NovelToon NovelToon

Unexpected [SasuSaku Fanfic]

Prolog

[U n e x p e c t e d]

Haruno Sakura, namanya sebelum menikah. Uchiha Sakura, setelah ia meninggalkan status lajangnya. Seorang perempuan yang memang semenjak ia masuk di bangku sekolah menengah atas, mencintai sang suami yang dua bulan lalu resmi menjadi pasangan hidupnya.

Kata orang-orang, ia adalah sosok paling beruntung karena memiliki suami bernama Uchiha Sasuke. Seorang manajer di Uchiha Ace. Bekerja di bawah komando sang kakak yang berperan sebagai direktur utama di sana. Pria bermarga Uchiha itu dikenal tampan, jenius, dan berwibawa. Tak ayal lagi bahwa ia salah satu lelaki yang sukses di usia muda dan menjadi banyak incaran gadis. Ah tidak! Bukan hanya gadis, tapi wanita.

Kata 'beruntung' hanya akan didapat Sakura dari orang-orang yang memang mengetahui ketulusan cinta Sakura kepada Sasuke di bangku sekolah dulu. Sisanya, akan mengumpat bahwa Sakura pasti memakai guna-guna atau memakai tubuhnya untuk membuat Uchiha Sasuke mau menjadi pendamping hidupnya. Sampai menyumpahi wanita itu agar segera berpisah dengan suaminya. Jika saja ia lemah, mungkin kutukan-kutukan mengerikan dari para pembencinya akan terwujud bahkan beberapa minggu usai ia dan suaminya mengucap janji suci. Pihak tentu akan tersenyum puas. Lebih tepatnya, dari para wanita-wanita yang iri kepadanya.

Gila bisnis. Itulah gelar yang pernah terlintas di kepala Sakura, setelah ia menjalani kehidupan berumah tangga dengan sang suami. Tentu saja gelar itu ia anugerahkan kepada suaminya, Uchiha Sasuke. Sayangnya, Sakura hanya berani memberi gelar itu dalam hatinya, tidak dengan ucapannya. Jika ia benar-benar mengatakannya, sembilan puluh persen ia dan kedua orang tuanya akan diusir oleh bungsu Uchiha itu dari rumah mereka.

"Sasuke-kun, jasmu sudah siap!" seru Sakura, meneriaki sang suami yang masih berada dalam kamar mandi.

Ritual bagi Sakura, walau tahu tak akan ada jawaban untuk dia. Perempuan, yang bahkan masih gadis itu duduk di atas ranjang king size berseprai biru tua. Dia menata barang-barangnya dalam tas kecil sambil larut dalam pikirannya. Sudah lebih dari sebulan, Sakura sering pergi keluar rumah dengan alasan ia pergi ke salah satu perpustakaan di Tokyo untuk membaca buku.

Lima menit berselang, Sasuke keluar dari kamar mandi. Ia hanya berbalut handuk dari pusar hingga lututnya. Sakura sudah sering melihat pemandangan itu, namun ia tetap merona karena malu. Lagi-lagi, gadis itu memunggungi suaminya. Hal itu terjadi hampir di setiap pagi. Sakura hanya perlu menunggu sekitar tiga menit sampai Sasuke memakai pakaiannya.

"Di mana dasiku, Sakura?" suara baritone itu terdengar. Sakura cepat-cepat menoleh.

"Ah!" Sakura berdiri, menuju almari pakaian mereka berdua. "Ada di sini, Sasuke-kun," ucapnya lantas menunjukkan dasi itu kepada Sasuke.

"Terlambat, eh? Mungkin lebih baik harus lebih cekatan," kata Sasuke saat Sakura memakainya dasi panjang itu ke leher Sasuke.

Tangan Sakura yang bergerak memakaikan dasi itu seketika melambat. Ia masih mampu mengendalikan diri dan hatinya. Mungkin karena sudah terbiasa dengan hal ini. Lihatlah betapa tajam ucapan sang suami.

"Selesai," ucap Sakura sumringah. Ia tersenyum tulus kepada Sasuke.

"Ittekimasu," ucap Sasuke dengan datarnya, setelah ia mengambil tas kerjanya.

"Itterasshai, Sasuke-kun," jawab Sakura dengan riangnya.

Mereka keluar dari kamar. Sakura tahu jika Sasuke berangkat pagi-pagi seperti ini, maka lelaki itu tak dapat dicegah untuk sarapan terlebih dulu. Pagi tadi sebelum Sasuke bangun, ia bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan beberapa potong sandwich sebagai bekal Sasuke.

Sakura melambaikan tangan saat mobil sport Sasuke berjalan menjauhi mansion mereka. Ia tersenyum mengawal keberangkatan sang suami. Meski perasannya mengatakan bahwa Sasuke tak akan peduli, bahkan tak akan tahu tentang itu. Saat mobil Sasuke sudah tak terlihat, senyumnya perlahan memudar. Sebagai pengganti, setetes air mata jatuh di pipinya. Segera saja Sakura menghapusnya. []

.

.

.

Title: Yosougai

Story by : Kaze_Natsu

Fandom : Naruto

Rating : M

Pairing : Sasuke × Sakura and others

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Warning AU, OOC (mungkin)

1. Pekerjaan Sakura

Sakura menebar senyumnya di sepanjang lorong rumah sakit tempatnya berada. Bukan karena ia gila atau sengaja menggoda. Justru karena ia berkali-kali mendapat sapaan hangat dari beberapa orang yang ia kenal di sana. Tak sedikit dari mereka adalah laki-laki. Ada pula beberapa yang perempuan selalu menyapa Sakura saat mereka berpapasan karena rasa hormat mereka kepada gadis itu.

"Ohayou, Tsunade-sama," sapa Sakura saat ia memasuki sebuah ruangan yang tertera keterangan 'Kepala Rumah Sakit' di atas pintunya.

"Ohayou mo, Sakura. Sudah berapa kali kukatakan jangan memanggilku seperti itu!" balas seorang wanita bernama Tsunade itu. Sakura tertawa pelan.

Tubuh yang seksi berisi. Otak cerdas, cekatan, wanita karier yang sukses, serta payudara yang besar. Itu semua kelebihan seorang kepala bagian dokter bedah yang sudah bertahun-tahun mendapat kepercayaan itu di sana. Dia memiliki satu kekurangan, yaitu belum menikah. Padahal usianya hampir kepala empat, namun wanita berambut pirang panjang itu tak kunjung menikah.

"Anggap saja sebagai formalitas kita dalam bekerja. Atau akan lebih baik jika aku memanggilmu dengan embel-embel -san saat kita berada di luar rumah sakit?" tanya Sakura. Ia mendudukkan dirinya di kursi kerjanya.

"Omong-omong, kapan aku akan berpindah ruangan? Bukankah hal ini akan menjadi cemoohan untukku? Lihatlah dirimu, Sensei! Kau selalu menghabiskan waktumu dengan laporan-laporan rumah sakit. Kapan kau akan punya waktu berkencan dan menikmati hidupmu dengan orang yang kau cintai?" cibir Sakura saat mendapati Tsunade sepagi ini telah berkencan dengan pekerjaannya. Ia tak lagi memanggil Tsunade dengan sufiks -sama.

Entah bagaimana, Sakura merasa sedang mengumumkan cibiran itu untuk dirinya sendiri.

"Kau sendiri? Sudah menikah dengan pengusaha muda yang sukses tapi memilih bekerja sebagai dokter di sini," balas Tsunade tanpa menoleh, masih berfokus pada lembar-lembar kertas yang diperiksanya. "Bukankah melakukan hal-hal yang santai di rumah lebih menyenangkan dibanding bekerja dengan konsentrasi tinggi seperti ini," imbuhnya.

Sakura menghentikan tangannya yang tengah menulis laporan. Ia memegang ujung dagunya, terlihat berpikir.

"Tapi, Sensei, aku lebih suka hal-hal menantang seperti ini," jawab Sakura.

"Maksudmu bertemu dengan banyak luka dan darah yang bagi sebagian wanita itu menjijikkan?" Tsunade melirik Sakura yang duduk tak jauh di sampingnya.

"Seperti itulah," jawab Sakura. Gadis itu melanjutkan aktivitasnya.

Tsunade hanya menghela napasnya panjang. Meski perbedaan fisik mereka cukup mencolok, mereka adalah pasangan dokter yang paling akrab. Memang di rumah sakit itu tak ada aturan dokter berpasangan kerja dengan sesama dokter. Siapapun dokter yang sedang bertugas dan bersedia membantu dokter lain maka harus mau bekerja sama. Tsunade membuat aturan itu sendiri. Aturan tentang menjadikan Sakura sebagai pasangannya saat dibutuhkan. Menurutnya, Sakura-lah dokter paling hebat yang pernah ia akui.

Tsunade dan Sakura memiliki sifat yang sama, yakni keras kepala. Mereka pernah berada di satu perguruan tinggi kedokteran yang sama. Kala itu, Sakura masih menjadi mahasiswi baru, sedangkan Tsunade telah memulai skripsinya. Kebetulan lagi yang membuat mereka semakin dekat ketika wanita berambut blonde panjang itu bertemu dengan Sakura saat di perpustakaan kota. Mereka semakin sering bertemu di sana. Sakura saat itu sedang mencicil skripsinya, sedangkan Tsunade hanya ingin menyegarkan ingatannya dengan banyak buku-buku tebal dari perpustakaan tempat mereka biasa bertemu.

Keakraban keduanya semakin menguat saat Sakura ditempatkan sebagai dokter di rumah sakit yang sama dengan Tsunade. Yakni salah satu rumah sakit terbaik di Jepang. Bukan tanpa alasan, tapi karena Sakura merupakan lulusan kedokteran terbaik di seluruh Jepang. Saat mengetahui hal itu, Tsunade tersenyum dan berkata pada Sakura bahwa pencapaiannya membuatnya teringat dengan masa lalu. Tak salah lagi, Tsunade juga merupakan lulusan kedokteran terbaik pada masanya.

Hanya, yang membedakan adalah Sakura lulus dengan waktu empat setengah tahun sebagai dokter bedah umum, serta melanjutkan pendidikannya sebagai Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi dalam kurun waktu tiga setengah tahun. Sedangkan Tsunade menempuh pendidikannya selama lima tahun untuk menjadi dokter Spesialis Bedah Toraks Kardiovaskuler.

Selama bersekolah di sekolah menengah pertama dan atas, waktu yang seharusnya ia lalui enam tahun lamanya, justru mampu ia lewati hanya dalam empat tahun. Setelah lulus sekolah menengah atas di usia enam belas tahun, Sakura melanjutkan studinya seperti yang tercantumkan tadi. Tujuh setengah tahun ia lalui, dan mulai bekerja di rumah sakit ini setahun silam.

Kriing .... Kriing ....

Suara telepon di ruangan Tsunade memecah keheningan. Wanita itu mengangkatnya. Raut wajahnya berubah menjadi serius. Saat ia menjauhkan gagang telepon dari telinganya, Tsunade menatap Sakura yang semenjak tadi memperhatikannya.

"Sakura ...," panggil wanita itu. Ia berdiri dan dengan buru-buru memakai jas putih panjangnya serta memasangkan dua kancing di bagian dadanya. Tak lupa, sebuah stetoskop bertengger di lehernya.

" ... operasi atas nama Yuuki-san kau yang menggantikanku. Ada pasien kecelakaan yang sedang sekarat di ruang Instalasi Gawat Darurat. Operasimu di mulai lima belas menit lagi," ujar Tsunade dengan cepat.

Dengan ketanggapan Sakura, ia mampu memahami perintah sang pimpinan dokter bedah tanpa perlu mencerna kembali ucapan wanita itu. Ia segera melakukan hal yang sama dengan wanita yang ia panggil 'Sensei'. Sebenarnya, panggilan itu bukan sekadar penghormatan Sakura terhadap profesi Tsunade. Namun, juga karena seorang Tsunade yang memang telah ia anggap sebagai gurunya.

"Masih pagi begini, sudah ada yang mengalami kecelakaan?" tanya Sakura saat berjalan cepat di samping Tsunade

Mereka menyusuri lorong rumah sakit dengan buru-buru. Suara sepatu yang berbentur dengan ubin rumah sakit itu membuat beberapa pasang mata yang berlalu lalang segera memberi jalan. Perlu waktu tiga menit untuk mencapai ruang gawat darurat bagi Tsunade.

"Orang-orang ceroboh memang selalu mengabaikan keselamatan mereka demi urusan dunia. Mereka sering mengalami hal ini saat mereka berada di jalan raya," ungkap Tsunade. Sakura manggut-manggut.

"Kau perlu memanggil timmu, Sakura. Hari ini sepertinya semua timmu datang," tegas Tsunade. Sakura mengangguk kuat.

"Dan kabar baik untukmu, Yamanaka itu mulai bekerja di sini hari ini. Ia baru pulang berbulan madu beberapa waktu yang lalu. Tapi dia tidak akan berada di dalam timmu. Dia akan berada di tim lain untuk membantu operasi dokter," imbuh wanita itu. Sakura mengukir senyum tipisnya mendengar nama sahabatnya itu. Meski tak berada dalam timnya.

"Segera menuju ke ruangan instalasi bedah, asistenku menunggumu di sana!" perintah Tsunade. Sakura mengangguk paham.

Sakura berbelok menuju ruang instalasi bedah untuk bersiap sesuai perintah Tsunade. Mereka berpisah jalan dari situ. Di ruang yang Sakura tuju, beberapa perawat berdiri di sana. Satu orang berambut blonde memegang brankar kecil, tempat alat-alat medis saat sedang menjalankan operasi bedah. Orang itu, gadis dengan rambut blonde-nya tersenyum ke arah Sakura.

"Sakura-Sensei, ikuti saya untuk menuju ruang operasi Yuuki-san," seseorang berambut pendek dengan mata coklat serta catatan di tangannya berucap kepada Sakura. Gadis itu segera saja mengangguk dan mengikutinya. Di belakang Sakura, dua petugas medis mengikutinya. Mereka dipandu menuju ruangan operasi yang telah disiapkan.

.

.

.

.

.

bersambung

2. Pekerjaan Sakura (part 2)

🌸🌸🌸

"Siapa sangka kita akan bertemu lagi, Jidat Lebar."

Sakura menyesap kopinya saat sahabat lamanya itu berujar. Ia hanya menjawab dengan senyuman. Sakura dan seorang perempuan berambut blonde panjang itu sedang menikmati makan siang mereka di kantin rumah sakit. Gadis dengan manik Emerald-nya menghela napas usai meletakkan cangkir kopinya di meja.

"Bagaimana kabarmu, Ino?" tanya Sakura.

"Tentu saja aku baik-baik saja. Beruntung sekali aku menjadi timmu di sini. Yaah ... meski hanya hari ini," jawab Ino.

"Bagaimana bulan madumu, hm?" goda Sakura, yang sukses membuat wajah Ino memerah.

"Ya ... kami lebih sering menikmati waktu berdua," jawab Ino dengan malunya.

Sakura tertawa. Suara tawa itu sukses membuat beberapa orang di kantin itu menoleh takjub. Jarang sekali seorang Sakura tertawa lepas. Ia hanya sekadar memberikan senyumnya. Ino yang menyadari bahwa mereka-tidak, lebih tepatnya Sakura yang menjadi perhatian, segera mencubit lengan Sakura.

"Jidat lebar! Berhentilah tertawa!" Ino setengah berbisik dan menatap Sakura dengan tajam. Saat itu juga, Sakura berhenti tertawa. Manik hijaunya memandang Ino dengan sendu. Kerinduan tampak tersirat di sana.

Mereka adalah sahabat akrab saat masih sekolah. Melebihi akrabnya suami Sakura dengan Naruto, lelaki berambut kuning bermata biru. Ino dan Sakura sering pergi ke mana-mana bersama. Sama-sama cerdas, terutama mata pelajaran pengetahuan alam. Mereka bahkan dulu bersaing untuk mendapatkan hati seorang Uchiha Sasuke.

"Lalu kau bagaimana?" tanya Ino tiba-tiba. Sakura mengangkat alisnya.

Ino menghela napas panjang, "Haah ... maksudku kau dan Sasuke?"

Sakura diam sesaat. Ia memperhatikan sekitarnya, takut jika ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka. Saat Ino menyadari kewaspadaan Sakura, perasaannya seketika iba kepada sahabat lamanya itu.

"Masih belum membuka hatinya?" tanya Ino dengan hati-hati. Sakura mengangguk pelan.

"Kami juga masih merahasiakan hubungan kami. Aku bekerja di rumah sakit ini tanpa sepengetahuan keluarga dari Sasuke-kun. Bahkan dia sendiri pun tak tahu," ungkap Sakura.

Iris Aquamarine Ino menegang. Ia menatap Sakura tak percaya. Di kepalanya, terlintas pikiran tentang bagaimana bisa Sakura bertahan dengan kehidupannya? Bekerja sebagai seorang profesional di dunia kedokteran, memiliki nama yang cukup tersohor, meski tak banyak yang tahu marga dari gadis bersurai merah jambu itu. Bahkan pekerjaan mulia itu tak diketahui keluarganya. Mengesampingkan itu semua, yang paling membuat Ino bertanya-tanya ialah, apakah Sakura masih menghadapi seorang Uchiha Sasuke yang terkenal dingin dan arogan itu? Atau segalanya berubah?

"Kuharap kau akan segera mendapatkan kebahagiaanmu, Sakura."

Hanya itu yang mampu Ino ucapkan. Ia tak sanggup melontarkan pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya. Sakura tersenyum lantas mengucapkan terima kasih kepada Ino. Keduanya memilih segera menghabiskan makan siang mereka.

"Ino, aku pamit dulu ke ruanganku. Aku harus segera menulis laporan operasi pagi tadi. Terima kasih kau sudah membantuku," ujar Sakura, bersiap untuk berdiri dari duduknya.

Ino menggeleng. "Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih. Memang sudah menjadi kewajibanku bukan untuk membantu seorang dokter?" gadis pirang itu tersenyum miring.

Sakura tertawa kecil. Ia teringat bagaimana dulu mereka bersaing untuk menjadi dokter. Hingga akhirnya, saat Ino jatuh cinta dengan seorang Shimura Sai yang cintanya terbalaskan lantas menikah, Ino menghentikan keinginannya menjadi dokter. Hal itu juga dipengaruhi karena sang suami yang segera menginginkan pernikahan. Dengan dalih tidak ingin Ino kelelahan, Sai membuat Ino mau menurutinya untuk tidak lagi meraih cita-citanya menjadi dokter.

Sakura tahu hal itu karena ia dan Ino masih sering bertukar kabar melalui surel. Ia juga paham tentang bagaimana Ino merajuk saat membujuk Sai agar mengizinkan istrinya untuk melanjutkan studinya di bidang kesehatan. Awalnya Sai tetap pada pendirian, menolak Ino bekerja di rumah sakit. Namun pada akhirnya, Sai luluh dan mengizinkan Ino bekerja hanya sebagai perawat. Suatu kebetulan yang membahagiakan pagi tadi, saat Tsunade memberitahunya bahwa Ino mulai bekerja di rumah sakit yang sama dengan Sakura.

"Sumimasen, Sakura-Sensei! Kami membutuhkan dokter bedah untuk operasi yang seharusnya dilakukan sekarang. Shizune-Sensei mengalami kendala saat sedang menuju kemari."

Suara seorang perawat yang tergesa-gesa membuat Ino dan Sakura menoleh. Raut wajah perawat itu tegang. Ia berharap Sakura tak ada pekerjaan lain sehingga dapat menggantikan dokter bernama Shizune itu. Sakura mengangguk. Ia menoleh kepada Ino, mengisyaratkan agar Ino membantunya. Ino pun mengangguk.

Mereka segera bergegas mengikuti perawat itu. Berjalan di belakang Sakura membuat Ino merasa cukup bangga. Ia menjadi saksi bagaimana rivalnya itu mampu meraih cita-citanya. Diam-diam, Ino mengukir senyumnya.

🌸🌸🌸

"Haah ...," Ino menghela napas. " ... hari pertamaku sungguh melelahkan," tuturnya seraya meregangkan otot-ototnya.

Ia berjalan bersama Sakura menyusuri lorong rumah sakit. Usai melakukan operasi, Sakura mengajak Ino berkenalan dengan lebih banyak orang-orang yang bekerja di rumah sakit itu. Tatkala Sakura sedang menunggu Ino dari toilet, Sakura bertemu dengan teman lamanya, Hyuuga Neji. Seorang lelaki tampan yang juga seorang dokter di rumah sakit itu. Mereka sedikit bertukar cerita sebelum akhirnya pria yang akrab di sapa Neji itu pun mengundurkan diri karena sif kerjanya sudah dimulai.

"Ayo pergi ke kafe, anggap sebagai perayaan sederhana kita bertemu lagi setelah beberapa tahun tidak bertemu," ajak Ino. Memang, Sakura bekerja di rumah sakit setahun sebelum ia dan sang suami dinikahkan atas dasar persahabatan kedua orang tuanya.

"Ah ... kurasa aku harus segera pulang," jawab Sakura.

"Sudahlah! Aku yang akan bicara dengan suamimu nanti kalau dia bertanya," tegas Ino meyakinkan.

Sakura diam sesaat. Ia memeriksa jam tangan di pergelangan tangannya. Jarum kecil di sana menunjukkan pukul empat sore. Berpikir sejenak, Sakura menemukan alasan jika ia pulang lebih sore dari biasanya. Ia akan berkata bahwa bertemu dengan Ino dan lupa dengan waktu. Apa salahnya sekali-kali menginginkan dirinya yang dulu?

Ino mengajak Sakura ke sebuah kafe di tepi jalanan kota Tokyo. Mereka membicarakan hal-hal ringan yang menyenangkan. Sesekali, dua perempuan cantik itu tertawa mengingati masa-masa sekolah mereka. Beberapa kali mereka sukses menarik perhatian pengguna jalan, karena mereka duduk di meja yang paling dekat dengan jalanan. Kafe itu terletak tepat di pojok jalan perempatan kota, dengan dinding kacanya yang mampu menembus langsung pemandangan jalanan itu.

Sakura asyik berbicara dengan Ino, hingga tanpa sadar, seseorang sedang berjalan ke arahnya. Keduanya tertawa lagi, dan kali ini mampu mengundang lebih banyak perhatian orang-orang di dalam kafe itu.

"Sakura! Sudah waktumu untuk pulang!"

Suara baritone seseorang membuat Sakura dan Ino menghentikan tawa mereka. Sakura menoleh ke sumber suara.

"Sasuke-kun?" gumamnya pelan.

"Hn."

"Ah! Hisashiburi¹, Sasuke," sapa Ino.

"Hisashiburi, Yamanaka."

Ino bangkit dari duduknya. Mengamati Sasuke dengan seksama.

"Baka! Kenapa kau memanggilku dengan nama besarku? Apa formalitasmu di dunia bisnis membuatmu seperti ini?" tanya Ino, bermaksud mengajak Uchiha itu bercanda. Padahal Ino sudah tahu bahwa Sasuke tak bisa diajak bercanda.

"Warui², Yamanaka. Sakura harus segera pulang," ucap Sasuke dingin.

"Souka?³ Baiklah, Sakura. Kapan-kapan aku yang akan mengunjungi rumahmu," ucap Ino.

Sasuke melangkah pergi. Sakura bergegas menyusul. Ia sempat menoleh ke arah Ino dan tersenyum tulus kepada Ino.

"Ternyata kau memang harus bertahan dengan keadaanmu, ya, Sakura?" batin Ino bersimpati. Ia menatap getir punggung Sakura.[]

.

.

.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!