"Fakhri ...."
Naira menghela nafas pelan. Kemudian menoleh Fakhri, kekasihnya yang duduk di belakang kemudi.
Kedua matanya mulai buram. Berkaca-kaca. Sejak tadi wanita itu menahan kegelisahan yang terus menghantuinya.
Fakhri yang menyadari kegelisahan Naira lantas memelankan laju mobilnya kemudian mulai menepikannya.
"Percayalah padaku, Nai,"
Fakhri meraih sebelah tangan Naira. Lalu menggenggamnya erat. Mencoba memberikan ketenangan pada wanita yang dicintainya itu.
"Bagaimana Aku bisa tenang Fakhri ... Sebentar lagi kedua orang tuamu akan memperkenalkanmu padanya,"
" ... Wanita yang kelak akan menjadi orang ketiga di antara kita ... Tidak, bukan hanya padamu ... Tapi juga padaku!"
"Aku harus melihatmu berkenalan dengan wanita lain di hadapanku langsung,"
"Menurutmu bagaimana Aku bisa tahan Fakhri ...."
Air mata Naira tak lagi bisa terbendung, tangisnya mulai luruh dengan isakan tertahan.
"Percayalah padaku Nai ... Ku mohon percayalah,"
"Aku akan mengatasi semuanya dengan caraku."
Fakhri berbicara dengan nada tegas namun lembut. Diraihnya kemudian tubuh Naira yang terguncang karena isakan yang kian tak terkendali.
Perlahan air mata ikut mengalir dari sudut matanya. Hatinya ikut terluka melihat wanita yang selama ini begitu Ia jaga perasaannya itu terluka begitu dalam.
Namun di sisi lain, Ia pun tak mampu menentang keputusan keluarga besarnya.
Fakhri terpaksa harus menerima kenyataan jika suatu hari nanti Ia harus berbagi hatinya.
Untuk seorang wanita pilihan keluarganya. Demi mendapatkan seorang pewaris. Sebuah hal yang tak mungkin didapatkannya dari Naira.
Fakhri melepaskan pelukannya di tubuh Naira, ketika tangis wanita itu mulai reda.
Dilajukannya kembali mobil yang dikemudikannya setelah memastikan Naira telah benar-benar merasa tenang.
*-*-*
"Fakhri, Naira ... Kalian sudah datang?"
Fakhri hanya mengangguk sekilas mendengar ucapan Mamanya. Erna. Sedetik kemudian tatapan matanya beralih pada sosok gadis muda dengan surai panjang yang duduk tepat di sebelah Erna.
Fakhri mengernyitkan dahinya, merasa tak asing dengan wanita muda yang kini tersenyum canggung padanya juga Naira.
"Kalian duduklah," perintah Danu. Melihat Fakhri dan Naira yang tetap berdiri mematung.
Fakhri terkesiap, Ia tak sadar jika sedari tadi terus memperhatikan wanita muda di sebelah Mamanya tanpa berkedip. Hingga membuat Naira yang berada di sisinya merasa kian risih.
Naira meremas kuat ujung bajunya. Menahan tangis yang seolah kembali ingin luruh. Tak tahan dengan topik pembicaraan yang tengah didengarnya.
Terlebih setelah mengetahui siapa calon madunya. Yang ternyata anak dari sahabat baik keluarga Fakhri.
Dan Fakhri ... Telah mengenal gadis itu cukup lama!
Mereka sempat berteman di masalalu.
"Jadi bagaimana Fakhri ... Apa kamu ingat pada Aila?" tanya Erna.
Aila?
Dahi Fakhri lagi-lagi berkerut mencoba mengingat-ingat sebuah nama. Aila!
"Apa dia Aila?"
Fakhri bertanya balik. Berhasil mengingat sosok gadis muda di hadapannya.
"Benar Fakhri ... Dia adalah Aila, teman masa kecilmu dulu, putri sahabat baik Mama,"
Senyum sumringah terpancar jelas di bibir Erna ketika Fakhri ternyata masih mengingat Aila.
"Maaf Aku sempat lupa, kamu sangat berbeda dengan dulu Ai ... Jadi bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Fakhri. Basa-basi.
"Aku baik Mas Fakhri." jawab Aila. Sekenanya.
Aila meremas pelan jari jemari tangannya sendiri yang mulai mengeluarkan keringat dingin.
Sekalipun dalam hidupnya, Aila tak pernah menyangka akan berada dalam situasi ini.
"Baiklah, Mama yakin kamu pasti sudah paham maksud Mama dan Papa memperkenalkanmu pada Aila ...."
"Jadi bagaimana menurut kamu, Fakhri ... Jika wanita itu adalah Aila!"
Hening!
Tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari bibir Fakhri sebagai jawaban dari pertanyaan Erna.
"Ma, Apa harus kita membicarakan masalah ini sekarang?"
"Aku dan Naira bahkan belum menikah ... Jadi ada baiknya jika kita menunda pembicaraan ini dulu!"
"Setidaknya berikan Aku dan Naira sedikit waktu ...."
Fakhri menghela nafas kasar setelah berbicara panjang lebar. Memberikan jawaban atas pertanyaan Erna.
Detik kemudian Ia bangkit berdiri sembari menarik pergelangan tangan Naira, memintanya ikut berdiri.
"Maafkan Aku Aila ... Tapi Aku atau pun Naira masih butuh waktu dalam hal ini." ucap Fakhri yang kemudian melenggang pergi bersama Naira.
"Fakhri ...."
"Fakhri ... Kembali kamu, Mama belum selesai bicara!"
Erna berteriak kesal. Mengalihkan seluruh perhatian pengunjung restoran, melihat ke arahnya.
Namun Fakhri tak juga gentar. Ia terus melangkah pergi sembari menggandeng erat tangan Naira.
Suara teriakan lantang Erna sama sekali tak membuatnya berniat membalikkan badan.
Saat ini ... Fakhri hanya ingin menjaga perasaan kekasihnya. Naira.
Fakhri tahu betul betapa hancurnya hati dan perasaan Naira pasca kecelakaan beberapa waktu lalu.
Bagai jatuh tertimpa anak tangga pula. Naira kehilangan rahimnya pasca kecelakaan dan kini ... Ia harus dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang juga sama menyakitkannya.
Keluarga Fakhri menentang keras pernikahan mereka, lantaran Naira yang tak akan bisa memberikan seorang pewaris untuk Fakhri yang seorang anak tunggal.
Namun mereka akan merestui, jika Fakhri bersedia menikah lagi dengan wanita yang dapat melahirkan keturunannya. Tentunya Naira harus dengan ikhlas menerima keputusan ini.
Naira tak diperbolehkan untuk menolak atau pun menentang!
Tentunya membuat hati Naira bagai hancur berkeping-keping.
Wanita mana yang tidak akan bersedih ... Mengetahui kenyataan jika dirinya harus rela dimadu bahkan sebelum resmi menyandang gelar sebagai istri.
Namun demi cintanya pada Fakhri, Ia terpaksa rela menerima keputusan keluarga Fakhri.
Naira rela berkorban demi bisa bersama dengan lelaki yang sangat dicintainya itu.
*-*-*
"Maafkan sikap Fakhri, Aila ... Tante akan berbicara lagi nanti padanya," ucap Erna. Merasa tak enak hati lantaran Fakhri yang memilih untuk pergi begitu saja.
"Tidak apa, Tante,"
"Menurut Aila, apa yang dilakukan Mas Fakhri sudah benar,"
"Aila ... Maksud kamu ...." Erna menyela ucapan Aila. Namun detik kemudian kembali bungkam ketika Aila meraih kedua tangannya. Lembut.
"Berikan mereka berdua waktu, Tante ...."
"Setidaknya biarkan mereka menikmati hari bahagia mereka terlebih dulu,"
"Apa yang dikatakan Mas Fakhri ada benarnya ... Jangan terburu-buru membicarakan hal ini ... Atau suasananya mungkin akan sedikit tidak nyaman nanti,"
Sebisa mungkin Aila berusaha bersikap dan berbicara dengan nada tenang. Sejujurnya Ia sendiri pun hanya berusaha mengulur waktu selama mungkin.
Aila masih belum siap jika harus menjadi pihak ketiga, di antara Fakhri dan Naira.
Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Aila sebenarnya tak pernah merasa siap. Bahkan sama sekali tak menginginkan harus berada di posisinya sekarang ini.
Calon orang ketiga!
Namun Ia melakukannya karena terpaksa. Aila tak bisa menolak permintaan Erna, karena Ia berhutang budi terlalu banyak pada wanita itu.
Aila. Seorang gadis muda yang telah menjadi yatim piatu. Kehilangan kedua orang tua di masa kecil.
Erna lah yang telah membiayai hidupnya selama ini. Meski Ia tinggal di kota yang berbeda, namun Erna tetap berbaik hati membiayai serta memberikan tempat tinggal yang layak untuk anak sahabat karibnya itu.
Jadi bagaimana mungkin, Aila mampu menolak saat Erna tiba-tiba datang mengiba padanya.
Meminta Aila agar bersedia diperistri Fakhri dengan segala resikonya...
"Tapi ... Terus terang Tante takut jika terlalu lama nanti kamu akan berubah pikiran ...." terang Erna.
"Ma! Jangan terlalu memaksa Aila, biarkan Aila memilih jalan hidupnya sendiri." timpal Danu. Akhirnya ikut angkat suara setelah dari tadi hanya diam. Menyimak.
"Jangan khawatirkan masalah itu Tante, Om ... Apa yang telah Tante dan Om lakukan untuk Aila selama ini adalah kebaikan yang sangat luar biasa,"
"Jadi bagaimana mungkin Aila mampu menolak ketika kesempatan untuk membalas budi itu tiba."
Erna tersenyum lega, direngkuhnya kemudian anak sahabat karibnya dulu itu.
"Terima kasih Aila." ucap Danu.
"Fakhri ...."
Fakhri berjingkat pelan, karena sebuah tepukan lembut di sebelah bahunya.
"Kamu kenapa sih sayang?" tanya Naira, manja. Tangannya asyik bergelayut manja di lengan kekar Fakhri.
Fakhri berusaha tersenyum tenang. Sebisa mungkin berusaha menutupi kegundahan hatinya.
Lelaki yang baru saja mempersunting Naira itu tengah dilanda bimbang. Lantaran Erna baru saja memberitahukan sebuah kabar untuknya.
Aila akan turut datang menghadiri pestanya.
Fakhri takut, jika hal ini nantinya akan mempengaruhi perasaan Naira yang tengah berbahagia.
Awalnya Ia sempat protes, namun ucapannya sama sekali tak digubris oleh orang tuanya. Dengan dalih Aila berhak untuk datang karena kelak Ia juga akan menjadi bagian dari keluarganya.
"Kamu sedang tidak sehat?" tanya Naira, yang lagi-lagi melihat Fakhri melamun tak jelas.
"Aku hanya sedikit lelah ...."
Naira berdecih lirih setelah mendengar alasan Fakhri. Sedetik kemudian kembali tersenyum dengan tetap bergelayut manja di lengan Fakhri.
Aila yang baru datang segera memalingkan muka melihat kemesraan Naira dan Fakhri.
Ada rasa risih dan tak nyaman dalam hatinya. Ia memang tidak mencintai Fakhri, tapi tetap saja ... Ada rasa tak nyaman ketika berada di tengah-tengah mereka.
Lantaran Ia sadar, jika Ia akan benar-benar menjadi pihak ketiga di antara mereka suatu hari nanti.
Hal yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan keinginan hatinya.
"Aila, kenapa berhenti ... Ayo masuk!"
Fakhri dan Naira refleks menoleh ketika mendengar Erna menyebut nama Aila.
Naira yang sedari tadi asyik bermanja pada Fakhri pun sontak melepaskan rangkulan tangannya di lengan Fakhri dengan perasaan tak nyaman.
Canggung!
Baik Aila, Naira dan Fakhri. Ketiganya dilanda perasaan canggung dan tak nyaman.
Hanya Erna yang terus berbicara dengan binar di matanya ketika menyambut Aila yang baru datang.
"Oh ya, kita ambil foto kalian bertiga ya?"
"Ayo Aila cepat mendekat, kita ambil foto untuk kalian bertiga ya,"
Aila tergagap menanggapi permintaan Erna, begitupun dengan Naira dan Fakhri yang sama terkejutnya.
Mereka hanya diam mematung tak merespon permintaan Erna.
"Ayolah Aila, Fakhri, Naira ... Memangnya apa salahnya,"
"Kalian hanya akan mengambil foto bersama bukan hal lainnya!"
Erna terus memaksa mereka bertiga berdiri sejajar. Hingga detik kemudian Aila berdiri canggung di sebelah kanan Fakhri dan Naira.
"Aila ... Berdirinya jangan ada jarak gitu dong,"
"Ayo semakin merapat, jangan malu-malu Aila ... Ayo gandeng lengan Fakhri juga dong."
Kini bukan hanya Aila, namun Fakhri dan Naira pun terlihat tak nyaman.
Aila hanya tersenyum canggung sembari mengambil jarak lebih dekat. Namun tak menggandeng lengan Fakhri seperti keinginan Erna.
Sejujurnya Aila berniat untuk tidak datang. Ia tak ingin merusak hari bahagia Naira atau pun Fakhri.
Namun Ia sama sekali tak berdaya ketika Erna selalu mendesaknya agar datang. Dengan mengingatkan semua kebaikan Erna padanya dulu, yang jelas membuat Aila merasa sungkan jika menolak.
Suasana berubah canggung dan tegang ketika sesi foto antara Aila, Naira dan Fakhri telah dimulai.
Entah menguap kemana kemesraan dan sifat manja yang ditunjukkan Naira tadi. Ia turut berdiri canggung dan mengikuti setiap pose arahan Ibu mertuanya. Erna.
Bahkan sesekali secara diam-diam Naira mengusap sudut matanya ketika Erna meminta Aila dan Fakhri hanya berpose berdua, tanpa dirinya.
"Fakhri, Mama harap setelah ini kamu segera menikahi Aila ... Mama sudah gak sabar pengen gendong cucu." bisik Erna tepat di telinga Fakhri, putranya. Pelan namun masih bisa terdengar jelas.
Fakhri terdiam, tak ada jawaban yang meluncur dari bibirnya. Desakan Mama nya semakin membuat pikirannya semakin gelisah.
Naira yang berdiri tak jauh dari mereka pun turut mendengar bisikan Ibu mertuanya itu. Begitu pun Aila yang refleks menoleh ke arah Naira, takut jika wanita itu akan terluka oleh ucapan Erna pada Fakhri.
Hancur sudah!
Perlahan pertahanan Naira mulai luruh, bulir bening meluncur dari pelupuk matanya tanpa bisa dicegah.
Naira berjalan menjauh dari keramaian pesta demi menutupi matanya yang basah. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di acara bahagianya sendiri.
Aila yang melihat Naira meninggalkan acara pesta sembari menangis pun. Berlari mengejarnya.
"Naira?"
Aila berjalan menghampiri Naira, kemudian menjulurkan tangannya untuk mengusap lembut punggung Naira yang tergunjang karena isakan.
"Untuk apa kamu datang kesini Aila?"
"Pasti kamu ingin menertawakanku bukan?"
"Kamu pasti merasa sangat bahagia karena Mama Erna lebih menyukaimu!"
Ucap Naira di sela isak tangisnya sembari menepis usapan lembut Aila di bahunya.
"Jangan berbicara seperti itu Nai ... Bukankah sudah sangat jelas terlihat, Mas Fakhri sangat mencintaimu."
Naira membalikkan badannya. Menatap Aila dengan wajah penuh tanya. Setelah mendengar ucapan Aila tadi.
"Kamu tahu betapa Fakhri sangat mencintaiku?"
" ... Lalu mengapa kamu masih ingin hadir di antara kami?"
"Mengapa Aila?"
Desak Naira. Menuntut jawaban dari mulut wanita yang kemungkinan besar akan menjadi madunya itu.
" ... Karena Aku tak memiliki pilihan lain Nai. Aku terlalu banyak berhutang budi pada keluarga ini dan Aku tak mampu menolak keinginan mereka,"
"Maaf ... Aku sama sekali tak berniat untuk merusak kebahagiaanmu dan Mas Fakhri,"
Naira terhenyak mendengar penuturan Aila. Baru diketahuinya jika Aila melakukannya bukan karena tertarik pada Fakhri. Melainkan karena terpaksa.
"Jadi kamu tidak mencintai Fakhri?" tanya Naira.
"Mas Fakhri hanyalah seperti orang asing bagiku ... Meski dulu semasa kecil kami sempat berteman." jawab Aila. Yakin.
Naira menghela nafas lega. Kemudian tersenyum simpul setelah mengetahui kenyataannya.
"Berjanjilah padaku Ai, kamu tidak akan merebut Fakhri dariku,"
"Berjanjilah jika Fakhri tetap adalah milikku,"
"Bukankah kamu sendiri yang bilang jika kamu tidak mencintai Fakhri?"
"Kalau begitu berjanjilah ... Jika kamu tidak akan menjauhkan Fakhri dariku, bahkan setelah nanti kamu telah dinikahi olehnya."
Aila mengangguk pelan. Mengiyakan ucapan Naira. Meski Ia sendiri gamang dengan keputusannya. Sejujurnya Ia takut dengan janjinya...
Aila takut dengan perasaannya. Karena hati dan perasaan manusia selalu berubah-ubah.
Bagaimana jika kelak Ia justru menaruh hati pada Fakhri?
Bukan tak mungkin hal itu dapat terjadi jika kelak Ia akan benar-benar dipersunting oleh Fakhri.
*-*-*
Semua rantaian acara telah usai digelar. Semua tamu undangan pun telah kembali pulang.
Namun tak begitu dengan Aila, Ia tetap berada di kediaman Fakhri karena paksaan dari Erna.
"Tante senang kamu bersedia menginap di sini malam ini,"
"Bagaimanapun kamu seorang wanita, tidak baik menempuh perjalanan panjang larut malam begini, seorang diri,"
"Oh ya, Aila ... Apa tidak seharusnya kamu pindah ke kota ini, agar lebih dekat?"
Aila terdiam. Bingung harus menjawab apa atas permintaan Erna.
Sedangkan untuk menolak pun pasti percuma. Karena wanita itu pasti akan kembali memaksanya, dengan mengingatkan semua kebaikannya di masalalu yang membiayai seluruh hidup Aila.
"Tidak bisa Tante, kerjaan Aila kan di sana ...."
"Jadi Aila tak mungkin bisa pindah sekarang."
Erna berdecak kesal mendengar alasan yang dibuat Aila. Lantaran niatnya meminta Aila pindah agar gadis itu secepatnya bisa dekat dengan Fakhri.
"Kalau begitu kamu bisa berhenti bekerja ... Atau mungkin pindah ke perusahaan keluarga kami,"
"Pokoknya kamu harus secepatnya pinda Aila,"
"Kamu harus berusaha mendekatkan diri dengan Fakhri, karena bagaimana pun juga nantinya kalian akan menikah."
Naira memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Setelah tak sengaja mendengar pembicaraan Erna dan Aila.
Air matanya kembali luruh, baru beberapa jam yang lalu Ia resmi menjadi istri Fakhri. Namun Ibu Mertuanya telah membicarakan mengenai pernikahan kedua untuk suaminya.
Pagi.
Aila yang baru keluar dari dalam kamar, tak sengaja mendengar tawa cekikikan dari dalam kamar Naira dan Fakhri. Lantaran letak kamar mereka yang memang bersebelahan.
Suara tawa Naira dan Fakhri, terdengar lantang dari dalam sana.
Aila tersenyum getir. Merasa ragu pada hidupnya ... Dapatkah Ia merasakan kebahagiaan seperti Naira.
Terlebih lagi Ia merasa takut jika kehadirannya kelak akan merusak kebahagiaan Naira dan Fakhri.
Sedangkan untuk meraih cinta Fakhri, ... Sama artinya dengan mengkhianati Naira yang telah memintanya untuk tak merebut Fakhri darinya.
*-*-*
"Fakhri dimana Aila?"
"Apa mungkin masih tidur?"
Aila menatap ragu pada Erna, bingung harus menjawab apa pada pertanyaan Erna.
"Aila?"
"Kamar kalian kan bersebelahan? Apa kamu tidak melihat Fakhri keluar kamar?"
Aila menggeleng pelan. Merasa sedikit canggung mendengar pertanyaan Erna.
Bagaimana tidak?
Letak kamar mereka bersebelahan saja sudah membuatnya tidak nyaman. Dan sekarang Erna menanyakan sebuah hal yang tak seharusnya Ia ajukan pada Aila.
"Mama apa-apaan sih, bertanya Fakhri kok sama Aila!"
"Meski kamar mereka bersebelahan kan tapi Aila bukan istrinya, ya mana Aila tahu!" sahut Danu.
"Ya mungkin saja ... Siapa tahu tadi Aila melihat Fakhri ...." sanggah Erna.
Hingga perlahan sayup-sayup dari kejauhan terdengar samar langkah kaki, semakin lama semakin terdengar mendekat.
Fakhri dan Naira muncul sembari bergandengan tangan.
Erna menatap sinis pada Fakhri dan Naira yang baru datang di meja makan ketika acara sarapan sudah akan selesai.
"Ehmb ... Fakhri, kamu tahu kan peraturan yang selalu Mama buat sejak dulu,"
Fakhri menghentikan gerakan tangannya yang hendak menarikkan kursi untuk tempat Naira duduk di meja makan.
Begitu pula dengan Naira yang kemudian turut mengalihkan perhatiannya pada Erna, Ibu Mertuanya.
"Ma ...." sela Fakhri.
"Peraturannya belum berubah Fakhri, semua harus tepat waktu hadir di meja makan ketika akan sarapan pagi," imbuh Erna, menyela ucapan Fakhri.
"Sudahlah Ma, maklumi Fakhri untuk saat ini saja," sela Danu. Berusaha menengahi.
"Salah kok dibela ... Peraturan ya tetap peraturan." sanggah Erna. Tak ingin kalah.
"Kami minta maaf Ma, besok dan seterusnya Aku dan Fakhri pasti akan tepat waktu." sahut Naira.
"Kamu juga Naira ... Sebagai istri kamu harus bisa mengingatkan Fakhri kalau dia salah, bukan malah ikut terlena!" ucap Erna. Ketus.
Fakhri menghela nafas pelan. Lalu menggenggam tangan Naira yang tadi berbicara dengan nada bergetar. Sedih.
"Sudah-sudah ... Kalian duduk saja dan segera sarapan,"
"Semua makanannya nanti keburu dingin."
Fakhri dan Naira mengangguk pelan, setelah mendengar ucapan Danu. Kemudian duduk bergabung di meja makan untuk sarapan.
Erna menaruh kasar sendok beserta garpu di tangannya ke atas piring, hingga menimbulkan suara denting yang cukup keras. Menghentikan gerakan tangan Naira yang akan menyendokkan nasi ke piring Fakhri.
"Gimana tidak dingin, sudah jam berapa ini mereka baru datang?"
"Kalian lanjutkan saja ... Mama sudah selesai." terang Erna yang kemudian bangkit dari kursinya lalu melangkah pergi.
"Nyonya ...."
Langkah kaki Erna refleks terhenti ketika Tuti, salah seorang pembantunya datang memanggilnya sembari membawa sebuah barang di sebelah tangannya.
"Ada apa Tut?"
"Ini Nyonya, ada paketan barang datang atas nama Nyonya ... Katanya ini barang pesanan Nyonya." ucap Tuti sembari menyerahkan barang di tangannya pada sang majikan, Erna.
Senyum senang otomatis tersungging di bibir Erna ketika menerima barang dari tangan Tuti.
Di tolehnya Aila yang masih duduk di meja makan.
"Aila ... Mama punya sesuatu untuk kamu dan Fakhri," ucap Erna kemudian.
"Sesuatu?" Aila bertanya balik. Penasaran.
"Apa Ma?" sahut Fakhri yang juga ikut penasaran.
Semua orang di meja makan kini mengalihkan perhatiannya pada Erna. Menatap bingung pada bungkusan barang di tangan Erna.
"Sesuatu yang telah Mama persiapkan dengan sangat matang untuk kalian,"
Aila mengernyit heran, sedetik kemudian membelalakkan kedua bola matanya ketika Erna memperlihat isi barang di tangannya.
Sebuah undangan!
"Mama sudah memesankan contoh desain undangan untuk acara pernikahan kalian nanti."
Aila terdiam. Melirik Naira sekilas yang kedua matanya telah dipenuhi kaca-kaca.
Bagaimana mungkin Erna membicarakan mengenai rencana pernikahan Aila dan Fakhri, hanya berselang satu hari setelah pernikahan Fakhri dan Naira?
"Ma ... Apa ini tidak terlalu cepat." ucap Danu sembari menatap istrinya yang masih asyik memperlihatkan beberapa contoh desain undangan di tangannya.
"Terlalu cepat apanya?"
" ... Lebih cepat lebih baik kan Pa,"
"Mama melakukan ini ya biar mereka bisa secepatnya kasih kita cucu,"
"Lagian kan Papa tahu sendiri kalau Naira kan tidak bisa kasih kita ...."
"Ma!"
Erna terdiam. Ucapannya terhenti karena kaget dengan bentakan Fakhri.
"Apa-apaan kamu, Fakhri ... Sejak kapan kamu berani bentak Mama!" cerca Erna. Terpancing emosi.
"Fakhri mohon Ma ... Hargailah Naira ... Dia istri Fakhri sekarang!"
"Naira memang tidak bisa kasih Mama cucu, tapi dia menantu Mama ... Istri sah Fakhri ... Bagian dari keluarga ini juga!" tegas Fakhri yang terus berusaha menahan amarahnya.
Tak tahan lagi mendengar rangakaian perdebatan Fakhri dan Erna. Naira bangkit berdiri, mengakhiri acara sarapan paginya yang baru makan beberapa suap.
Hatinya begitu terluka dalam lantaran Sang Ibu Mertua hanya menganggapnya bagai benalu di keluarganya.
"Nai,"
Tak lagi Naira pedulikan panggilan Aila maupun Fakhri yang mencoba menghentikannya.
Aila bangkit berdiri, hendak mengejar Naira namun dicegah oleh Fakhri yang kemudian mengejar Naira.
"Aila ... Tante bersikap seperti ini, bukan karena Tante pilih kasih pada kamu atau pun Naira,"
"Tante hanya ingin membuat Fakhri mengerti, bagaimana seharusnya Ia bersikap,"
"Karena baik Fakhri atau pun Naira, mereka harus belajar untuk menerima kehadiranmu mulai dari sekarang ... Begitu pula dengan kamu Aila, jangan karena kasihan pada Naira, lantas kamu harus selalu mengalah padanya ... Termasuk untuk tidak terlalu dekat dengan Fakhri,"
"Saat ini kamu mungkin belum menjadi istri Fakhri, tapi kelak kamu juga akan menjadi istrinya juga kan!"
Aila tertegun mendengar ucapan panjang lebar Erna. Ia tak menyangka jika Erna tahu tentang permintaan Naira yang memintanya agar tak terlalu dekat dengan Fakhri.
*-*-*
Dengan langkah gontai Aila melangkahkan kakinya untuk kembali ke kamarnya setelah acara sarapan pagi yang penuh drama.
Semakin mendekati pintu kamar, sayup-sayup telinganya menangkap suara tawa dari arah kamar sebelahnya.
Naira dan Fakhri.
Langkah kaki Aila terhenti, menatap kamar yang pintunya sedikit terbuka.
Di sana! Naira dan Fakhri tengah bercengkrama mesra sembari sesekali berpelukan. Seolah tak pernah ada permasalahan yang baru saja terjadi tadi.
Batin Aila gamang. Rasa bersalah mulai menyusup dalam relung hatinya. Ia terlalu takut untuk masuk ke dalam kehidupan Fakhri dan Naira.
Aila takut Naira akan terluka!
Sedetik kemudian tatapan Aila dan Fakhri bertemu.
Fakhri yang masih berada dalam dekapan lembut Naira, menatap Aila dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Sedangkan Aila refleks memalingkan mukanya sembari melanjutkan langkah kakinya. Masuk ke dalam kamar.
Aila mengatur deru nafasnya yang mulai naik turun. Terpergok Fakhri saat tanpa sengaja melihat mereka bermesraan.
Setelah usai mengatur perasaan yang terlanjur tak karuan. Aila meraih tas dan bersiap-siap untuk pergi. Tak ingin lebih lama lagi tinggal di kediaman keluarga Fakhri.
Aila memutuskan untuk pulang!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!