Assalamualaikum warahmatullahi 🙏🙏
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih sekaligus permohonan maaf atas karya pertama yang sama sekali tidak memenuhi ekspektasi pembaca.
Pada dasarnya, saya saat membuat cerita ini benar-benar minim ilmu. Kini setelah hampir satu tahun serta mengalami banyak kemajuan atas dasar kepenulisan, Alhamdulillah saya sangat bersyukur karena bisa meluangkan waktu untuk merevisi seluruh isi ceritanya. Mulai dari tanda baca, diksi, hingga alur yang lebih menarik lagi.
Semoga atas kehadiran karya lama yang disunting dan direvisi menjadi sebuah karya baru yang juga menyajikan cerita baru. Tentunya soal isi cerita sangat jauh berbeda dengan cerita pertama dulu.
Nadin dan Zayn kali ini akan mengalami cinta yang luar biasa yang dibungkus dan disajikan dalam sebuah alur lebih baik dan menarik.
Sekali lagi terima kasih atas apresiasi pembaca karya saya.
Salam manis dari Author remahan 😘😘
Tanda pengenal.
IG : Faray Glad
FB : Faray Stayinglad Spaeriess
Siapa tahu ada yang berkenan untuk menyapa.
Selamat membaca 🙏🙏
Seorang wanita baru saja keluar dari sebuah ruangan tempat nya bekerja. Berjalan perlahan dengan menjinjing tas di salah satu tangannya. Wanita itu sesekali tersenyum serta menganggukkan kepala saat menjumpai mahasiswa yang menyapa.
"Sore Bu ...," sapa seorang mahasiswa.
"Sore," balasnya.
Sosok wanita cantik yang begitu sempurna. Ia adalah Nadin Alia syahir. Salah satu dosen super cantik yang juga menjadi idola para dosen pria juga mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Sudah 2 tahun ini ia telah menjadi dosen di salah satu Universitas swasta favorit di Jakarta.
Nadin adalah sosok wanita yang cukup mandiri dari segala kesempurnaan yang dimiliki. Bahkan setelah kedua orang tuanya tinggal di Jepang 1 tahun yang lalu. Ia hanya tinggal bersama dengan sang adik.
Sebenarnya kedua orang tua Nadin memaksa agar ia ikut pindah ke Jepang, akan tetapi Nadin tidak mau karena ia sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya, begitu pula dengan adiknya yang teguh untuk ikut tinggal bersama di Jakarta dengan alasan untuk menjaga dan menemani kakaknya.
Saat langkah telah habis menyusuri koridor kampus. Nadin berbelok arah untuk menuju parkiran mobil khusus. Tidak lama setelah itu Nadin menghentikan langkahnya. Sebuah mobil mewah berwarna hitam memenuhi sorot mata. Segera Nadin merogoh sesuatu dari dalam tas.
Beep ... Beep ...
Suara berasal dari mobil mengudara yang diikuti oleh lampu mobil yang berkedip. Nadin pun masuk ke dalam. Bukannya segera menyalakan mobil dan pergi dari Kampus, wanita cantik dengan dandanan sederhana itu tampak sibuk membuka tasnya sekali lagi dan mencari sesuatu di dalam sana. Setelah mendapatkan apa yang sedang dicari, wanita berambut panjang itu segera melakukan apa yang ingin dia lakukan. Menghubungi seseorang melalui ponsel yang baru saja diambilnya.
"Halo ... Randy kamu jadi pulang bareng Kakak, tidak?" tanya Nadin setelah mendengar suara seseorang dari seberang sana.
Nadin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul 4 sore, batinnya.
"Gak jadi Kak. Aku ada janji sama temen mau maen bentar," jawab Randi yang membuat Nadin menghela napas.
Ada harap yang ingin dijadikan nyata. Pada awalnya, Nadin berharap jika acara berbelanja sore ini ada yang menemaninya. Kali ini keberuntungan sedang tidak memihak padanya.
Sebenarnya wanita itu tidak perlu repot-repot untuk mengurusi urusan rumah apalagi berbelanja kebutuhan sehari-hari. Hanya saja ia tadi pagi sudah terlanjur berjanji pada bi Marni untuk menggantikan berbelanja sebab wanita tua itu sedang tidak enak badan.
"Baiklah kalau begitu. Jangan pulang terlalu malam, ya!" tutur Nadin.
"Iya ... Kakakku Sayang," balas Randy sembari menyuguhkan tawa renyah.
"Hem ... hati-hati!" balas Nadin yang juga ikut melebarkan bibir juga menggeleng kecil mendapati sikap adiknya.
Setelah Nadin mengakhiri panggilannya. Dengan segera ia mulai menyalakan mesin mobil dan membawa benda beroda empat itu melesat menuju Mall terdekat.
***
Langit kemerahan sudah tak nampak lagi. Nadin sudah puas mengajak kedua kakinya berkeliling dengan sesekali membuka buku catatan keperluan rumah.
Entah berapa banyak uang yang sudah wanita cantik itu habiskan. Hal itu terbukti dari banyaknya barang belanjaan yang kini sedang dibawanya. Nadin melangkah menuju mobil sedikit tergesa sebab kedua tangannya sudah mulai kram. Tidak menyangka jika hasil beberapa jam dihabiskan untuk memilih barang di dalam gedung bertingkat akan menjadikan dirinya benar-benar kelelahan.
Raut wajahnya tampak lelah namun, itu tak membuatnya mengeluh. Pasalnya ia sendiri yang menawarkan diri untuk berbelanja menggantikan bi Marni. Setelah perjalanan dilalui cukup berat, akhirnya ia sampai juga di depan mobil miliknya. Tidak ingin menunda waktu, Nadin buru-buru memasukkan barang belanjaannya ke dalam bagasi mobil.
"Huuuft ... capeknya," gumam Nadin sambil merenggangkan kedua tangannya.
Baru saja Nadin menutup pintu bagasi dan ingin segera masuk ke dalam mobil. Namun, langkahnya tertahan kala ia tak sengaja melihat sosok wanita dari kejauhan. Wanita itu berjalan tertatih sembari memegangi perutnya, ya ... perutnya yang buncit.
Nadin masih setia menatap sosok wanita tersebut. Ia sedang meyakinkan dirinya akan keadaan wanita tersebut. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, segera Nadin berlari kecil menuju di mana sosok perempuan yang tadi dilihatnya berada. Dengan jantung yang masih bekerja sedikit cepat, ia mencoba untuk mencari tahu meski dapat dipastikan jika keadaan wanita hamil itu sedang tidak baik.
"Mbak ... Mbak tidak apa-apa?" tanya Nadin panik.
Wanita yang sedang membungkukkan sedikit tubuhnya itu menoleh ke samping, menatap sosok wanita tidak lain ialah Nadin yang berdiri di sampingnya. Nadin pun sama halnya. Cukup tertegun sejenak menatap wajah cantik dari wanita asing yang bukan darah keturunan orang Indonesia.
Masih dalam keadaan yang sama dengan wajah yang menahan sakit, wanita itu menjawab pertanyaan Nadin.
"Sepertinya saya mau melahirkan. Tolong bawa saya ke rumah sakit!" jawabnya terbata.
Nadin mematung menatap wanita itu. Peluh bercucuran membasahi kening wanita hamil, membuat Nadin merasakan jantungnya semakin berdegup kencang. Ia bingung dan juga takut. Belum pernah dirinya melihat dan menangani kejadian semacam ini sebelumnya. Sejenak Nadin memutar lehernya ke segala arah. Berharap ada orang lain yang dapat membantunya dalam menangani wanita tersebut.
"Ba-baiklah! Mari saya bantu." Nadin menuntun wanita hamil sambil kembali berujar, "Mobil saya ada di sana." Ia menujuk satu titik tempat di mana mobilnya berada.
"Apa Mbak hanya sendiri, di mana keluarga Mbak?" tanya Nadin kemudian untuk memastikan keadaan.
"Iya, saya hanya sendiri." balasnya singkat.
Hanya sekilas menatap wajah cantik yang tampak kacau. Sebenarnya, Nadin merasa aneh terhadap wanita hamil itu. Namun, melihatnya sedang menahan sakit ia tidak akan sanggup mengacuhkannya.
***
Nadin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Sesekali Nadin melirik ke samping. Masih menyimpan segudang keanehan pada wanita hamil yang sedang ditolongnya. Bagaimana tidak, di mana suami dan keluarganya, kenapa membiarkan wanita yang tengah hamil untuk jalan- jalan sendiri. Apa mereka tidak khawatir?
Pikiran Nadin sedang bekerja. Berbagai pertanyaan telah berkumpul di kepalanya. Namun, bibir seakan kelu hanya untuk bertanya. Ia tidak bisa berpikir dengan baik karena keadaan. Sebab wanita itu terus merintih dan menangis, bahkan juga menjerit, membuat Nadin semakin panik dan tak menghiraukan rasa penasarannya.
"Sabar ya, Mbak. Sebentar lagi kita sampai."
Nadin berbicara sambil mengusap bahu wanita tersebut. Mencoba untuk menenangkan keadaan.
"Sakit sekali ... eeeeuuuhhhhh ... hhuuuuuhhh ... hhhuuuuuhhh ... hhhuuhhh." Terus saja mengatur napasnya untuk menahan sakit. Kedua tangannya mencengkram apa saja yang bisa digenggam.
Setelah 20 menit perjalanan, pada akhirnya mobil yang dikendarai oleh Nadin telah sampai di salah satu rumah sakit terdekat. Nadin segera turun dari mobil, berlari kecil mengitari mobil guna membantu wanita hamil itu keluar dari mobilnya.
Tidak disangka jika kedatangannya sudah disambut baik oleh dua orang perawat yang keluar dari pintu UGD.
"Kenapa ini, Bu?" tanya salah satu perawat.
"Tolong Mbak ini! Sepertinya dia akan melahirkan," jawab Nadin sekenanya.
Salah satu perawat dengan sigap berlari mengambil brankar dorong. Dua orang perawat kini datang membawa benda tersebut. Nadin ikut membantu wanita tersebut naik ke atas sana.
"Ibu ini sudah mengalami pecah ketuban," ucap salah satu perawat pada dua perawat lain.
"Iya ... kalau gitu biar saya panggilkan dokter Rena," ucap perawat yang lain sembari berjalan cepat mengambil arah berlawanan.
Nadin menatap pada kaki wanita yang ada di atas brankar dorong. Dengan rintihan yang mengusik telinga, kini ia baru menyadari jika ada cairan kental yang mengalir dari pangkal paha wanita tersebut.
***
Nadin kini terlihat sedang duduk sambil bersandar di sandaran kursi tunggu. Terdengar embusan napas frustrasi. Beberapa jam yang lalu ia habiskan waktu untuk merasakan ketegangan. Mulai dari keputusan dokter yang mengharuskan wanita hamil itu operasi, di sisi lain tidak ada anggota keluarga yang bisa dihubungi dan satu sisi lagi wanita hamil tidak menjawab pertanyaan Nadin mengenai keluarga dari wanita hamil tersebut.
"Bagaimana bisa wanita itu keluyuran malam-malam? Apalagi dengan keadaan mengandung dan tidak membawa apa pun. Bagaimana keluarganya jika tahu keadaannya?" Nadin terus bermonolog dengan perasaan kacau.
"Apa mungkin ia kabur dari rumah? Ataukah korban pencurian?" Nadin menggeleng, "astaga, tidak. Jangan berpikir macam-macam, Nadin. Berdoa saja semoga operasinya lancar. Saat ini kaulah yang bertanggung jawab atas wanita itu."
Nadin terpaksa harus mewakili kewajiban keluarga dari wanita hamil tadi untuk mengurusi segala sesuatu mencakup biaya administrasi hingga sebagai penanggung jawab.
Kembali ia mengembuskan napas. Mencoba untuk tenang di tempat duduk. Mungkin semua rasa penasarannya bisa ia tanyakan besok.
Semoga saja wanita itu dan bayinya selamat dan sehat. Aku akan menunggunya hingga dia melahirkan, batinnya.
Bersambung ....
Suara dari sol sepatu menapak lantai terdengar nyaring. Sesekali wanita menggunakan kemeja putih berbalut jas hitam yang dipadukan dengan span berwarna abu-abu itu menjadi sorotan mata. Penampilan cukup menawan siang itu membuat beberapa orang tidak fokus saat bersisian melintasi koridor rumah sakit.
Ya, wanita cantik nan anggun itu tidak lain ialah Nadin. Terlihat di salah satu tangannya membawa sesuatu. Mungkin buah atau makanan yang akan diberikan pada wanita hamil semalam.
Tidak menyangka jika ia harus kembali pulang saat malam telah berganti pagi bahkan menjelang subuh. Setelah ketegangan dan kepanikan atas keadaan wanita hamil yang mengalami pendarahan, pada akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi Cesar. Dengan keadaan yang tidak normal Nadin pun terpaksa menjadi wali atas wanita tersebut.
Mengingat kembali kejadian malam tadi membuat Nadin semakin dirundung kegelisahan. Sebab setelah wanita berdarah asing itu melahirkan, ia terpaksa harus meninggalkannya sendirian. Mau bagaimana lagi, Nadin pun juga butuh istirahat meski sebenarnya ia tidak tega.
Beberapa menit berlalu cukup ia habiskan waktu untuk menyusun berbagai macam pertanyaan terhadap wanita asing. Kini langkah kaki terhenti pada sebuah ruangan yang kemarin menjadi akhir pertemuan dengan wanita yang ditolongnya. Nadin segera meraih knop pintu dan membukanya lebar.
Siap wanita cantik itu menyuguhkan senyum saat masuk ke dalam kamar. Menatap lurus di mana sosok wanita asing yang kemarin ditolongnya sedang memberikan ASI eksklusif pada bayinya.
"Selamat siang," sapa Nadin sembari melangkah mendekat.
Wanita yang sedang asik menyusui bayinya, kini mengalihkan pandangan ketika mendengar suara pintu terbuka dan sapaan dari seseorang.Tidak perlu waktu lama untuknya membalas senyuman Nadin.
"Siang juga. Aku menunggumu," ucap wanita asing dengan senyuman lebar.
Nadin meletakkan buah tangan yang dibawanya di atas nakas. Kini senyuman kembali merekah saat mendengar suara riang dari wanita asing yang baru ia kenal semalam.
"Buah segar baik untuk kesehatan," seloroh Nadin sembari menarik kursi yang ada di samping pembaringan pasien dan segera duduk di atas sana.
"Bagaimana keadaanmu hari ini, Laurin? Maaf aku datang terlalu siang karena ada sedikit urusan," ujar Nadin mencairkan suasana.
Laurin menggeleng.
"Tidak, tidak apa. Seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah merepotkanmu, Nadin." Laurin menatap dalam ke dua bola mata Nadin. "Sungguh aku tidak bisa lagi membalas kebaikanmu. Terima kasih."
Laurin berusaha meraih tangan Nadin dan menggenggamnya.
"Jangan dipikirkan! Sudah sepantasnya aku melakukan hal itu, tidak menutup kemungkinan orang lain juga akan melakukan hal sama," balas Nadin.
Laurin tersenyum lembut sembari mengangguk kecil. Ia sungguh beruntung karena bisa bertemu dengan orang yang baik hati seperti Nadin.
Kedua mata Nadin tak hentinya menatap bayi mungil dalam dekapan Laurin yang sedang melakukan kegiatan. Perlahan atas panggilan hati, Nadin beranjak dari duduknya dan berpindah duduk pada sisi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuh bayi mungil yang masih memerah.
"Putrimu sangat cantik Laurin," ucap Nadin tanpa mengalihkan pandangan.
Laurin terkekeh kecil. Saat tiba-tiba sesuatu terlintas begitu saja tanpa diminta. Nadin seketika kembali dihadapkan oleh kebimbangan. Namun, sepertinya hati Nadin tidak bisa ia arahkan untuk menahan rasa penasaran.
"Laurin."
Wanita itu hanya berdeham dan menatap Nadin.
"Lalu, bagaimana dengan keluargamu? Apakah kamu tidak ingin menghubunginya? Aku bisa meminjamkan ponselku, jika kamu mau?" tanya Nadin dengan hati-hati.
Laurin menatap lamat-lamat wajah Nadin. Ada guratan kekecewaan tersirat dari wajah Laurin. Nadin pun turut mengiba meski tidak tahu kebenarannya.
Lemah gerakan Laurin menggeleng. Nadin sekali lagi tertegun. Ia menjadi semakin bingung juga penasaran. Bagaimana mungkin kabar gembira atas kelahirannya tidak ingin ia sampaikan pada keluarga.
'Aneh sekali Laurin ini?' batin Nadin.
"Ada apa Laurin? Katakan saja jika kau mau! Mungkin aku bisa menolongmu," desak Nadin.
Laurin mengembuskan napas sejenak. Ribuan ungkapan telah ia rangkai cukup banyak di dalam hati dan siap mengudara. Pada awalnya ia tidak cukup berani membawa masuk orang lain dalam urusan keluarganya. Akan tetapi, di sisi lain ia sedang membutuhkan bantuan.
"Mmm ... aku, sebenarnya aku—"
Laurin dan Nadin mengalihkan pandangannya. Keduanya terpaksa harus menahan diri untuk saling menemukan kelegaan.
Ceklek
Seorang wanita berpakaian putih melangkah masuk ke dalam dengan menyuguhkan senyum.
"Selamat siang, Bu Laurin. Sudah waktunya baby Laura kembali."
Melangkah semakin mendekat. Laurin pun segera mengakhiri kegiatan yang dilakukan oleh putrinya. Perawat itu telah siap mengambil alih Laura dari dekapan hangat ibunya.
"Semoga baby Laura tidak rewel lagi ya, Bu," ujar perawat saat berhasil menggendong Laura kecil.
"Ya ... semoga saja, Sus," balas Laurin penuh harap. Sudah sejak pagi tadi dirinya harus melawan rasa sakit akibat operasi, sebab putrinya sangat rewel juga tidak ingin berada jauh dari ibunya.
"Baik, saya permisi, Bu," pamit perawat.
Kedua bola mata masih menatap sosok wanita berpakaian putih tersebut hingga keluar dari kamar. Kini Laurin cukup leluasa untuk bercerita.
Laurin berdeham, membuat Nadin kembali fokus pada sosok wanita yang baru menjadi seorang ibu tersebut. Tangan Laurin meraih tangan Nadin dan menggenggamnya.
"Aku ... ehm ... sebenarnya." Laurin melepaskan genggaman tangan kemudian menutup wajahnya.
Nadin mengerutkan kening. Siapa sangka sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis yang coba ditahan oleh Laurin.
"Astaga ...," gumam Nadin lirih. Ia menggeser sedikit tubuhnya. Tak menunggu lama, segera kedua tangan memeluk tubuh Laurin yang kini semakin terguncang. Bersamaan dengan tubuh bergetar, isak tangis semakin terdengar jelas.
"Tenanglah, Laurin!" bisik Nadin mengiba.
Meski keingintahuannya cukup besar. Nyatanya ia tidak sanggup menuntut pada keadaan. Usapan lembut ia berikan supaya Laurin bisa tenang.
"Aku ...."
Laurin melepaskan diri dari pelukan Nadin. Wanita itu mengusap wajahnya yang telah basah oleh air mata. Nadin kembali mendudukkan dirinya. Menatap Laurin sembari menunggu kisah yang mungkin akan diceritakan.
"Katakanlah! Ada apa sebenarnya?" ucap Nadin sembari menggenggam sebelah tangan Laurin.
"Aku ... kabur dari rumah. Maaf karena aku harus menyusahkanmu, Nadin."
Laurin menundukkan kepalanya.
"Aku berhutang padamu. Biaya untuk operasiku hingga perawatan Laura tidaklah sedikit." Ia mengusap kulit wajah yang kembali berlinang air mata menggunakan sebelah tangan.
Nadin menggeleng sambil berujar lembut, "Tidak, tidak masalah. Aku tidak akan menuntutmu untuk menggantinya tapi, aku hanya ingin tahu mengapa kamu kabur."
Laurin kembali menatap Nadin. Kali ini tatapan mata ia buat fokus menatap wajah Nadin. Meyakinkan diri jika wanita cantik yang telah membantunya tidak akan meninggalkan dirinya sendiri.
"Sebenarnya ... aku telah berpisah dengan suamiku, Nadin. Dia berselingkuh dengan wanita lain. Jauh-jauh aku datang dari London karena keadaan membuatku terpuruk. Nyatanya saat aku tinggal di sini bersama kakakku. Dia bersumpah akan membawa bayi yang kulahirkan nanti ke panti asuhan."
Laurin bercerita sambil terisak-isak. Bahkan ia cukup berat saat menyelesaikan perkataannya. Melihat tubuh Laurin yang kembali terguncang, hal itu membuat Nadin semakin mengiba. Ia kembali merengkuh tubuh lemah wanita yang baru saja melahirkan tersebut.
"Sudah Laurin. Jangan bersedih lagi! Kau bisa tinggal bersamaku," bisik Nadin sembari memberikan usapan lembut pada punggung Laurin.
Ia belum pernah mengalami hal semacam ini. Sungguh sesuatu yang tidak biasa. Bahkan keluarga sendiri berniat jahat seperti itu. Apalagi dalam keadaan seorang wanita yang terluka sebab kisah cinta yang tidak berjalan mulus.
"Aku akan membantumu. Tenanglah!" bisik Nadin lagi.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!