“Lepasin gak?” sahut seorang siswa putra melihat pacarnya digandeng siswa kelas sebelahnya.
“Gak usah ngegas gitu, lo tanya aja sama dia, masih mau gak jadi pacar lo?” ujar siswa yang berlabel nama Riko Findaza sambil menolak bahu Deon.
“Iya, Deon, kita putus aja ya?, habisnya lu gak asik, udah macam polisi lo, banyak aturan” sang pacar pun mengiyakan.
“Oke, kita putus. Dan gue pastikan gue pasti dapatin yang lebih baik dari lo!” ancam Deon
‘Bugh’ Deon yang masih dalam amarah, lekas tangannya menghantam wajah Riko.
Terjadi baku hantam di pagi ini. Cairan merah keluar di tepi bibir Riko dan Deon. Yang berujung pemanggilan keduanya ke ruang BK. Setelah perselisihan sengit keduanya damai di depan guru. Mereka terkesan tidak mau memperpanjang masalah yang akan berujung pemanggilan ke dua orang tua mereka, terutama masalah perempuan. Malu.
Ya, tentu malu. Deon yang memiliki nama panjang Deon Ananda Putra Wira Kusuma merupakan anak orang terpandang di pemerintahan kota ini. Sekolah tempat ia belajar pun adalah sekolah ternama, yang wartawan tidak akan segan-segan untuk menjatuhkan pamor orang tuanya. Sekolah Nasional Garda Bangsa namanya, sekolah ini terletak di antara gedung-gedung pencakar langit dan kawasan elit lainnya di tengah kota Jakarta Selatan. Dengan biaya operasional yang tinggi, maka bisa dipastikan yang menjadi siswa hanya yang berasal dari golongan kelas atas, kecuali jika ada program beasiswa untuk siswa pintar yang sudah dijaring ketika sejak SMP, sebagai bentuk pengabdian sekolah kepada pemerintah.
Keluar dari ruang BK, Deon bertubrukan dengan seseorang.
“Apaan sih, buat tambah kesel aja” Deon mengibas kesal rambutnya.
“Maaf, saya hanya mau ke ruang wakil”
Tanpa memperdulikan perkataan wanita itu, Deon melangkah ke kelasnya. Kelas yang terkenal riuh. Siswa-siswa di dalamnya merupakan siswa binaan dari guru BK. Terutama masalah keonaran. Pagi ini mereka sudah diberitahu bahwa akan ada guru yang akan menggantikan guru bahasa Inggris yang akan memasuki masa pensiun.
“Udah deh Deon, lo sama gue aja?” ledek Zara, siswa perempuan yang agak kecentilan
“Hah, Lo cantik sih, tapi ntar aja, kalo gue khilaf, gue pasti pacaran sama lo!”
Mendengar ucapan Deon, teman sekelas pun menjadi tertawa, muka Zara pun memerah.
“Hem, gue bercanda Zara... “ senyum di muka Zara pun mengembang. Setidaknya mereka tau, bahwa Deon walaupun sedikit brutal, dia orang yang kurang suka untuk bermain hati.
Deon duduk memenangkan dirinya. Sebenarnya dia juga tidak terlalu suka dengan Nicky. Perempuan yang membuatnya masuk ruang BK di pagi ini. Hanya saja dia ingin meyakinkan apakah Nicky benar-benar bisa menjadi kekasihnya, setelah lama mereka bersama. Karena memang Nickylah yang menggodanya terlebih dahulu. Ia tau, berdasarkan informasi yang didapat dari teman-teman yang ia percaya, Nicky hanya ingin bersenang-senang dengannya. Wajar saja, jika Nicky tidak terlalu ambil pusing masalah keluarga Deon yang sering ia lihat, jika bertandang ke rumah Deon. Bagi Nicky, berpacaran dengan Deon bisa meningkatkan statusnya di seantaro sekolah.
Dengan kejadian tadi pagi, Deon benar-benar bersyukur. Di usianya yang ke 19 tahun, jujur ia malas menjadi Don Juan di sekolahnya. Perawakan Deon yang terbilang ganteng dan manis terkadang menjadi beban buatnya, dikarenakan banyak yang mengelu-elukan dia lagaknya seperti artis. Deon bukan murid yang seperti itu. Ia sadar dan tak mau apa yang ia dapat selama 4 tahun di pesantren sia-sia.
***
Resania Hana Sikumbang, dengan langkah tegap, memulai perjalanan baktinya ke almamater yang telah memberikan ia beasiswa hingga ke perguruan tinggi. Sebenarnya bisa saya Resa melanjukan kuliahnya ke perguruan tinggi yang ada di luar negeri. Tetapi ia tak mungkin meninggalkan Ama dan adiknya sendirian di Jakarta. Ama yang sakit jiwa karena ditinggal Apa karena kejadian kebakaran di Tanah Abang, tempat kedua orang tuanya berdagang, mencari nafkah untuk keluarga. Apa yang saat itu sedang terlelap di kios pakaian karena kelelahan dengan pintu kios yang tertutup, tak sadar akan api yang telah berada di depan pintu. Hingga hari naas itu membuat Ama hanya bisa termenung dan menyesali, mengapa tidak menjemput atau mengingatkan pulang Apa malam itu.
Ya, disinilah kini Resania. Sekolah tempat ia menuntut ilmu dengan beasiswa juga, 3 tahun yang lalu.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, selamat pagi siswa-siswi sekalian?” Kepala Sekolah menyapa, di sampingnya berdiri dengan anggun wanita berusia sekitar 21 Tahun.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatu, selamat pagi pak?”
“Baiklah, saya kesini mengantar kan Ibu Resania, yang akan menggantikan Bapak Widodo yang akan memasuki masa pensiun”
“Baiklah buk Resa, silakan mengajar, dan saya tinggal dulu ya!”
“Terima kasih pak”
“Apa kabar semuanya?”
“Baik buk”
“Ok, Call me Miss Re”. Resa menyebarkan pandangannya ke penjuru kelas. Ada seorang siswa yang terkesan tidak fokus. Duduk paling belakang sambil mencoret-coret buku.
“Maaf, itu yang duduk paling belakang, how are you? Hello? Hello?” hingga panggilan ke tiga tidak ada sahutan
“Deooon” panggil teman-temannya serentak, jujur Resa takut, jika ada persepsi kelas rusuh saat ia mengajar. Hal itu akan menjadi penilaian jelek bagi dirinya.
“Apaan sih, brisik tau” Deon membalas dengan lantangnya.
“Lagian lo, dipanggil gak nyahut-nyahut, noh Miss Re”
“i hope your attention in my lesson, please?” Miss Re menyeringai tajam ke wajah Deon
Deon yang seketika melihat wajah manis dengan jilbab berwarna gold, bagai melihat oase di tengah gurun pasir, seketika menjawab
“I wiiln’t only give my attention, if you want i can give my life for you”
Terdengar kelas makin riuh. Mata Resa terbelalak mendengarnya. Ia sudah terbiasa mendengar gombalan dari teman-temannya. Tapi ini muridnya. Dengan muka datar dan tanpa rasa bersalah.
“Oke, kita lanjutkan pelajaran kita” Resa melangkahkan kakinya ke arah depan.
“I’m serious, miss” kata yang membuat langkah Resa berhenti. Namun, setelah berpikir, dia langsung melanjutkan pelajarannya.
Resa penuh semangat menjelaskan tentang Text Prosedure. Ia enggan untuk melihat ke arah Deon karena sepertinya hanya akan mengganggu kosentrasinya mengajar. Waktu tiga bulan ini menjadi masa yang menentukan untuknya. Menjadi guru adalah impiannya. Apalagi untuk saat ini, Resa sangat membutuhkan biaya berobat Ama dan sekolah Reni adiknya. Sekolah Garda Bangsa sendiri yang menawarkannya kepada Resania selaku alumni yang mendapat beasiswa untuk melajutkan studinya. Resania pun satu-satunya alumni yang dibiayai sekolah dengan jurusan kependidikan. Ia bersyukur, guru-guru yang pernah mengajarnya merekomendasikannya untuk mengajar di sekolah ini.
“Baiklah, sekian dulu materinya, apakah ada pertanyaan lain?”
Deon mengangkat tangannya. Sebenarnya Resa malas untuk menanggapinya.
“Oke, Deon, apa yang mau kamu tanyakan?”
“Gak, jadi deh buk?” Sedari tadi dia kurang mencermati apa yang disampaikan Miss Re, hanya saja, tiba-tiba dia malu bertanya, takut ketahuan bahwa ia tidak kosentrasi.
“Oke, kalau begitu, saya permisi dulu. Jangan lupa pelajari kembali di rumah”
Dan Resa pun meninggalkan kelas. “Alhamdulillah, untuk hari ini ya Allah”. Gumamnya dalam hati.
"Uni, tadi Ama meraung-raung lagi uni?"
"Iya, Ren. Nanti Uni usahakan uang lagi untuk berobat Ama ya"
Ngilu sebenarnya, uang simpanan Resa belum cukup untuk memenuhi biaya pengobatan Ama bulan ini. Uangnya sudah ia gunakan untuk membiayai kebutuhan perkuliahannya sekaligus pendaftaran wisuda. Pihak Yayasan Garda Bangsa tidak lagi menyalurkan beasiswa jika mahasiswanya telah selesai sidang skripsi.
Makanya dengan penuh kesadaran Resa mau menerima tawaran yayasan tersebut untuk mengajar disana.
"Iya, uni, semoga Ama cepat sembuh ya Uni.!"
"Aamiin"
Ucap mereka bersamaan.
Resa melihat kondisi Ama yang sudah terlelap. Ama tidur setelah meminum obat penenang. Selama ini Resa memberikan resep obat dari rumah sakit. Tetapi, sudah berbulan-bulan, Amanya juga belum sehat.
Vonis dokter mengatakan bahwa Anak menderita Prolonged grief disorder.
Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
Sejak Ama sakit, Resa yang menjadi tulang punggung di rumah ini. Beruntung waktu kejadian itu kios Apa yang di blok lain tidak terbakar.
Jadi, Resa masih bisa mengatur keuangan bahkan untuk orang yang menjaga Ama di rumah.
"Uni, apa gak sebaiknya Ama dibawa ke rumah sakit uni, ke psikiater handal misalnya uni"
"Iya, Ren, doakan saja lapak kita yang di tanah Abang lancar ya, walaupun hanya dapat menutupi biaya di rumah. insyaAllah nanti uni tabung gaji mengajar. Reni belajar yang baik ya"
Bukan tak pernah Resa menanyakan berapa biaya yang dikenakan pada Psikiater ternama di Jakarta. Biayanya hampir mendekati sepuluh juta perbulan.
Dorongan moril dari rumah pun sudah dilakukan, namun hasilnya masih nihil. Jika mengingat itu, rasanya Resa mengutuk dirinya yang menjadi anak tak berguna.
Setelah shalat Isya, Resa mengecek pembukuan lapaknya. Selain itu, Resa juga membuka lapak online di beberapa aplikasi market.
"Oke, fix, rampung hari ini. Sekarang tinggal mengulang materi-materi" gumam nya kecil.
Media pembelajaran pun sudah disiapkannya. Ia tidak mau grogi di depan siswa-siswanya yang hanya berjarak 4 atau 5 tahun lebih muda darinya.
Selintas bayang wajah siswa di kelas tadi pun muncul. "Ah, ada apa aku ini. Bukankah dia hanya menggoda. Lagian bukan cuma dia pernah menggodanya?" Hati kecilnya berbicara, seolah olah meledek dirinya. "Cie...cie…siswanya ganteng bukan?" "Hemm bukan ganteng, tapi manis dan menarik, itu lho senyumnya, tegas suaranya? Cie… cie..
Astaga… sudah pukul dua belas malam."
"What… aku memikirkannya hampir dua jam".
Gegas Resa berwudhu di ruang belakang dan melaksanakan shalat Tahajud nya.
Di dalam doanya, ia selalu meminta agar Ama nya segera sehat. Ia rindu masakan Ama. Ia rindu gedoran pintu Ama dikala subuh. Namun, di doa kali ini dia meminta agar ia dijodohkan dengan orang yang memang mau menerima dirinya dengan segala kekurangan di keluarganya. Ia tak mau jika harus meninggalkan Ama nya. Bagi Resa, Ama nya adalah syurganya.
Resa masuk ke kamar Ama dan memperbaiki selimut Ama yang tidak lagi menutupi tubuhnya. Ama yang meski sakit pun tidak berkurang kesahajaan waktu ia tidur. "Tidur lah Ama, Apa baik-baik saja di sana"
Melangkah ke kamarnya yang hanya seluas 9 meter persegi, Resa lalu membaringkan badannya. Tak lupa pula dia mengucapkan doa tidur. "Mimpilah dengan indah wahai hati, percayalah, semua akan baik-baik saja" gumamnya pelan.
***
Selesai sarapan, Resa dan Reni berangkat sekolah. Tak lupa pula di berpesan kepada uwo Epi, yang menjaga Ama di rumah ini, untuk meminumkan Ama obat. Uwo Epi sendiri merupakan kerabat Ama yang sudah bercerai dengan suaminya, namun sudah tidak lagi ingin menikah. Entah lah kadang cinta memang sulit untuk dimengerti. Sementara itu, anak-anaknya ada yang tinggal di Padang dan ada juga yang di Bandung. Jualan juga. Buka lapak di Pasar Andir. Sebagian barang jualan Resa yang di Tanah Abang juga didistribusikan kan ke sana.
Dengan menggunakan motor matik, mereka membelah jalan ibu kota. Sekolah Reni searah dengan tempat mengajar Resa.
Resa mulai mengurangi kecanggungannya. Seharusnya dia tidak perlu canggung lagi. Bukankah dia pernah mengajar di sini? Sekitar enam bulan yang lalu walau ia hanya mengajar kelas X. Akses jalan masuk kelas X dan kelas lainnya memang berbeda. Saat upacara pun, Resa lebih memilih untuk berdiri di bagian belakang.
"Hem, permisi"
"Sorry, excuse me"
Sapanya lagi pada siswa yang menghalanginya di pintu masuk kelas IPA.
"Sorry, Miss!"
"Oh, Deon, bukankah kamu kelas IPS?"
"Hem, emangnya gak boleh Miss?"
"Tak bisa Deon, kemarin kan kamu sudah belajar bahasa Inggris?"
"Kalau saya mau belajar di sini lagi, ibu mau apa?"
"Kamu ngerti aturan gak sih"
"Enggak, buk!"
"Keluar, atau saya panggil kan satpam"
"Hahaaha, silakan saja ibuk panggilkan satpam untuk saya, saya akan panggilkan penghulu buat kita?" Bisik Deon sambil berlalu pergi.
"Hah… ada-ada saja siswa zaman sekarang" batinnya.
Sudah beberapa kelas dia ajar kali ini. Rasanya lebih damai dari kelas hari kemarin. Terasa perbedaan kelas IPS yang satu itu.
***
Ini sudah Minggu ketiga ia mengajar di sekolah Garda Bangsa. Belum ada perubahan yang berarti pada cara belajar kelas XII IPS itu.
"Bagaimana ini bapak dan ibu, laporan dari beberapa mata pelajaran yang mengajar masih banyak yang belum tuntas pada siswa yang bernama Deon di kelas XII IPS. Sementara ujian semester satu sebentar lagi!"
Wakil kepala sekolah berkata pada rapat kali ini.
"Ah, saya pun sebagai wali kelasnya sudah pusing" kata pak Tagor.
"Dia ini hanya bermasalah pada buat tugas pak, dan kadang juga jarang masuk sama saya" sahut buk Melia guru geografi.
"sama saya juga jarang masuk dia pak, tetapi itulah, waktu menjawab soal soal online, yang dia jawab betul semua pak. Seperti nya dia semakin kurang motivasi saja dan ia jua tidak sebrutal waktu di kelas XI" Lanjut guru yang lain.
"Hem, bagaimana menurut Miss Re? Apakah dia juga sering tidak masuk di kelas?"
"A...a.. hemm… sama saya Deon masuk selalu pak, ini buktinya, nilainya juga bagus-bagus" jawab Resa dengan terbata. Ia takut jika dianggap menjilat dengan atasan. Penuturan Resa membuat semua mata di ruangan tertuju padanya.
"Bagaimana jika Miss Resa membimbing Deon dalam pembelajaran, nanti akan saya hubungi orang tuanya"
"Eh, pak, tapi kan saya hanya mengajar bahasa Inggris"
"Itu bisa dibicarakan nanti lah Miss Re"
"Iya, nanti kami kami bantulah dalam hal materi, anak IPS kan materinya tidak terlalu sulit"
"Aduh gimana nih, makin mati kutu aku kalau tiap hari jika dekat-dekat dengan siswa "abstrak" kayak gitu. Kadang kelihatan kadang tidak" batin Resa.
"Bagaimana Miss Re, saya harap Anda bersedia, soalnya orang tuanya menaruh harapan di sekolah tingginya nanti"
"Bolehkah saya pikir-pikir dulu pak?"
"Oh, ya silakan"
"Pokoknya, Pa, Deon gak mau masuk STPDN. Deon gak kan mau belajar. Titik" Tegas Deon ke papanya.
"Terserah, pokoknya kamu sekarang mesti belajar dengan guru yang disarankan oleh sekolahmu, jangan buat malu nama Wira Kusuma, jika tidak semua fasilitas kamu, papa cabut". Ancam papanya.
"Shitt." Erang Deon.
Bel rumah berbunyi. Deon sudah siap untuk pergi. Ia akan mangkir, bahkan ingin minggat, jika terus dipaksa belajar demi nilai yg baik dan diusulkan papa ke sekolah kedinasan itu.
"Deon? Kamu mau kemana?" Sapa Resa begitu melihat Deon hendak pergi saat pintu rumah terbuka.
"Ada perlu apa Miss Re kesini, bukankah nilai bahasa Inggris ku bagus semua?"
Begitulah Deon, gurat-gurat habis kesalnya selalu tampak di beberapa waktu dia selesai marah.
"Emmm… emm… Miss mau apa ya? Tentu Miss mau mengajar, walaupun bukan pelajaran Miss".
"Suruh masuk, Miss Re nya Deon?"
"Oh, ya Miss, saya permisi dulu ya. Ini ada kunjungan kerja soalnya"
"Deon, ingat kata papa ya!"
"Berapa Miss dibayar untuk mengajar saya!" Nada bicara Deon agak tinggi membuat bibir Resa kelu untuk menjawabnya.
Resa yang ditawari mengajar tambahan dengan bayaran lima juta perbulan untuk meningkatkan prestasi Deon hanya terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Hanya Ama yang dia ingat ketika menerima tawaran membimbing Deon, setelah kesepakatan tadi di ruang kepala sekolah tanpa sepengetahuan Deon.
"Berapa Miss? Apa bibir Miss tak bisa berkata-kata lagi?"
Resa melangkah keluar sedikit.
Dari luar dia mendengar
"Kamu tidak boleh begitu, Deon! Kasihan kan gurunya sudah datang malah kamu tolak"
"Ah mama, sama saja. Kemaren kemana aja mama? Mama juga ingin kan Deon ke sana. Mama juga gak ngerti Deon".
Ah, rasanya Resa sudah tak kuat untuk hari ini.
Dan ternyata Deon juga memang mau pergi. Saat membuka pintu Deon masih melihat bening kristal yang ada di tepi mata indah itu.
"Maafin, Deon, Miss" batinnya.
"Miss, pulang dulu. Silakan tanya sama Papa mu, Miss dibayar berapa?"
Resa menghidupkan motornya. Deon yang tak tega mengikuti motor Resa diam-diam.
Resa benar-benar gundah. Rasanya memang Deon hanya menggombali.
Sikap Deon yang ketus tadi memang 180 derajat berbeda, dengan saat ia di sekolah.
Padahal segala data untuk memotivasi belajar Deon sudah di tangannya. Ia sudah tau mengapa Deon tak begitu bersemangat mengikuti pelajaran yang lain. Dia senang ke traveler. Setidaknya itu tertulis di Media sosial miliknya. Dari postingan-postingan yang Resa dapati.
"Ssiittttt"
Resa kehilangan konsentrasi berkendara. Ia terjatuh dengan setelah menekan rem sekeras-kerasnya ketika hendak menghindari lubang di jalan itu.
Deon yang sedari tadi mengikuti Resa karena perasaan bersalah, gegas turun dan menggendong Resa ke klinik terdekat.
Sementara tukang parkir yang depan tempat jatuhnya Resa langsung mengamankan motornya.
"Ya, ampun Uni Resa?" Kata tukang parkirnya.
"Bapak tau, tempat tinggalnya?" Tanya Deon.
"Ya gimana gak tau, kalau Uni Resa hampir tiap Minggu ke sini bawa Ama nya berobat. Itu gang di depan itu rumahnya. Tanya aja sama orang di sana. Pasti tau.!"
Setelah meyakini bahwa Resa ditangani orang yang tepat, Deon segera ke rumah Resa. Dia tak ingin tau bahwa ia telah mengikuti gurunya itu.
Sakit. Ama.
Ah.
Deon mengendarai motor sport nya pelan. Dari hasil bertanya kepada sama anak-anak di depan tadi rumah Resa bercat biru muda.
Ia masih senyum-senyum saat teringat bertanya pada bocah-bocah sekitaran umur sepuluh tahunan di depan gang tadi.
"Dek, rumah Miss Re, dimana ya.. maksudnya Uni Resa?" Deon mencoba mengingat-ingat panggilan Resa yang diucapkan oleh tukang parkir tadi.
"Ooo… Uni Resa. Situ siapanya?"
"Wih aje gile nih bocah ditanya nyolot amat?" Batin Deon
"Hem, aye temannya?"
"Temennya apa pacarnya?"
"Temen kok dek"
"Ah, rugi banget kalau cuma jadi temennya, secara kak Resa cantik dan baik woi"
"Udah cepetan, kasih tau nih buat beli es krim kalian" Deon mengeluarkan duit seratus ribunya. Soalnya dia merasa diwawancarai.
"Ooo, ini namanya sogok menyogok. Kata Uni Resa gak boleh"
"Udah cepetan"
"Itu bang, yang cat biru sebelah kanan ya… yg pagaran putih, yang ada kucing manis belang tiga di depannya. Nama kucingnya Micky".
"Makasih! Jadi ini duitnya mau diapain"
"Kalau kami bisa menerima, kenapa harus menolak"
"Alhamdulillah, semoga Uni Resa berjodoh dengan Abang ganteng ini, kasihan bang Uni Resa belum pernah punya pacar!"
"Aamiin" seluruh bocah yang di sana ikut mengaminkan.
Termasuk Deon.
***
Deon berdiri di depan pintu rumah Resa. Rumah dengan halaman yang nyaman dan ditumbuhi bunga-bunga yang indah, menggambarkan bahwa yang empunya rumah pasti suka dengan keindahan.
"Assalamualaikum…"
"Assalamualaikum…"
Deon melihat wanita seumuran mamanya duduk dan hanya memandangnya saja dari ruang tamu.
"Assalamualaikum…" ulangnya lagi.
"Apa? Apa?" Wanita itu menuju ke arah Deon.
"Waalaikumsalam… maaf ibu saya mengganggu Anda. Ama masuk dulu ya, ini bukan Apa" gadis itu membawa wanita itu ke dalam kamar.
"Bisa dipastikan dia adalah adiknya Miss Re" gumam Deon dalam hati.
"Maaf, benar ini rumah Bu Resa?"
"Ya, benar. Ada apa ya?"
"Miss Re nya kecelakaan tadi. Sekarang ada di Klinik depan"
"Astaga, Uni…" wajah panik terlihat di raut muka adiknya.
"Miss Resa hanya pingsan, ayo ikut saya, biar motornya kamu yang bawa."
"Uwo, Reni pergi jemput Uni dulu ya di klinik, tadi dia terjatuh"
"Astaga, ya udah cepat pergi. Kasihan Uni sendiri." Jawab wanita yang disebut Uwo itu tak kalah panik.
"Hem, kamu gak takut saya bonceng? Siapa tau aja saya mau nyulik kamu?"
Ucap Deon pada Reni saat hendak naik ke motor.
"Uni saya orang yang baik. insyaAllah teman-teman Uni orang yang baik juga".
"Pantes, semuanya ramah sama Miss Re, dia orang baik, bahkan saat kelas Deon yang siswanya terkenal luar biasa lakunya, bisa luluh saat bertemu dengan Miss Re."
Gumam dalam hati Deon.
"Aduh, Uni masih sakit lah. Agak pusing."
"Sabar ya uni, siswa uni tadi minta obat di apotek"
"Nah itu dia, gimana, langsung pulang kita ya."
"Biar Miss Re saya yang bonceng"
"Gak mau ah, Uni sama Reni saja" bantah Resa.
"Uni kan tau kalau Reni ndak pandai bonceng orang."
"Atau saya pesankan taxi online saja ya, Miss?"
"Gak usah, ya udah, tapi hitungan kita belum selesai ya Deon"
"Udah luka, ngeyel lagi" ujar Deon dengan suara kecilnya.
"Pegang!"
"Gak!"
"Nanti Miss Re jatuh lho"
Akhirnya dengan ragu Resa memegang pinggang Deon agar tidak oleng.
"Miss, kalau gak sanggup pegang, boleh peluk kok!"
"Ih, maunya!"
"Aku serius Miss!"
Akhirnya mereka sampai ke rumah.
"Udah deh, kamu pulang gih, nanti papa kamu nyariin, sekalian bilang cari pengajar lain, kalau anaknya gak mau belajar sama saya!"
"Enggak, Miss, aku mau kok belajar sama Miss, aku tunggu sampai Miss sehat ya"
"Beneran Deon?"
"Aku memang jutekan, nakal, suka bikin onar Miss, tapi Deon pantang berbohong Miss."
"Oke, nanti Miss hubungi kamu!"
Hingga Deon ke luar rumah
"Deon, terimakasih ya!"
"Untuk apa Miss."
"Hem, gak ada!"
"Miss bohong, sedikit ada kristal keluar dari sudut matanya kembali, pasti ada sesuatu yang disimpannya" batin Deon berlalu. Dan saat menghidupkan motornya sepintas Deon mendengar panggilan wanita tadi
"Apa … Apa..!"
Seribu tanda tanya di hati Deon. Apa yang terjadi dengan wanita itu. Sembari ia menjalankan motornya menjelajah jalanan ibu kota.
Untuk sementara, dia mau menenangkan diri, sekedar untuk duduk di kota tua. Menikmati musisi jalanan dan melihat indahnya kebersamaan keluarga. Bahkan dia lupa sudah berapa lama ia tak bermain dan berkumpul dengan papa mamanya dalam kemesraan keluarga.
Papa dan mamanya sudah terlalu sibuk, atau memang usia yang memang sudah tak pantas lagi bercengkrama dengan orang tua.
Entahlah, yang penting malam ini Deon menikmati udara luar dengan secangkir kopi hangat yang dijaja anak-anak jalanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!