Selamat datang 💕
Cerita Aira dan Ibrahim ini ikut lomba berbagi cinta ya sayang. Mohon dukungannya, jangan lupa favorit, like, komen, kasih hadiah dan vote 💕
Selamat membaca 😘
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sebuah kecelakan pesawat terbang menewaskan seluruh anggota keluarga Ibrahim, ayah, ibu dan kedua saudaranya. kini Ibrahim Suryo hanya hidup bersama sang kakek Pramana Suryo.
Pria berusia 30 tahun itu sudah menjabat sebagai CEO Suryo Media Corp (SM Corporation). Salah satu perusahaan Media terbesar di Indonesia.
5 tahun silam, ia sudah memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihannya, Sonya Angeline. Namun kala itu, kakek Pram tidak menyetujuinya. Sonya dinilai hanya memberikan pengaruh buruk pada sang cucu.
Membuat Ibrahim selalu bertengkar dengan sang kakek. Mengadu domba keduanya menggunakan nama harta.
Hingga kini, semua aset keluarga Suryo memang masih berada dibawah nama Pram dan bukan Ibrahim.
Untuk mendapatkan restu kakek Pram, akhirnya Pram membuat satu syarat. Selama 5 tahun pernikahan Ibrahim dan Sonya, keduanya harus memiliki anak. Jika Selama 5 tahun pernikahan itu mereka tidak memiliki anak, maka Ibrahim harus menikah lagi dengan wanita pilihannya.
Ibrahim dan Sonya setuju, bahkan mereka membuat perjanjian hitam diatas putih kala itu.
Dulu, Sonya dan Ibrahim jumawa, mengatakan bahwa mereka akan segera memiliki anak. 5 tahun itu mereka akan memiliki 4 anak sekaligus.
Tapi nyatanya takdir tidak seperti yang mereka inginkan.
Hingga pernikahan mereka menginjak usia 5 tahun, Sonya dan Ibrahim belum juga di karunia anak.
Dan perjanjian mereka dengan kakek Pram masih berlaku.
Tepat di 5 tahun usia pernikahan Ibrahim dan Sonya, kakek Pram membawa seorang wanita masuk ke dalam rumah mereka.
Aira Azahra adalah wanita pilihan kakek Pram untuk menjadi istri kedua Ibrahim.
Aira adalah seorang gadis berusia 21 tahun, hanya tamatan SMA dan setelah itu membantu sang ibu berjualan lontong sayur di kantin Sekolah Menengah Pertama (SMP) di desanya, Tegal, Jawa Tengah.
SMP itu adalah milik keluarga Suryo dan disanalah tempat kali pertama pertemuan Aira dan kakek Pram.
Ingin memberangkatkan sang ibu dan ayah untuk pergi Umroh, Aira setuju dijadikan istri kedua cucu kakek Pram.
Bagi Aira hidupnya hanya tentang kedua orang tuanya, ia tidak memiliki keinginan lain.
Bahkan kakek Pram berjanji pada kedua orang tua Aira, bahwa ia akan menjaga Aira dengan baik. Seperti cucunya sendiri.
Kakek Pram sudah dikenal baik disana, membuat Aira dan kedua orang tuanya pun menyetujui itu, tanpa pikir panjang.
Mereka malah bersyukur, orang biasa seperti mereka akan menjadi keluarga dengan seorang pengusaha sukses dari Jakarta.
Dan hari ini, Aira bersama kedua orang tuanya, Imam dan Asma ikut bersama kakek Pram ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, menikahkan Aira dengan Ibrahim.
Berdiri di depan rumah kakek Pram, membuat Aira dan kedua orang tuanya merasa takut. Bangunan tinggi dan luas seperti ini belum pernah mereka lihat di desa.
Mereka bahkan begitu enggan untuk masuk, takut membuat lantai rumah itu kotor.
“Jangan sungkan Aira, ini akan menjadi rumahmu juga,” ucap Pram, membuyarkan lamunan Aira dan kedua orang tuanya.
Mereka masih terpana.
Hendak masuk, Aira, pak Imam dan ibu Asma langsung melepas sandal mereka. Sandal lusuh yang rasanya tidak pantas untuk menginjak lantai rumah ini.
“Pakai saja sandalnya, jangan dicopot,” ucap Pram lagi, ia malah merasa tidak enak hati.
“Biarkan saja Pak Pram, sandal kami kotor.” Imam yang menjawab, mewakili istri dan anaknya.
Pram tidak ingin berdebat, ia akan menghormati keputusan Imam itu. Ia pun ikut melepaskan sepatunya disana. Masuk hanya menggunakan kaos kaki berwarna hitam.
“Jadi dia wanita pilihan kakek?” tanya Ibrahim. Kini mereka semua sudah duduk di ruang keluarga lantai 1 rumah itu.
Ibrahim bahkan menatap tak suka pada gadis yang duduk di hadapannya ini. Aira, duduk dengan menundukkan kepalanya.
Wajahnya tak tampak, apalagi tubuhnya yang terbalut rapi menggunakan hijab dan baju panjang.
Nampak lusuh di mata Ibrahim dan Sonya, yang terus menatap lekat Aira dan menilai penampilannya.
“Namanya Aira Ibra, dan mereka adalah kedua orang tua Aira, pak Imam dan ibu Asma. Hormat dan sopanlah, mereka akan menjadi mertuamu,” ucap Pram, menengahi.
Disampingnya berdiri sang asisten yang setia menemani Pram, Basir.
Mendengar perintah sang kakek untuk menghormati dan bersikap sopan pada kedua orang tua Aira, Ibrahim pun menuruti. Ia bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan kanan pak Imam dan ibu Asma secara bergantian.
Meski dalam hatinya menjerit jijik, namun ia harus tetap patuh kepada sang kakek.
Ini semua ia lakukan untuk mendapatkan simpati kakeknya itu, hingga akhirnya kelak kakek Pram akan menyerahkan semua harta warisan kepadanya seorang.
Bukan malah disumbangkan.
Dan di perlakukan hormat oleh Ibrahim dan istri pertamanya, membuat Imam dan Asma terenyuh. Merasa haru, tidak menyangka mereka akan disambut sebaik ini.
Makin mantap lah hati mereka untuk menikahkan sang anak.
Lalu meninggalkan Aira nanti untuk tinggal disini dan menjadi bagian dari keluarga Suryo.
Malam harinya.
Pernikahan Ibrahim dan Aira langsung digelar di rumah itu. Pernikahan yang sah secara agama dan negara. Karena sebelumnya kakek Pram sudah mengurus semua surat menyuratnya.
Duduk bersanding di meja ijab kabul, Ibrahim sempat salah saat mengucapkan ijab kabul.
Nama Aira Azahra membuat lidahnya keseleo, tak sanggup saat disuruh menyebutkan nama yang baginya kampungan itu.
“Kita ulang sekali lagi,” ucap pak penghulu.
Mereka semua tidak tahu, jika jantung Aira berdetak sangat kencang saat ini. Kesalahan Ibrahim membuat ia semakin takut dan gugup.
Merasakan jika ini adalah pertanda buruk untuk pernikahannya kelak.
Setelah berulang kali belajar, akhirnya Ibrahim kembali mengucapkan ijab kabulnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Aira Azaahra binti Imam Purwandi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
SAH?
SAH!
Alhamdulilah.
Hanya Sonya yang tidak mengucapkan kata syukur saat itu. Ia malah berdoa agar pernikahan ini tidak berlangsung lama. Berdoa agar Aira menjadi mandul dan tetap tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Suryo.
Sonya ingin kakek Pram tahu jika pilihannya pun bukan orang yang tepat untuk Ibrahim.
Bahkan sumpah serapah ia tujukan pada Aira, wanita yang kini tampak lebih cantik dari sebelumnya.
Nampak lebih bersih dan enak dipandang. Bahkan kerudung putihnya membuat wajah Aira makin berseri.
Tak lama setelah ijab kabul usai.
Mereka semua berpisah.
Ibrahim dan Aira masuk ke kamar pengantin mereka. Sementara Sonya masuk ke kamarnya sendiri. Mereka bertiga menempati kamar di lantai 2, sementara kakek Pram dan kedua orang tua Aira tidur di kamar lantai 1.
Ibrahim, melepas jasnya dengan kasar. Merasa begitu sesak dan gerah sekaligus. Sedangkan Aira hanya berani berdiri di balik pintu kamar itu, takut untuk masuk lebih dalam.
“Kenapa hanya diam, kemarilah,” titah Ibrahim dengan suaranya yang pelan dan sangat dingin. Membuat Aira tersentak dan akhirnya berjalan dengan perlahan, seraya menunduk. Ia tahu kini Ibrahim sudah tidak memakai baju, dadanya sudah polos. Baju itu sudah Ibrahim tanggalkan semua dan hanya menyisakan celana panjang.
“Angkat wajahmu!” titah Ibrahim., kini suaranya terdengar lebih tinggi.
Sontak Aira mengangkat wajahnya, meski dengan jantung yang detaknya tidak karuan. Takut dan malu sekaligus.
Menatap tubuh polos seorang pria bukanlah hal yang mudah untuk dia lakukan.
Ibrahim langsung mengusap wajahnya frustasi. Wanita di hadapannya ini bukanlah tipe wanita yang ingin ia sentuh.
Tubuh kecil mungil dan tidak berisi. Belum lagi wajahnya yang biasa-biasa saja. Ibrahim bahkan sangat yakin, jika tubuh Aira itu kotor.
“Pergilah ke kamar Sonya, dia akan membuatmu lebih layak untuk ku sentuh!”
Deg! Mendengar itu, Aira sontak kembali menunduk.
Ada denyutan di hatinya yang tidak bisa ia jabarkan, yang jelas rasanya cukup membuatnya merasa sakit dan sesak sekaligus.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aira keluar dari dalam kamar itu dan menuju kamar istri pertama suaminya.
Ya Allah, kuatkan hamba. Batin Aira, yang masih diselimuti rasa takut.
Semuanya terasa masih gamang baginya. Menikah, memiliki suami, melayani dan semuanya itu terasa masih jadi angan-angan.
Dengan ragu-ragu, Aira mulai mengetuk kamar tidur istri pertama suaminya, Nyonya Sonya.
Ia sungguh tak kuasa untuk memanggil Sonya hanya dengan sebutan Mbak. Merasa tidak pantas, merasa derajatnya jauh dibawah istri pertama suaminya itu.
Bahkan dia pun ingin memanggil Ibrahim dengan sebutan Tuan, karena lidahnya terasa kelu untuk memanggil Mas.
Pelan-pelan, Aira mulai mengetuk pintu itu.
Tuk tuk tuk.
Tidak ada sahutan, membuat ia jadi gugup sendiri. Bahkan kedua tangannya sudah basah oleh keringat dingin.
“Bagaimana ini ya Allah,” gumam Aira takut-takut. Ia ingin kembali ke kamarnya sendiri tapi takut untuk bertemu dengan Ibrahim. Sementara suaminya itu meminta dia untuk belajar menjadi istri yang baik dengan nyonya Sonya.
Bimbang, namun akhirnya Aira memutuskan untuk kembali mengetuk pintu itu lagi, dengan sedikit keras.
Tok tok tok.
Aira tidak tahu, jika di dalam sana Sonya tengah menertawakan dirinya. Sonya dan Ibrahim terhubung dalam panggilan telepon.
“Aku tidak sanggup untuk menyentuh gadis kampung itu, ubahlah penampilannya agar aku sedikit berminat,” ucap Ibrahim pada istri pertamanya.
Sonya tertawa dengan begitu keras.
“Nikmati saja Mas, siapa tau dia masih perawan.”
“Apa gunanya perawan kalau tubuhnya kotor.”
Tawa Sonya makin pecah dibuatnya.
“Istri keduamu sudah sampai, aku akan membuka pintu.”
“Hem.”
Dan panggilan itu terputus.
Masih dengan bibir yang tersenyum lebar, Sonya membukakan pintu untuk madunya, Aira.
Pintu itu terbuka, namun Sonya tidak memberi akses Aira untuk masuk. Ia berdiri diambang pintu dengan melipat kedua tangan didepan dada.
“Ada apa?” tanya Sonya sinis, lengkap dengan tatapan tak suka.
Seketika, Aira kembali menurunkan pandangannya. Ia tak berani menatap istri pertama suaminya ini.
Ia sungguh takut dan gugup sekaligus.
“Ada apa?!” tanya Sonya lagi dengan suara yang lebih tinggi.
Melihat Aira yang hanya diam saja membuat ia geram. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu apa tujuan Aira datang kesini, namun ia ingin mempermalukan gadis kampung ini.
“Ma-maaf Bu_”
“Apa?! Bu!” potong Sonya cepat, ia makin bersuara dengan nada tak suka.
“Wajahmu saja terlihat lebih tua daripada aku, berani-beraninya memanggil aku ibu! Tidak tahu diri!”
Aira semakin merunduk, ia bahkan meremati kedua tangannya sendiri yang terasa dingin.
Tak ingin aksinya dipergoki kakek Pram, Sonya langsung menarik Aira masuk ke dalam kamarnya. Menariknya kuat lalu mendorong asal. Dan setelahnya mengambil tissue untuk membersihkan tangannya yang terasa kotor.
“Aku tanya sekali lagi, apa apa datang kesini?” tanya Sonya, lalu melempar asal tisu yang ia pakai ke atas meja.
“Mas Ibra memintaku untuk datang kesini Mbak_”
“Haih! Mbak mbak mbak! Panggil aku Nyonya, panggil aku dengan sebutan kampung itu jika di depan kakek dan orang tuamu saja.”
“Baik Nyonya!” jawab Aisyah patuh dan cepat, tidak ingin membuat Sonya semakin marah padanya.
“Mas Ibra_”
“Panggil mas Ibra dengan sebutan Tuan. Kamu belum jadi istri yang sesungguhnya, ingat itu!”
“Baik Nyonya.” Jawab Aira lagi, patuh. Rasanya memang ia belum pantas untuk menyandang status istri. Ucapan nyonya Sonya itu terasa benar dibenaknya.
“Tuan Ibra meminta saya untuk datang kesini, kata beliau anda akan membuat saya lebih layak untuk disentuh,” ucap Aira, ia masih menunduk dan menggigit bibir bawahnya kuat.
Ketika mengucapkan kata-kata itu, entah kenapa ada denyutan sakit yang ia rasa dihati. Seolah Aira baru saja merendahkan dirinya sendiri dihadapan orang lain.
Sonya berdecak dan Aira bisa mendengarnya dengan jelas.
“Apa tubuhmu memang kotor? Kalau bersih tidak perlu kemari, katakan saja pada suamimu jika tubuhmu itu bersih,” balas Sonya, dengan terkekeh. Tawa menghina yang ia berikan.
“Tu-tubuh saya memang kotor nyonya,” jawab Aira.
Nyaris saja air matanya jatuh andai ia tak buru-buru memejamkan matanya.
Ya, tubuhku memang kotor, aku belum membersihkan tubuhku semenjak acara pernikahan tadi, bahkan aku masih menggunakan baju pengantin. Batin Aira, menyemangati dirinya sendiri. Membuat semua ini jadi lebih masuk akal.
Bukan sebuah penghinaan atas dirinya.
Puas menghina Aira, Sonya lalu meminta madunya itu untuk mandi di kamar mandi miliknya. Menggunakan wewangian yang disukai oleh suaminya.
Mau tidak mau, ia memang harus membuat Aira layak untuk disentuh suaminya. Sonya, tidak ingin mengulur waktu memelihara Aira di rumah ini.
Ia ingin segera tahu bahwa Aira pun tidak bisa memiliki anak seperti dirinya. Dan untuk itu, Ibrahim harus menyentuhnya.
“Gunakan pakaian ini,” ucap Sonya, seraya melempar sebuah lingerie diatas ranjang.
Lingerie berwarna hitam pekat yang akan nampak kontras di kulit putih Aira.
“I-itu apa Nyonya?” tanya Aira bingung. Dimatanya itu bukanlah baju, meski ia tidak tahu apa namanya.
Kain yang sangat tipis, bahkan ********** pun begitu kecil dan hanya berbentuk segitiga.
Tidak, aku tidak mau memaki itu. Batin Aira, ia bahkan sedikit menggelengkan kepalanya.
“Pakailah, itu lingerie namanya. Di malam pertama setiap wanita memang memakai baju itu. Kamu tau apa gunanya? Untuk membangkitkan gairah suamimu.” Balas Sonya, sengit. Ia memilih duduk di sisi ranjang dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Lingerie itu adalah lingerie miliknya yang belum sempat ia pakai, karena kekecilan. Tubuhnya lebih tinggi dan berisi ketimbang Aira.
“Tapi Nyonya, sa-saya tidak pernah memakai baju seperti itu.”
“Hauh!” keluh Sonya, jengah. Paling malas ia mendengar keluh kesah apalagi cerita dari gadis kampung ini.
“Cepatlah pakai! Jangan membuatku marah. Pakai dan kembalilah ke kamarmu!” titah Sonya yang kembali meninggikan suaranya.
Aira, tidak punya keberanian untuk membantah. Meski hatinya merasa sesak, namun ia tetap mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Membenarkan ucapan nyonya Sonya, bahwa baju ini memang harus ia pakai, untuk membangkitkan gairah suaminya.
Ada air mata yang jatuh saat ia menggunakan baju itu, baju yang dimatanya sangat hina.
Menggunakan jubahnya, Aira lantas kembali ke kamarnya sendiri. Kamar dimana Ibrahim berada saat ini.
Mengetuk dan masuk ketika sudah mendapatkan izin.
Lalu berdiri tepat di hadapan Ibrahim yang duduk di sisi ranjang.
Ibrahim, kembali menatap dan menilai penampilan Aira.
Rambut panjang dan lurus, khas rambut rambut gadis desa. Kulitnya nampak putih bersih, tapi semua tubuhnya tidak ada yang bersisi. Membuat Ibrahim sampai geleng-geleng kepala. Bingung bagaimana agar ia bisa menyentuh Aira, karena hingga kini pun ia tidak berselera.
“Buka jubahmu.” Titah Ibrahim.
Membuat Aira mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak ingin diperlakukan seperti ini.
“Buka!”
“Baik Tuan,” jawab Aira takut-takut, matanya sudah nampak berkaca-kaca.
Pelan-pelan, Aira membuka jubah itu dan memperlihatkan semua tubuhnya yang hanya dibalut baju transparan.
Dan setelahnya, Ibrahim menariknya kuat hingga terbaring diatas ranjang.
Malam itu, jadi malam pertama yang paling kelam bagi Aira. Suaminya sendiri, memperlakukannya begitu kasar. Seolah ia bukanlah istri yang berharga.
Bahkan Ibrahim tidak peduli saat ia menangis merasakan sakit yang begitu dalam di inti tubuhnya.
Puas menumpahkan semua hasrat, Ibrahim langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Aira yang tubuhnya sudah terkoyak-koyak.
Air mata mengalir di sudut mata Aira, namun dengan segera ia menghapusnya.
Lalu meringkuk dan menarik selimut.
“Tidak apa-apa Aira, dia adalah suamimu, dia berhak atas tubuhmu. Tidak apa-apa Aira, tidak apa-apa.”
Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
Terus Aira bergumam, menguatkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
Tidak apa-apa.
Selepas malam pertama kelam itu, Ibrahim tidak lagi menyentuh Aira. Ibrahim bahkan menjaga jarak dengan istri keduanya. Memilih bersikap seolah Aira tidak ada.
Tiap malam ia selalu menghabiskan waktu bersama istri pertamanya, Sonya.
Kakek Pram tidak menyadarinya, setahu kakek Pram, Ibrahim berlaku adil pada kedua istrinya. 1 minggu bermalam di kamar Sonya dan 1 minggu kemudian tidur di kamar Aira.
Tapi nyatanya, tiap jam 10 malam. Ibrahim akan keluar dari dalam kamar Aira dan tidur di kamar istri pertamanya.
Terus seperti itu hingga pernikahannya dengan Aira menginjak usia 2 bulan.
Seperti malam ini.
Aira, menghembuskan nafasnya lega saat Ibrahim keluar dari dalam kamarnya.
Ia bahkan sedikit berlari dan segera mengunci pintu kamarnya.
Jujur saja, Aira justru senang jika Ibrahim tidak bermalam di kamarnya. Selain takut Ibrahim kembali menyentuhnya dengan kasar, Aira juga merasa tidak bisa bernapas dengan lepas ketika ada suaminya yang dingin itu.
Bahkan seolah pergerakannya sangat terbatas.
Dan ketika Ibrahim keluar dari dalam kamar ini, Aira merasa lega, merasa merdeka. Ia bebas menikmati kamarnya yang luas, ranjangnya yang nyaman dan sesuka hati mau melakukan apa.
“Alhamdulilah,” gumam Aira, riang.
Ia lalu merebahkan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang king size itu, tubuhnya bergoyang mengikuti empuknya kasur.
Aira menatap langit-langit kamarnya, lalu menghembuskan nafasnya berat. Baru ingat ternyata besok adalah hari minggu. Hari dimana Ibrahim akan tinggal di rumah.
Aira tidak menyukai itu, Aira lebih suka jika Ibrahim pergi bekerja saja.
“Apa yang harus aku lakukan besok, semoga saja kakek Pram pergi agar aku tidak memainkan peran menjadi istri yang baik untuk Tuan Ibrahim,” gumam Aira.
Ia lalu membenahi tidurnya dan mulai menarik selimut.
Membaca doa tidur lalu memejamkan matanya.
Pagi menjelang.
Hari minggu yang sangat tak disukai Aira akhirnya datang.
Sehabis shalat subuh ia sudah turun ke lantai 1 dan membantu para pelayan di dapur. Sementara Ibrahim pun sudah kembali ke kamar Aira dan tidak menemukan gadis desa itu di sana.
Sama seperti Aira, Ibrahim pun bisa bernapas lega jika tidak melihat gadis kampung itu.
Wajah lugu Aira selalu membuatnya kesal. Ibrahim bahkan berpikir jika Aira memanfaatkan wajah lugunya itu untuk mengelabui sang kakek.
“Mana ada gadis baik-baik yang mau jadi istri kedua jika bukan karena uang,” umpat Ibrahim yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
Tubuhnya basah dan merasa lebih segar.
Sedari awal ia sudah memperingati Aira agar tidak menyentuh semua baju dan barang-barang miliknya. Bahkan dengan tegas Ibrahim mengatakan jika Aira tidak perlu mempersiapkan semua kebutuhannya.
Semua sudah diurus oleh Sonya sebagai istri pertamaku. Ucap Ibrahim saat itu membuat Aira hanya bisa diam dan menganggukkan kepalanya patuh.
Fakta bahwa ia hanyalah istri kedua dan Sonya istri pertama tak bisa diperdebatkan, maka ia hanya bisa diam dan menerima semuanya.
Aira pun sadar diri, jika pernikahannya ini memang bukan berlandaskan cinta. Kakek Pram mengatakan jika ia menginginkan cucu dan Aira meminta kakek Pram untuk membiayai kedua orang tuanya pergi ke tanah suci.
Jika diingat-ingat pernikahan ini seperti sebuah kesepakatan. Karena itulah Aira tak bisa melawan, ia tidak memiliki kuasa.
Apalagi sebulan lalu kedua orang tuanya benar-benar pergi ke tanah suci. Ayah dan ibunya pulang dengan raut wajah yang berseri, penuh syukur.
Melihat itu Aira sangat bahagia dan ia tidak menginginkan hal yang lainnya lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dapur.
Aira langsung menutup mulutnya saat mencium aroma sambal yang menyengat. Ia bahkan langsung berlari ke kamar mandi dapur dan memuntahkan semua isi perutnya.
Sontak saja semua pelayan langsung heboh, tak ada lagi yang fokus dengan makanan yang mereka masak.
Bahkan Bik Sumi sang kepala pelayan di sana pun langsung menyusul Aira ke kamar mandi yang terbuka itu.
Ikut masuk ke sana dan memijat tengkuk Aira.
“Ya ampun Nyonya,” ucap Bik Sumi yang merasa iba. Aira terus muntah hingga wajahnya berubah jadi merah.
“Bik ...” Belum sempat Aira berucap, ia kembali mual dengan sangat dahsyat, apalagi disini ia pun masih mencium aroma cabai yang menyengat itu.
Dirasa isi perutnya habis, Aira langsung menutup hidungnya rapat-rapat dan keluar dari sana.
“Bik, aku tidak bisa mencium bau cabai apalagi sambal, aku mual Bik,” jujur Aira dengan mata yang masih berkaca-kaca.
Seketika itu juga Bik Sumi memerintahkan semua pelayan untuk membuang sambal dan cabai di dapur. Bahkan membuka jendela agar baunya segera pergi.
Merasa aman, Aira akhirnya membuka hidungnya dan menghirup udara banyak-banyak.
“Nyonya, sepertinya anda hamil,” ucap Bik Sum.
Membuat kakek Pram langsung terkejut, baru saja ia sampai di dapur dan mendengar ucapan Bik Sumi.
“Apa Sumi? Aira hamil?” tanya Pram yang langsung saja menghampiri keduanya dan bertanya dengan antusias.
Aira terdiam, juga menggigit bibir bawahnya kuat. Pasalnya ia pun tak tahu, kini ia hamil atau tidak.
Tak ingin banyak berasumsi, akhirnya Aira langsung memeriksakan dirinya sendiri. Menggunakan test pack yang dibelikan oleh salah satu pelayan akhirnya Aira kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara kakek Pram, Ibrahim dan Sonya sudah menunggu dengan cemas.
Sonya terus berharap jika semua dugaan orang-orang salah, Aira tidak hamil dan hanya masuk angin.
Ibrahim pun nampak tak antusias, meski dalam hati kecilnya ia pun berharap Aira benar-benar hamil. Hati kecil Ibrahim tidak bisa bohong, bahwa ia pun menginginkan seorang keturunan, anaknya, darah dagingnya.
Dengan was was mereka menunggu di ruang tengah rumah itu, hingga 5 menit kemudian Aira kembali mendatangi mereka semua.
Duduk di salah satu sisi dan mulai menunjukkan testpack itu.
“Aku hamil Kek,” ucap Aira lirih. Tidak mengatakan kepada suaminya, Aira malah mengatakannya kepada kakek Pram.
Bukan apa-apa, Aira paling tahu diantara mereka semua, kakek Pram adalah orang yang paling berharap atas kehamilan ini.
Dan mendengar ucapan Aira itu kakek Pram langsung mengucapkan kata syukur. Ia bahkan ia langsung bangkit dan mengelus pucuk kepala Aira dengan sayang.
“Alhamdulilah sayang, masya Allah kakek bahagia sekali. Terima kasih ya,” ucap Pram tulus, bahkan sangat tulus.
Saking bahagianya ia bahkan sampai meneteskan air mata. Sangat bersyukur cucunya akan lahir dari rahim Aira, gadis yang sholehah.
Sonya langsung pergi dari sana, sementara Ibrahim hanya terpaku di tempatnya duduk. Anak yang dikandung Aira adalah anak dirinya, namun Aira membuat seolah anak itu adalah anak kakek.
Ibrahim merasa tidak dianggap.
Namun tetap saja hatinya merasa berbunga mendengar kehamilan Aira itu.
Seminggu semenjak Aira dinyatakan hamil, Sonya terus saja membuat hidup Aira tidak nyaman, bahkan berulang kali Sonya mengucapkan kata-kata kasar dan jahat.
“Setelah anak itu lahir, mas Ibra akan menceraikan mu dan akulah yang akan menjadi ibu sambungnya,” ucap Sonya.
Sebuah ucapan yang membuat hati Aira bagai diiris sembilu, tiap malam ia terus menangis dengan memegangi perutnya yang masih rata.
Hingga saat di usia kehamilan ketiga bulan Aira mengalami pendarahan.
Kakek Pram sungguh terpukul. Hingga akhirnya kakek Pram meminta kepada Ibrahim untuk lebih memperhatikan Aira, lalu meminta Sonya untuk meninggalkan rumah mereka untuk sementara waktu.
Sonya meradang namun ia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi saat Ibrahim menyetujui keputusan kakek Pram.
“Awas kamu Aira,” umpat Sonya, sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan rumah. Lalu tinggal di rumah lain yang cukup jauh dari kediaman utama kakek Pram.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!