“Tolong jelaskan padaku, Ma!” tangis Alluna menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
Ia sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan dan belum kembali selama satu setengah tahun. Namun ketika ia baru saja kembali, kedua orang tuanya malah memberi sebuah undangan pernikahan.
Syailea dan kekasihnya.
“Al, mama tahu ini berat untukmu. Tapi coba ikhlaskanlah Sagi untuk kakakmu. Mereka saling mencintai.” Bujuk sang Ibu yang membuat Luna seketika berdecih.
Saling mencintai?! Lalu bagaimana dengan dirinya?!
“Bagaimana denganku, Ma?! Apa kau tak memikirkan perasaanku juga?! Hah!?” teriak gadis itu frustasi.
“Kau bisa mencari Pria lain, Al! Jangan mengganggu Sagi dan juga kakakmu lagi. Papa tak akan memberi ampun untuk itu!”
Setelah mengatakan kalimat menyakitkan tersebut, kedua orang tuanya pun pergi meninggalkan Alluna yang sekarang telah luruh menangis di lantai. Ia menepuk dadanya kuat. “Pria lain?! Bagaimana bisa aku mencintai Pria lain sementara hatiku telah memilih. Kenapa kalian begitu kejam?!” isaknya memilu.
***
Hello-hello 🤗
Terimakasih sudah mengklik dan membaca cerita saya ini. Semoga kalian suka ya! 🤗
"Al, menurutmu mana yang lebih bagus? Hitam atau putih?"
Luna berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sagi datang dengan senyum lebar, membawa dua jas pengantin di tangannya, seolah tidak ada apa-apa di antara mereka. Lelaki itu tampak bahagia, benar-benar seperti orang asing yang tak pernah mengenal Luna sebelumnya.
"Haruskah aku menjawabnya?" Luna menjawab dingin, nada sinis menyelinap di suaranya.
Sagi mengerutkan dahi, jelas tak memahami reaksi Luna. "Apa aku salah bertanya?" batinnya bingung. Ia hanya mencoba mengisi waktu selagi Syailea—calon istrinya—masih berada di ruang ganti.
"Tentu saja, Al. Kau kan calon adik iparku. Selera kita pasti tidak jauh berbeda, apalagi kau adik dari Syailea," ujar Sagi sambil tersenyum lembut, senyum yang dulu selalu membuat Luna merasa hangat. Tapi kini senyum itu terasa seperti duri, menusuk perlahan di hatinya.
Luna tertawa kecil, getir. Ya, tentu selera kami sama. Buktinya, dia merebutmu dariku! teriaknya dalam hati, meski bibirnya bungkam.
“Kenapa kau tertawa, adik ipar—”
“Berhenti memanggilku ‘adik ipar’, Emanuel Sagi Pratu! Cukup panggil namaku saja. Bisakah?!” potong Luna lirih, suaranya gemetar.
Sagi tertegun. Ia menangkap kesedihan di mata Luna, yang biasanya penuh percaya diri. Sebuah dorongan aneh muncul di dalam dirinya—ingin memeluk gadis itu, membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tahu, itu tak mungkin. Alluna hanya adik dari wanita yang ia cintai.
“Gi, apa yang terjadi? Kenapa kau tak ingat aku? Apa ini sandiwara karena aku memilih pergi waktu itu?” suara Luna bergetar, memecah keheningan.
Ia menyentuh lengan Sagi pelan, mencoba mencari kehangatan yang kini terasa asing.
Sagi, yang tadi sempat tersentuh, malah memutar bola mata dengan malas. “Berhenti menggangguku, Alluna Viviane! Aku ini calon iparmu. Bersikaplah sewajarnya. Jangan menciptakan drama yang tak masuk akal,” katanya dingin.
Alluna terpaku, hatinya hancur. Alluna Viviane? Seasing itukah kita sekarang, Gi?
“Dan satu lagi,” lanjut Sagi tanpa ampun. “Aku tidak pernah melupakanmu, karena kau tetap adik dari Syailea Iskand, wanita yang aku cintai. Jadi tolong, hentikan semua kebohongan ini.”
Luna menunduk, menangis terisak. Melihat itu, ada sesuatu yang mengoyak perasaan Sagi. Ia benci melihat gadis itu menangis. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara lembut memanggilnya.
“Sayang, bagaimana gaunnya? Apa terlihat cocok untukku?”
Syailea muncul, senyum manis menghiasi wajahnya. Tanpa ragu, ia menggandeng lengan Sagi. Pria itu langsung mengubah ekspresi wajahnya, menyingkirkan semua kebingungan yang sempat menyelimuti.
“Kau terlihat sangat mempesona, sayang,” bisik Sagi sambil mengecup lembut pundak Syailea, membuat wanita itu tersipu malu.
Luna hanya bisa menyaksikan semua itu dengan tangan terkepal. “Aku ingin ke toilet dulu. Pilihlah pakaian kalian sendiri,” katanya datar sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
---
Luna tidak benar-benar pergi ke toilet. Ia memilih menyendiri di sebuah kafe yang penuh kenangan bersama Sagi. Ia memesan Japchae dan secangkir cokelat panas—makanan favorit Sagi, yang hanya diketahui sedikit orang.
Setelah itu, ia menuju taman kota, tempat ia dan Sagi biasa memberi makan burung merpati di musim gugur. Kenangan itu begitu menyakitkan. Air mata Luna kembali mengalir deras, dan ia menepuk dadanya yang terasa sesak.
Di tepi danau hijau, Luna menatap pantulan dirinya di air. Mata sembap, hidung merah—terlihat begitu rapuh. Apa yang akan kau lakukan jika melihatku sekarang, Gi? pikirnya pedih.
Namun lamunannya terganggu ketika ponselnya berdering keras.
“Ya, halo? Dokter Han?”
📞 "Alluna! Kau di mana?! Banyak pasien yang menunggu! Cepat kembali ke rumah sakit!" pekik Dokter Han di seberang.
Luna meringis. Ia melangkah mundur, kehilangan keseimbangan, dan tubuhnya terhempas ke dalam danau.
📞 "Halo? Alluna?! Apa yang terjadi?! Hei, jangan menakutiku!" suara panik Dokter Han terdengar samar sebelum ponsel itu tenggelam bersama Luna.
“Alluna Viviane, kau bodoh,” gumam Luna sambil mencoba berenang, meski ia tahu dirinya tak pandai melakukannya.
Tepat ketika ia mulai menyerah, seseorang menceburkan diri ke dalam danau. Dengan sigap, lelaki itu berenang ke arahnya.
“Aku menemukanmu,” bisik pria itu ketika berhasil meraih tubuh Luna.
Luna menatap wajah pria itu dengan pandangan kabur. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, pria itu mengecup bibirnya lembut.
Mata Luna membelalak. Sial, kenapa aku malah menikmatinya?!
•••
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK! ❤️
Luna sengaja mengabaikan panggilan Dokter Han saat ia berlari melewati koridor rumah sakit. Ada operasi darurat yang harus segera ditanganinya, meski sebelumnya ia sempat meminta izin untuk menemani kakaknya fitting baju pengantin.
"Ah, rasanya masih menyebalkan!" rutuk Luna dalam hati sambil mempercepat langkahnya.
Pikiran Luna melayang ke insiden beberapa hari lalu, yang ia anggap sebagai salah satu hari tersial dalam hidupnya.
Ia terpeleset di tepi kolam dan hampir tenggelam. Beruntung, seorang pria berpenampilan necis menyelamatkannya. Namun, rasa terima kasihnya seketika lenyap saat mengetahui bahwa pria itu seorang stalker.
Bagaimana tidak?
Pria bernama Andrew Kilburn itu tahu nama Luna, tempat tinggalnya, bahkan pekerjaannya. Lebih parah lagi, Andrew dengan santai menyebut ukuran tubuh Luna—sesuatu yang membuatnya muak.
“Kita akan bertemu lagi,” ujar Andrew penuh percaya diri sebelum Luna pergi meninggalkannya.
Luna hanya membalas dengan acungan jari tengah, lalu menyetop taksi.
Meski pria itu tampak seksi dengan rambut basahnya, Luna sama sekali tidak merasa berhutang budi.
---
Saat memasuki ruang operasi, seorang pasien cilik menyambutnya dengan senyum lebar.
"Selamat pagi, Dokter cantik," sapa Ilyas, bocah sepuluh tahun yang duduk di ranjang operasi.
Luna membalas senyuman itu seraya membelai lembut pipi bocah tersebut.
"Selamat pagi juga, tampan. Kamu terlihat ceria sekali hari ini," balas Luna hangat.
Ilyas tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Harus ceria dong, Dok! Kan aku mau sembuh!" ucapnya ceria.
Melihat senyuman itu, sudut mata Luna memanas. Ia bertekad akan melakukan yang terbaik untuk menyembuhkan Ilyas. Sebagai dokter termuda di rumah sakit tersebut, Luna sering dipandang sebelah mata. Namun, ia membuktikan kapasitasnya lewat sederet prestasi. Kali ini, ia harus menghadapi tantangan besar: operasi transplantasi paru-paru.
---
Operasi dibagi menjadi dua tim. Dokter Syamsul dan Dr. Robert bertanggung jawab atas Ilyas, sementara Luna memimpin tim yang menangani pendonor. Operasi dimulai dengan mulus, tetapi tiba-tiba Dokter Syamsul menemukan kejanggalan pada arteri pulmonalis Ilyas. Ada retakan tipis yang membuat dindingnya mudah pecah.
"Kondisi ini berbahaya. Kita harus menghentikan operasi," tegas Dokter Syamsul.
Namun, Luna bersikeras melanjutkan. "Jika kita berhenti, Ilyas tidak punya kesempatan bertahan. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya!"
Perdebatan berlangsung sengit, tetapi akhirnya Luna diberi kesempatan. Dengan keterampilan dan keberaniannya, ia berhasil menangani komplikasi yang muncul. Ilyas sempat mengalami fibrilasi, tetapi Luna tidak menyerah.
"Bertahanlah untukku, Sayang," bisiknya sambil terus memacu detak jantung Ilyas.
Akhirnya, setelah lima jam penuh ketegangan, operasi selesai dengan sukses. Kabar keberhasilan transplantasi paru-paru pertama di Indonesia ini segera menjadi perhatian publik. Luna dipuji sebagai dokter muda yang luar biasa.
---
Di penghujung hari, Luna tengah merenggangkan tubuhnya di taman rumah sakit ketika Dokter Syamsul mendekatinya dengan raut canggung.
"Maaf... dan selamat!" ucapnya terbata-bata.
Luna tersenyum simpul. "Tidak masalah, Dok. Semua demi Ilyas."
"Mau kutraktir minuman?" tawar Syamsul penuh harap.
Luna menggeleng. "Lain kali saja. Aku masih ada pekerjaan." Ia melambaikan tangan, meninggalkan Syamsul yang hanya bisa tersenyum canggung.
---
Namun, malam itu tidak berakhir tenang. Dalam perjalanan pulang, seseorang tiba-tiba membekap Luna dari belakang menggunakan sapu tangan berbau menyengat. Ia mencoba meronta, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.
Sebelum kesadarannya hilang, Luna menangkap bayangan pria tua yang ia temui pagi itu. Ia tersenyum miring seraya berbisik, "Kau tak bisa lari dariku, Alluna."
Ketakutan menyeruak dalam dada Luna sebelum semuanya berubah gelap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!