Selamat membaca, semoga suka ❤️❤️
Langkah kaki seorang gadis tergesa menggema di sepanjang lorong rumah sakit, setelah dia mendapatkan kabar dari tetangganya, bahwa sang ibu dilarikan ke rumah sakit akibat penyakitnya kambuh lagi.
sesampainya di ruang perawatan Laura melihat sang ibu yang terbaring lemah di ranjang pesakitan. "Ibu," lirih Laura, kemudian dia mendekati sang ibu yang sedang terpejam dan oksigen di hidungnya.
"Aku janji bu, akan buat ibu sembuh, tapi ibu janji sama aku ibu harus kuat yah." Lirihnya di antara isak tangis.
"Aku harus bertemu Dokter." Gumam Laura, setelah mencium sang ibu menuju ruangan Dokter untuk menanyakan kondisi sang ibu.
Dengan langkah gontai Laura menyusuri lorong kembali, untuk menemui dokter yang menangani ibunya tersebut.
"Nona Laura," sapa seorang perawat, yang dia kenal bernama Nandi.
"Kamu dicariin dokter, kalo gitu aku antar." lanjutnya lagi.
Laura dan Nandi, adalah teman baik semasa mereka SMP, mereka melangkah bersama keruangan dokter setelah sampai Laura di perbolehkan masuk.
"Silahkan duduk, nona."
"Terima kasih Dok, Bagaimana kondisi ibu saya?" Tanya Laura to the point.
Dokter pun hanya menghela nafas dengan pelan, sebelum mengatakan hal penting dan menatap lekat Laura.
"Kondisi nyonya Anjani sudah sangat buruk, beliau secepatnya harus ditangani. Jika tidak maka nyawanya akan terancam." Jelas Dokter tersebut.
"Lakukan yang terbaik bagi ibu saya dok. Berapapun biayanya akan saya bayar." Kata Laura.
"Kira-kira butuh berapa jika ibu saya di operasi dok?" tanya Laura kemudian.
"Mungkin sekitar 300 juta, belum biaya perawatan selama disini." Tutur dokter.
Penuturan sang dokter membuat Laura kaget bukan main, bagaimana bisa dia mendapatkan uang sebanyak itu. Jika dia menjual rumah pun tidak akan ada yang membeli rumah gubuk tersebut. Laura menghembuskan nafasnya secara kasar.
"Baik dok, terima kasih saya permisi." Ucap Laura, sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan sang ibu, Laura menatap kosong ke depan tak peduli dia menabrak seseorang. Pada saat dia akan berbelok dia tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria berwajah tampan dan gagah, tanpa kedip Laura memandang pria tersebut sampai ucapan dingin pria tersebut membuyarkan lamunannya tentang pria di hadapannya ini.
"Apa kamu buta? Tidak bisa melihat jalan dengan baik, hah?" bentak pria itu.
"Maaf tuan, saya tidak sengaja." Jawab Laura menunduk.
Pria tersebut berdecak, dan melenggang pergi meninggalkan Laura.
"Cih, dasar sombong, menyebalkan." Umpat Laura.
Ruang perawatan VIP
"Sudah jangan menangis lagi, kasian anak kita jika ibu nya bersedih." Ucapnya sambil menyeka air mata sang istri.
"Tapi aku gagal menjaga anak kita, Mario." Lirih Dania, istri Mario Wiradinata.
Ya Mario Wiradinata adalah seorang CEO di sebuah perusahaan batu bara, dia dan sang istri baru saja kehilangan buah hati mereka yang telah lama mereka nantikan.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik untukmu, dan anak kita yang telah pergi." Isak Dania dalam dekapan Mario.
"Kita bisa punya anak lagi, Dania."
Dania yang mendengar ucapan Mario, langsung melepas pelukannya dan menatap tajam Mario. "Apa kamu lupa Mario, akibat insiden tadi rahim ku juga diangkat." Pekik Dania.
"Kamu tau Mario, aku sudah tidak punya rahim lagi semuanya telah hilang. Aku tidak bisa memberikanmu anak lagi Mario," lirih Dania.
Dania merasakan pusing yang teramat, dan tak lama dia jatuh pingsan. "Dania… Dania sayang bangun, ya Tuhan."
Dengan panik Mario, membaringkan Dania dan dia menekan tombol darurat. Tak lama dokter dan perawat pun datang memeriksa kondisi Dania.
"Nyonya Dania, mengalami stres dan tekanan secara berlebih. Rasa kehilangan, dan rasa bersalah yang dihadapi membuat pertahanan tubuhnya menurun tuan Mario. Saya harap anda bisa menjaga perasaan nyonya Dania, dan bersabar menghadapi dirinya." Jelas dokter panjang kali lebar.
Mario bergeming menatap Dania.
"Kalau begitu, saya permisi dulu tuan." pamit Dokter pada Mario, dan Mario hanya bisa mengangguk saja.
Mario mendudukan diri di sofa, dia memijat pelipisnya yang terasa pening. Mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
****
"Nggak, pokoknya aku mau ikut." Kekeh Dania.
"Sayang kamu harus dengar kata-kata ku, kamu jangan pergi kemana-mana kamu sedang hamil besar dan dua bulan lagi kamu melahirkan."
"Tapi Mario, aku ingin ikut bersama teman-teman ku ke pantai." Lirih Dania mulai terisak, di masa kehamilan nya Dania sangat cengeng dan sensitif, sampai-sampai Mario kewalahan meladeni tingkah bumil tersebut.
"Sebelum anak ini lahir, mungkin aku gak bisa quality time sama teman-temanku." Celetuk Dania, menatap Mario yang juga menatapnya.
Mario menghela nafas kasar, dia tidak bisa jika melihat sang istri tercinta menangis. "Baiklah, tapi kamu janji harus hati-hati. Jika lelah istirahat saja oke." jelas Mario, dan Dania berbinar mendengar nya dia mendapatkan izin dari sang suaminya tersebut.
"Makasih yah sayang," ucap Dania manja, dan mencium pipi Mario. Membuat Mario terkekeh.
"Cepat siap-siap, aku antar kamu ke pantai dan nanti aku yang akan jemput kamu."
"Oke." Jawab Dania antusias, Dania berlalu menuju kamarnya di lantai satu, Mario memindahkan kamar mereka karena tidak ingin Dania naik turun tangga.
Tak butuh waktu lama, Dania sudah siap dengan dres ibu hamil berwarna navy bermotif bunga. "Kamu sangat cantik sayang," ucap Mario, kemudian mencium pipi Dania. Membuatnya tersipu malu.
"Hmm...aku tidak rela melepas istri yang sangat cantik ini, untuk pergi ke pantai." Mario meletakan dagunya di bahu Dania, dan mengusap perutnya yang sudah membuncit dengan lembut.
Dania mengerucutkan bibirnya. "Kamu ihh, gak usah modus, gak usah gombal nanti aku telat lagi ayo." Ajak Dania, melepaskan pelukan Mario dan menarik tangannya untuk keluar.
"Ayo, itu mereka udah nunggu loh sayang." Rajuk Dania.
"Iya-iya ayo." Mario menuntun sang istri, memasuki mobilnya dan akan mengantarkan sang istri berlibur bersama teman-temannya di pantai, yang berada di wilayah Jakarta.
tiga hari sudah Dania berlibur bersama teman-temannya, membuat Mario kesepian setiap malam dia merindukan istri dan calon anak yang ada di perut Dania.
Saat Mario sedang fokus pada berkas di depannya, tiba-tiba ponselnya berdering mengagetkan dirinya.
"Ya halo."
"..."
"Apa? Bagaimana bisa? Baik aku akan segera kesana sekarang."
Setelah menerima telpon, Mario pergi melesat meninggalkan pekerjaannya dan diserahkan kepada sekretarisnya, sekaligus asistennya Jimi.
Beberapa puluh menit kemudian, Mario telah sampai di rumah sakit tempat sang istri dirawat.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Mario, pada salah satu teman Dania.
"Dia sedang di operasi." Lirih Ana.
"Duduklah dulu Mario, kita doakan supaya mereka selamat." Ucap suami Ana.
Mario menurut, dan duduk di sebelah suami Mario. "Ceritakan bagaimana, dia bisa terjatuh." Tanya Mario dengan suara yang dingin.
Kemudian Ana menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi, beberapa jam kemudian dokter keluar dengan wajah lelahnya, Mario segera bangkit dan bertanya pada dokter.
"Dokter, bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Mario tak sabar.
"Maafkan saya, tuan saya harus menyampaikan berita ini. Anak anda tidak selamat karena benturan yang kuat menyebabkan bayinya tidak selamat, dan..." Dokter tampak ragu mengatakannya.
"Dan apa?"
"Dan rahim nyonya Dania, sudah diangkat karena mengalami kerusakan." Jelas Dokter, membuat Mario membulatkan matanya dan begitu sangat terkejut.
"Kalau begitu saya permisi tuan, nyonya akan segera dipindahkan ke ruang perawatan. Dan anak anda sedang diurus di kamar jenazah." Tutur dokter, dan berlalu dari hadapan Mario.
****
Lamunan Mario buyar saat memikirkan kejadian di pantai tersebut, mau bagaimana lagi semua sudah terjadi. Anak yang dia idamkan selama empat tahun pernikahan mereka sudah tidak pergi, Mario tak bisa melakukan apapun lagi. Dia juga tak bisa membuat Dania hamil lagi, karena rahimnya sudah diangkat karena seringnya Dania hamil lalu keguguran.
"Aku harus tegar demi menguatkan Dania, kalau bukan aku, siapa lagi?" gumam Mario, sambil menatap wajah cantik Dania yang terlelap begitu damai.
bersambung...
Maaf typo, jangan lupa tinggalkan jejak makasih 🙏
Dinginnya malam tak menyurutkan langkah Laura, menyusuri lorong rumah sakit, takut? Tentu saja tidak, tidak akan ada setan yang membunuh manusia dan berakhir kini dia berada di taman rumah sakit. Laura menghela nafas pelan, dan memejamkan matanya berharap ini bukan mimpi.
Saat membuka mata, Laura menatap bulan purnama dan bintang-bintang di langit. Dia selalu ingat kenangan masa kecil bersama sang adik yang sudah lebih dulu menghadap sang pencipta. Begitupun sang ayah yang telah pergi meninggalkan dirinya, dan juga sang ibu.
"Apa kalian bahagia di sana?" gumamnya lirih, tanpa tahu malunya air mata Laura meluncur bebas. Dan lama-lama menjadi sebuah isak tangis.
"Aku gak bisa, aku gak kuat. Ayah bawa aku... Bawa aku." Lirih Laura.
Tanpa sepengetahuan Laura dari jauh Mario memperhatikan Laura, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Seperti terhipnotis dengan sendirinya, Mario melangkahkan kakinya untuk dekat dengan Laura.
"Kenapa menangis?" tanya Mario, membuat Laura terlonjak kaget.
"Bukan urusanmu." Ketus Laura.
"Kepo banget nih, orang," batin Laura, melirik dengan tajam.
Hening kemudian suasana yang tercipta, mereka saling diam menatap lurus ke depan dengan pikiran masing-masing.
Laura menoleh kepada Mario, dan memandangnya dari bawah ke atas.
"Pasti kaya, apa aku pinjam saja kepadanya?" batin Laura.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Mario mengangkat sebelah alisnya, Laura sangat malu karena ketahuan telah mencuri pandang pada Mario.
Kemudian Laura memalingkan wajahnya. Langkah kaki seseorang membuat Laura menoleh ke belakang dan datanglah seorang perawat laki-laki dengan tergesa.
"Maaf nona, ibu anda..."
Sebelum melanjutkan ucap perawat tersebut, Laura sudah beranjak dari duduknya dan berlari ke ruang perawatan sang ibu. Sesampainya di sana Laura melihat ibunya kejang-kejang dan merintih, tim medis sedang menangani ibunya.
Laura pun menunggu di luar, bersama Mario. Entah kenapa Mario malah mengikuti langkah Laura. Beberapa menit kemudian Dokter pun keluar. "Nona, ibu anda harus segera di operasi jika tidak itu akan membahayakan nyawanya." Jelas Dokter.
"Jika sudah melakukan pembayaran, malam ini kami akan melakukan operasi pengangkatan kista yang sudah menyebar." Terang dokter lagi.
Laura menghela nafasnya secara kasar. "Lakukanlah, Dok." Lirih Laura.
Dokter mengangguk, dan pergi dari hadapan Laura. Laura menoleh kepada Mario dan Mario mengangkat sebelah alisnya.
"Apa?" tanya Mario.
"Bolehkah saya meminjam, uang anda tuan." Cicit Laura.
Mario menautkan kedua alisnya, kemudian munculah sebuah ide.
"Baiklah, aku akan meminjamkan mu. Tapi ada syaratnya." Ucap Mario datar.
"Syarat." Gumam Laura, dan Mario mengangguk.
"Besok kita akan membicarakannya, dan malam ini aku akan melunasi biaya pengobatan ibumu sampai dia sembuh." Tutur Mario.
Tanpa pikir panjang, Laura menyanggupi permintaan Mario. Tanpa tau apa syaratnya yang penting sang ibu sembuh. Laura mengikuti langkah Mario menuju loket administrasi, dan membayar lunas semua biaya ibunya Laura.
"Ini sudah lunas, ibumu bisa segera dioperasi sekarang." Mario menyodorkan bukti transaksi, yang nominalnya tidak sedikit.
"Terima kasih tuan," ucap Laura tulus.
"Kalo begitu saya permisi, besok bertemu lagi di sini."
Laura hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian Mario pergi melenggang meninggalkan Laura kembali ke ruangan sang istri
Beberapa menit kemudian, ibu Laura sudah masuk ke dalam ruangan operasi. Dan Laura dengan setia menunggu sang ibu di depan ruang operasi.
***
Ruang perawatan Dania
Mario membuka pintu ruang rawat sang istri, dia melihat Dania yang sedang melamun menatap langit-langit, tanpa menoleh kepada Mario.
"Kenapa belum tidur?" tanya Mario, sambil mengelus rambut panjang Dania. Yang selalu Mario sukai.
"Aku gak bisa tidur, tidur membuatku pusing dan selalu memimpikan anak kita." Lirih Dania.
Mario naik ke tempat tidur Dania, setelah Dania menggeser badannya untuk Mario naik. Mario menarik Dania kedalam pelukannya.
"Sudah jangan dipikirkan, nanti kita akan mendapat gantinya."
Dania mendelik pada Mario. " Ganti dari mana? Sedangkan aku tidak bisa hamil lagi, rahimku sudah tidak ada." Bentak Dania.
"Ssttt...tenanglah sayang," Mario berusaha menenangkan Dania. "sekarang kamu tidur, sudah larut." Perintah Mario, dan Mario pun mengusap punggung Dania membuat Dania terlelap di dalam dekapan Mario.
"Kamu jangan khawatir, sayang kita bisa mendapatkan anak," batin Mario, kemudian Mario pun ikut terlelap.
***
Keesokan paginya Laura terbangun, di samping sang ibu. Setelah melakukan operasi beberapa jam dan dia baru bisa tidur pada waktu dini hari dan sekarang waktu menunjukan pukul enam pagi. Laura memijit pelipisnya yang terasa pusing karena tidur sebentar. Dia melihat ibunya yang belum juga sadar akibat pengaruh obat bius.
Penyakit kista yang sudah parah, karena dibiarkan membuatnya mengalami komplikasi kista ovarium. Karena terkendalanya biaya nyonya Anjani membiarkan penyakitnya, dan bekerja untuk membantu sang anak yang hasil nya tidak seberapa, nyonya Anjani sering menyembunyikan jika dia sedang kesakitan.
Laura tersenyum dan mengusap pucuk kepala sang ibu. "Ibu pasti sembuh." Gumamnya.
"Ibu, Laura pergi kerja dulu yah." Pamitnya, dan mencium kening nyonya Anjani, dan mencium punggung tangannya.
Laura keluar dari ruangan, dan menemui perawat dia akan menitipkan ibunya kepada perawat yang jaga. Dan harus segera menelpon jika ibunya sadar.
Pada saat akan menuju lobby, Laura melihat Mario sedang berbicara dengan seseorang dan kebetulan Mario melihatnya, Mario menunjuk Laura. Membuat Laura mengerutkan keningnya.
Setelah itu dia melihat Mario, masuk kedalam mobil dan berlalu begitu saja. Laki-laki yang bersama Mario menghampirinya.
"Selamat pagi, nona saya asisten pribadi tuan Mario. Saya ditugaskan untuk memberikan syarat yang tuan Mario ajukan." Jelasnya panjang lebar.
"Perkenalkan nama saya Jimi."
Laura menyambut uluran tangan, Jimi. "Laura."
"Mari ikut saya, kita akan membicarakan ini di kantin rumah sakit."
Jimi melangkah terlebih dulu, dan Laura mengekor di belakangnya.
"Ini adalah syarat yang tuan Mario ajukan," Jimi memberikan sebuah map berwarna biru, dan Laura membaca isi surat itu.
Laura membulatkan matanya, tidak percaya. "Menyewakan rahimnya, untuk mengandung." Gumamnya.
"Apa, tidak ada syarat lain?" cicit Laura.
"Jika tidak bersedia, anda harus mengganti semua biaya yang tuan Mario keluarkan." Jelas Jimi datar.
Laura menghembuskan nafasnya secara kasar, tidak ada pilihan lain dia harus menerima syarat ini. Dari pada harus membayarnya, memang uang dari mana dia?
"Baiklah saya menerimanya," jawabnya pasrah.
Jimi mengangguk sebagai jawaban.
"Besok saya akan menjemput anda, di sini. Kalo begitu saya permisi." Ucap Jimi, dan pergi meninggalkan Laura.
Laura memijat keningnya, yang semakin pusing apakah dia bisa melakukannya.
"Aku pasti bisa, hanya selama sembilan bulan ini." Semangatnya pada diri sendiri.
Saat sedang melamun, Laura di kejutkan dengan ponselnya yang berdering Mimi teman kerjanya yang menelpon.
"Halo, Mimi." Laura mendengarkan ucapan Mimi.
"Iya aku akan masuk, sebentar lagi mungkin." Jawabnya dengan ragu, setelah berpamitan Mimi memutuskan sambungannya lebih dulu.
Laura beranjak dari, duduk nya dia akan pulang dan bekerja kemarin dia sudah meminta izin hanya sehari. Bos nya begitu pelit dalam urusan memberi izin libur, Laura berdecak kesal.
Bersambung...
Maaf typo
Laura sudah sampai di tempat dia bekerja, Laura bekerja di perusahaan tersebut sebagai seorang office girl.
"Kenapa mereka memanggilku? Bukannya aku sudah mengajukan izin untuk satu minggu!!" gumam Laura, di dalam lift.
Tak lama lift pun sampai di lantai tujuan Laura, yaitu ruangan pemilik perusahaan. Setelah mengetuk pintu dan mendapatkan izin masuk. Laura membuka pintu, dan sangat terkejut bahwa di dalam ruangan sang bos bukan hanya ada dirinya melainkan Mario dan Jimi.
"Huh! Mau apa mereka, sampe datang kesini?" tanyanya dalam hati.
"Bukannya tadi, asistennya sudah melakukan perjanjian? Mau apa lagi sih?"
"Selamat pagi pak, tuan." Sapa Laura, tersenyum ramah.
"Selamat pagi Laura, silahkan duduk." Perintah Pak Yusril CEO perusahaan Diamond group.
Laura pun duduk di sofa single, yang berhadapan langsung dengan Mario. Laura enggan menatap Mario karena begitu gugup.
"Begini Laura, ini tuan Mario dia adalah partner bisnisku, pengusaha batu bara. Tujuan tuan Mario datang ke sini memintamu untuk bekerja di perusahaannya." Terang pak Yusril, Laura hanya mengangguk saja.
Laura dibuat melongo akan keterangan yang diberikan oleh atasannya itu.
"Cih..modus," batin Laura.
"Tapi pak, saya hanya lulusan SMA mana bisa saya bekerja di bagian penting perusahaan Wiriadinata." Jelas Laura, tak mau kalah sambil menatap tajam Mario.
Mario pun membalas tatapan tajam Laura, dan saling bicara lewat bahasa kalbu. Sebenarnya tujuan Mario datang ke perusahaan Dymond hanya untuk supaya Laura keluar dari pekerjaannya, dan dia tidak perlu membayar pinaltinya karena belum habis masa kontrak Laura bekerja.
Sedangkan Mario akan menikahi Laura walau secara sirih.
"Apa dia lupa, dengan janjinya?" batin Mario.
"Tapi pak, kontrak sayakan belum habis." Protes Laura, tak terima dia masih terus mencari alasan agar tak dibawa oleh Mario.
"Tidak apa-apa Laura, perusahaan cabang yang Mario dirikan sedang membutuhkan pegawai baru. Dan saya bersedia memberikan pegawai saya untuk sahabat saya ini." Tutur pak Yusril, yang membuat Laura cemberut mau tak mau harus menerima keputusan itu.
"Baiklah, kalo gitu saya permisi dulu pak." Pamit Laura, dan beranjak dari duduknya. Sebelum menarik pintu Jimi berbicara pada Laura.
"Nona Laura, tunggu saya dan tuan Mario di lobby." Ucap Jimi, dan tanpa kata Laura mengangguk.
****
Laura berjalan gontai menuju pantry, dia akan berpamitan kepada Tia dan Mimi. Sahabat yang selalu ada saat sedang susah, dan senang. Mereka adalah teman-teman Laura dari masa putih biru.
"Tia, Mimi," panggil Laura, saat melihat kedua sahabatnya yang akan masuk ke dalam pantry.
Mimi dan Tia menoleh, mereka langsung merentangkan tangannya untuk saling berpelukan. Kebiasaan yang selalu mereka lakukan setiap ketemu.
"Ya ampun, kangen." Seru mereka bertiga heboh, padahal belum satu hari Laura tidak kerja. Dan pada saat itu pula mereka sering bertukar kabar lewat pesan aplikasi hijau.
"Ya Tuhan kalian ini, kaya anak kecil saja." Tegur bu Endah, membuat mereka bertiga meringis dan meminta maaf.
"Bentar deh bu, Laura kan gak akan kerja sama kita lagi. Dia mau dipindahkan kerjanya bu ke perusahaan lain," keluh Tia, yang selalu saja melow.
Bu Endah berdecak kesal. "Kalian ini." desisnya, membuat Laura terkekeh. Bu Endah masuk ke dalam pantry diikuti oleh ketiga sahabat tersebut.
"Kamu pindah ke perusahaan mana, Laura ?" tanya Bu Endah, sambil menyeduh kopi instan yang beraroma hazelnut.
"Perusahaannya tuan Mario bu, aku lupa apa nama perusahaannya." Ucapnya.
"Tuan Mario yang tampan, macam Kevin Lutolf itu ?" tanya Mimi antusias, dan di jawab anggukan oleh Laura.
"Aku juga mau dong ikut ke perusahaannya." Sahut Tia cepat.
"Ya udah, kamu aja gantiin aku, Ti." Ucap Laura, terkekeh.
Saking asiknya ngobrol, Laura sampai lupa waktu dan Jimi pun datang membubarkan obrolan asik mereka.
"Nona jika anda lupa, tuan Mario sudah menunggu." ucapnya datar.
"Baiklah semua, aku pamit dulu bye." Pamit Laura kepada, Tia, Mimi, dan bu Endah.
"Bye Laura, semoga betah kerja di sana yah." Balas Tia, dan yang lainnya mengangguk setuju.
****
Dan disinilah sekarang Laura, di mobil mewah Mario.
"Kita mau kemana? Aku tahu kamu tidak mengajakku bekerja di perusahaan barumu kan?" tanyanya tanpa basa basi.
Mario menyunggingkan senyum, yang tak dapat Laura artikan membuatnya bergidik merasakan sesuatu bukan setan.
Beberapa jam kemudian, mobil telah sampai di sebuah perumahan mewah dan elite di sekitaran Jakarta pusat.
"Ayo turun, aku akan memperkenalkanmu pada istriku." Jelas Mario, membuat Laura membulatkan matanya seketika.
"Aa--apa kamu bilang? Is--istri hmm jadi kamu sudah punya istri, tuan Mario?" tanya Laura gugup, entah mengapa rasa kecewa timbul begitu saja di dalam hatinya.
"kamu pikir aku pria lajang begitu?" tanya Mario balik, sambil menatap Laura.
Mario pun melangkah masuk, dan menemui Dania yang berada di taman belakang. Dan disusul oleh Laura, sedangkan Jimi dia menunggu di depan rumah saja.
"Sayang." Sapa Mario, dan Dania pun tersenyum.
"Aku ingin mengenalkanmu, pada seseorang." lanjut Mario lagi.
"Siapa?"
Mario memanggil Laura, dan Laura pun berjalan menuju tempat di mana Mario dan Dania. Dania yang melihat itu pun dibuat bingung dengan gadis muda di depannya ini.
Sebelum Dania bertanya, Mario sudah mengenalkan Laura pada Dania. "Sayang kenalkan ini Laura, dan Laura ini istri ku Dania."
Laura mengulurkan tangannya, dan di sambut oleh Dania. dan saling berkenalan.
"Lalu, untuk apa dia di sini?" tanya Dania penasaran.
"Aku akan menikahinya, Dania." Satu jawaban yang membuat Dania bagai tersambar petir di siang bolong. Dania melepaskan tangannya dari Mario, dan mundur selangkah.
"Tidak Mario, kamu mau menduakan ku? Karena aku tidak bisa memberikanmu anak?" teriak Dania.
Mario mendekati Dania, dan memeluknya sedangkan Laura dia tidak tahu harus berbuat apa dia hanya bisa menundukan kepalanya. Sebagai wanita dia tahu akan kesedihan hati istri dari Mario ini. Wanita mana yang ingin berbagi suami dengan wanita lain.
Mario memegang bahu Dania, dan menatap wajah cantik yang berurai air mata.
"Dengarkan aku Dania, aku tidak akan menikahinya secara resmi. Aku hanya akan menikah secara agama dengannya, dan dia di sini sampai melahirkan anakku, yang akan menjadi anakmu juga." Jelas Mario.
"Maksudmu, bagaimana ?aku tidak mengerti." Mendadak Dania merasa tidak mengerti, karena cobaan yang ada, dan rasa keterkejutan atas pemberitahuan sang suami yang akan menikah lagi.
"Maksudku, dia akan memberikan kita anak setelah itu dia pergi dari hidup kita. Dia memiliki hutang yang besar kepadaku Dania." Ucapnya, sambil melirik sekilas Laura.
Mendengar ucapan Mario tentang kata 'Pergi' membuat hati Laura terasa mencelos, dan dia buru-buru memalingkan wajahnya dan matanya terasa panas.
"Bagaimana, Dania ? Apa kau mengizinkan aku menikahi Laura?" tanya Mario, dengan lembut.
"Kamu nanti, tidak akan sedih memikirkan apa yang telah pergi dari kita, sayang." Lanjut Mario lagi, berusaha mungkin agar sang istri setuju. Karena dia sudah sangat menginginkan anak.
"Baiklah, aku mengizinkan kalian menikah. Tapi..." Dania menjeda ucapannya.
"Rahasiakan pernikahan kalian, dan rahasiakan jika dia adalah istri keduamu Mario, bagaimana?"
Mario mengangguk tanpa pikir panjang, dia tidak ingin melukai Dania lebih dalam lagi. Tanpa disadari olehnya, ada hati wanita lain yang terluka.
"Istri yang tak dianggap." Batinnya, tersenyum miris.
"Ini baru izin menikah, dan belum satu hari bagaimana kedepannya? Apa aku bisa menjalani hari-hariku melihat kemesraan mereka berdua? Apakah aku bisa tidak melibatkan cinta di dalam hati, yang pasti akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Hati manusia tidak ada yang tau bagaimana itu." Batin Laura, menatap Mario dan Dania yang sedang berpelukan. Laura membalikan badannya, dan melangkah keluar tanpa permisi bulir bening meluncur dengan bebasnya.
Laura mengusap air mata yang jatuh, dengan kasar.
"Sial, kenapa jadi cengeng gini sih." Gumamnya.
Bersambung…
Maaf typo
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!