kok kesini nggak ngabarin dulu?"
Dude pun langsung duduk. "Cuma silaturahmi aja. Sekalian mau memeriksakan Rey. Apa kondisi dia sudah benar-benar sembuh dari penyakitnya kemarin, Dok?"
Rey beberapa bulan yang lalu baru saja melakukan operasi pengangkatan tumor di otaknya. Untungnya tumor itu belum menjalar ke bagian yang lain. Sehingga tumor itu dapat di angkat. Tapi, belakangan Rey seringkali merasakan kepalanya sakit dan agak mengganggu. Karena itu Dude mengantar anaknya itu untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Berhubung waktu itu Dokter Angga yang menangani Rey, maka sekarang Dude kembali menemui dokter Angga.
"Rey ada keluhan? Apa kepalanya masih sakit?" tanya Dokter Angga.
Rey hanya terdiam. Sebenarnya dia tidak ingin di periksa lagi, tapi papanya terus saja memaksa Rey untuk diperiksa. Dude cemas kalau sampai terjadi sesuatu lagi dengan anaknya.
"Iya, Dokter. Hanya sedikit, tapi saya cemas kalau Rey masih sakit. Saya ingin Rey menjalani pengobatan kalau memang dia masih sakit." Dude menjelaskan pada dokter Angga tentang keluhan Rey padanya belakangan ini.
Rey tertunduk. Rasanya kepalanya memang tidak dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Tapi, kalau ternyata dia sakit parah bagaimana? Rey tidak mau membuat papanya susah.
"Baiklah, saya akan melakukan pemeriksaan terhadap Rey secara menyeluruh. Rey siap ya?"
Rey hanya mengangguk. Sesekali ia melihat ke arah papanya. Dude mengusap puncak kepala Rey. "Nggak apa-apa, demi kesehatan Rey juga," ucap Dude.
...****...
"Ki, besok malam ada acara nggak?" tanya Diana teman seprofesi Kinan.
"Besok malam? Aduh sorry Di, gue kan nggak pernah keluar malam. Tahu sendiri nyokap di rumah, pasti ngomel kalau gue pulang malam." Padahal bukan karena larangan ibunya, melainkan Kinan memang tidak suka keluyuran malam-malam. Menurut Kinan hal itu tidak etis dilakukan oleh seorang perempuan.
"Yah, sayang banget. Padahal gue pengen ajak lo ke pestanya temen gue. Di sana ramai banget, ngundang artis loh." Diana begitu antusias, tapi Kinan terlihat biasa-biasa saja.
"Sorry, Diana. Lo ajak yang lain yah." Angguk Kinan. "Gue balik duluan," ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah Diana.
"Huh, iya deh. Hati-hati ya Kinan."
"Ya, Assalamu'alaikum." Kinan tersenyum dan berlalu meninggalkan Diana.
"Wa'alaikumsalaam," jawab Diana.
Seperti biasa, Kinan pulang ke rumah menaiki angkutan umum seperti tadi. Sore hari macetnya Jakarta bertambah padat. Orang-orang berdesakan masuk ke angkutan umum, tapi Kinan sudah biasa. Di sebelahnya ada seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Ia terlihat kesusahan masuk ke dalam angkot karena terlalu banyak yang ingin masuk. Kinan merasa kasihan, ia pun akhirnya menggedor angkot tersebut. "Kasihan nih ada nenek yang mau masuk. Bu, bisa tukaran nggak? Biar nenek ini duduk di depan," ucap Kinan pada ibu yang duduk di samping supir.
Ibu tersebut melihat sekilas nenek yang memang tampak kesusahan duduk berdesakan di dalam angkot. Ia juga merasa tidak tega. "Saya naik angkot yang lain aja ya, soalnya penuh di sini. Nek, duduk aja di tempat saya," ucap ibu tersebut.
Nenek tadi tersenyum ke arah Kinan. "Makasih ya, Nak."
Kinan mengangguk. "Hati-hati Nek, turunnya pelan-pelan," ujarnya sambil membantu nenek itu turun dari angkot.
Kalau melihat nenek-nenek seperti itu, Kinan jadi teringat dengan neneknya yang entah ada di mana. Orang tua ibunya itu membuang Halimah yang adalah anak kandungnya sendiri. Kinan mengetahui hal itu dari cerita mendiang ayahnya. Ayahnya bilang nenek Kinan masih hidup sampai sekarang, dan Kinan adalah cucunya yang paling kecil. Tapi neneknya itu tidak mengakui Halimah sebagai anaknya lagi, karena memilih hidup bersama dengan ayahnya daripada ikut dengan neneknya yang melarang hubungan Halimah dengan ayah Kinan.
Akhirnya Kinan sampai di rumah. Ibunya sedang duduk sambil menyiram tanaman di depan rumahnya.
"Kinan, kamu udah pulang?"
Kinan mengangguk lalu meraih tangan ibunya. "Assalamu'alaikum." Kinan mencium punggung tangan ibunya, lalu duduk di kursi yang ada di depan rumahnya.
"Wa'alaikumsalaam. Masuk gih, ganti baju, terus makan."
"Iya, Bu. Kinan laper banget, tadi di rumah sakit belum makan," jawab Kinan sambil memegangi perutnya yang keroncongan. Ini semua karena kehadiran cowok ganteng yang bernama Dude. Apakah dia duda? Kinan masih saja bertanya-tanya dalam hati. Semoga aja duda, entahlah apa Kinan sudah gila? Segitu terpesonanya dia dengan sosok Dude. Sampai berharap pria itu adalah seorang duda.
"Kenapa nggak makan? Tumben biasanya kamu istirahat kerja pasti makan?" tanya Ibu Kinan.
"Em, itu. Bukan apa-apa kok. Udah ah, Kinan mau masuk, Kinan laper mau makan."
Gadis itu langsung masuk ke rumahnya karena enggan ibunya mengintrogasi dirinya dengan pertanyaan yang tidak henti-hentinya dilayangkan nanti.
...*****...
Setiap malam Kinan selalu meluangkan waktu untuk menemani ibunya mengobrol di
ruang tengah sambil menonton acara kesukaan ibunya, sinetron yang sedang hits dikalangan ibu-ibu. Tentu saja bukan karena Kinan menyukai sinetron, tapi itu semua karena ibunya yang memegang penuh hak remot televisi.
"Ki, gimana kerjaan kamu, lancar kan?"
"Lancar kok, Bu. Alhamdulillah," jawab Kinan sambil membuka toples kue kering yang ada di meja.
"Kamu nggak punya kenalan dokter atau apa gitu, yang lagi kamu incar?" tanya Halimah. Kinan mengambil kue kering di dalam toples lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Enggak, semua cuma Kinan anggap teman, Bu. Kenapa? Ibu pengen tanya kapan Kinan nikah lagi ya?" tebak Kinan yang sepertinya sudah paham betul arah obrolan ibunya.
"Enggak, Ibu kan cuma nanya. Lagian kamu pasti mau nikah kan, Ki?"
Mendengar ucapan ibunya membuat Kinan menelan kue di mulutnya tanpa mengunyahnya. Kenapa ia merasa bosan dengan bahasan menikah lagi menikah lagi. Semenjak usianya menginjak 22 tahun, ibunya memang lebih sering menanyakan tentang pernikahan terus menerus. Seolah tak bosan, padahal Kinan saja bosan ditanya terus.
"Iya Bu, Kinan mau nikah. Tapi nanti nggak sekarang," jawab Kinan menaruh lagi toples kue ke atas meja. "Umur Kinan baru 22, belum ketuaan kok Bu," terang Kinan menambahkan dengan kejelasan lebih.
Halimah mematikan televisi yang sedang ia tonton secara tiba-tiba. "Hm, kamu bosan ya ditanya nikah terus sama ibu?"
Tentu saja bosan. Tapi sekarang apa? Halimah ngambek kah dengan Kinan?
"Enggak kok, Ibu jangan ngambek ah. Biasanya nonton sinetron sampai selesai, kok dimatikan?"
"Udah nggak selera, ibu mau tidur aja."
"Ibu mah. Kinan minta maaf deh, habisnya beneran Kinan belum mau nikah, karena belum ada yang pas aja. Lagi pula Kinan masih mau sama Ibu, Kinan ingin membahagiakan Ibu dulu, belum mau di ambil sama orang, dan jauh dari Ibu nantinya."
Bukan tanpa alasan Halimah ingin agar Kinan menikah. Menurut Halimah selagi ia masih diberikan umur dan kesempatan, ia ingin melihat putrinya bersanding dengan lelaki yang Sholeh dan bertanggung jawab terhadap anak satu-satunya itu. Halimah tidak ingin Kinan merasakan apa yang ia rasakan, dulu hubungannya dengan ayah Kinan ditentang oleh keluarganya. Saat menikah dengan ayah Kinan, Halimah kerap kali mendapatkan cibiran dan cemooh dari keluarga besarnya. Itu semuanya hanya karena ayah Kinan bukan dari kalangan orang kaya, sedangkan keluarga Halimah adalah keluarga yang terpandang.
"Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu cuma takut nanti ibu nggak bisa menyaksikan kamu menikah. Ibu sering merasa cemas, kalau kamu nggak ada yang jagain."
"Ih kok Ibu ngomongnya gitu sih?"
Kinan memeluk ibunya. Ia hanya memiliki ibu, tentu ia tidak ingin kehilangan ibunya juga. "Jangan ngomong gitu, Kinan jadi sedih,"
Halimah mengusap rambut anaknya. "Iya, Ibu nggak akan kemana-mana kok."
...__________...
Insya Allah akan di update sampai tamat. Doakan lancar ya. Terima kasih :)
Beberapa hari kemudian...
"Seseorang akan datang melamarmu, Nak. Kali ini ibu harap jangan langsung menolaknya, ya."
Kinan mengerti keinginan kuat ibunya agar dia menikah. Hal itu juga yang menjadi alasan Kinan tidak menolak langsung lamaran yang datang padanya. Meskipun sejujurnya Kinan memang belum memiliki keinginan untuk menikah. Tapi demi kelegaan hati ibunya, dia berusaha membiarkan pertemuan lamaran itu terjadi.
"Ki, kamu udah selesai dandan kan?" tanya Halimah sambil menyentuh kerudung berwarna maroon yang dikenakan Kinan.
Cantik, anggun, tampilan Kinan terlihat sangat natural. Kinan memang gadis yang sederhana, tanpa polesan make up tebal akan tetapi sisi feminimnya terlihat menonjol karena kelembutannya.
"Kinan nggak dandan loh, Bu. Ini cuma begini aja, nggak apa-apa kan?" Agak terdengar kurang bersemangat. Kinan akhirnya melengkungkan senyum, tidak ingin ibunya curiga.
Bukan tidak suka karena ada yang melamar, tapi itulah Kinan. Dia merasa belum siap untuk menikah. Tapi, ibunya terus meminta agar Kinan mempertimbangkan jika ada pria yang datang melamarnya. Dia sendiri belum tahu siapa yang akan datang, sebab ibunya merahasiakan hingga detik ini dengan alasan kejutan.
"Udah cantik anak Ibu. MaaSha Allah."
Kinan hanya tersenyum kecil. "Alhamdulillah. Kinan bantu bikin minuman nggak?"
"Enggak usah, kamu tunggu aja di kamar. Nanti ibu akan panggil kamu ya, kalau tamunya udah datang."
"Baik, Bu." Kinan hanya mengangguk tipis sambil menarik napas dalam-dalam. Kira-kira siapa pria Sholeh yang akan datang melamarnya? Di saat seperti ini kenapa Kinan malah kepikiran dengan pria yang bernama Dude. Padahal sudah seminggu lalu pertemuan mereka yang tidak di sengaja itu terjadi. Apakah mungkin Kinan benar menyukai pria itu?
"Mas Dude. Kenapa aku malah kepikiran dia sih?" gumam Kinan.
Mustahil. Rasa yang dimilikinya pasti hanya sekedar kekaguman semata. Kinan yakin, mana mungkin dia bisa menyukainya secepat kilat hanya dengan melihat tampilan luar seseorang saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara salam dari luar pintu rumahnya. Kamar Kinan tepat berada di belakang ruang tamu. Tentu Kinan dapat mendengar jelas suara tamu itu mengucapkan salam.
"Assalamua'laikum."
"Wa'alaikumsalaam."
Halimah membukakan pintu lalu tersenyum ke arah tamu yang sudah ditunggu-tunggu.
"Bu, maaf saya agak lama. Tadi jalanan lumayan macet, biasa Jakarta."
Terdengar suara bapak-bapak dengan logat bahasa Indonesia yang fasih. Siapa dia? Kinan merasa penasaran.
"Iya, nggak apa-apa. Jakarta udah biasa macet. Silahkan masuk, Pak. Maaf nih rumahnya sempit, begini lah keadaan rumah kami, Pak."
Sepertinya hanya ada suara bapak-bapak itu saja. Kinan kok jadi penasaran siapa kiranya yang akan di kenalkan padanya? Apakah bapak itu? Rasanya tidak mungkin, pikir Kinan.
"Tidak apa-apa, Ibu. Terima kasih," jawab tamu tersebut. Lagi-lagi sangat sopan.
"Sebentar ya, saya panggilkan Kinan dulu,"
"Baik, Bu. Terima kasih,"
Kinan pun berdiri dengan tubuh tegap. Meski dia gugup, tapi dia berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Bagaimana tidak gugup? Apa mungkin pria itu nantinya akan menjadi suaminya? Hanya Allah yang tahu.
Pintu kamar Kinan terbuka. "Ki, orangnya udah datang. Yuk, kita keluar temui mereka," ucap Ibu Kinan.
"Hm, bapak-bapak ya, Bu?" tanya Kinan penasaran. Jika benar bapak-bapak, sungguh sangat keterlaluan ibunya pada Kinan, pikirannya sambil menerka.
"Nguping ya kamu?" Halimah menahan senyum sambil merapihkan kerudung putrinya.
"Idih, bukan nguping lah, Bu. Tapi kedengaran, kan dekat dengan ruang tamu." Kinan mendengkus. "Beneran Kinan nggak sengaja dengar."
Halimah terkekeh pelan. "Iya iya, udah kamu temuin mereka aja. Nanti juga kamu tahu orangnya yang mana."
Kinan hanya bisa mengiyakan kata-kata ibunya, kemudian berjalan sambil menggandeng tangan ibunya. Kinan tidak mengangkat wajahnya, entahlah dia jadi bertambah grogi sekarang.
"Assalamu'alaikum Kinan." Suara itu rasanya tidak asing bagi Kinan Adelia. Sejak tadi Kinan tidak mendengar suara itu, hanya suara bapak-bapak yang dia dengar. Tetapi jika suara yang baru menggema di telinganya, rasanya sangat tidak asing. Tidak, bahkan Kinan sering mendengarnya.
"Astagfirullah," reflek Kinan saking terkejutnya. Ia mengangkat wajahnya menganga begitu tampak sosok di hadapannya.
Lelaki itu hanya tersenyum, begitu juga dengan bapak-bapak di sebelahnya. "Ini Nak Kinan ya? Maa shaa Allah, cantik sekali." Itu baru suara bapak-bapak yang tadi. Rupanya dia adalah orang tuanya.
Kinan tersenyum kaku. Ibu Kinan mengajak Kinan duduk di sampingnya. Lalu Kinan hanya terus menunduk, tidak berani menatap dan memastikan lagi lelaki yang datang hari ini ke rumahnya.
"Kinan, kok malah bengong? Ayo kenalan dengan Pak Asnawi. Ini anaknya pak Asnawi, kamu pasti kenal kan? Nak Hamzah."
Hamzah. Ternyata dia yang datang ke rumah Kinan. Saat itu perasaan Kinan tidak dapat di jelaskan. Kinan bingung, karena yang datang adalah Hamzah. Dokter umum di rumah sakit tempat ia bekerja. Memang Dokter Hamzah seringkali memberi perhatian lebih pada Kinan. Tapi, dia tidak menyangka kalau Dokter Hamzah seserius ini dengannya.
"Iya, Kinan kenal Bu. Dokter Hamzah, apa kabar? Pak Asnawi, salam kenal. Saya Kinan," tutur Kinan dengan senyuman ramah.
"Alhamdulillah. Rupanya Allah akhirnya mempertemukan kita seperti sekarang ini. Semoga ini membawa kebaikan ya. Bapak hanya berniat silaturahim dengan Nak Kinan dan orang tua Kinan. Sambil memenuhi ajakan Hamzah, katanya ada niat baik yang ingin dia utarakan kepada Kinan khususnya."
Deg!
Niat baik apa gerangan?
Mungkinkah benar Hamzah berniat melamarnya? Ya Allah, Kinan tidak tahu harus menjawab apa nanti. Dia tidak memiliki perasaan apapun pada Hamzah. Meskipun dia tahu kalau Hamzah adalah pria yang Sholeh dan baik. Tapi, perasaan dia bagaimana? Kinan tidak memiliki rasa sedikitpun kepada Hamzah.
Tentu saja jika dia memiliki rasa sedikit saja pada Hamzah, dia pasti tidak akan dengan mudahnya mengabaikan bentuk perhatian Hamzah selama ini padanya.
"Kinan, kedatangan saya kesini bermaksud ingin melamar Kinan, apakah Kinan bersedia menerima niat baik saya?" tutur Hamzah dengan lugas mengutarakan maksudnya.
Ternyata benar. Jadi Hamzah ingin melamarnya. Kinan membeku, dia tidak tersenyum bahkan menampakkan reaksi apapun sekarang.
Halimah dan Pak Asnawi hanya tersenyum sambil menunggu Kinan menjawab pertanyaan Hamzah. Saat itu Hamzah sangat mantap mengutarakan maksudnya. Kinan bertambah tidak leluasa menolaknya langsung. Bukankah sangat keterlaluan? Padahal Hamzah adalah lelaki yang baik.
"Ya Allah sampai lupa, silakan di minum dulu. Sengaja udah saya persiapkan, di minum tehnya ya, seadanya aja." Halimah mencoba mencairkan suasana tegang. Dia tahu bahwa putrinya pasti sedang kaget sekarang.
Dengan jantung yang berdegup kencang, bukan seperti gadis yang jatuh cinta, melainkan sebaliknya. Kinan tidak memiliki rasa pada Hamzah, tapi dia memiliki sikap segan dan hormat pada dokter muda di depannya.
Belum lagi beberapa hari lalu Halimah mengatakan agar Kinan tidak langsung menolak jika ada lelaki Sholeh yang melamarnya.
"Kinan? Kamu udah punya jawaban, Nak?"
Kinan menelan ludahnya keras dan susah payah. Lalu dia menarik napas dalam-dalam sambil menggenggam tangan ibunya.
"Dokter Hamzah, saya terima niat baik Dokter. Tapi, apakah saya boleh meminta pertimbangan waktu? Saya butuh sholat istikharah dulu, untuk memantapkan jawaban saya."
Hamzah dan Pak Asnawi mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Tentu saja boleh, Kinan. Memang semuanya butuh kemantapan hati. Jalan istikharah adalah salah satu yang dianjurkan untuk kita lakukan, jika kita mengalami keragu-raguan," jawab Hamzah.
"Iya, Nak Kinan bisa pertimbangkan dulu baik-baik. Bagaimana kalau kita berikan waktu, supaya tidak saling menunggu-nunggu. Seminggu apa cukup?" tanya Pak Asnawi pada Kinan.
Halimah mengusap punggung tangan anaknya. "Cukup kan, Nak?"
Kinan menghela napas lagi. "InsyaAllah cukup. Tapi, saya minta maaf kalau nanti jawabannya tidak dapat memuaskan semuanya. Ataupun sebaliknya, intinya saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Apapun hasil istikharah saya nanti," ucapnya, tawakkal.
"Iya, baiklah Kinan. Saya mengerti dan InsyaAllah juga saya menerima apapun keputusan Kinan nantinya."
"Alhamdulillah."
Semuanya mengucap syukur dan berharap keputusan yang akan diberikan Kinan nanti adalah yang terbaik. Kinan meragu, tapi tidak ada yang tahu jodoh Kinan siapa, selain Allah. Kinan tidak mau kalau begitu saja menolak Hamzah, terlebih dia mengukur dirinya sendiri. Siapa dia sehingga bisa leluasa menolak pria sekelas dokter Hamzah? Sholeh, dan juga di senangi banyak orang. Kinan takut, dirinya seolah menjadi gadis yang tidak tahu diri.
"Kalau begitu. Saya kira silaturahim saya dan anak saya saat ini cukup sampai di sini. Seminggu lagi saya dan Hamzah akan datang kembali." Pak Asnawi beranjak dari duduknya.
Hamzah pun ikut berdiri, sambil sesekali melempar senyum ke arah Kinan Adelia.
"Terima kasih, Pak Asnawi dan Nak Hamzah. Kita sama-sama mencari ridho Allah. Semoga apapun keputusan yang diberikan Kinan nanti dapat diterima dengan lapang ya," ujar Bu Halimah.
"Aamiin, InsyaAllah."
..._________...
Terima kasih ^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!