Pagi yang indah, burung gereja yang sedari tadi berkicau ria menambah riangnya pagi ini. Aku melirik jam bekerku yang terletak di atas meja kecil samping tempat tidur. Jam sudah bergerak menuju pukul 05.30 WIB. Aku merenggangkan seluruh otot tubuhku. Dari luar seluruh penghuni kos sudah terdengar sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kebanyakan dari mereka akan bersiap-siap jogging di alun-alun atau ada yang sekedar ingin wifi-an gratis dan lain sebagainya.
“Ricka… belum bangun?” teriak seseorang dengan suara super nyaring. Suara yang sangat aku kenal. Kayla, sahabat terbaikku selama ini. Persahabatan kami sudah terjalin sejak SMP hingga kita kuliah dan kos di tempat yang sama.
“Iya… sudah, aku sikat gigi dulu ya?” Aku menyahut dari dalam kamar kemudian langsung menuju ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian kami sudah bersiap menuju alun-alun kota yang tidak jauh dari tempat kos.
“Hari ini kau bahagia banget, ada apa gerangan?” tanya Kayla sambil berlari kecil mengiringiku.
“Hmmm… biasa!”
“Wah… jangan bilang, kau lagi-lagi bermimpi ‘Mr. Dream’?”
“Kay, kenapa sih? Apaan pula ‘Mr. Dream’? Dia itu punya nama!”
“Ricka sayang, pangeran mimpimu itu membuat kamu menjadi gadis jomblo selama hampir 22 tahun!” Kayla melihatku dengan sedikit menggertakkan giginya.
Aku hanya memberinya sebuah senyuman. Kami berdua duduk di kursi taman samping alun-alun. Terdengar lebih bising suara kendaraan lalu lalang yang menandakan hari semakin siang. Kayla melemparkan sebuah botol air mineral ke arahku dan langsung aku teguk perlahan.
“Ricka, apa kau tidak bosan? Memuja sosok yang sama sekali kau tidak tahu perasaannya kepadamu? Apa tidak ada sosok laki-laki lain yang lebih baik darinya? Apa Kak Seno sang ketua BEM pangeran mimpi seluruh mahasiswi di kampus kita tidak mampu membuKakan hatimu? Atau…,” ia menghentikan kalimatnya beberapa detik. “atau… Kak Wisnu sang putra tunggal rektor kita super cool ramah dan baik hati itu tidak mampu mendebarkan jantungmu? Mereka bergantian mendekatimu, tapi ketika mereka ada kesempatan menyatakan perasaannya, cut! Kau memutuskan harapan mereka, oh… betapa beruntungnya dirimu,” kata Kayla panjang lebar dengan ekspresi yang menurutku sangat menyebalkan.
Aku kembali tersenyum. Memang beberapa waktu lalu pria-pria populer di kampus banyak yang mendekatiku. Entah ada angin apa membuat mereka berbuat seperti itu. Namun di hatiku saat ini, hanya satu sosok yang selalu aku harapkan akan datang dalam hidupku. Sosok laki-laki yang hangat, sedikit lebih hangat dari sinar mentari. Namanya Andra. Laki-laki yang aku kenal sejak kelas dua SMP dulu. Dia adalah anak pindahan dari sekolah lain saat itu. Pertama kali bertemu dengannya, membuat jantungku berdegup tak berirama. Sorot matanya yang lebih indah dari warna pelangi. Suaranya yang lebih merdu dari suara paling merdu di dunia. Membayangkannya saja jantungku seakan mau berhenti.
“Andra, Kay. Namanya Andra.” Aku tersenyum tipis.
“Iya, aku tahu, dia, kan juga teman sekelasku dulu. Mana mungkin aku tak mengenalnya. Dia baik, tapi dia tidak populer di sekolah. Kerjaannya kalau tidak baca buku di perpustakaan, ya latihan basket di ruang olah raga. Yang aku kenal dari SMA dia juga tidak punya pacar. Tapi kau tahu, awal-awal kita masuk kuliah dia sudah menjalin hubungan dengan teman sekelasnya.” Kayla melihat mataku dengan sedikit emosi.
“Aku tahu lebih banyak dari yang kau tahu, Kay. Biarkan perasaan ini hilang dengan sendirinya. Karena semakin aku ingin menghilangkan perasaan ini, perasaan ini semakin kuat menghampiriku,” jawabku perlahan.
“Kayaknya bener deh, Rick!” Kayla kembali menegak air mineralnya, “kau terkena kutukkan cinta seperti yang dikatakan Dewi si pawang cinta yang sudah tidak diragukan keakuratan datanya,” Kayla mulai mengkhayal tak jelas.
“Haisssh… mulai lagi. Stop it…!” Aku mulai gemas.
“Kau tidak akan bisa melupakan Andra sebelum kau jatuh cinta dengan laki-laki lain,” suara Kayla terdengar horor di telingaku.
“Kalau itu, aku juga tahu. Mana mungkin aku menerima laki-laki lain kalau aku masih mencintai Andra! Aneh deh kamu!” Aku berlari kecil kembali menuju ke kos karena hari sudah semakin siang. Dalam perjalanan pulang Kayla masih saja ceramah tentang pendapatnya yang tak masuk akal. Kadang diiringi dengan candaannya yang menyenangkan.
Selama ini, hanya Kayla yang mampu dan kuat mendengarkan curhatanku mengenai Andra. Kadang aku menangis sesunggukan ketika Andra meng-upload foto bersama kekasihnya, atau tertawa riang bahagia melihat status kekasih Andra yang ngomel-ngomel tak jelas menandakan keduanya sedang bertengkar.
Itulah hidupku, sang pangeran mimpi yang sering hadir dalam mimpiku. Di dalam mimpi itu seakan aku menjadi ratu baginya. Dia membelai lembut rambutku dalam pelukannya. Bahkan aku sering bermimpi, Andra menjadi aktor drama Korea yang sedang aku tonton sedangkan aku menjadi tokoh wanita utamanya. Hal itu membuatku lebih semangat untuk menjalani hidup. Selama 22 tahun kehidupanku, aku sama sekali belum pernah berpacaran. Bukan karena mereka yang menyukaiku adalah laki-laki yang tidak baik, tapi karena aku masih belum sanggup menerima pangeran lain di dalam hatiku.
Kami dulunya memang teman sekelas, tapi sepatah kata pun aku tidak pernah bicara padanya. Jangankan untuk berbicara, mendekatinya saja aku tak mampu. Aku hanya seperti pengagum rahasianya. Melihatnya dari jauh, mengkhawatirkannya dari jauh, semuanya serba dari jauh. Sampai sekarang pun aku tidak pernah menghubunginya, sungguh tidak ada kekuatan sedikit pun untuk mendekatinya. Apalagi sekarang ada seseorang yang selalu di sampingnya. Aku hanya menunggu kapan perasaan ini berhenti dengan sendirinya. Dengan mendapat kabar dari Facebook pun sudah cukup membuat hatiku tenang.
Waktu menunjukkan pukul 10.20 WIB perkuliahan pertama telah usai. Karena ada tugas yang menumpuk, aku memutuskan untuk ke perpustakaan mencari sumber dari data makalahku. Tapi niat itu aku urungkan ketika melihat Kak Wisnu yang telah menungguku di luar pintu perpustakaan.
“Aku tahu kau akan ke sini, jadi aku menunggumu.” Ia berjalan menghampiriku.
Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. “Ada apa Kak? Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku kemudian berjalan mendekatinya.
“Iya, bisa temani aku sebentar di kantin?” ujarnya dengan tatapan matanya penuh harap. “ada yang ingin aku katakan,” lanjutnya.
“Em… maaf Kak, aku ada janji dengan Kayla.” Aku tak berani menatap matanya.
“Bohong, aku ke sini tadi atas saran dari Kayla. Dia bilang tidak bisa ke perpustakaan hari ini karena ada urusan mendadak.”
“Oh… maaf Kak… tapi…,” aku belum sempat menjawabnya, Kak Wisnu sudah menarikku menuju ke arah kantin. Aku melihat beberapa… oh bukan, banyak pasang mata melihat kami. Aku sungguh tidak dalam suasana yang menyenangkan. Genggaman tangan Kak Wisnu di pergelangan tanganku sungguh erat bahkan sedikit sakit aku rasakan.
“Kak… cukup Kak…! Sudah…! Banyak yang melihat kita,” aku setengah berbisik.
Namun tampaknya ia tidak memedulikan keadaan sekitar. Kami sampai ke meja kantin, setelah memesan minuman yang sebenarnya aku sedang tidak ingin minum apa pun. Kak Wisnu memulai pertanyaannya.
“Ricka, jawab aku, kenapa kau akhir-akhir ini menghindariku?” Ia menatapku lekat-lekat. Aku juga menatapnya, sungguh jantungku biasa saja, tidak ada yang berdetak tak berirama seperti ketika Andra melihatku.
“Aku tidak menghindarimu, Kak,” jawabku perlahan.
“Terus kenapa setiap aku ajak jalan kau selalu menolak? Apa kau sudah punya pacar?”
“Tidak Kak, aku memang sedang tidak ingin jalan dengan siapa pun.”
Samar-samar aku mendengar banyak orang berbisik-bisik entah apa yang mereka bisikkan.
“Apa aku salah bila menyukaimu?” Kata-kata yang sangat tidak ingin aku dengar akhirnya terlontar dari bibirnya.
Aku tercekat, bisik-bisik dari orang-orang yang melihat kami terdengar semakin jelas.
“What?? Mimpi apa dia semalam bisa ditembak Wisnu yang super keren itu?” suara dari seorang mahasiswi berbadan kurus. “Mungkin dia pakai susuk penarik perhatian pria,” sahut teman lain yang berada di sampingnya. Dan masih banyak bisik-bisik yang sangat mengganggu telingaku.
“Maaf Kak, sepertinya momennya sedang tidak tepat.” Aku beranjak dari kursiku.
“Kurang tepat? Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kemarin saat aku menemuimu di taman kota, kau selalu mengalihkan pembicaraan. Ketika aku akan menyatakan perasaanku, kau selalu memotong perkataanku. Jika kau tidak menyukaiku, katakan saja. Jangan menghindariku dengan semua perasaan ini yang sangat menyiksaku!”
“Iya, jika aku mengatakannya apa Kakak tidak merasa sakit? Itu yang aku lakukan, karena aku tidak sanggup melihat orang di sekitarku sakit karena aku. Jadi maafkan aku.” Aku berjalan meninggalkannya.
Dia mengejarku. Menarik tanganku sehingga aku terpaksa menoleh ke belakang. “Tolong, katakan saja, aku yakin aku akan baik-baik saja.” Matanya seakan memohon kepadaku.
“Aku hanya ingin berteman saja denganmu, Kak!” Biarpun perlahan tapi aku yakin dia sangat mendengarkan apa yang aku katakan. Ia melepaskan genggaman tangannya.
Kami berdua membisu. Perasaan ini yang sangat aku benci. Selama ini aku selalu menyakiti laki-laki yang menyatakan perasaannya kepadaku. Itulah alasanku selalu memotong perkataan mereka, ketika aku mendapat sinyal mereka akan menyatakan perasaannya. Karena aku takut setelah ini mereka akan menjauhiku, tidak ada lagi pertemanan. Beginilah akhirnya.
“Makasih Rick, aku tahu yang kau maksud.”
“Ini kah yang Kakak inginkan dari aku? Kakak ingin aku memperjelas jawabanku yang bahkan Kakak sebenarnya sudah tahu? Apa Kakak sama seperti laki-laki lain? Setelah mengetahui jawabanku mereka akan begitu saja meninggalkan aku? Aku sungguh tidak menginginkan ini, Kak, aku sungguh tidak berharap pertemanan kita menjadi hancur karena perasaan ini!” Aku menatap matanya tajam.
“Aku beda Rick, aku akan selalu menjadi temanmu. Maaf, tapi untuk saat ini ijinkan aku menjauhimu demi menata kembali perasaanku padamu!” Ia berbalik arah kemudian pergi menjauhiku. Lengkap sudah sekarang. Kak Seno yang beberapa waktu lalu juga sakit hati karenaku, sekarang setiap melihatku dia selalu membuang muka. Bukan hanya mereka yang sakit hati. Aku pun juga merasakannya.
Aku menghela napas panjang, menahan setitik air mata yang hampir tumpah di kedua kelopaknya. Mataku terasa panas. Aku berjalan menjauh dari kebisingan yang telah terjadi sesaat lalu. Sekarang aku benar-benar merasa sendiri. Aku merasa ingin hidup sendiri saja. Jauh dari teman-teman pria yang aku takut menyakitinya.
Aku berjalan menyusuri gang sempit menuju kamar kosku. Dan ternyata anak-anak kos pun mendengar kejadian yang baru saja aku alami. Mungkin sama seperti beberapa waktu lalu, ketika kabar penolakanku pada Kak Seno. Mungkin ini akan menggemparkan seluruh kampus nantinya. Tidak hanya di kalangan mahasiswa, tapi pasti dosen juga akan heboh dengan berita ini.
Ada sesuatu yang kurang di kos, aku belum menemukan Kayla. Entah kemana dia seharian. Aku mengira dia akan ke perpustakaan hari ini, tapi kata Kak Wisnu tadi Kayla ada acara. Aku membuka pintu kamar kos dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidur berukuran sedang. Aku membuang napas beberapa kali. Menyesali yang terjadi hari ini.
Kenapa aku harus ke perpustakaan siang tadi? Dan kenapa aku menjawab semua pertanyaan Kak Wisnu? Kali ini tidak hanya namaku yang bakal terpampang jelas di grub Facebook mahasiswa kampus, tapi nama Kak Wisnu juga bakal jadi trend center. Karena penatnya, aku pun tertidur pulas.
Aku terbangun ketika senja telah datang, aku mendapati ada yang tertidur di sampingku. Iya, itu adalah Kayla.
“Kemana saja kau, Kay?” Aku menyapanya sambil mengucek kedua mataku.
“Maaf Rick.” Ia pun mengucek matanya yang juga baru bangun tidur.
“Kenapa kau tidur di sini? Kenapa tidak di kamarmu sendiri?” Aku melihatnya, kini pandanganku sedikit lebih terang walau lampu kamar masih belum dinyalakan. Aku melirik ke jam bekerku sudah pukul 17.35 WIB.
“Tadi aku lihat berita mengenaimu di grub Facebook. Aku berpikir akan menemanimu, tapi ternyata kau justru enak-enakan molor. Sepertinya kau baik-baik saja sekarang, Rick!” ujarnya sambil merenggangkan otot tangannya ke atas.
“Mungkin menurutmu aku baik-baik saja, Kay, tapi jujur aku sedang sedih. Mengapa aku tidak bisa menerima mereka? Ada apa dengan perasaanku ini, Kay? Kenapa aku tidak bisa melupakan Andra? Tapi justru menyakiti mereka yang benar-benar memedulikan aku?” Aku terisak lirih.
Sengaja aku berkata pelan agar penghuni kamar lain tidak mendengarkan percakapan kami.
“Rick, kau tidak salah. Aku mendukungmu. Segala apa yang kau anggap itu yang terbaik. Jika kau menerima mereka, belum tentu mereka juga akan bahagia. Terlebih lagi kau yang pastinya akan terluka. Semoga ada jalanmu menemukan cinta sejatimu. Entah itu Andra atau laki-laki lain di luar sana.” Kayla menatapku dalam-dalam.
Kadang wajahnya tak sesuai dengan nasehat yang ia lontarkan. Wajahnya yang imut dan lucu mampu menghipnotis orang yang sedang bermasalah menjadi mengungkapkan semua perasaan kepadanya. Kami berpelukan, aku dengan bebasnya menangis sesunggukan dalam pelukan sahabat terbaikku itu.
Selesai bebersih diri Kayla mengajakku ke alun-alun kota yang lumayan ramai di malam hari. Lampu-lampu jalan menghiasi malam bagai kunang-kunang yang mematung. Kami sepakat untuk menyantap sate ayam langganan kami yang berada di sebelah utara alun-alun. Baru memasuki kedai sate ayam, tiba-tiba Kayla menarikku keluar.
“Rick… aku nggak sanggup ke tempat ini… huuuek…!” serunya sambil menutup mulut.
“Kau kenapa, Kay? Kau masuk angin? Kita beli obat ya?” Aku mulai panik.
“Tidak… akhir-akhir ini aku sering merasa pusing dan suka mual, Rick, mungkin karena di kampus banyak tugas dan aku kurang tidur belakangan ini,” katanya perlahan.
“Kay, akhir-akhir ini aku juga sering melihatmu pucat, sebaiknya kau periksa deh!” Aku mulai khawatir.
“Kau tenang saja, aku nggak apa-apa kok!” jawabnya diiringi senyuman tipis.
Tak lama kemudian baru selangkah jalan, Kayla tiba-tiba pingsan. Untung di samping alun-alun ada dokter yang masih buka praktek malam. Betapa terkejutnya aku mendengar perkataan dokter itu. Dokter itu bilang kalau Kayla sedang hamil dua bulan.
Bagai disambar petir di malam hari rasanya. Badanku lemas lunglai, mana mungkin sahabat terbaikku yang aku tahu dia belum punya kekasih, bisa tiba-tiba hamil.
Dengan siapa? Kapan? Yah… aku ingat beberapa bulan lalu dia berkenalan dengan salah satu mahasiswa lain jurusan yang dikenalnya lewat grub Facebook, apa mungkin dia orangnya? Apa yang harus aku lakukan? Kayla perlahan menemukan kesadarannya.
Dia terkejut ketika mendapati dirinya yang diinfus di klinik. Aku menunggunya untuk bicara. Tapi ia malah menangis sesunggukan.
“Kay….” Perlahan aku memegang pundak kanannya.
“Rick… apa yang terjadi?” nada bicaranya masih lemah.
“Kau hamil, Kay, dua bulan….” Aku menatapnya dengan ekspresi yang sulit aku gambarkan.
Kayla terdiam dan membuang muka ke berlawanan arah denganku. Aku sangat tahu dan yakin ia menangis saat ini. Aku tahu dia pasti sangat kecewa dengan apa yang menimpanya saat ini.
“Berani berbuat berani bertanggung jawab, Kay, siapa laki-laki itu…?” selidikku. Kayla masih saja membisu. Mungkin pertanyaanku tadi sangat menyinggungnya. Aku menyesal telah bertanya dengan pertanyaan konyol seperti itu.
Aku memegang bahunya, memeluknya yang sedang tiduran di tempat tidur pasien. Perasaannya pasti lebih sakit dibanding dengan perasaanku sekarang. Bagaimana aku bisa tidak tahu betapa gelisah dia belakangan ini? Aku menganggap dia baik-baik saja, ketika beberapa waktu lalu mengeluhkan tak kunjung datang bulan. Kayla juga mengeluhkan nyeri di perut bawahnya. Dia merasa tubuhnya sedikit gemuk dan otot-ototnya sakit sekali. Kenapa aku tidak sepeka itu? Kenapa juga aku bisa tidak mengetahui rahasia besarnya ini? Kenapa dia merahasiakan hubungannya dengan laki-laki itu? Beribu pertanyaan besar muncul dalam benakku tanpa ada keberanianku menanyakan langsung kepada Kayla.
“Please… Ricka, hanya kita yang tahu masalah ini,” suaranya seperti tertahan di kerongkongan.
“Laki-laki itu…,” aku tak berani melanjutkan kalimatku.
“Dia belum tahu…,” ia manahan tangis yang seakan hendak meletus kapan saja.
“Kenapa…?” tanyaku ragu-ragu.
“Karena aku tidak bisa menjawabnya, Rick. Aku hanya takut kehilangannya. Aku takut ia meninggalkan aku.” Kini air mata itu jatuh bebas melewati pipinya yang kemerahan.
Aku semakin erat memeluknya, aku menangis. Menangis meratapi nasib sahabatku yang paling aku sayangi. Bagaimana nasibnya kelak? Bagaimana nasib calon bayi yang ada di perutnya? Apakah punya masa depan yang cerah? Apakah ia akan punya seorang ayah? Semua pertanyaan konyol itu pun langsung memenuhi otakku.
Tak mungkin aku menanyakannya sekarang. Situasi saat ini sedang tidak tepat.
“Kay, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” Mataku menangkap matanya. Aneh memang meminta suatu permintaan di saat kondisi seperti ini. Kayla hanya menatapku tanpa sanggup menjawabnya. Dia hanya mengangguk ringan.
“Aku minta... tolong jaga dia, tolong rawat dia sebaik-baiknya. Dia makhluk kecil yang suci tanpa dosa!” Aku memegang perut Kayla yang sebenarnya belum terlihat membesar. Tak terasa air mataku menetes deras.
Kayla hanya membalas anggukan kecil dan menggenggam erat tanganku yang berada di atas perutnya. “Rick… terus berada di sisiku ya sampai akhir. Aku takut… takut sekali menghadapi semua ini. Apakah aku mampu…?” suaranya semakin lirih. Aku hanya mengangguk pelan sambil mengusap rambutnya.
Tak lama kemudian, Kayla telah mendapatkan kekuatannya kembali. Kami pulang dengan perasaan yang berbeda dari saat kami berangkat.
“Kay… apa pangeran kecil tidak lapar?” aku bertanya sambil menggodanya berusaha menghiburnya.
“Lapar Tanteeee…” nada suaranya telah kembali seperti Kayla yang aku kenal.
“Haish… dasar tukang makan! Bagaimana kalau kita makan nasi liwet di depan sana?” seruku.
Kayla menggenggam tanganku erat.
“Ayo Tante…!” ujarnya dengan riang.
Di balik riang senyumnya aku tahu perasaan apa yang ada di dalam hatinya. Entah kegilaan apa yang ia lakukan hingga terjebak dengan kesalahan besar dalam hidupnya. Aku masih belum sanggup menanyakannya. Biarlah suatu saat ia mengungkap kebenarannya.
Kayla, sahabatku, ada apa denganmu? Bagaimana kau bisa menghadapi hari esok dengan semua kesalahan ini? Bagaimana masa depanmu? Akankah kau sanggup melanjutkan kuliah lagi? Bagaimana respon ibumu jika ia mengetahui kondisimu saat ini? Hanya kau yang ia miliki, Kayla.
Ibu Kayla adalah seorang wanita karir yang membuka bisnis butik di beberapa wilayah di Jakarta. Tak heran kalau ketertarikannya dengan fashion menular ke anak semata wayangnya yang sekarang mengambil kuliah jurusan Tata Busana. Ayah Kayla sudah lama meninggal saat ia kelas satu SMA. Aku yakin perlahan tapi pasti perutnya akan membesar, lalu bagaimana ia bisa menyembunyikan kekhawatiran itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!