NovelToon NovelToon

Tafakur Cinta Mualaf

Kring-Kring Permulaan

Dalam sebuah gedung, pasti terdapat pondasi. Dalam sebuah rumah panggung, pasti terdapat tiang penyangga. Dalam hati paling terdalam, pasti terdapat cinta. Dalam alunan nada, pasti terdapat instrumennya. Dalam sinar terang dunia, pasti terdapat pantulan cahaya.

"Fihaaaa...!"

Suara mendayu-dayu, dari balik tembok pembatas masjid. Seorang anak kecil, yang memanggil temannya.

"Aku di sini, mendekatlah." Melambaikan tangan dari kejauhan.

Sosok manis nan ceria, dengan anting-anting perak. Silau nan gemerlap, saat terkena sinar matahari. Hasbi menuruni anak tangga, untuk menyapa teman kecilnya itu.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Hasbi.

"Aku menunggu kamu." jawab Fiha.

"Memangnya ada apa?" tanya Hasbi.

"Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu, sebelum pada akhirnya aku pergi." jawab Fiha.

Memang hanya satu kata pergi namun mampu menjadi runcing, yang menusuk hati Hasbi. Dia tidak ingin berpisah dengan Fiha, seorang perempuan yang telah menjadi temannya sejak lama. Langkah kaki akhirnya terhenti, dan memilih untuk duduk.

"Ini untuk kamu." Fiha mengeluarkan tasbih.

"Kamu membelinya untukku?" tanya Hasbi.

"Lalu untuk siapa lagi, aku tidak memakai tasbih." jawab Fiha.

"Kapan kamu akan pergi? Kenapa tidak memberitahu dulu, dari jauh-jauh hari?" tanyanya.

"Karena Mommy, akan segera ke luar negeri. Dia akan mendaftarkan aku, sekolah di Yu Da Lun Spanyol." jawab Fiha.

"Jaga diri kamu baik-baik, dan jangan pernah lupakan aku." ujar Hasbi.

"Tentu saja, aku pasti mengingatmu." jawab Fiha.

Kedua bocah kecil itu, adalah dua orang berbeda keyakinan. Namun karena tempat tinggal tidak begitu jauh, mereka sering bertemu dan bertegur sapa.

"Aku akan menyimpan tasbih ini baik-baik, sampai kita berjumpa kembali." ucap Hasbi.

"Iya, kamu harus melakukannya. Besok pagi, jangan lupa menghadap langit." Fiha tersenyum tulus.

Malam telah usai, dengan suara jangkrik-jangkrik yang melebur. Hari telah berganti, seperti lembaran baru. Hasbi membuka jendela kamarnya, dan melihat sebuah pesawat yang terbang. Dia tersenyum, berusaha melepaskan kepergian temannya.

"Sejauh apapun jaraknya, kita tetap akan seperti Alif Lam Miim. Kamu sebenarnya tidaklah jauh, namun hanya terhalang satu hal. Seperti Alif dan Miim tidak akan berjarak, bila kata Lam tidak ada. Namun Lam tidak akan bisa dibuang ke sembarang tempat, karena dia akan tetap sempurna dalam kitab yang suci. Seperti aku dan kamu, akan menjadi lebih rindu dengan adanya jarak." Hasbi terus memperhatikan pesawat tersebut, hingga menghilang dari pandangan matanya.

Lima belas tahun kemudian, setelah kejadian perpisahan pilu berlalu. Hasbi sudah memulai kehidupan baru, yang lebih layak dari sebelumnya. Dulu kehidupan ibunya, hanya sebagai penjual kelontong. Berkat kegigihannya, kini dia sudah memiliki usaha sendiri.

"Hasbi, aku boleh 'kan gabung ikut konveksi kamu." ujar Aqila.

"Iya, boleh saja." jawab Hasbi.

Aqila duduk di kursi, yang berhadapan langsung dengan Hasbi. Tidak lupa pula, melemparkan senyuman terbaiknya.

"Aqila, aku juga ikut konveksi dengan Hasbi loh." ujar Ali.

"Gak nanya." jawab Aqila cuek.

"Hasbi, kalau boleh tahu nama toko kamu kenapa Fisbi Boutique?" tanya Ali penasaran.

"Fisbi Boutique adalah, hanya nama karangan saja." jawab Hasbi.

Di tengah perjalanan pulang, seorang perempuan berusia 33 tahun menjewer telinga anaknya. Namanya Halifah, dia terus memarahi anak kecil berusia 8 tahun itu.

"Kamu ini benar-benar nakal sekali iya. Selalu saja bolos sekolah, padahal tidak kekurangan uang jajan." gerutu Halifah.

"Mama selalu tidak ada waktu untukku. Sudah aku pastikan ini bukan salahku." jawab Filda.

"Wajar kalau Mama tidak ada waktu, karena Mama sibuk bekerja. Sepertinya dimarahi saja tidak cukup, untuk membuat kamu jera. Kamu masih saja suka membolos, Mama akan memasukkan kamu belajar di tempat kursus Komunitas Islam." Halifah masih menjewer telinga Filda.

"Halah, itu hanya alasan Mama saja. Aku bagaikan anak yang kehilangan kasih sayang orangtua. Aku selalu sendirian di rumah, tidak ada teman untuk bercerita." keluh Filda.

Halifah hendak menampar Filda, karena dia terus melawan. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menahan Halifah, yang kini berada di atas udara.

"Lepaskan tanganku." teriak Halifah.

Qalam melepaskan tangan perempuan berwatak kasar tersebut.

"Sebaiknya anda jangan terlalu keras, pada anak seumuran Filda." jawab Qalam.

”Yeay, ada Pak duda yang menyelamatkanku.” batin Filda.

Halifah memandang Qalam, dari atas sampai bawah. Baju berwarna coklat yang dia kenakan, menandakan dia seorang guru di sekolah itu.

”Cih, mentang-mentang dia guru jadi berlagak mengajari aku.” batin Halifah.

"Dengar iya Pak, ini bukan urusan anda. Sekarang adalah jam pulang sekolah, berarti tugas anda sudah lepas. Biarkan menjadi tugas saya yang mendidiknya." Halifah tersenyum samar.

"Baiklah Bu, saya minta maaf." jawab Qalam.

Kedamaian Dalam Masjid

Qalam, dia seorang pria berusia 35 tahun. Dia seorang guru di sekolah SD Khatulistiwa, yang mendapat julukan Pak duda. Iya, karena dia menyandang status duda sudah lama. Kira-kira, kurang lebih sepuluh tahun.

Qalam segera melanjutkan perjalanannya, menuju ke tempat kursus Komunitas Islam. Hasbi terlihat sudah mengajar di sana, bersama dengan Aqila juga.

"Hasbi, kamu sudah datang dari tadi?" tanya Qalam.

"Iya Paman." jawab Hasbi.

"Semakin ramai saja yang bergabung." ujar Qalam.

"Alhamdulillah, karena Aqila membantu juga." jawab Hasbi.

Aqila menarik sedikit sudut bibirnya, lalu tersenyum mengembang. Qalam seperti ada daya tarik, untuk menggoda Aqila yang suka membuntuti.

"Hasbi, apa kamu tidak ingin menikah?" tanya Qalam.

"Tidak ada calon Paman." jawab Hasbi.

Qalam melirik ke arah Aqila secara sekilas. "Setiap hari ada ekor, masak tidak ada calon."

"Terkadang teman juga, bisa menjadi ekor Paman." jawab Hasbi.

Fiha kembali ke tempat kediamannya, kini dia baru saja usai bekerja. Tidak tertarik sama sekali, untuk berdiam diri di rumah. Dia harus mencari celah, untuk membagi waktu. Fiha membuka dompetnya, mengingat si Hasbi lagi. Ada kenangan, foto saat masih kecil.

”Besok adalah hari kembali, tunggu aku sebentar lagi.” batinnya.

Fiha memutuskan untuk kembali ke Indonesia, karena kedua orangtuanya telah wafat. Dia juga baru saja kabur, dari kejar-kejaran om Spanyol. Seorang pria sugar daddy, yang telah membelikannya barang belanjaan. Padahal saat diajak kencan, malah Fiha melarikan diri darinya. Pasti dia marah sekali, pikir Fiha di dalam otaknya.

Pesawat lepas landas juga, pada pagi hari esoknya. Fiha tersenyum lebar, melihat dari kaca pesawat. Menelentangkan kedua tangannya, saat orang-orang bercakap-cakap. Hasbi dan Aqila sibuk mengurus baju pesanan, untuk pelajar pondok pesantren.

"Hasbi, kamu belum punya calon 'kan?" tanya Aqila.

"Loh, kok kamu tiba-tiba nanyain itu." jawab Hasbi.

"Bukan gitu si, aku hanya ingin tahu." ucap Aqila.

"Saat ini, aku tidak punya." jawab Hasbi.

”Berarti masih ada kesempatan untukku, buat menjadi istrinya. Semoga dia punya perasaan yang sama.” batin Aqila.

Pada pukul 15.30 Fiha sudah sampai ke Indonesia. Dia menyeret koper beroda miliknya, bersamaan dengan para preman yang mengikuti. Fiha merasakan tidak enak, seperti ada langkah kaki di belakangnya. Fiha mempercepat langkahnya, lalu berlari sekencang mungkin. Preman itu terus mengejar, karena memang ingin menjambret nya.

Tolong!

Tolong!

Fiha berteriak-teriak, namun lokasi itu sangat sepi. Hingga dirinya memasuki perkampungan kecil, yang tidak jauh dari kota. Preman tadi terus mengikutinya, namun tidak berani mengejar karena melihat warga. Mereka sesekali memilih bersembunyi, agar Fiha tidak melihat wujud mereka.

Tok! Tok!

Fiha mengetuk sebuah rumah, namun yang keluar orang asing. Tidak terlihat Hasbi, ataupun juga ibunya. Hanya seorang perempuan paruh baya, yang sedang menggendong bayinya.

"Maaf, apa ini rumah Hasbi?" tanya Fiha.

"Sepertinya Mbak salah orang, ini bukan rumah Hasbi." jawabnya.

"Oh gitu iya, maaf." ucap Fiha.

"Mungkin yang Mbak maksud, penghuni rumah ini sebelumnya." jawabnya.

"Nah benar, dimana mereka sekarang?" tanya Fiha.

"Saya tidak tahu." jawabnya.

Fiha segera pergi, melanjutkan perjalanannya. Kini dia benar-benar sebatang kara, tidak memiliki siapapun lagi. Dari yang dulunya kaya, malah sekarang kerja serabutan. Waktu kecil keluarga Hasbi lah, yang sering hidup pas-pasan. Namun dengan kebaikan hatinya, Fiha sering membantu Hasbi. Karena dulu dia orang yang paling kaya, di kampung tersebut. Fiha berjalan gontai, memilih untuk mencari kosan. Namun, masih terasa ada yang mengikuti lagi. Memberanikan diri untuk menoleh, namun tidak ada siapa-siapa.

"Hmmm, aku harus kabur sekarang. Jangan-jangan mereka preman yang tadi." Fiha berlari.

Para preman itu mengejarnya, dan memilih berpencar. Mereka berencana akan menghadang Fiha, dari depan dan belakang. Namun Fiha cukup cerdik, dia merasa mereka akan membagi kelompok. Jadi, dia harus mencari tempat persembunyian yang aman. Fiha melihat ada masjid, yang ramai sekali anak-anak. Dia segera memasukinya tanpa berpikir panjang lagi. Fiha bersembunyi di dalam, masih mengenakan rok mini dan baju tanpa lengannya. Semua mata menyorot ke arah Fiha, karena di sana sedang diadakan acara pengajian.

”Sungguh membuat malu saja, habisnya ini darurat. Hmmm... untuk pertama kalinya aku masuk masjid, ternyata sedamai ini. Hasbi, aku jadi mengingatmu di masa kecil. Aku menemanimu memindahkan semut, yang berjalan pada saluran keran. Kamu begitu baik, menyempatkan menolong sesama. Saat itu, aku mulai meniru tindakanmu. Karena jauh darimu, aku menjadi kacau.” batin Fiha.

Saat dirasa kondisi telah aman, dia segera keluar dari masjid. Seorang anak kecil menghampiri Fiha.

"Kak, kalau masuk masjid jangan mengenakan rok mini." ucapnya.

"Iya Dik." Fiha tersenyum.

Tiin Tiin Memasuki Rumahmu

Fiha benar-benar merasa lelah, dia bersandar pada dinding tembok. Mengobrol dengan anak kecil, yang menyapanya tadi.

"Kak, ayo masuk ke dalam saja." ajak Filda.

"Aku sedang tidak bisa masuk." jawab Fiha beralasan.

"Ayo Kak, banyak teman-teman juga." Filda memaksanya.

"Aku sebenarnya tidak berniat ke sini." jawab Fiha jujur.

"Nama Kakak siapa? Nama aku Filda." Filda bertanya, seraya memperkenalkan diri.

"Namaku Fiha." jawabnya.

Pikirannya tentang masa kecil menari-nari kembali, menjadi teringat pada sosok Hasbi. Pria yang selalu menjadi temannya, namun berbeda keyakinan. Dia sering bermain di sekitaran masjid, meski dulu dia tidak pernah memasukinya.

"Hasbi, aku sudah kembali. Tapi, kamu sudah pindah tempat tinggal. Apa mungkin, kamu sudah melupakan aku." Fiha duduk di anak tangga, saat para preman sudah pergi.

Tak berselang lama, Hasbi keluar dari masjid. Melewati sosok Fiha yang sudah tidak dikenali, karena banyaknya perubahan.

”Fiha, aku selalu menunggu kamu. Masih aku simpan tasbih pemberianmu, hingga kamu datang kembali. Aku akan mengajarimu agama Islam, agar tidak ada perbedaan jalur di antara kita.” batin Hasbi.

Hasbi menuruni anak tangga, lalu melangkahkan kakinya menuju Fisbi Boutique. Di sana terlihat, Aqila yang sedang bermain ponsel. Mengundang orang-orang, untuk mengikuti konveksi milik Hasbi.

"Hasbi, banyak sekali yang ingin bergabung. Aku yakin, usaha kamu akan semakin membesar." ucap Aqila.

"Nah benar, apalagi mahasiswa dan mahasiswi banyak yang ikut." timpal Ali.

"Alhamdulillah, Masya Allah, Allahuakbar." jawab Hasbi.

Hasbi duduk sebentar, melihat tasbih yang sudah lusuh. Meski dicuci ketika terkena debu, namun tidak bisa menghilangkan daya susutnya. Tasbih itu memang sudah lama, makanya tidak heran bila talinya sudah diganti.

"Hasbi, aku heran sama kamu, kenapa tidak membeli yang baru saja." ujar Ali.

"Tidak bisa, ini adalah pemberian seseorang." jawab Hasbi.

"Pasti juga, orangnya sudah lupa sama kamu." ucap Ali asal duga.

"Aku tidak merasa begitu, karena kita tidak pernah tahu apa yang dia lakukan sekarang. Meski dia melupakan, bukan berarti aku membuang hadiah perpisahan." jawab Hasbi.

"Kelihatannya, seseorang yang memberimu tasbih sangat berarti." sahut Aqila.

"Iya, lumayan." jawab Hasbi.

Keesokan harinya, Hasbi hendak pergi ke kampus. Tiba-tiba, seorang perempuan menyeberang jalan. Hasbi tidak sengaja menabrak pohon karena membelokkan motornya, agar tidak menabrak gadis tersebut.

"Astaghfirullah, mengapa gadis tersebut berjalan terseok-seok." Hasbi bertanya-tanya, sambil menegakan motornya.

Seorang pria turun dari mobil, lalu menghampiri Fiha. Pria paruh baya yang memaksanya dengan kasar, dan hendak membawanya masuk ke dalam mobil. Hasbi segera mendekat, untuk membantu gadis tersebut.

"Lepaskan gadis itu." titah Hasbi.

"Kalau aku tidak mau, kamu bisa apa?" Tertawa kuat.

"Aku akan tetap memaksanya, karena gadis itu menolak bersamamu." ucap Hasbi.

"Tahu apa kamu, tentang kami berdua. Eh bocah tengik, dia sedang mabuk berat. Wajar saja, bila dia tidak mengingat siapa sugar daddy nya." jawabnya.

Hasbi tetap menghalangi pria tersebut, lalu pria paruh baya itu meninjunya. Hasbi pun membalasnya, hingga pria itu jatuh terpental. Hasbi dengan cepat mengangkat tubuh Fiha, lalu menyinggahi taksi yang lewat. Menyuruhnya untuk mengantar Fiha ke rumah, sedangkan dirinya tetap pergi ke kampus. Sebelum melanjutkan perjalanan, Hasbi menelepon ibunya.

"Bu, tolong bawa perempuan yang ada di taksi ke dalam rumah." ujar Hasbi.

"Siapa perempuan itu Hasbi, apa yang terjadi." Yunah menjadi bingung.

"Nanti, aku jelaskan saat pulang dari kampus." ucap Hasbi.

"Baiklah, Ibu akan menunggu taksinya di luar." jawab Yunah.

Hasbi memutuskan sambungan telepon, setelah berpamitan dengan Yunah. Beberapa menit dalam perjalanan, Hasbi sudah sampai ke kampus.

"Hasbi, tumben siang banget kamu datang." ujar Ali.

"Iya, tadi ada sedikit kendala." jawab Hasbi.

"Oh gitu iya, kirain lagi traktir cewek." canda Ali.

"Bisa saja kamu." jawab Hasbi.

Mereka melangkahkan kaki masing-masing, menuju ke kelas Bisnis dan kelas Agama Islam. Sementara Yunah membantu Fiha, keluar dari mobil taksi.

Yunah menutup hidung. "Perempuan ini bau alkohol, kenal dimana si Hasbi."

Yunah memapah tubuh Fiha, hingga ke atas ranjang tidur. Berencana akan bertanya, bila dia sudah sadar dari pingsannya. Yunah memasak di dapur, lalu Fiha menghampiri dirinya.

"Bu, aku dimana?" tanya Fiha.

Yunah sempat terkejut, lalu menoleh ke arahnya. "Kamu di rumahku."

"Ibu adalah Bu Yunah?" tanya Fiha, dengan mata berbinar-binar.

"Iya, darimana kamu tahu namaku." jawab Yunah.

"Ibu, ini aku Fiha." ucapnya.

"Mana mungkin, dia sudah pergi ke Spanyol." jawab Yunah.

"Sungguh Bu, ini aku." ucap Fiha.

"Diperlukan beberapa pengetesan, tidak bisa mengaku sembarangan. Anak itu memiliki tempat istimewa, di rumah ini." jelas Yunah.

Fiha menjelaskan semua hal yang dia ketahui. Yunah tersenyum, sambil manggut-manggut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!