...Assalamu'alaikum .... ...
...Hai ... eska'er perdana tayang di sini, ya. Mohon dukungannya, jangan lupa like dan kasih komentar! Ratingnya juga kasih bintang tujuh, ya. Hehehe.... ...
...Happy reading! ...
***
Wajah manis itu terlihat penuh semangat hari ini, setelah tiga hari kemarin ia lewati untuk masa orientasi siswa. Gerbang sekolah SMA Tunas Harapan sudah di depan mata. Langkah kakinya terasa begitu ringan karena rasa bahagia. Rambut panjangnya ia kuncir kuda agar lebih rapi dan tak mengganggu saat pelajaran nanti berlangsung.
Widya Putri Esmeralda, hari ini resmi menjadi siswi kelas 10 IPA-A SMA Tunas Harapan, meski ia harus menelan kekecewaan karena teman dekatnya berada di kelas yang berbeda dengannya. Karin dan Kartika terdaftar di kelas 10 IPA-B.
“Kok telat?” tanya Karin dan Kartika bersamaan. Mereka berdua datang lebih awal dari Widya dan sengaja menunggu Widya di depan gerbang untuk masuk bersama.
“Hei ... ini masih pukul 06.30 WIB, ya! Jadi gue gak telat,” protes Widya dengan senyum secerah mentari.
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga berjalan beriringan menuju kelas. Karin Aleandra dan Kartika Sari adalah teman Widya semenjak duduk di bangku SMP. Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Tentu karena mereka memiliki hobi yang sama yaitu belajar, tidak seperti teman-teman mereka pada umumnya yang memiliki hobi di bidang kesenian, olahraga, atau yang lain. Widya, Karin, dan Kartika berbeda, mereka lebih mengutamakan prestasi di bidang akademik.
Widya gadis manis yang pintar dan pemalu, meski mereka bertiga bersahabat dekat, tak lantas membuat Widya dengan mudah mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Bagi Widya, ia tetap harus memiliki privasi, terlebih soal hati. Bukan karena Widya tak percaya pada sahabat-sahabatnya, hanya saja Widya lebih senang mendengarkan daripada bercerita.
Berbeda dengan Widya, Karin adalah gadis cantik nan putih serta paling tinggi di antara mereka bertiga dan terlihat selalu ceria. Karin termasuk orang yang tak mudah menahan perasaannya, ia dengan senang hati menceritakan apa yang ia rasakan pada sahabat-sahabatnya. Bagi Karin, Widya dan Kartika sudah ia anggap seperti saudara sendiri karena ia adalah anak tunggal. Rambut panjangnya yang hitam legam ia biarkan terurai, membuat Karin terlihat semakin memesona.
“Istirahat nanti, kalian ke kelas gue buat istirahat bareng 'kan?” tanya Widya pada kedua sahabatnya. Kedua bola mata indahnya bergantian melihat Karin dan Kartika.
“Kita makan di kelas lo?” Karin bukan menjawab malah balik bertanya.
“Boleh gak sih, makan di kelas? Atau kita bawa bekalnya ke kantin aja?” Widya terlihat masih bingung karena ini hari pertama masuk sekolah.
“Lo gimana, Tik?” tanya Karin pada Kartika yang sejak tadi hanya diam.
“Ikut kalian aja,” jawabnya singkat.
Begitulah Kartika, ia bukan gadis tomboi, hanya saja gadis itu yang paling irit bicara jika membicarakan sesuatu yang tidak penting. Gadis berkulit kuning langsat itu hanya akan bicara banyak jika topik pembicaraan menarik minatnya. Berbeda dengan kedua sahabatnya yang memiliki rambut panjang, Kartika lebih nyaman dengan rambut lurus sebahu.
Tanpa terasa, mereka telah sampai di kelas 10 IPA-B. “Kita masuk dulu, ya,” pamit Karin pada Widya dan hanya dibalas anggukan oleh Widya. Kelas mereka bersebelahan, jadi tinggal beberapa langkah lagi Widya sampai di kelasnya.
Sampai di depan pintu kelas 10 IPA-A, terlihat oleh Widya sudah ada beberapa temannya yang datang dan menduduki bangku masing-masing. Widya merasa asing, karena tak satu pun ia kenal, hingga akhirnya ia memilih duduk di kursi paling depan.
“Permisi, boleh duduk di sini?” tanya Widya pada gadis cantik berambut gelombang.
“Boleh,” jawab gadis itu dengan senyum manisnya.
Usai meletakkan tas dan duduk di samping gadis itu, Widya segera mengulurkan tangannya.
“Gue Widya, lo?”
Gadis berambut gelombang itu dengan senang hati menerima uluran tangan Widya, “Gue Cindy,” balasnya.
Belum selesai mereka berkenalan, tiba-tiba tiga orang cowok masuk ke dalam kelas, membuat perhatian Widya dan Cindy teralihkan. 'Tampan' itulah bentuk deskripsi mereka bertiga. Widya seakan dibawa masuk ke dalam dunia drama Korea Boys before flower, di mana Gue Jun Pyo dan kawan-kawannya hadir untuk mengalihkan dunia mereka. Widya dan Cindy sampai tak berkedip melihat kehadiran mereka.
Tanpa Widya dan Cindy sadari, mereka bertiga sudah berdiri di samping Widya dan salah satu di antara mereka mengulurkan tangan disertai senyum yang memikat, “Harsa, nama gue Harsa.”
Widya dibuat cengo dengan ulah salah satu cowok itu. Ketampanannya membuat kerja jantung Widya tak normal, detaknya di atas rata-rata andai ada alat pengukur detak jantung. Saking terkejutnya, Widya tak lekas membalas uluran tangan cowok yang bernama Harsa hingga Cindy menyikut lengan Widya, menyadarkan Widya untuk kembali ke dunianya. Dengan gugup, Widya membalas uluran tangan Harsa. “Widya,” jawabnya pendek.
“Nama yang Nice, artinya pengetahuan, gue rasa lo adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas,” tutur Harsa.
“Aamiin,” jawab Widya dengan salah tingkah.
“Oh ya, ini kenalin temen-temen gue, Edo dan Zakir.” Harsa memperkenalkan teman-temannya.
Harsa terlihat begitu memesona dengan senyumnya yang menawan. Cowok yang bernama Edo terkesan lebih dingin. Jika diamati, sebenarnya Edo memiliki wajah paling menonjol di antara mereka bertiga. Perpaduan manis dan ganteng, membuat orang lain betah memandangnya, sedangkan Zakir, cowok manis itu terlihat lebih pendiam, terkesan cuek dengan sekitar.
Mereka berlima akhirnya saling memperkenalkan diri. Harsa mengambil duduk di sebelah Widya dengan Zakir, sedang Edo duduk di belakang Widya.
“Semoga kita bisa menjadi teman yang baik, ya,” ucap Harsa pada Widya dan Cindy.
“Tentu,” jawab Cindy dengan senyum manisnya.
“Insyaa Allah,” jawab Widya singkat. Jantungnya masih belum normal, membuat Widya tak tahu harus berkata apa lagi. Widya hanya diam sambil tertunduk menatap buku di depannya.
“Lo memang seperti ini?” tanya Harsa tiba-tiba membuat Widya terkejut. Tanpa Widya sadari, sedari tadi Harsa memperhatikannya.
“Hah, apa?” tanya Widya bingung.
“Lo lucu.”
“Lucu?” Ragu, Widya mengalihkan pandangannya pada Harsa dan disambut senyum manis Harsa yang kembali membuat jantung Widya seakan berlarian. Widya memainkan jari-jarinya sendiri untuk mengurangi kegugupannya.
“Iya. Lo lucu. Kayak anak kecil. Polos banget,” tutur Harsa diiringi senyumnya yang khas.
Widya masih tertegun memandang Harsa. Kata-kata 'lucu, anak kecil, polos' memenuhi pikirannya. Ini kali pertama ada cowok yang berani menilainya. Saat duduk di bangku SMP, Widya memang terkesan lebih tertutup. Ia hanya memiliki Karin dan Kartika sebagai sahabatnya dan tak memiliki teman laki-laki, hingga suara dari belakang mengembalikan kesadaran Widya.
“Jangan ganggu anak kecil!” ujarnya. Seketika Widya menoleh ke sumber suara, dia adalah Edo yang sedang menatap Widya tanpa ekspresi, di telinganya terpasang earphone tapi entah bagaimana caranya ia bisa mendengar percakapan Widya dengan Harsa. “Apa?” tanya Edo saat Widya menatapnya penuh tanya.
“Eng-enggak.” Widya segera mengalihkan pandangannya ke depan, tak ingin lagi melihat Harsa atau pun Edo.
“Jangan terlalu polos, Widya!” Cindy tiba-tiba berbisik membuat Widya mengalihkan perhatiannya pada Cindy. “Kalau lo gak mau jadi target para player. Kita sudah masuk bangku SMA, banyak player di sini yang nggak main-main,” tutur Cindy, membuat Widya bergidik ngeri.
Pukul 07.00 WIB tepat bel tanda masuk berbunyi, seorang wanita paruh baya muncul dan memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka. Hari ini pelajaran belum sepenuhnya aktif, hanya diisi dengan perkenalan dan pemilihan pengurus kelas. Harsa terpilih menjadi ketua kelas dengan Zakir sebagai wakilnya, Widya sebagai sekretaris, dan Cindy sebagai bendahara kelas.
***
Waktu bergulir begitu cepat, hingga jam istirahat tiba. Kedatangan Karin dan Kartika ke kelas IPA-A membuat beberapa anak IPA-A mengalihkan perhatiannya, terlebih Harsa. Kedua bola mata Harsa menatap lekat sosok Karin yang begitu cantik di matanya. Karin dan Kartika segera menghampiri Widya.
“Ke kantin sekarang?” tanya Karin dan dijawab anggukan oleh Widya. Baru Widya ingin meninggalkan kelas, Harsa menginterupsi.
“Gak mau kenalin temennya sama kita?”
Karin dan Kartika segera mengalihkan atensinya ke sumber suara. Widya yang masih gugup segera mengenalkan Karin dan Kartika pada teman-teman barunya.
“Ke kantin bareng aja,” usul Harsa setelah selesai memperkenalkan diri.
“Boleh,” jawab Karin.
Mereka bertujuh jalan bergerombol. Jika biasanya Widya selalu nyaman jalan bersama kedua sahabatnya, tidak untuk kali ini, jantungnya selalu berpacu lebih cepat setiap ada Harsa di sampingnya, meski Harsa lebih dominan ngobrol dengan Karin.
Edo, Zakir, dan Kartika hanya diam mendengarkan. Kartika dan Edo memiliki kebiasaan yang sama, senang menyumpal telinga mereka dengan earphone, sedangkan Zakir lebih tertarik dengan game di ponselnya. Widya sesekali menimpali obrolannya dengan Cindy. Ia tak mau, Cindy merasa tak di anggap.
***
Gimana? kasih komentar, ya ....
...Happy reading .... ...
***
Sesampai di kantin, mereka langsung menuju ke bangku paling ujung. Di sebelah kantin terdapat taman sekolah yang hanya dibatasi tembok sebatas pinggang orang dewasa. Taman tersebut banyak ditumbuhi bermacam-macam tanaman bunga dan juga ada pohon kersen yang rindang membuat suasana di sekitarnya terasa sejuk.
“Kalian mau makan apa?” tanya Harsa begitu mereka duduk di bangku yang tersedia.
Seketika mereka diam dan saling pandang satu sama lain.
“Kali ini gue traktir kalian deh, anggap saja ini perayaan pertemanan kita,” kata Harsa lagi sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.
“Bakso aja kali, biar nggak terlalu lama. Gue sudah laper,” kata Zakir sambil mengelus perutnya, “Jangan lupa es tehnya!” Zakir terkekeh, menampilkan deretan giginya yang putih.
“Dasar lo, ya!” Harsa tiba-tiba menimpuk pundak Zakir sambil tertawa. “Kalian mau makan apa?” Kali ini pandangan Harsa tertuju ke para cewek.
“Kita bawa bekal, kok” jawab Karin dengan senyum manisnya serta menunjukkan bekal yang mereka bawa tadi.
“Yah, para anak mama nih,” ejek Harsa dan hanya dijawab senyuman oleh Karin, Kartika, dan Widya. “Kalo lo, Cin?” tanya Harsa pada Cindy.
“Samain aja deh.”
“Oke, mohon ditunggu, ya!” Setelah mengatakan hal itu, Harsa langsung menuju ke ibu penjaga kantin.
Sekembalinya dari memesan makanan, Harsa langsung mengambil bangku dan menaruhnya di samping Karin. Sambil menunggu pesanan datang, mereka ngobrol ke sana ke mari sambil bercanda.
“Kalian berteman sejak kapan? Kok kayaknya udah lama banget sih. Seperti gue sama Edo yang udah temenan dari orok,” kelakar Harsa sambil menatap Karin, Kartika, dan Widya secara bergantian.
Widya yang merasa dirinya dipanggil melalui tatapan mata Harsa spontan tersenyum, tapi tidak langsung menjawab pertanyaan Harsa. Widya berusaha keras untuk meredam gejolak hatinya yang sejak tadi sudah tidak baik-baik saja. Setelah mengambil nafas dalam dan segera membuangnya, barulah ia mengeluarkan suara.
“Kami berteman sejak kelas satu SMP. Kebetulan sih, selama itu kami selalu berada di kelas yang sama. Baru kali ini saja keberuntungan sepertinya nggak berpihak sama gue, jadi kepisah dari mereka,” jawab Widya dengan sedikit tertawa untuk menutupi rasa gugupnya.
“Itu sesuai amalan, jadi terima saja nasib lo, karena lo yang dipisahin dari kita, jadi lo harus lebih banyak berbuat baik untuk orang lain biar besok Malaikat mengabulkan doa lo untuk mempertemukan kita di ruang yang sama,” timpal Karin dengan tawa yang renyah dan gaya pedenya yang khas hingga membuat semua ikut tertawa, tak terkecuali Harsa, ia tertawa sambil menatap lekat seorang Karin.
Di situlah Widya mulai merasakan adanya gelombang-gelombang aneh yang terpancar dari aura Harsa dan Karin. Sakit? Pasti, karena Widya merasa jika dirinya kalah sebelum bertanding. Dengan segala kesempurnaan yang ada pada pribadi Karin, Widya tidak heran jika Harsa akan lebih memilih Karin ketimbang dirinya. Bahkan hal seperti ini sudah terlalu sering terjadi di kehidupan mereka.
Dalam hal percintaan, Widya memang selalu menjadi nomor dua. Dulu sewaktu masih di bangku SMP pernah terjadi hal serupa, ketika Arkan menyatakan cintanya pada Karin, padahal Widya yang telah bertemu dengannya lebih dulu. Namun walau begitu, Widya tetap berusaha positive thinking. Ia buang jauh-jauh perasaan yang tak menentu dalam hatinya dan berharap jika perasaan itu salah.
***
Hari demi hari mereka lalui. Kedekatan di antara mereka pun semakin erat. Apalagi antara Widya, Cindy, Harsa, Edo dan Zakir, karena mereka satu kelas dan sering satu kelompok dalam mengerjakan tugas kelasnya terutama praktikum. Seperti sore ini, mereka berkumpul di rumah Cindy untuk mengerjakan tugas makalah dari Pak Beni, guru Bahasa Indonesia.
“Zak, bagian lo mana?” tanya Edo pada Zakir yang masih asyik dengan game-nya.
“Tuh udah gue serahin ke Cindy, cek aja kalau gak percaya! Tugas gue mah selalu beres,” kata Zakir tanpa mengalihkan pandangan dari handphone-nya.
“Tugas lo beres kagak, Sa?” Edo beralih ke Harsa yang dari tadi senyum-senyum aja sambil menggoda Widya.
“Beres Bos, tenang saja Harsa gitu, loh,” jawab Harsa jumawa.
“Halah, biasanya lo juga ngomongnya gitu tapi akhirnya perlu direvisi juga 'kan. Udah jangan gangguin Widya biar ngetiknya cepat kelar!” perintah Edo.
“Ck!” decak Harsa sambil bersungut-sungut.
“Iya nih gue diam.” Harsa berlalu dari samping Widya.
Melihat kelakuan mereka, Widya hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kadang mereka seperti anak kecil, tetapi Widya akui untuk urusan tugas-tugas sekolah mereka selalu bertanggung jawab. Widya merasa senang bersama mereka karena merasa bertemu dengan orang-orang yang satu tujuan. Bagi mereka menyelesaikan tugas pelajaran adalah hal utama. Setelah itu barulah urusan yang lain.
“Yuk diminum dulu dong, cicipin tuh kue buatan mama gue. Jangan dianggurin gitu!” kata Cindy memecah keheningan di antara mereka.
“Urusan itu mah gue jagonya, tenang saja. Eh kalau kurang boleh nambah 'kan, Cin, gue haus banget, nih.” Gaya khas Zakir yang sudah mereka hapal.
“Tenang saja, air kran di depan masih nyala kok. Kalau kurang tuh, tinggal ambil. Nah kalau kue nya juga masih ready, meskipun dalam bentuk dan aroma berbeda, gue ikhlas kok kalau lo nambah. Tapi jangan rebutan sama si Mimi, ya!” balas Cindy diikuti tawa keras dari mereka.
“Yaelah Cin, lo tega samain gue yang gantengnya tingkat dewa ini sama kucing elo,” timpal Zakir dengan sedikit manyun.
“Selesai!” Tiba-tiba Widya berteriak sambil merenggangkan otot punggungnya. Serasa beban hidupnya terangkat seketika saat tugas tersebut selesai.
“Wid, Karin sama Tika kok nggak ikut ke sini sih. Ini 'kan hari minggu. Biasanya juga kalian jalan bareng ‘kan?” tanya Edo hati-hati tapi penuh selidik.
“Eh, apa? Mereka, ya? Biasanya sih ngabarin kalau mau jalan. Mungkin mereka ada acara sama keluarga jadi gak sempat main,” jawab Widya yang mulai curiga akan sikap Edo.
“Wid, pulangnya gue antar, ya? Daripada naik ojek online takutnya malah dibawa kabur.” Tiba-tiba Harsa bicara untuk menghentikan pembicaraan Edo dengan Widya.
“Gak mungkin dibawa kabur juga lah, emang gue anak konglomerat yang bisa ditukar dengan uang tebusan,” balas Widya.
“Ya ‘kan lo itu manis, kalau lo dibawa kabur ntar gue merana dong,” seloroh Harsa.
Kalimat itu sukses membuat pipi Widya merona dan mendadak membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Kalimat yang mungkin bagi Harsa adalah gombalan receh seperti yang biasa dia ucapkan ke gadis lain, tapi bagi Widya, kata-kata itu berhasil menghadirkan pelangi di mimpinya. Memang cinta itu tak bisa memilih di mana dia singgah dan di mana dia berlabuh. Cinta adalah anugerah Tuhan yang paling indah. Meskipun banyak di dalamnya menghadirkan kekecewaan dan sakit hati.
“Hello … kok, malah bengong,“ kata Harsa sambil mengacak puncak rambut Widya. Hal ini adalah kebiasaan baru Harsa yaitu suka mengacak rambut Widya. Karena bagi Harsa, Widya adalah gadis lugu, lucu dan bikin gemas. Entah mengapa Harsa merasa nyaman jika menggoda Widya.
“Eh, iya, tapi ini nggak ngerepotin lo, Sa?” tanya Widya sedikit gugup.
“Kalau Harsa repot, lo pulang sama gue saja!” timpal Zakir.
“Siapa yang repot. Gue ini lelaki gentle, gak akan gue biarin seorang gadis cantik berjalan sendirian,” kata Harsa.
“Ya udah, Sa. Tuh lo anterin mbak Ning, dia juga masih gadis kok. Kasihan dia jalan sendiri mana rumahnya jauh lagi,” seloroh Cindy sambil menunjuk perempuan seusia mamanya Harsa yang keluar dari pintu samping rumah Cindy.
Mbak Ning adalah wanita lajang yang sering membantu beres-beres di rumah Cindy. Meskipun sudah berumur tapi dia belum menikah. Yah, yang namanya jodoh adalah rahasia Allah. Meskipun kita kejar dan pertahankan jika Allah belum mengizinkan maka dia tak kan tergapai.
“Busyet deh lo, Cin. Masak gue harus bersanding sama ….“ Kalimat Harsa berhenti sampai di situ diiringi gelak tawa teman-temannya. Bahkan Zakir dan Edo tertawa sambil memegangi perutnya.
Akhirnya, Widya pulang diantar Harsa dengan motor matic-nya. Berada di jarak sedekat itu dengan lelaki yang dicintainya, sungguh membuat jantung Widya tidak baik-baik saja. Cinta?? Ya, Widya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Widya menjatuhkan pilihan hatinya hanya pada Harsa.
***
next 👉
Tinggalkan jejak jempolnya dulu sebelum pindah channel! hehe....
Jarak rumah Cindy ke rumah Widya bisa ditempuh hanya lima belas menit menggunakan sepeda motor, tetapi perjalanan kali ini terasa lebih lama bagi Widya. Harsa seolah memperlambat laju kendaraannya, sehingga Widya semakin salah tingkah. Bukannya apa-apa, Widya hanya tidak bisa mengendalikan detak jantungnya yang sedari tadi berdebar tak karuan. Seperti genderang yang ditabuh saat lebaran, tidak bisa diajak tenang.
"Lo kalau berangkat ke sekolah naik apa, Wid?" tanya Harsa dalam perjalanan mereka.
"Hah? Ngomong apa, sih?" Widya kurang mendengar pertanyaan Harsa yang berbaur dengan angin jalanan. Ia terlalu sibuk membenahi hatinya yang tengah gundah gulana.
"Lo kalau berangkat ke sekolah naik apa?" Harsa mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih keras.
"Oh ... naik angkot atau ojek online," jawab Widya.
"Nggak ada yang nganterin?"
"Nggak," jawab Widya singkat.
"Tahu gitu kita berangkat bareng tiap hari."
"Eh, gimana?" Widya terkesiap mendengar itu, sampai ia bertanya karena tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Rumah lo kelewatan sama gue tiap hari. Kalau lo mau, kita bisa bareng. 'Kan lumayan ongkos ojeknya bisa buat gue." Harsa tertawa, ekor matanya melirik pada kaca spion yang menampakkan wajah Widya yang terlihat cemberut setelah mendengar ucapan Harsa barusan, "Gue becanda, kok. Sebagai teman yang baik gue nggak bakal minta bayaran," timpal Harsa lagi. Tawanya telah reda, dan berganti dengan senyuman manis tiada tara.
Tanpa sengaja Widya melihat senyum itu, pun di kaca spion yang sama saat Harsa memandang dirinya. Keduanya terlibat saling tatap dalam sekejap. Harsa harus memfokuskan pandangannya lagi ke arah jalan, sedangkan Widya segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Nggak perlu, Sa. Gue nggak mau ngerepotin orang," ucap Widya seraya menenangkan debaran jantungnya yang berdegup kencang.
"Nggak ngerepotin, kok. Daripada motor gue kosong nggak punya penumpang," balas Harsa.
"Ehm ... beneran nggak ngerepotin?"
"Iya."
Sejenak terdiam. Widya tengah menimbang-nimbang tawaran Harsa. Lelaki itu begitu baik, membuat hati Widya semakin tertarik. Kedua sudut bibir Widya tertarik keatas, membentuk seulas senyuman manis nan tipis. Ia menatap punggung kekar di hadapannya, ingin sekali rasanya berpegangan pada punggung itu. Namun rasanya dia tidak mampu, dia terlalu pemalu.
"Sayang banget rumah Karin nggak searah, coba kalau searah—"
"Apa, Sa?" Widya tidak bisa mendengar ucapan Harsa. Lelaki itu berkata dengan nada terlalu pelan.
"Eh, nggak apa-apa, kok. Cuma ngedumel." Harsa berkelit, dia tidak ingin Widya tahu tentang perasaannya terhadap Karin—si cantik yang membuat hatinya selalu berbunga-bunga.
Walaupun penasaran, Widya tidak mau banyak bertanya. Keduanya pun saling diam, tidak ada obrolan lagi setelahnya sampai Harsa berhasil mengantarkan Widya ke rumahnya.
***
Esok harinya, seperti yang dikatakan oleh Harsa. Lelaki itu ternyata tidak hanya memberikan ajakan palsu kepada Widya. Lihatlah! Pagi-pagi sekali, tepatnya pukul enam pagi. Harsa sudah nangkring bersama dengan sepeda motor matic-nya di depan pagar rumah Widya.
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Widya pun menghampiri Harsa, "Kirain cuma basa-basi kalau mau bareng?" celetuk Widya.
"Basa-basi gimana? Ya, nggak lah! Sebagai teman susah senang harus bareng-bareng." Ucapan Harsa membuat Widya tersenyum. Hatinya terasa hangat mendapatkan perhatian kecil seperti itu saja dari pujaan hatinya tersebut.
"Yuk, berangkat!" Harsa bersiap dengan motornya, tak lupa mengenakan helm yang sempat ia lepas sebelumnya. "Oh, iya. Pake nih!" Harsa memberikan satu helm lain yang dia bawa di depan motornya.
"Bawa helm dua?"
Harsa mengangguk, "kebetulan gue punya dua, jadi gue bawa." Widya meraih helm tersebut lalu memakainya. Widya terlihat kesulitan untuk memasangkan pengait pada helmnya. "Sini gue bantu!" Tanpa persetujuan Widya, Harsa langsung membantu Widya untuk mengaitkan pengait helm tersebut.
Jarak mereka terlalu dekat, membuat Widya seolah kesulitan untuk bernapas. Tak ayal hatinya begitu senang, mereka sudah seperti pasangan remaja yang tengah berpacaran. Mungkin ini rasanya punya pacar. Pikiran Widya sempat berkelana, hingga seruan Harsa yang menyuruhnya agar cepat naik motor membuat Widya kembali ke dunia nyata.
Mereka pun berangkat bersama ke sekolah. Setelah sampai di sekolah SMA Tunas Harapan, Harsa sengaja menurunkan Widya agak jauh dari gerbang sekolah, karena dirinya harus memarkirkan motornya di tempat parkir langganannya. Kendatinya, peraturan sekolah tidak mengizinkan anak muridnya untuk membawa sepeda motor ke sekolah. Harsa tetap nekat membawanya, karena alasan rumahnya tidak terlewati oleh kendaraan umum.
Sedari turun dari motor Harsa, kedua sahabat Widya—Karin dan Kartika sudah bersiap dengan tatapan tajamnya, merasa aneh kenapa tiba-tiba Widya dan Harsa bisa berangkat bersama. Seperti biasa, mereka menunggu Widya di gerbang sekolah.
"Tumben bareng Harsa? Kalian jadian, ya?" Mendapatkan pertanyaan dari Karin serta tatapan penasaran dari Kartika membuat Widya jadi kelabakan. Walaupun benar dia menginginkan hal tersebut, dia tidak boleh menunjukkannya di depan kedua sahabatnya.
"Apaan, sih. Nggak kok!" seru Widya gugup.
"Kenapa gugup gitu? Lo bohong, ya?" Karin semakin mencecar Widya, sedangkan Kartika hanya diam saja dengan sikap cool-nya. Dia tidak terlalu memedulikan hal tersebut. Terserah saja kalau memang Widya mau jadian sama Harsa. Toh, itu urusan mereka.
"Hai, Karin ... hai, Tik!" Sapaan dari Harsa mengalihkan perhatian kedua gadis yang tengah mencecar Widya.
"Hai, Sa." Jawaban hampir bersamaan terlontar dari mulut Karin dan Kartika.
"Masuk, yuk!" Harsa mengajak ketiga gadis tersebut untuk masuk ke area sekolah.
"Gue masih penasaran, kenapa kalian bisa berangkat bareng?" Karin masih kekeuh dengan pertanyaannya.
Harsa mengernyit, "Lo cemburu, Rin?" tanyanya mengintimidasi. Jangan ditanya bagaimana keadaan hatinya! Tentu saja sudah bermekaran bunga-bunga cantik di sana. Harsa begitu percaya diri akan perasaan cintanya pada Karin yang ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Karin cemburu, itu artinya dia mencintai Harsa. Begitulah pikirnya.
"Cemburu." Kata itu bukan terlontar dari mulut Karin, melainkan dari mulut Widya. Begitu lirih, hingga tak terdengar oleh siapa-siapa. Widya menatap sendu wajah Harsa yang begitu sumringah. Tatapan lelaki itu secerah sinar mentari pagi yang tengah menatap sekuntum bunga. Hati Widya sedikit mencelos melihatnya.
"Ya, nggak lah. Ngapain cemburu? Emang lo siapa gue?" sergah Karin, walaupun gadis itu juga merasakan gelayar aneh yang tiba-tiba menerjang bagian dalam dadanya.
"Lo nggak nganggap gue sahabat lo, gitu? Apa mau lebih dari sekedar sahabat? Kayak temen paling deket atau ...." seloroh Harsa, kedua alisnya terangkat bergantian. Menggoda gadis yang kini terlihat tersipu di hadapannya.
"Apa, sih? Nggak jelas banget!" Karin memalingkan wajahnya ke arah lain, menyembunyikan semburat merah yang tercetak tipis di kulit pipinya yang putih.
"Udah, ah. Masuk, yuk!" Kartika yang cuek merasa jengah. Ia berinisiatif melangkah pergi seraya menggandeng tangannya Widya. "Yok, Wid! Si Harsa lagi jadi buaya. Males gue dengernya!"
Senyuman tertahan menghiasi bibir Widya untuk menanggapi ajakan Kartika, sebelum ia menganggukkan kepalanya. Hatinya terlalu sakit melihat sikap Harsa yang tiba-tiba menggoda Karin di pagi buta. Widya terpaksa ikut dengan Kartika, sorot tatapan kecewa terpancar dari kedua bola matanya.
"Gue cuma becanda, Tik. Gitu amat sih, lo!" Harsa menghentikan langkah Kartika dan Widya. Dia berpikir belum waktunya untuk mengungkapkan perasaannya pada Karin.
"Widya sekelas sama gue. Harusnya dia bareng sama gue." Tanpa aba-aba, ia langsung menarik tangan Widya, lalu membawanya pergi. Tentu saja Widya terkesiap, ia menatap Harsa dengan tatapan bingung. Kaki jenjangnya terpaksa mengikuti seolah berjalan linglung.
Kartika pun ikut tertegun, ia tidak sadar kalau gandengan tangannya sudah terlepas dari lengan Widya. "Si Harsa itu emang nyebelin, ya? Bisa-bisanya dia bercanda kayak gitu pagi-pagi!" Karin yang merasa di-ghosting sedikit kesal.
"Tahu, tuh!" Kartika ikut sewot. "Bodo, ah." Ia yang tidak pedulian lantas pergi, diikuti oleh Karin setelah menghentakkan kakinya menahan kesal.
***
Bersambung dulu ....
Itu si Harsa minta disleding apa gimana? Cintanya sama Karin, tapi ngebaperinnya Widya 😒
Eh, kalau mau lihat visual mereka follow akun IG-nya kami, ya @eska'er10
Jangan lupa like dan komentarnya! Kasih gift dan vote seikhlasnya, kalau bisa banyakin juga nggak apa-apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!