Yogyakarta.
Kota budaya. Kota pendidikan. Kota seni. Kota pariwisata. Begitulah beberapa julukan yang disematkan pada kota tua ini. Kota yang pernah dijadikan ibukota Republik Indonesia dan banyak meninggalkan jejak sejarah kehidupan kerajaan-kerajaan Jawa di masa lampau. Yogyakarta merupakan satu-satunya wilayah istimewa di Indonesia yang dipimpin oleh seorang raja yang sekaligus merangkap sebagai kepala daerah. Kota yang tak pernah sepi dikunjungi kaum turis, baik domestik maupun mancanegara.
Di kota inilah Arin melabuhkan impian dan cita-citanya. Bukan Jakarta atau Surayaba, kota metropolitan yang sering dijadikan tujuan bagi anak muda meraih mimpi dan kesuksesan. Arin lebih suka dengan kota Yogya. Bukan karena alasan dekat dengan kampung halamannya di Malang yang bisa ditempuh dengan kereta api hanya dalam beberapa jam, sehingga tak merepotkannya untuk sering pulang ke rumah. Juga bukan karena alasan primordial, masih dalam lingkup wilayah satu suku.
Tapi Arin ingin mengaplikasikan ilmunya. Setelah lulus dari Akademi Bahasa Asing, Arin langsung melamar kerja ke sebuah biro travel di Yogyakarta. Kenapa mesti Yogyakarta? Kenapa bukan Bali atau Jakarta? Karena Yogyakarta merupakan jantung pariwisata. Episentrum pariwisata di pulau Jawa. Banyak turis manca yang menjadikan Yogyakarta sebagai destinasi wisata utama setelah Bali. Arin ingin menjual tenaganya sebagai guide atau travel host. Kehidupan di kota Jogja yang cukup ramah dengan biaya hidup yang tak terlalu mahal, alasan lain Arin mengadu nasib di kota ini.
Belum genap empat tahun Arin menjalani profesi sebagai guide. Suka duka telah dialaminya. Tapi semua dijalaninya dengan hati senang, karena ia sangat mencintai profesi ini. Hobinya ber-travelling justru tersalurkan, ia kerap mengantar para turis yang menggunakan tenaganya ke beberapa obyek wisata di seluruh penjuru tanah Jawa. Mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat provinsi Jawa Barat sampai ke pantai Banyuwangi di Jawa Timur. Bahkan beberapa kali ia disewa ke luar pulau Jawa. Ke pulau Sumbawa untuk menyaksikan Komodo, ke tanah Karo di Sulawesi, Danau Toba di Sumatera Utara, dan beberapa tempat eksotis lainnya di Indonesia. Semua dinikmati dengan gratis, karena segala akomodasi ditanggung si penyewa. Bahkan ia dapat tips lumayan!
Drrreeedd…!
Bunyi ponsel yang bergetar karena di-silence mengejutkan Arin. Baru saja dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kamar kosnya yang kecil di sudut kampung dekat Kali Code, melepas penat setelah seharian mengantar turis Jepang keliling Kasunanan Surakarta. Dengan malas gadis duapuluh enam tahun itu merogoh saku celana jeansnya, mengambil ponsel. Sambil menyibakkan rambut panjangnya ia menempelkan ponsel dekat telinga. Sebelumnya ia menengok layar ponselnya dan ia tahu yang menelepon adalah Ira, teman sesama guide.
“Aduh, Rin. Kok lama amat ngangkat teleponnya, sih?!” seru Ira di seberang sana dengan suara cemprangnya yang memekakkan telinga.
“Sori, aku baru saja nyampe di kos. Ada apa?” sahut Arin dengan nada lesu. Ia memang lagi tak mood untuk menerima telepon dari siapa pun. Apalagi dari Ira, yang ia tahu tukang ngerumpi. Pasti gadis itu mau mengajaknya ngobrol. Tak masalah kalau ngobrolnya sebentar, sekadar menanyakan jadwal touring. Tapi mulut Ira yang tipis itu tak bisa direm kalau sudah nyerocos. Pembicaraan tentang A bisa melebar sampai D, E, bahkan Z. Padahal saat ini ia sedang ingin beristirahat!
“Tolong bantu aku, Rin?”
“Bantu apa?” Arin mulai menangkap gelagat tidak enak.
“Besok aku ada jadwal mengantar turis ke Bandung. Tapi kayaknya aku tidak bisa. Aku minta bantuan kamu untuk menggantikannya. Mau kan, Rin?”
“Tapi, Ra…?”
“Please, Rin! Soalnya semua teman sudah ada jadwal sendiri-sendiri. Hanya kamu yang kayaknya kosong. Jadi mau kan, Rin, kamu menggantikan tugasku? Nanti aku kasih kamu oleh-oleh kalau sudah pulang.”
“Memang kamu mau ke mana?”
“Pulang ke Surabaya!”
“Lho, kan baru dua minggu lalu kamu pulang kampung, kok sudah mau pulang lagi? Kamu nggak takut dimarahi bos?”
“Itulah makanya, Rin. Tolong gantiin aku! Please, cuma tiga hari saja. Nanti kalau kamu pengen pulang ke Malang, aku akan gantikan tugasmu. Adil, kan?”
“Tapi, Ra…?”
“Ayolah, Rin! Kamu temenku yang paling baik. Tolong, dong. Aku nggak mau kalau nanti sampai dipecat karena mangkir dari tugas.”
“Memang nggak bisa ditunda kepulanganmu ke Surabaya? Bagaimana kalau besok tiba-tiba aku dapat tugas dari bos?”
“Nggak mungkin ditunda, Rin. Soalnya ini sangat penting sekali. Menyangkut hidup dan matiku. Aku yakin, bos nggak akan ngasih kamu tugas. Soalnya sudah sebulan beruntun kamu keluar kota. Kamu berhak cuti selama tiga hari…”
Arin tersenyum kecut. Ira tampaknya tahu persis dengan jadwal kegiatannya selama ini. Padahal Arin berencana akan memanfaatkan cutinya selama tiga hari memanjakan diri sepuasnya. Bisa tidur seharian, baca-baca novel, atau nonton film. Tapi Ira akan merusak rencana itu. Sebenarnya Arin bisa saja menolak dengan tegas permintaan Ira, tapi mendengar nada suaranya yang memelas itu hatinya jadi tak tega. Sepertinya Ira benar-benar butuh pertolongan.
“Memang ada urusan penting apa di Surabaya sampai menyangkut hidup matimu segala?” tanya Arin jadi ingin tahu.
“Aku mau dilamar, Rin!”
“What’s?!” Arin terkejut mendengarnya.
“Beneran, Rin! Aku mau dilamar Mas Tejo, laki-laki yang sering kuceritakan itu. Dia ngasih tahu kalau besok mau datang ke rumah untuk melamar. Makanya, Papa sama Mama minta supaya aku pulang sebentar!”
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya?” Arin ikut senang juga mendengar kabar sahabatnya mau dilamar.
“Sori, Rin. Semuanya serba mendadak! Sudah ya, Rin. Aku nggak bisa berlama-lama, soalnya aku sudah mau berangkat!” ujar Ira terdengar terburu-buru.
“Lho, memang kamu sekarang ada di mana?”
“Di bandara!”
“Bandara…?!”
“Ya! Aku sudah tinggalkan semua dokumen perjalanan dan agendanya sama Mbak Wita. Oke, thanks ya, Rin! Daaaghhh…!”
Tut, tut, tut…
“Halo? Haloooo…?!”
Arin mendesah napas. Berat. Begitu enaknya Ira melimpahkan tugas itu kepadanya. Dengan seenaknya pula dia menutup telepon, padahal Arin sama sekali belum menyatakan persetujuan. Dalam hati Arin jadi gondok dan sebel bukan main. Janji Ira akan bertukar tugas jika nanti Arin mau cuti tak menarik buat Arin, sebab hampir setahun Arin jarang pulang kampung. Paling hanya hari lebaran atau ada keperluan yang benar-benar penting. Tapi Arin mencoba menepis kekesalannya. Apa salahnya membantu teman. Apalagi Ira mau menghadapi hari paling bersejarah dalam hidupnya, yakni dilamar!
Siapa tahu dengan membantu orang yang akan segera mendapatkan jodoh bisa membuatnya segera mendapatkan jodoh pula! Arin jadi tersenyum sendiri, setidaknya ini bisa sedikit menghibur hatinya.
Arin kembali merebahkan badannya. Tapi tiba-tiba dia teringat pesan Ira. Dia segera menelepon Wita.
“Halo, Mbak. Katanya dokumen perjalanan dan agenda Ira untuk mengantar turis ke Bandung sudah dititipkan sama mbak?” tanya Arin to the point.
“Iya, Rin! Ira tadi pesan suruh dikasih ke kamu,” jawab Wita.
“Turis dari mana, Mbak?”
“Italy.”
“Berapa orang?”
“Sepuluh! Enam cowok, empat cewek!”
“Kapan berangkat?”
“Besok jam lima pagi!”
“Apa? Jam lima pagi?!”
“Ya! Mereka akan naik kereta api ekspres yang berangkat lebih awal!”
Arin menutup telepon. Dia kembali mendesah napas kesal. Dasar, Ira! Bikin kerjaan saja! Ufh, sebel! Arin hanya bisa menggerutu dalam hati.
Arin tergopoh-gopoh menenteng tasnya. Menuju mobil travel yang sudah menunggu di depan jalan masuk kosnya. Tadi ia agak telat bangun. Karena terburu-buru ia tidak sempat berdandan. Habis mandi langsung pakai baju dinas (celana jeans dan kemeja), bermake up secukupnya, lalu bergegas keluar dari kamar kosnya. Jerit klakson terus memanggilnya. Arin hanya bisa mengomel dalam hati.
“Kok lama banget, sih? Sudah ditunggu, nih?” gerutu Tono, sopir mobil kantor, yang biasa mengantar jemput para guide. Arin tak menggubris gerutuan Tono. Dia segera naik ke dalam mobil.
“Bos bisa marah kalau tahu pegawainya kayak gini!” Tono masih juga nyinyir.
“Sudah! Jalan!” tukas Arin agak sewot. Dalam hati ia tak berhenti menyumpahi Ira. Dasar, tuh anak bikin hari gue jadi berantakan!
Mobil segera melaju di tengah pagi yang masih remang-remang.
Sepuluh turis dari Italy sudah menunggu di depan hotel tempat menginap. Mereka kelihatannya sangat marah. Ini tampak dari wajah kusut mereka. Salah seorang menyemprotkan makian dalam bahasa Italy begitu mobil jemputan datang. Untung semprotan itu ditujukan kepada Tono, sang sopir. Laki-laki bertampang bego itu pun cuma cengar-cengir, ketahuan kalau tak tahu bahasa Italy. Arin yang berada di sudut menahan senyum. Padahal kalau diterjemahkan kurang lebih bunyinya seperti ini: “kamu cowok idiot tampang kayak monyet perayu wanita kelas rendahan”!
Tono segera mengangkat koper-koper untuk dimasukkan ke dalam mobil APV. Ketika akan naik ke belakang setir, Tono sempat berbisik sama Arin.
“Eh, Rin! Kamu tahu ndak apa yang diomongin orang Itali tadi?” tanyanya penasaran.
“Dia bilang begini…” Arin berhenti sejenak. Dia mikir, kayaknya tidak enak kalau mengatakan yang sebenarnya. Nanti Tono bisa tersinggung dan buntutnya bisa ngambek berat. Tiba-tiba Arin tersenyum, menemukan ide bagus.
“Kamu cowok hebat yang mampu mengatasi semua masalah!”
“Ah, yang bener? Dia bilang begitu?”
“Ya! Bahkan dia bilang kalau kamu mirip Don Juan!”
“Siapa itu Don Juan?” tanya Tono dengan lugunya.
“Bintang film terkenal Italy pada masa lalu!” jawab Arin sekenanya.
Hidung Tono langsung kembang-kempis, saking bangganya. Sementara Arin tak bisa menahan lagi senyum gelinya. Dia buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum Tono menyadari kalau dirinya telah ditipu mentah-mentah. Tapi laki-laki itu tampaknya cukup puas dengan kebodohannya. Dan itu memberinya semangat berlipat untuk bekerja lebih giat.
Ketika sampai di stasiun Tugu, kereta api yang akan mereka tumpangi belum tiba. Ternyata ada delay. Beginilah Indonesia. Kembali para turis, khususnya yang cowok, menggerutu dan melontarkan sumpah serapah. Kali ini entah ditujukan siapa. Arin memilih menutup kuping dengan headshet (dengerin musik lewat i-phone) dan duduk rileks di kursi peron. Orang Italy memang terkenal kasar dan suka terburu-buru. Untunglah, suasana panas ini tak berlangsung lama. Seperempat jam kemudian kereta ekspres jurusan Bandung tiba. Mereka bergegas naik, mencari nomer kursi, menaruh tas di bagasi, dan dalam hitungan menit kendaraan roda besi sudah melaju.
Sebenarnya Arin agak ngeh juga mengikuti turis yang lebih suka menggunakan transportasi darat untuk perjalanan jauh. Pasalnya, ini akan menjadi perjalanan yang cukup melelahkan. Kesepuluh turis dari Italy itu mungkin para backpaker. Tapi Arin tidak melihatnya seperti itu. Mereka hanya ingin mengirit ongkos saja. Tipe turis macam gini biasanya agak pelit memberi tip. Mereka kadang juga banyak maunya. Apa yang dipikirkan Arin benar adanya. Ketika akan sarapan pagi mereka menuju ke gerbong restorasi, tak menawari Arin sama sekali. Arin memilih memesan makanan pada pelayan keliling dan makan di kursinya.
Perjalanan ke kota Bandung memberikan pemandangan yang cukup elok dan memanjakan mata. Sepanjang jalan mereka bisa menyaksikan hamparan pesawahan, perkampungan, bayangan gunung di kejauhan, sungai, lembah, hutan, dan kota. Tapi Arin masih terlalu lelah dengan perjalanan kemarin. Dia tak mood untuk menikmati pemandangan indah itu. Dia memilih duduk memejamkan mata, tidur. Untung para turis itu tidak terlalu cerewet menanyakan ini-itu. Mereka asyik masyuk dengan pasangannya masing-masing. Sementara dua cowok yang tak memiliki pasangan asyik memotret pemandangan di luar.
Robertino dan Diego, dua cowok Italy yang tidak punya pasangan dan yang paling muda diantara rombongan turis. Mereka terlihat pendiam dan bertampang angkuh. Hanya Diego yang tampak sedikit ramah. Dia sempat mengajak Arin ngobrol, dengan bahasa Inggris yang agak kaku. Diego berbasa-basi menanyakan tentang diri Arin. Gadis itu menanggapinya formil. Sejauh ini Arin selalu menjaga attitude dirinya secara profesional. Dia tak pernah melibatkan perasaan saat berhubungan dengan kliennya. Semuanya masih sebatas hubungan kerja, antara guide dan turis.
Meski diakuinya para turis yang dikawalnya rata-rata bertampang handsome dan masih lajang. Mereka memenuhi standar cowok idaman gadis-gadis pribumi. Tapi Arin menahan diri untuk tidak mudah terpikat. Bergaul dengan para turis Barat yang menganut kehidupan bebas justru membuka mata Arin, betapa cara hidup dan budaya mereka sangat bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Arin tak bisa menyandarkan harapan kepada cowok semacam itu. Sejauh ini impian Arin terhadap sosok pendamping hidup masih berpatokan pada sosok cowok pribumi. Bagaimana pun cowok Indonesia lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya.
“Jadi kamu belum punya pasangan?” Mata Diego yang nakal itu tampak berkilat ketika Arin mengaku kalau dirinya masih jomblo.
Arin hanya mengangguk. Dia berharap statusnya ini tak menjadikan sebuah kesempatan buat Diego melakukan pe de ka te. Bukan Arin mau ge er, tapi beberapa kali ia sering mendapat ajakan kencan dari cowok bule yang pernah jadi kliennya. Kata orang dirinya cukup cantik, meski Arin merasa dirinya cuma biasa saja. Tapi kenyataan banyak cowok bule memuji kecantikan wajahnya. Mereka bilang kalau wajahnya yang oriental sangat seksi. Arin berusaha tidak mabuk oleh pujian yang dilontarkan mereka. Karena dia tahu, pujian para cowok bule itu sangat tendensius. Mereka hanya ingin merayu yang ujungnya mengajak tidur!
Itulah kenapa Arin cukup waspada. Ia tak mau dirinya jatuh ke dalam jebakan. Ia akan menampik dengan halus setiap ajakan kencan yang menjurus kepada making love. Karena ia tahu, sekali dirinya jatuh dalam pelukan cowok bule yang pandai merayu, seumur hidup akan menyesal. Cowok bule itu tak akan pernah menjadikannya ratu melainkan hanya pasangan sesaat yang setiap saat bisa dilepas jika sudah bosan. Begitulah cara hidup mereka, tak pernah serius dalam menjalani hubungan. Cinta bagi mereka tak ubahnya segelas minuman anggur yang memabukkan dan menggairahkan ketika direguk. Tapi setelah hilang kenikmatannya, mereka akan mencari anggur yang lain.
Dan naga-naganya Diego tipe cowok demikian. Bahkan dia tergolong agresif. Begitu tahu Arin jomblo, tanpa rasa sungkan lagi dia mengobral rayuan yang berbau *** dan bernada mengajak ke ‘tempat tidur’. Sambil menahan rasa mangkelnya Arin menanggapi dengan acuh. Dia katakan terus terang kalau dirinya bukan tipe cewek yang suka free ***. Bahkan dengan terang-terangan mengatakan kalau dirinya frigid. Diego jadi salah tingkah sendiri dan akhirnya mundur teratur. Tiba-tiba Arin jadi muak melihat tampang Diego yang kelihatan innocent tetapi ternyata berhati mesum!
Akhirnya, sampailah rombongan di kota Bandung. Hari masih terang saat menginjak bumi parahyangan. Mereka langsung menuju hotel untuk check in. Robertino dan Diego tak menyiakan kesempatan untuk mengabadikan suasana sore kota berjuluk Paris van Java dari lantai sepuluh gedung hotel. Arin memilih mandi begitu tiba di kamar hotel, biar segar. Usai berdandan, dia kemudian keluar menuju loby. Siap menjalankan peran sebagai guide. Malam ini sehabis makan malam mereka ada jadwal menonton pertunjukan wayang golek di gedung kesenian. Lima hari ke depan mereka akan mengunjungi beberapa obyek wisata yang ada di sekitar kota Bandung.
Arin sudah beberapa kali mengunjungi Bandung, namun tak pernah ada kata bosan. Sebab, suasana Bandung tak beda jauh dengan Jogja. Meski terbilang kota modern dan dekat dengan ibukota namun Bandung cukup ramah buat para turis. Aneka hiburan baik modern dan tradisional ada di sini. Bandung juga dikenal melahirkan banyak seniman kontemporer maupun klasik. Di kota ini sering digelar pagelaran seni tari, musik, lukis, film, maupun beragam seni kreatif lainnya, khususnya yang bernuansa Sunda. Kota Bandung bisa disebut juga kota pendidikan sebagaimana halnya Jogja. Karena di sini berdiri beberapa sekolah dan universitas yang cukup bergengsi, salah satunya adalah ITB.
Beberapa obyek wisata sangat elok bertebaran di sekitar Bandung. Ada Gunung Tangkuban Perahu, Kawah Upas, Kawah Domas, Gedung Sate, Gedung Asia Afrika, Taman Ganesha, Pemandian air panas di Ciater, dan banyak lagi. Bandung juga terkenal dengan factory outlet dan café. Konon pusat perbelanjaan fashion terbaik di Asia Tenggara berada di Bandung. Selain harganya relatif murah, kualitasnya juga terjamin. Beberapa sentra pengrajin celana jins bertebaran di kota ini. Sajian kuliner khas Bandung juga banyak berjajar di sepanjang jalan pusat kota. Kafe-kafe, restoran, dan warung pinggir jalan buka hingga tengah malam. Berbagai pertunjukan musik dari berbagai aliran marak disajikan di setiap pub dan café. Bandung telah menjelma menjadi kota penuh warna!
Sebagai guide Arin memang punya kewajiban mengantar turisnya ke mana pun pergi. Namun tentu disesuaikan jadwal atau agenda yang sudah disepakati. Jika sang turis meminta diantar di luar jadwal, maka ada tambahan fee yang diberikan kepada sang guide. Itu pun harus atas persetujuan sang guide. Bisa saja sang guide menolak karena alasan lelah atau waktu yang tidak memungkinkan. Si turis boleh menggunakan jasa guide luar. Tapi biasanya sih, sang guide mau-mau saja diajak pergi di luar jadwal. Karena ini berarti tambahan tip buat sang guide, dan ia tak perlu harus menyetorkan ke biro.
Arin sering menerima tambahan jadwal melancong dari para turis yang diantarnya. Karena dengan penambahan agenda berarti ada pemasukan tambahan buat kantor dan sang guide. Jadi, sama-sama untung. Biasanya sang turis yang meminta tambahan agenda karena ada sesuatu kepentingan, semisal ada kegiatan peliputan, penelitian, atau karena belum puas menikmati obyek wisata yang dikunjungi. Dari sekian kegiatan mengantar turis, Arin paling suka menemani turis yang sedang mengadakan penelitian. Mereka lebih sering membawanya ke situs-situs budaya dan sejarah yang jadi obyek penelitian. Semisal ke reruntuhan candi, kraton, situs purbakala, prasasti, dan semacamnya. Ini menjadi pengalaman berbeda buatnya dan menambah wawasan!
Tapi kali ini Arin mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan. Robertino dan Diego meminta jadwal tambahan dari agenda yang disepakati. Mereka meminta ditemani dugem ke klab malam. Mereka bersedia memberi tambahan uang tip. Arin menolak, selain karena alasan sudah capek, dia tidak suka pergi ke klab malam. Apalagi besok pagi-pagi mereka sudah harus check out dan kembali ke Jogja. Tapi kedua cowok sombong itu terus memaksa. Mereka bahkan setengah mengancam akan melaporkan ke bos Arin. Mereka berjanji tidak sampai larut malam. Akhirnya, Arin bersedia dengan hati terpaksa!
Suasana ruang klab malam yang hingar bingar dengan musik hip hop terasa memekakkan telinga. Lampu spotlight warna-warni berpendaran memenuhi ruangan. Arin memilih duduk di sudut memisahkan diri dari keramaian. Sementara dua bule tengik itu asyik berajojing di lantai dansa. Mereka menggandeng cewek berbaju seksi yang baru saja dikenal. Bau asap rokok dan minuman beralkohol bertebaran, menyengakkan hidung. Perut Arin rasanya mual dan ingin muntah saja. Kalau tidak ingat menunggu dua cecunguk itu Arin lebih suka memilih menyurukkan tubuh di atas ranjang, melepas penat!
“Hai, sendirian saja?” sapa seorang cowok bertampang begundal menyapanya. Arin melengoskan wajah.
“Kok diam saja? Sakit gigi ya? Jangan sok jual mahal deh!” Orang itu mulai kurang ajar.
Inilah yang tidak disukai Arin jika mengunjungi klab malam. Dirinya akan dianggap perempuan gampangan. Gampang diajak kencan, melantai, dan juga bobo bersama. Bukankah begitu? Lihat saja dua bule Italy itu. Tanpa harus saling kenal sebelumnya, mereka sudah dapat pasangan. Dua cewek yang sedang melantai dengan duo cowok bule itu begitu mudahnya diajak dansa. Mereka pasti pengunjung tetap klab malam ini. Jadi, siapa saja perempuan yang memasuki klab malam ini akan dianggap sama seperti dua cewek sexy itu. Arin tak mau menjadikan dirinya cewek murahan yang menukarkan harga diri dan kehormatan hanya demi segelas minuman!
Karena kesal oleh celotehan cowok bermuka badak itu Arin memutuskan beranjak pergi. Dia tak pedulikan Robertino dan Diego yang masih asyik dengan ‘pacar-pacar baru’-nya. Lagi pula ini sudah lebih dari cukup memberi tambahan waktu. Arin yakin, kedua bule tengik itu tahu jalan pulang ke hotel. Dengan langkah bergegas setengah berlari Arin keluar dari ruang klab malam. Dia tidak menyadari ada seseorang mengikutinya dari belakang. Arin sudah sampai di halaman gedung klab malam, merasa lega. Dia segera menuju ke jalan raya untuk mencari taksi. Arin berdiri di trotoar menunggu taksi lewat.
Tiba-tiba tanpa disangka, tiga cowok berbadan kekar muncul di sampingnya. Mereka tertawa terkekeh.
“Mau ke mana, Neng? Ayo, ikut kami. Nanti kami antar sampai ke rumah!” kata salah seorang dari mereka yang bertampang sangar.
“Jangan khawatir! Kita orang baik-baik, kok!” Kali ini cowok yang tadi mengganggu Arin di ruang klab malam sambil menyeringai.
Wajah Arin terkesiap. Pucat. Dia bisa membaca niat buruk tiga cowok begundal ini. Tanpa pikir panjang Arin segera pergi meninggalkan tempat itu. Tapi ketiga cowok itu tak membiarkannya. Salah seorang dari mereka mencekal tangannya. Arin terpekik kesakitan oleh cengkeraman tangan kekar yang kuat.
“Lepaskan! Saya akan berteriak jika kalian berani macam-macam!” ancam Arin dengan wajah meradang.
“Wah, bisa bicara juga neng geulis ini? Aku kira bisu! Silahkan kalau mau teriak. Tidak bakal ada yang menolong!” tukas cowok bertato di lengannya sambil cengengesan.
Arin jadi ketakutan. Dia tak mau jadi mangsa empuk tiga begundal busuk ini. Dia pernah membaca berita tentang kasus perkosaan yang menimpa perempuan di jalan. Arin tak mau mengalami nasib setragis itu. Ia tak mau jadi korban perkosaan.
Arin siap berteriak kencang untuk meminta pertolongan. Namun belum sampai mulutnya membuka, tiba-tiba salah seorang dari mereka membekapnya dari belakang. Arin tak bisa bersuara. Dia mencoba melepaskan diri, tapi kedua begundal itu dengan erat memegang kedua tangannya. Arin hanya bisa bergelinjangan seperti ikan patin terperangkap ke dalam bubu.
“Cepat bawa mobilnya ke sini, Jon!” Perintah salah seorang dari mereka kepada temannya.
Mobil jeep yang tampaknya sudah dipersiapkan itu segera muncul. Arin masih terus berusaha memberontak dan melawan. Namun tenaganya tak cukup kuat mengalahkan jepitan kedua begundal. Jalan raya di depan Arin sebenarnya cukup ramai kendaraan yang lewat, tapi tak ada satu pun yang berhenti untuk menolong Arin. Sementara gadis muda itu hanya bisa merintih dan menangis. Bayangan menakutkan akan terenggutnya kehormatan diri terpampang di depan mata. Dalam hati Arin hanya bisa berdoa memohon pertolongan Allah!
“Ya Allah! Ya Rabb! Tolonglah hamba-Mu yang lemah ini! Hindarkan hamba dari bencana yang bisa menghancurkan masa depan hamba! Tolong, ya Allah! Hadirkan seseorang untuk menolong dan membebaskanku dari tiga iblis jahat ini. Jika dia perempuan aku akan mengangkatnya sebagai saudara dekat. Jika dia laki-laki, aku akan bersedia menikah dengannya sekalipun buruk wajahnya!” Demikian isi doa Arin. Kedengarannya terlalu berlebihan, seperti isi sayembara pada zaman kerajaan tempoe doeloe. Tapi Arin mengucapkan dengan penuh kesungguhan dan hati tulus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!