NovelToon NovelToon

Chika'S Terror In The School

Episode 1~ Orientasi

****

Setiap sekolah pasti ada penghuninya. Entah mereka itu bisa terlihat, atau hanya orang-orang berkemampuan khusus saja yang bisa melihatnya. Bagi yang bisa melihat makhluk-makhluk itu pasti tahu di mana keberadaan mereka.

   Para makhluk itu bisa ada di mana saja. Di halaman sekolah, di kelas mereka pasti ada, apalagi di kamar mandi, dan di lorong dan koridor sekolah, mereka pasti ada!

   Itulah sekolah Beautiful. D. High school, para makhluk-makhluk itu ada di mana-mana. Karena sekolah itu ANGKER!

   ****

   [Yah, kakak? Jadi bagaimana keputusanmu?] tanya seorang anak perempuan dengan suara lembutnya lewat telpon.

   "Iya. Aku bisa!" Jawab seorang laki-laki yang merupakan kakak dari anak perempuan itu.

   [Benarkah? Sungguh?]

   "Iya! Kakak besok akan ke sana."

   [Beneran nih, kak?]

   "Iya, benar."

   [Yesh! Oke kak, besok aku tunggu, ya?] Ujar anak perempuan itu dengan penuh semangat.

   Kedua adik kakak itu saling berbincang bersama. Lalu tak lama kemudian, mereka mematikan telponnya. Setelah itu, si laki-laki itu langsung turun dari atas tempat tidurnya, lalu berjalan dengan tergesa-gesa menuju dapur.

   "Ibu! Ayah!" panggil laki-laki itu sembari berjalan mendekati dapur. Kedua orangtuanya menyahut. Laki-laki itu berkata, "Aku sudah memilih keputusanku. Aku akan pergi besok!"

   Kedua orangtuanya tersenyum dengan perasaan lega. Anaknya akhirnya menerima ajakan orangtuanya. Ibunya sedikit bertepuk tangan.

   "Haha... Oke kalau itu yang kamu mau!"

   "Sekarang kamu bersiap-siaplah untuk keberangkatan besok." Ujar Ayahnya.

   "Oke!"

****

   Keesokan harinya....

   "Ibu, Ayah, aku berangkat. Aku akan merindukan kalian. Sampai jumpa dua tahun lagi."

   Kedua orangtuanya melambai. "Ya, sayang, hati-hati di jalan, ya!"

   "Baik-baik di sana, ya? Kami sayang padamu!"

   "Iya, iya. Aku juga sayang kalian. Saat ku sampai di sana, aku akan menghubungi kalian." Laki-laki itu memberi salam pada orangtuanya. "Dadah..., Aku berangkat dulu, ya!"

~

 

Namanya Dennis Efendy. Umurnya 17 tahun. Ia adalah seorang pelajar SMA. Tapi, ia akan pindah di pertengahan semester ke dalam sebuah asrama di desa. Saat ini, ia sedang berangkat menuju ke desanya untuk menemui adik dan neneknya di sana.

 

   Di dalam Bis, ia hanya melamun sambil menopang dagu dan menatap ke luar jendela. Memandangi jalan yang terlihat sepi dan banyaknya pepohonan yang terlihat segar. Mungkin saat ini, Bis itu telah sampai di jalan menuju ke pedesaan.

*TRING! *

Adiknya mengirim pesan pada Dennis. Isi pesan itu mengatakan kalau adiknya itu sudah tidak sabar lagi ingin menemui Kakaknya.

   Memang sudah lama sekali mereka berdua terpisah. Semenjak kakek mereka meninggal, Adelia yang merupakan nama dari adiknya Dennis itu harus tinggal di desa untuk menemani hidup neneknya.

Sudah 3 tahun lebih mereka tidak saling bertemu. Dan sekarang, adalah kesempatan yang bagus untuk mereka saling bertemu kembali. Tidak hanya untuk sementara, tapi selamanya. Karena setelah mereka bertemu kembali, Dennis dan Adel akan pergi ke sekolah baru mereka untuk belajar dan menetap di sana.

   2 jam kemudian, Bis itu akhirnya sampai. Dennis turun dari dalamnya, lalu berjalan beberapa meter untuk sampai di rumah neneknya. Ia membawa tas besar dan sebuah koper di genggamannya.

   "Akhirnya sampai di rumah nenek! Adel, kakak di sini. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu!"

   Tanpa menunggu lama lagi, Dennis pun berjalan cepat menaiki beberapa anak tangga kecil di teras rumah neneknya itu. Rumah itu, adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Memang sudah terlihat tua, tapi rumah itu masih tetap nyaman untuk ditempati.

   Saat sampai di depan pintu, Dennis pun mengangkat tangannya sedikit. Ia akan mengetuk pintu itu. Tapi, entah kenapa, Dennis merasa agak ragu untuk mengetuk pintu itu. Ia menahan tangannya. Ia sedikit bergumam di depan pintu itu.

   "Tunggu dulu, nanti kalau aku masuk, apakah nenek akan menerimaku? Aku takut nenek masih marah kepadaku." Ucapnya dalam hati.

   Tak jauh dari pintu itu, ada 2 buah jendela. Dari dalam jendela itu, terlihat ada yang sedang mengintipi Dennis dari dalam sana. Siapa dia?

   Dennis masih merasa ragu untuk mengetuk pintu itu. Lalu, ia pun merasa ada yang aneh dengan rumah itu. Kenapa sepi sekali? Apa tidak ada orang di dalamnya?

   Dennis berbalik badan. Ia masih bergumam-gumam karena ia masih merasa ragu. Padahal hanya mengetuk pintu saja, loh!

Eh, kok tiba-tiba saja, suasana yang tadinya sepi akhirnya menjadi ramai. Tidak terlalu ramai. Lebih tepatnya tidak ramai. Tapi, Dennis mendengar sesuatu dari dalam rumah neneknya. Ada suara dari dalam sana. Sebuah suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari. Pintu terbuka dengan cepat dan....

*BRAK! *

 "Kyaaaa... Kakak!"

   Dennis sangat terkejut dengan kehadiran adiknya yang mendadak dari dalam. Ia berteriak kegirangan saat bertemu dengan kakaknya itu. Adel memeluk kakaknya. Dennis merasa terdorong dengan kuat. Ia kehilangan keseimbangannya dan terjatuh bersama dengan pelukan adiknya.

   Tak lama setelah itu, nenek mereka pun muncul dari depan pintu. "Adel? Ada ribu-ribut apa di sini?"

   "Oh, ada nenek!"

   "Hah, itu nenek? Dia semakin tua saja. Oh iya, aku harus menyapanya." Batin Dennis.

   Dennis dan Adel bangun. Lalu mendekati nenek mereka. "Ah, nenek! Ini kakak, lho. Dia datang untuk menemui kita, nek!" kata Adel senang.

   Dennis mengulurkan tangannya. "Sudah lama tidak bertemu ya, nek! Aku kangen sama nenek."

   Dennis menggenggam tangan kanan neneknya. Ia akan mencium tangan neneknya. Tapi tiba-tiba saja, neneknya itu menarik paksa tangannya dari genggaman Dennis. Dennis terkejut.

   "Loh, nek? Kenapa–"

   "DIAM KAMU!" Dennis tersentak. Tiba-tiba saja neneknya itu membentaknya. "Beraninya kamu datang ke sini lagi, setelah apa yang kau lakukan pada suamiku dulu! Suamiku meninggal gara-gara kau! Nenek sangat kecewa padamu. Kau sudah membunuh Suamiku!" Lanjut nenek membentak.

   "Tidak. I–Itu tidak mungkin. Aku tidak berbuat seperti itu. Nenek hanya salah paham saja padaku!" Dennis membela dirinya.

   "Tunggu. Kenapa nenek membentak kakak? Memangnya apa salah kakak kepada kakek?" tanya Adel.

   "Kakakmu! Dia sudah membunuh suamiku! Kakakmu itu... A–aduh...."

   "Nenek?!"

   "Aduh, jantungku! Akh. Aaah...."

BRUK!

 "NENEK!" teriak Dennis dan Adel. Mereka terlihat panik karena tiba-tiba saja neneknya terjatuh. Mereka sangat khawatir. Lalu Adel melirik ke dalam rumah. Ia melihat sesuatu. 'Sesuatu' itulah yang telah membuat neneknya meninggal dunia. Suara tawa dan sosok yang mengerikan itu muncul di hadapan mereka tanpa mereka sadari.

   "Hihihi... Hihihi...."

****

1 Minggu kemudian....

Dennis masuk ke dalam kamar adiknya. Ia meminta izin pada Adel untuk memperbolehkan kakaknya masuk. Adel pun mengizinkannya. Dennis masuk. Ia berdiri di depan pintu.

   "Apa perasaanmu sudah membaik? Belakangan ini kamu terus mengurung diri di dalam kamar." Dennis memegang bagian belakang lehernya. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang membuatnya merinding. Tapi ia berusaha untuk tidak mempedulikannya.

   "Semenjak nenek meninggal, kau selalu berdiam diri di kamar. Jarang berbicara denganku dan pola makanmu juga berkurang. Apa kamu yakin tidak apa-apa? Apa kau tidak merasa kesepian di dalam kamar terus?" tanya Dennis.

   Adiknya itu sedang duduk menghadap ke depan dan membelakangi kakaknya. Adel menjawab, "Iya. Aku baik-baik saja, kok! Lagi pula, aku tidak sendirian. Aku masih punya teman."

   Dennis merasa bingung. Di kamar Adel itu tidak ada siapapun di sana. Tapi di depannya ada beberapa boneka kesukaan adiknya itu. Dennis pikir, boneka-boneka itulah yang menjadi teman Adel.

   "Oh iya, Del! Besok kamu mau, kan? Kita langsung pindah saja?" tanya Dennis. "Kita akan tinggal di sekolah Asrama yang ada di pinggir pedesaan jalan Bawang. No.14 itu. Ibu sudah mendaftarkan kita."

   "Iya, kak! Kita berangkat besok. Aku mau. Sekarang, bisa kakak keluar dulu? Aku ingin bermain lagi." Ujar Adel dengan suara yang agak dipelankan.

   "Iya! Kakak juga mau ke kamar. Kau nanti keluarlah, ya? Kita makan malam bersama!"

   Adel tidak menjawab. Dennis pun keluar dari kamar adiknya. Ia menutup pintu. Adel kembali berbicara sendiri. Ia menatap ke arah bangku kosong yang ada di depannya.

   "Kakak sudah pergi. Sekarang ayo kita lanjutkan permainannya, Temanku! Sudahlah, ayo kita main saja."

   "Iya."

   Seseorang di dekat Adel itu berbicara dengan nada samar-samar. Tapi, ternyata di depannya itu tidak ada siapapun. Ia berbicara dengan siapa?!

   "Oh iya, besok aku akan pindah sekolah dengan kakakku. Apa kamu mau ikut?" tanya Adel pada 'Teman tak terlihat-nya' itu.

   "Iya...."

   "Yeay! Baguslah." Adel menepuk tangannya dengan gembira. "Kita bisa terus bersama!"

****

Keesokan harinya....

"Aku sudah siap! Sekolah baru, yeay. Menyenangkan sekali. Kuharap aku bisa bertemu dengan teman baruku! Hehe..." Dennis menengok ke belakang. "Adel, ayo! Kita harus berangkat. Apa kau sudah siap?"

   "Iya. Kak! Ayo! Aku dan temanku sudah siap!"

   Dennis terkejut. Ia merasa bingung. Ia berpikir sejenak. Adel punya teman? Tapi di sini hanya ada aku dan Adel. Apa di sini ada orang lain selain aku dan Adel? Ini aneh...

 "Ng, Adel?" panggil Dennis.

   "Ah, iya kak? Ada apa?" sahut Adel.

   "Sebelum kita jalan, kakak mau tanya satu hal padamu."

   "Apa kak?"

   "Siapa teman yang bersamamu itu? Di mana dia?" tanya Dennis.

   "Oohh, soal itu. Temanku bernama Chika. Dia ada di sini, kok! Dia itu adalah...."

BRRMMMM....

   "Ah, tunggu kak. Kita lanjut nanti saja! Lihat. Busnya sudah datang! Ayo kita pergi. Nanti telat!" Adel berlari menghampiri Bus yang sudah datang itu. "Ayo cepat, kakak!"

   "Ada yang Adel sembunyikan dariku!" batin Dennis yang mulai merasa curiga dengan tingkah laku adiknya itu.

****

Saat di dalam bis, Dennis dan Adel sedang berbincang bersama. Lalu tak lama kemudian, adiknya itu malah tertidur di pangkuan kakaknya. Dennis masih penasaran dengan teman yang dimaksud adiknya itu.

   Dennis bisa merasakan adanya orang ke tiga di bangku mereka. Tapi, Dennis tidak bisa melihatnya. Dia semakin penasaran. Tadinya, ia akan bertanya pada adiknya, tapi Dennis tidak tega membangunkannya adiknya itu.

****

   Setelah turun dari bus, mereka berjalan sebentar memasuki sebuah jalan kecil dengan semak-semak dan pepohonan di sekelilingnya. Tak lama kemudian, akhirnya mereka menemukan sekolah itu. Tempatnya memang terpencil, tapi ternyata Asrama itu benar-benar sangat besar.

   Dennis tidak menduga kalau sekolah barunya akan sebagus ini. Tapi anehnya, kenapa ada banyak patung seorang anak perempuan di pinggir jalan sebelum memasuki gerbang lingkungan sekolah. Patung dengan bentuk wajah yang sama. Apa maksudnya itu?

   "Nah, Adel. Di sinilah kita akan tinggal dan bersekolah mulai sekarang. Selamat datang di Beautiful. D. High School. Aku harap kau suka dengan sekolah ini, Del!"

Adel hanya mengangguk. Matanya masih melirik ke papan besar yang bertuliskan nama sekolah itu.

Lalu mereka kembali berjalan memasuki gerbang sekolahnya. "Di dalamnya lumayan besar. Banyak kamar yang kosong dan keamanannya juga ketat dan terjaga! Sekarang juga, ayo! Kita harus menemukan Ruang Gurunya untuk menemui kepala sekolah dan kita juga harus memberikan beberapa formulir dan dokumen pendaftaran, agar kita bisa masuk dan diterima di sekolah ini." Jelas Dennis. Lagi-lagi Adel selalu mengangguk. Lalu ia pun mengikuti langkah kakaknya.

   Lingkungan sekolahnya sangat sepi. Hanya ada beberapa anak murid yang ada di luar. Apa mereka semua berada di dalam kamar masing-masing, ya?

****

   "Oh, jadi kalian murid pindahan itu! Saya sudah lama menunggu kalian berdua. Formulirnya lengkap semua. Selamat! Kalian sudah diterima di sekolah ini." Ujar si Kepala sekolah.

"Ini kunci kamar kalian. Kamar kalian dipisah, tapi kamar kalian bersampingan! Kalian juga akan bertemu dengan teman sekamar kalian." Lanjut Ibu Kepala Sekolah itu sembari memberikan dua buah kunci kamar pada Adel dan Dennis.

   "Terima kasih, Bu!" ucap Dennis. Mereka berdua menerima kunci itu. Lalu mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Ruang Guru. Mereka mencari kamar mereka. Ternyata berada di lantai 2. Dennis dengan no. kamar ke-54 sedangkan Adel nomor ke-55.

   Kamarnya tidak terkunci ternyata. Mungkin Ibu Kepala Sekolah itu memberikan Dennis kunci untuk cadangan saja. Dennis membuka pintu kamarnya secara perlahan. Lalu Dennis pun mulai memeriksa kamarnya. Ternyata dalamnya tidak terlalu luas, tapi sangat bagus dan lengkap. Dennis menyukainya. Tapi untuk saat ini, dia masih belum tahu siapa teman sekamarnya.

   Lalu setelah itu, Adel pun menuju ke kamarnya. Perlahan, ia membuka pintu kamarnya. Sedikit mengintip ke dalam dan Adel pun melihat ada seseorang di dalam sana. Seorang anak perempuan berambut pendek hitam sedang duduk di pinggir tempat tidurnya. Menghadap ke jendela dan membelakangi pintu.

   "Halo! Kamu pasti teman sekamarku, kan?" sapa Adel. Tapi anak itu hanya diam saja. "Halo? Kok, kamu diam?"

   Anak itu berdiri. Lalu ia pun menengok ke belakang dan menunjukkan wajahnya. Dennis terkejut. Tampang dari anak itu sangat menyeramkan. Mata panda yang besar dengan muka putih yang pucat. Tapi ia terlihat cantik dan imut dengan rambut pendek hitam dengan bandonya itu.

   "ya?" Anak itu pun menyahut.

   "Kamu pasti teman sekamarku, kan?" tanya Adel lagi.

   Anak itu menghembuskan nafas panjang, lalu kembali menengok ke arah Dennis dan Adel. Ia menjawab, "Iya, mungkin. Lalu kamu ini juga teman sekamarku?"

   Adel senang teman sekamarnya itu mulai berbicara padanya. "Iya. Aku teman barumu sekarang. Namaku Adelia! Aku anak pindahan baru. Salam kenal!"

   "Oh, namaku Yuni. Salam kenal." Suara anak itu terdengar datar dan dingin. Pandangannya juga biasa saja tanpa ekspresi. "Kau teman sekamar baruku, kan? Sekarang ayo masuk."

   "Iya, terima kasih. Aku masuk, ya?"

   Adel malangkah masuk. Tapi Dennis juga ikut dengan Adel. Adel pun langsung menyela kakaknya. " Eh, kakak mau ngapain? Jangan ikuti aku. Aku ingin ke kamarku sendiri. Kakak pergi ke kamar kakak saja." Dennis memasang wajah sedih. Apa dia khawatir dengan Adel?

   Adel tersenyum pada kakaknya. "Kakak jangan khawatir lagi. Aku akan baik-baik saja. Sekarang aku sudah punya teman yang selalu dekat denganku."

   Dennis mengangguk lalu tersenyum. "Oke deh kalau begitu. Kakak akan ke kamar kakak dulu." Dennis pergi. Adel pun melambai. Lalu dia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Disambut hangat oleh teman sekamarnya itu.

****

Saat di kamar Dennis.... 

   Dennis menaruh kopernya di pinggir tempat tidurnya. Di dalam kamarnya itu ada 2 tempat tidur yang tersedia. Dennis yakin kalau ia pasti memiliki teman sekamar juga. Ia pun berbaring di atas tempat tidurnya yang ia pilih untuk berehat sebentar sambil memikirkan sesuatu.

   "Apa Adel akan baik-baik saja di kamar itu dengan temannya yang agak sedikit aneh? Aku jadi khawatir." Dennis terdiam sejenak. Ternyata suasananya sangat sepi sekali.

"Kenapa di kamar Adel sepi sekali? Apa yang sedang mereka lakukan saat ini? Sekarang aku sudah tidak merasakan keberadaan makhluk itu lagi. Apa dia sudah pergi bersama Adel?" Pikir Dennis tentang adiknya.

Lalu, ia pun memejamkan matanya. "Hah, aku tidak tahu ke mana makhluk itu pergi. Tapi yang penting sekarang, Adel ku bisa aman! Sekarang istirahat dulu...."

*

*

*

To be Continued- Eps 2 >>>>

Follow IG: @Pipit_otosaka8

Episode 2~ Awal

****

1 Jam kemudian....

Dennis sedang tertidur di dalam kamarnya. Sendirian di sana. Lalu tak lama kemudian....

"KAKAAAAAKKK!"

Dennis membuka matanya dengan cepat. Ia terkejut saat mendengar suara adiknya yang berteriak. Pada awalnya, Dennis tidak menduga kalau itu suara adiknya. Dia pun kembali membaringkan tubuhnya lagi.

"KAKAAAAAKKK! TOLONG AKU! KYAAA... TOLONG!"

Teriakan itu terdengar lagi. Dengan cepat, Dennis pun beranjak dari tempat tidurnya. Kali ini, ia tahu kalau itu benar-benar suara adiknya. Adel minta tolong? Dia kenapa?!

"Adel! Kamu kenapa?!" teriak Dennis.

"TOLOOONG!"

"Tenang, Del! Kakak datang!"

"Ada yang tidak beres di kamar sebelah!" Batin Dennis panik.

Dennis pun pergi meninggalkan kamarnya. Ia berlari ke arah kamar yang ada di sebelahnya. Saat di depan kamar itu, Dennis tidak mendengar suara apapun. Lalu perlahan, ia membuka pintu. Dennis sedikit mengintip ke dalamnya dan terkejut!

"A–apa itu? Tidak mungkin. Apa yang terjadi di sini?!"

Dennis benar-benar terkejut. Karena ia melihat ada tubuh adiknya yang tergantung di langit-langit kamar. Tubuhnya penuh dengan luka tusuk dan darah. Bola mata kirinya menghilang. Ia berusaha untuk berteriak lagi pada kakaknya, tapi tali yang ada di lehernya itu telah mengikatnya dengan kuat. Secara perlahan Adel pun kehilangan nafasnya.

"ADEEEEL!"

Dennis menghampiri adiknya. Tapi, langkahnya sempat terhenti saat ia melihat ada sosok anak berambut pendek yang bernama Yuni itu.

Yuni menggenggam sebuah pisau dapur dan terlihat di ujung mata pisaunya ada bola mata Adel yang sudah putus. Darah di mana-mana. Dennis mulai merasa tubuhnya bergetar. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

Yuni tersenyum dengan keji ke arah Dennis. Seolah-olah, Yuni sangat menikmati kematian teman barunya yang sudah ia bunuh itu. Dennis mengerutkan keningnya.

"Apa, apa yang kau lakukan pada adikku?!" bentak Dennis.

Yuni melebarkan matanya. Ia menatap tajam pada Dennis dengan senyum kematiannya itu dan berkata, "Oh, jadi ini adikmu? Adikmu sudah mati! Sekarang giliran kakaknya. KAU JUGA HARUS MATI!!"

"Tidak, tidak!" Dennis melangkah mundur. "Anak itu gila. Aku harus kabur dari sini dan melaporkan kejadian ini ke guru-guru!"

"Hihihi... Mati kau!" Yuni menodongkan pisaunya sambil berjalan perlahan mendekati Dennis.

Dennis akan pergi dari tempat itu. Tapi, tiba-tiba saja ia tidak bisa menggerakkan kakinya. Lalu, tubuhnya pun terasa seperti ada yang menahannya dengan kuat. Ia tidak bisa ke mana-mana. Sedangkan Yuni sudah semakin dekat dengannya.

"Ada apa ini?" Dennis pun jadi semakin panik. "Kakiku tidak bisa digerakkan! Kakiku seperti ditahan oleh sesuatu! Bagaimana ini?!"

Yuni semakin mendekat. Dennis melihat tangan berdarah Yuni mulai mendekat dan akan mencengkram kepalanya. Tangan itu mencengkram kepala dan rambut Dennis. Dennis pun berteriak ketakutan.

Yuni mulai mendekatkan pisaunya pada mata Dennis. Ia terus bergumam "mati, mati, mati..." dengan nada yang menyeramkan.

JLEB! JLEB!

"AAAAAAAKH!"

Dennis terus berteriak kesakitan saat Yuni mulai menusuk seluruh tubuh dan kepalanya. Lalu, sebuah bola kecil berwarna putih terjatuh. Itu bola mata Dennis!

"Hihihi...."

****

"UWAAAA...!"

Dennis membuka matanya dengan cepat dan langsung bangun dari tempat tidurnya. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi buruknya. Dennis benar-benar ketakutan saat ini. Tubuhnya berkeringat dingin dan gemetar. Ia mengusap-usap wajahnya dan berusaha untuk tenang.

"Aku masih hidup, kan? Hah, hah..., tadi itu apa? Mimpi buruk yang sangat mengerikan!"

"KYAAAAA...."

Dennis kembali dikejutkan dengan suara adiknya yang berteriak dari kamar di samping. Ia menganggap kalau teriakkan kali ini persis seperti di dalam mimpinya. Dengan cepat, Dennis pun langsung berlari ke kamar adiknya.

Tapi saat Dennis pergi, sepertinya Ponsel yang ada di atas kasurnya itu terjatuh. Dennis tidak sempat mengambilnya. Tapi, yang mengambil ponsel itu adalah tangan dengan kuku panjang yang muncul dari bawah tempat tidurnya.

BRAK!

Dennis mendobrak pintu itu. "Hayo! Apa yang terjadi di sini?!"

Adel terlihat baik-baik saja. Adel dan Yuni langsung berdiri saat Dennis muncul dan mengejutkan mereka. Adel melempar sesuatu ke atas tempat tidurnya. Itu ponselnya Adel yang ia lempar ke atas tempat tidurnya.

"Ah, kakak? Apa yang kakak lakukan?" tanya Adel.

"Aku hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja! Dan kau anak kecil, jangan ganggu adikku!" Dennis melirik ke adiknya. "Adel, sayang..., apa kau baik-baik saja?"

"Iya, kak! Aku tidak apa-apa, kok! Kan ada Yuni yang sudah menemaniku bermain. Jadi kakak jangan khawatir lagi denganku." Adel mengibaskan kedua tangannya dan tersenyum. Sementara, Yuni hanya diam saja dengan wajah pucat dan datarnya itu.

Dennis menghembuskan nafas lega. Ia senang adiknya tidak apa-apa. "Ya sudah kalau kamu tidak apa-apa. Maaf telah mengganggu kalian. Sekarang kakak akan kembali ke kamar kakak, deh!"

"Tunggu. Jangan pergi dulu, kak." Ujar Yuni sebelum Dennis pergi meninggalkan pintu.

"Iya. Ayo ke sini! Ada perlu apa?" sahut Dennis.

Yuni berjalan mendekati Dennis. "Ada yang ingin aku beritahu pada kakak."

"Apa itu?"

"Kemarilah, akan aku bisikkan sesuatu karena aku tidak ingin adikmu mendengarnya."

Dennis mengangguk. Lalu, Dennis sedikit membungkuk dan Yuni mendekat pada Dennis. Yuni mulai membisikkan sesuatu pada Dennis. Itu sangat rahasia, tapi tak lama kemudian, bisikan itu telah membuat Dennis terkejut.

"A–apa? Tidak mungkin!" gumam Dennis.

Yuni kembali sedikit menjauh dan Dennis kembali berdiri. "Jadi, apa Kakak sudah mengerti?" tanya Yuni.

Dennis mengangguk kaku, tidak menjawab.

"Tapi tenanglah. Kakak jangan khawatir. Aku akan melindungi dia." Kata Yuni.

"Baiklah bocah! Eh, maksudku Yuki-"

"Namaku Yuni."

"Ah iya itu! Yuni, aku mohon jaga adikku baik-baik. Hanya kaulah yang dapat dipercaya!"

"Iya, kakak tenang saja."

"Oke, tapi kalau ada masalah pada adikku, langsung beritahu aku, yah?"

"Iya. Sekarang, aku ingin masuk lagi ke kamar! Dah...."

BRAK!

Dengan cepat, Yuni langsung masuk dan menutup pintunya. Dennis tersentak. "Lah, kok ditutup? Padahal ada satu hal lagi yang ingin aku bicarakan. Hah, nanti saja nanyanya...." ia bergumam pelan.

"Siapa kau?!"

Dennis terkejut. Tiba-tiba saja dari arah lain, ada yang telah membentaknya. Dennis pun langsung menengok ke sampingnya. Ia terkejut saat melihat ada seseorang di depan tangga pojok lorong di sana.

"Lah, kau siapa?" tanya Dennis balik.

Ternyata yang ada di dekat tangga itu adalah seorang laki-laki remaja yang merupakan kakak kelas tertua di asrama itu. Bukan murid tertua juga, sih. Laki-laki itu berjalan menghampiri Dennis.

"Kok nanya balik? Justru aku yang bertanya. Kau itu siapa? dan mau apa kau di sini? Apa kau penyusup?!"

"Tidak. Tidak! Aku bukan penyusup, kok!" Dennis menggeleng cepat. "Aku tidak ada niat apapun. Sungguh!"

"Lalu kalau bukan penyusup, kau ini siapa? Kenapa kau bisa ada di sini?!" tanya Laki-laki itu lagi.

"Ah, namaku Dennis. Aku murid pindahan di sini. A–aku baru di sini." Jawab Dennis ragu-ragu.

"Oh, jadi murid pindahan." Laki-laki itu membuang pandangannya dari Dennis dan berucap, "Selamat datang di Beautiful. D. High School. Namaku Reizal Alfathir. Aku ketua OSIS di sini. Panggil saja aku Kak Rei." Ia memperkenalkan dirinya tanpa menatap maupun melirik sedikit saja ke arah Dennis yang ada di depannya.

Dennis menggaruk kepalanya sambil tertawa-tawa kecil. "Oh, jadi kamu Rei! Salam kenal, ya... kakak OSIS, hehe..., sebentar, yah! A–aku masuk ke kamarku dulu. Entar kita lanjut lagi, oke?"

Dennis membuka pintunya. Ia hanya mengeluarkan kepalanya dan melambai pada Rei. "Dadah! Aku masuk dulu, yah. Maaf...."

BRAK!

"Eh! Itu, kan..." Rei sedikit bergumam.

****

"Huh, untung saja. Aku malu banget tadi. Bisa-bisanya ketemu sama kakak OSIS!" Dennis menghembuskan nafas lega. Lalu Dennis pun berjalan mendekati kasurnya. Ia mencari sesuatu. Ponsel yang ada di atas kasur itu menghilang. Dennis mencarinya.

Ia sedikit merunduk untuk memeriksa kolong tempat tidurnya. Di dalam sana gelap sekali. Tapi, Dennis bisa melihat ponsel miliknya ada di dalam sana. Akhirnya ia bisa menemukannya. Ia berusaha untuk meraih ponselnya itu.

Akhirnya, Dennis berhasil mendapatkannya. Saat ia mengeluarkan tangan dari dalam tempat tidurnya, tiba-tiba saja sesosok tangan penuh darah dan kuku panjang muncul dari bawah tempat tidur dan menggenggam tangan Dennis dengan cepat.

Karena terkejut, Dennis pun kembali menarik tangannya dengan cepat. Ia mulai merinding. "A–apa itu?! Aku serius! Tadi itu apa?"

Dennis memang merasa ketakutan. Tapi dia penasaran dengan apa yang barusan memegang tangannya itu.

Dengan berani, Dennis pun bertelungkup. Ia mengintip ke bawah tempat tidurnya. Dan ternyata di dalam sana tidak ada apa-apa. Hanya ada debu dan sarang laba-laba.

Dennis kembali berdiri. "Tadi, yang megang tanganku itu siapa? Aku yakin tadi ada yang muncul dari bawah tempat tidur." Gumam Dennis.

Lalu dari belakang muncul tangan seseorang yang akan meraih Dennis. Dennis tidak menyadari tangan itu. Dia terus saja bergumam.

Sampai akhirnya, datang sosok tangan lainnya di belakang Dennis. Tangan itu pun menggenggam bahunya. "Dennis!"

Dennis terkejut. Ia berteriak sambil menutup matanya. Lalu dengan cepat, ia pun berbalik badan sambil menyodorkan ponsel miliknya itu ke depan. "Uwaaa... Kumohon jangan ganggu aku! Ini ambilah ponselku kalau kau mau. Tapi tinggalkan aku sendiri!" panik Dennis.

"Eh, kau ini kenapa?"

Itu suara manusia. Hantu tidak mungkin bisa bicara. Eh, bisa sih, tapi tidak lembut seperti ini. Suara itu, sepertinya Dennis mengenalnya. Ia pun membuka matanya dan terkejut.

"Eeehhh?!"

To be Continued- Eps 3 >>>>

Episode 3~ Kamar

"Eeehhh?! Kak Rei?"

"Ada apa denganmu? Kok tingkahku seperti orang yang ketakutan? Apa telah terjadi sesuatu di sini?" tanya Rei.

Dennis masih dengan ekspresi wajah terkejut sambil menyodorkan ponsel miliknya ke arah Rei. Ia diam membatu.

"Untuk apa kau memberikan aku ponsel? Aku tidak butuh!"

Dennis tersentak. Ia pun langsung mengumpatkan kembali ponselnya ke belakang badannya. "E–eh! Bukan apa-apa, kok!"

Dennis berdiri menghadap ke Rei. Ia pun bertanya dengan eskpresi bingung sambil menggaruk kepalanya. "Oh, iya. Kakak kenapa bisa ada di kamarku? Kakak mau ngapain?"

"Mau ngapain aja boleh. Ini kan kamarku! Seharusnya aku yang bertanya begitu. Ngapain kamu di kamarku?" tanya Rei balik.

Dennis terkejut. "E–eh! Jadi ini kamarmu? Tapi ini juga kamarku, lho!"

Rei tersentak. "Ja–jadi ini juga kamarmu?! Itu berarti...."

"Kau adalah teman sekamarku, dong!" Mereka saling menunjuk. Tapi tiba-tiba saja, mereka berdua merasa canggung dan langsung membuang muka.

Dennis sedikit melirik ke Rei. "Lah, kok aku malah sekamar sama kakak kelas, sih? Gak ada yang lain apa? Kan rasanya malu-malu gimana gitu!" katanya dalam hati.

Rei pun juga melirik ke Dennis. "Kenapa sekarang aku malah sekamar dengan anak baru yang belum terlalu mengenalnya!? Bu Mia bukannya kasih tau aku kalau ada anak baru yang pindah ke kamarku."

Setelah perkataan mereka dalam hati itu, Dennis dan Rei pun kembali saling menatap. Dennis tertawa kecil. Sedangkan Rei menatap dingin ke Dennis.

"Kok, perasaanku jadi gak enak gini, yah? Dia menatapku dengan mata tajamnya itu. Kan seremmm..." Pikir Dennis.

"Apa aku terima saja yah anak ini?" Pikir Rei.

"Ya sudah, deh! Aku menerimamu. Sekarang, kita jadi teman sekamar!" Mata Rei kembali melirik ke Dennis.

Dennis senang sekali. "Aaah..., makasih. Makasih banyak, Senior!"

"Huh, iya, iya! Tapi, kau tidak bisa seenaknya saja jika berada di sini!" Rei mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. "Karena... ada beberapa peraturan yang wajib kamu taati bila ada di sekolah ini!"

"Hah? Apa saja itu?" tanya Dennis bingung.

Rei mengetik beberapa tombol keyboard di ponselnya. "Sebenarnya..., aku sebagai OSIS, tidak boleh memberitahu peraturan ini pada anak baru. Tapi sekarang, aku akan berbaik hati padamu dengan membocorkan rahasia ini kepadamu! Hanya untukmu! Ingat itu. Jangan beritahu siapapun." Rei kembali menatap Dennis.

"Karena, dari semua murid di sekolah ini, hanya OSIS-lah yang diberitahu dan menyimpan peraturan itu di Ponsel mereka masing-masing." Lanjut Rei.

Dennis penasaran. Ia ingin mengetahui peraturan-peraturan yang ada di sekolah barunya itu.

"Jadi sekarang..., mau aku bacakan saja, apa aku akan kirim file ini ke ponselmu itu?" tanya Rei.

Dennis membuka ponselnya. "Hmmm.., lebih baik kakak kirim ke ponsel aku saja, deh! Nih, aku kasih nomorku pada kakak."

"Baiklah kalau begitu. Akan aku kirim file-nya segera!"

Mereka saling mengetik. Lalu pada akhirnya, pesan yang dikirim Rei pada Dennis itu pun masuk.

TRINING!

"Sudah ku kirimkan. Sudah masuk, belum?" tanya Rei.

"Iya sudah, nih! Makasih, kak."

Rei pun mengangguk. Lalu ia berjalan ke pintu depan. "Oke. Ya sudah kalau begitu, sekarang aku ingin kembali ke kelasku lagi. Aku akan kembali nanti sore!"

"Baiklah, sampai jumpa!"

KLAK!

Pintu sudah tertutup dan Rei pun sudah pergi. Dennis sendirian lagi di kamarnya. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya sambil mencoba untuk membuka file yang diberikan Rei padanya tadi.

Dennis terkejut begitu saat ia melihat isi dari file itu. Peraturannya sangat banyak dan ketat. Dennis membacanya di dalam hati.

Isi peraturan itu adalah:

Peraturan kamar!

Kamar harus selalu terjaga dan rapih dan bersih selalu. Dilarang makan dalam kelas, tidur lebih awal (maksimal dari jam 8.30 malam), tidak boleh bangun telat, pukul 4 pagi sudah harus bangun dan langsung bersiap-siap secepatnya karena semua toilet akan penuh. Masuk kelas jam 6 pagi, tidak boleh telat. Wajib pakai seragam sekolah yang sudah tersedia, sepatu bebas asal jangan berwarna cerah. Dilarang ber-make up (untuk perempuan), warna rambut hanya boleh hitam dan coklat gelap.

Saat di dalam kelas-

Dilarang berisik dan bercanda di saat jam pelajaran. Matikan ponsel. Saat guru sedang menerangkan, semuanya wajib memerhatikan dan usahakan kelas tetap tenang. Wajib piket, jaga kebersihan, selalu disiplin dan mandiri. Jangan tidur di dalam kelas, jangan mencorat-coret dinding dan meja, dilarang mencontek (usahakan kerja sendiri!), dilarang membawa benda tajam, dilarang membuat onar dan keributan.

Peraturan lain saat di luar jam pelajaran dan sebagainya-

Dilarang mempunyai sahabat lebih dari 7 orang. Dilarang bergandengan tangan, dilarang berpacaran, dilarang tidur siang, Jam istirahat hanya 10 menit, dilarang berkata kasar, wajib mengikuti ekskul setiap sore di hari Sabtu, ke kamar mandi hanya diberi waktu maksimal 2 menit, dilarang merokok, jangan melawan dengan orang yang lebih tua (guru dan kakak kelas)!

"Hah, gila sih ini!" gerutu Dennis. Setelah membaca semua itu, Dennis pun kembali membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Hah, bagiku, peraturan itu ketat sekali! Lalu bagaimana dengan nasib Adel kalau dia harus mengikuti semua peraturan itu? Haduh..., kenapa Ibu memilih sekolah seperti ini untukku, sih?!"

****

-Pukul 5 sore....

Karena terlalu lama memainkan ponselnya, mata Dennis mulai berat dan akhirnya ia pun tertidur di atas ranjangnya. Tapi, tak lama setelah ia mulai terlelap, tiba-tiba saja, pintu kamarnya terbuka dengan sendirinya.

Dennis menyadarinya. Ia pun membuka mata dan sedikit terbangun. Ia menengok ke arah pintu kamarnya sambil mengucek-ucek matanya. Ia pikir, yang membuka pintu itu adalah Rei. Tapi ternyata bukan.

Saat Dennis memeriksa ke depan, ternyata tidak ada siapa-siapa. Lorong yang ada di depannya itu kosong tanpa ada seorang pun yang lewat di sana. Benar-benar sepi dan senyap.

Dennis hanya menganggap kalau pintunya yang terbuka tadi, akibat dari tiupan angin saja. Lalu setelah ia memeriksa kamarnya, ia kembali tenang kalau semuanya aman-aman saja. Dennis pun kembali ke dalam kamarnya. Ia berdiri di depan pintu sambil memikirkan sesuatu.

"Eh, ngomong-ngomong, kok Kak Rei belum kambali, yah? Tapi kan kelas berakhir pada pukul 5 sore. Sedangkan sekarang sudah hampir mau jam 6. Kenapa Rei masih belum kembali?" Pikir Dennis dalam hati.

*****

Saat jam setengah 7, Rei pun akhirnya kembali ke kamarnya. Di dalam, Dennis sedang memainkan ponselnya. Ia terkejut dengan kedatangan Rei yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya.

"Aku pulang!" ucap Rei sembari berjalan memasuki kamarnya.

"Selamat datang!" sahut Dennis.

"Maaf aku terlambat. Tadi mendadak ada rapat OSIS. Kau pasti kesepian, ya?" tanya Rei sambil membuka seragam sekolahnya dan mengganti pakaian baru.

"Ah, tidak, kok!"

"Oh, baguslah kalau begitu." Rei melangkah mendekati kasurnya, lalu ia pun duduk di atas tempat tidurnya. "Kalau begitu, ayo kita tidur!" Rei menarik selimutnya dan mematikan lampunya.

Dennis terkejut dan tak sengaja, ia pun berteriak. "Haaah?! Yang benar saja! Kita tidur sekarang? Tapi ini baru jam 7, lho!"

Dengan cepat, Rei pun bangun dari tempat tidurnya dan berjalan cepat menghampiri Dennis. Rei membekap mulut Dennis untuk mendiamkannya agar tidak berisik.

"Hei! Ssstt...! Jangan berisik. Semua anak sedang tidur. Jangan sampai kau membangunkan mereka." Bisik Rei. Dennis pun mengangguk paham. Setelah itu, Rei kembali melepaskan Dennis.

"Dan satu lagi! Kalau kau berisik, nanti petugas penjaga malam akan datang. Jika si penjaga itu menemukan anak yang belum tidur, maka..., si penjaga itu akan memukulmu sampai kau tertidur!" jelas Rei.

Dennis membesarkan matanya karena terkejut mendengar perkataan Rei itu. "Asal kau tahu saja, si penjaga itu sangat kuat! Satu pukulan darinya saja dengan tangan kosong itu bisa membuatmu langsung tak sadarkan diri! Makanya, berhati-hatilah dengan penjaga itu."

"A–apa hanya dengan satu pukulan saja?! Ah, apa kakak pernah merasakan pukulan itu?" tanya Dennis.

Rei mengangguk sambil meraba kepalanya. "Iya! Aku pernah kena hanya sekali. Pukulannya itu sangat menyakitkan! Aku tidak mau mengalaminya lagi." Rei pun menggeleng dengan cepat. "Sudahlah, aku tidak mau membicarakan soal itu sekarang!"

"Hiiiiy..., sampai segitunya! Aku jadi merinding."

"Makanya, jika kau tidak ingin bertemu dengan penjaga itu, sekarang juga, kita harus tidur!"

"Baiklah ayo!"

"Selamat malam!" ucap Rei.

"Malam."

To be Continued- Eps 4 >>>>

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!