...🦋 Welcome to MR story 🦋...
...~ Happy Reading ~...
...___________________...
...*...
...*...
...*...
Alvino
Mengawali sebuah kisah dengan orang baru, memang tidaklah mudah. Banyak yang mengatakan, lebih baik jatuh berkali-kali lalu bangkit lagi, tetapi dengan orang yang sama. Mengapa? Ya, karena memulai kisah dengan orang baru, butuh waktu yang tidak sebentar.
Hebatnya, seindah apapun orang baru, tetap saja orang lama akan selalu jadi pemenang. Realitanya sih, begitu. Hal ini yang tengah dirasakan Alvino.
Tidak tahu kedepannya bagaimana, dan akan seperti apa nanti. Namun, untuk sekarang ini, setelah enam bulan yang sudah terlewati, Alvino masih terkungkung dalam kuatnya kenangan bersama sang mantan kekasih. Wanita itu masih saja bertakhta dalam hati lelaki tampan berlesung pipi ini. Dia masih saja menjadi pemenang yang menguasai seluruh hidup Alvino.
Tidak seorang pun yang mampu menggeser posisinya dalam hati Alvino. Dia masih saja yang terindah. Masih saja jadi the one and only.
Hari-hari yang Alvino lewati, hanyalah tentang upaya untuk membunuh rasa cintanya. Namun, ujungnya tetaplah gagal yang ia peroleh.
Lelaki tampan itu bahkan kerap menghabiskan waktu di kantor. Berkutat dengan pekerjaan, hanya untuk menepikan sedikit saja ingatan tentang wanita di masa lalunya.
Alvino akan pulang tengah malam, dan kembali pergi pagi-pagi buta. Ada kalanya, ia tidak berniat untuk pulang sama sekali. Ini berbeda dengan kebiasaan dia dulu, yang identik dengan wanita dan dunia malam. Sedikit hal yang disyukuri dari banyaknya kebiasaan buruk lelaki berlesung pipi ini.
Pulangnya Alvino ke rumah, mungkin bisa dikatakan formalitas belaka. Bahwasanya ia adalah pria beristri, yang sebentar lagi akan bermetamorfosa menjadi seorang ayah. Ini semacam pencitraan. Sebagai seorang pemimpin perusahaan, ia harus bisa menjaga image dengan baik, bukan?
Enam bulan yang lalu, ia telah resmi menikahi seorang gadis yang sama sekali tidak ia cintai. Hal ini diumumkan dengan bangga oleh ayahnya sendiri. Pria tua itu tidak ingin identitas menantu dan calon cucunya ditutup-tutupi.
Namun, hal itu khusus hanya di lingkungan perusahaan mereka. Identitas keluarga ini kerap di-backup dari dunia luar. Semua itu demi kenyamanan dan keamanan keluarga besar Dharmawan. Alvino pun mematuhi saja semua keinginan sang ayah, hanya untuk sebuah harga diri. Jangan sampai stiker pecundang itu menempel pada pakaiannya.
Alvino tak menyadari bahwa apa yang ia lakukan, tidak akan berjalan mulus tanpa pengorbanan sebuah hati yang tulus bukan? Sayangnya, ia tidak mau tahu sama sekali akan hal itu, bahwa sebenarnya yang Rossa lakukan, adalah bentuk dukungan dari seorang istri.
Perjalanan enam bulan ini, tidak pernah sekali pun Alvino melirik istrinya. Seperti hari ini, ia pergi begitu saja tanpa salam atau sekedar sapaan basa-basi. Lagi-lagi, Rossa menikmati kekecewaan untuk yang kesekian kali.
"Ini masih terlalu pagi, Vin." Seperti biasa, sang ibu akan selalu menegurnya. "Sarapan dulu napa? Kasian istrimu sudah susah payah bangun pagi buat masak," ucap ibu. Namun, Alvino tidak menggubris.
"Lain kali saja, Mi. Vino bisa sarapan di kantor," ucapnya lalu segera melangkah pergi.
Rossa menarik nafas dalam-dalam. Menghirup kekecewaan yang kembali menjadi sarapannya pagi ini.
"Mami minta maaf untuk semua sikapnya. Jangan dimasukin ke hati yah, Sayang! Suatu saat dia akan berubah, kok. Percayalah!"
Wanita paruh baya itu selalu ada di sampingnya setiap saat. Tidak hanya sebatas status mertua saja, wanita cantik berusia senja ini benar-benar mendedikasikan diri menjadi sosok ibu yang luar biasa untuk Rossa. Kasih sayangnya makin hari kian bertambah untuk sang menantu.
Gadis itu tersenyum maklum seperti biasa. "Gak papah, Mi. Rossa udah biasa kok."
Rasanya, gadis itu ingin sekali menangis, tetapi ia adalah ahli dalam menyembunyikan rasa. Membohongi diri sendiri dan orang lain, sudah lumrah baginya.
Ibu dari pria dingin itu menunduk, dan mengelus perutnya yang sudah membesar.
"Halo, sayangnya oma, sehat-sehat yah di dalam sana. Jangan dengerin kata-kata papi kamu! Dia nanti oma hukum." Tangan tua yang mulai mengeriput, membelai lembut perut menantunya.
Di usia kehamilan Rossa yang sudah memasuki minggu ke 26, ia semakin banyak mendapat perhatian dari kedua mertuanya. Namun, tidak sama sekali dengan Alvino.
Hampa bukan? Jelas saja! Sebanyak apapun perhatian dari yang lain, siapapun dia orangnya, jika itu bukan dari suami sendiri, semua tak berarti.
Lelaki itu sibuk melampiaskan rindu yang tak lagi bertuan, dengan berkedok pekerjaan. Sementara Rossa sibuk mendesain hati seindah mungkin di setiap waktu. Ia sibuk merapikan jiwa yang setiap hari diguncang kepahitan berskala besar, dengan kedalaman kekecewaan yang tak terukur.
Rossa
Support sistem terbaik saat seseorang sedang dalam masa-masa down, hanyalah diri sendiri. Orang lain tidak akan memahami kita sebaik diri kita sendiri.
Konon, semangat dari orang-orang terdekat adalah yang paling penting. Iya sih, memang benar. Tidak ada yang salah dengan itu. Banyak fakta membenarkannya malah. Namun, bagi sebagian kecil orang, semangat itu harus lahir dari diri sendiri. Dukungan dari dalam jiwa sendiri itu yang utama.
Bayangkan, bila seantero jagad raya menyemangati dirimu, tapi kamu tetap merasa sakit, di sinilah hati yang berperan untuk mengolah jiwamu.
Kata-kata orang, hanya menyenangkan untuk sesaat. Ketika dalam kesendirian, sakit itu akan kembali menari di dalam luka. Namun, semuanya tidak akan terjadi jika hati kita tidak mengizinkan.
Sama halnya dengan Rossa. Setiap saat dia mendapatkan perhatian dan dukungan dari sang mertua. Dia akan tersenyum di depan, dan kembali menangis di belakang. Tiada hari tanpa kepura-puraan dalam hidupnya. Pura-pura bahagia, dan itu berat.
Apalagi dengan tidak ada aktivitas yang bisa mengalihkan perhatiannya. Tidak hanya sakit, tapi kejenuhan pun kerap membelitnya kencang. Menggunakan alasan kehamilan, semua ruang gerak Rossa dipersempit dan dipantau setiap saat.
Rumah mega bak istana dengan segala kemewahan di dalamnya, tidak lantas memberi Rossa kepuasan dan kebahagiaan. Tak jarang, ia merindukan suasana hangat di rumah sederhana yang ia tempati dulu, bersama dua orang kesayangannya.
Perasaan itu selalu terdeteksi di mata sang mertua. Berbagai hal ia lakukan untuk menghibur dan meyakinkan menantunya, bahwa everything is gonna be alright.
Selama enam bulan di kota ini, tidak ada tempat lain yang menjadi persinggahannya. Tempat yang ia datangi, hanyalah mall dan rumah sakit. Tidak ada orang lain yang ia kenali, hanya orang-orang rumah dan dokter kandungannya saja. Benar-benar keasingan yang hakiki.
Sampai akhirnya semua kebiasaan monoton itu sedikit mulai berubah, ketika ia diajak sang mertua untuk makan siang di luar, sekedar mengusir kebosanan dia saja. Dari sinilah, ia mulai diberi sedikit ruang kebebasan oleh sang mertua.
"Sudah siap?" tanya mertuanya, dan Rossa menjawab dengan anggukan kecil.
"Ayo, Sayang!" Menuntun tangan menantunya lembut menuju mobil yang sudah disiapkan sopir.
Begitu tiba di sebuah restoran yang memang sudah dijamin kehigenisan di dalam sana, ibu mertuanya lalu memesan makanan sesuai keinginan Rossa. Tidak sulit bagi bumil yang satu ini soal urusan makan.
Selama menunggu pesanan, dua wanita berbeda generasi itu membunuh waktu dengan obrolan ringan seputar kehamilan Rossa.
Tanpa disadari, ada sepasang mata cantik dengan bulu mata yang lentik, memandang Rossa begitu lekat. Bergantian ia menatap wajah dan perut besar Rossa.
Hal itu sudah berlangsung sejak Rossa melangkah masuk dari depan sana. Mata indah itu seolah tidak lelah untuk memandangi objek di depannya. Hingga pesanan menantu dan mertua itu datang, mereka lalu makan bersama. Sampai acara makan siang itu selesai pun, sepasang mata indah di sana masih setia tertuju pada Rossa.
Mata itu baru mau berhenti, saat Rossa sengaja menoleh ke arahnya dan melempar senyum santun. Wanita itu tersadar lalu memutuskan tatapan. Ia tersenyum kikuk dan langsung berdiri dari duduknya, berjalan sedikit terburu-buru menuju arah toilet.
Aneh!
Lima menit setelah itu, Rossa juga beranjak ke toilet. Langkanya tertahan di depan pintu, kala mendengar isak tangis kecil dari dalam. Bukannya penasaran, tapi karena kebelet, Rossa menerobos masuk tanpa berniat menoleh sana-sini.
Sepintas, ekor matanya menangkap seseorang yang sedang bercermin di sana. Tidak peduli, Rossa terus melangkah masuk pada salah satu bilik. Tak berapa lama ia keluar, sosok itu masih saja berdiri di sana. Kali ini, ia menatap Rossa lagi seperti tadi. Rossa bingung pastinya.
Perasaan ... dari tadi diliatin mulu deh. Adakah yang salah denganku?
Rossa membatin sembari melihat penampilannya. Tidak ada yang salah, biasa saja. Tapi kenapa? Tidak ingin terbunuh penasaran, Rossa memberanikan diri lalu bertanya.
"Maaf, Mbak! Apa anda baik-baik saja?" tanya Rossa dengan sangat hati-hati.
..._____🦋🦋🦋_____...
...Selanjutnya …....
...*...
...*...
...*...
Halo epribadeeeh 👋 ketemu lagi dengan AG di sini 😍🤗
Ada yang belum baca SBP? balik dulu gih 😁 biar lebih srreeggg 💦
Yang sudah selesai baca SBP, yuukk kita berlayar lagi dengan kapal ini 😁🍀
Kawal terus yah guys 😍 Jangan sampai karam 😁
Jangan lupa membiasakan jempolnya untuk mengetik komentar dan like, setelah membaca per-episode yah 🙏🙏 Kalau yang baik hati, boleh lah kirimin kembang, kopi, or vote 🤭 idih banyak mauuunya 😅😅
Intinya, minta dukungannya yah guys 🙏🙏
Makasih sebelumnya 🙏🙏
Sampai jumpa di episode berikutnya 🤗
Ig author : @ag_sweetie0425
FB : AG Sweetie
...~ Happy Reading ~...
...__________________...
...*...
...*...
...*...
"Sa," sapa mami Lusy, ibu mertua Rossa.
Lama menunggu, wanita berusia senja itu khawatir dan menyusul menantunya.
"Ngapain lama-lama di sini? Mami khawatir loh." Mami Lusy berucap dengan lembut. Ia bingung melihat menantunya berbicara dengan orang asing.
Siapa dia?
Keningnya mengerut, melihat wanita cantik yang tengah berdiri di sebelah sang menantu.
Rossa tersenyum canggung, merasa tidak enak telah membuat mertuanya menunggu lama. Bisa-bisanya dia melupakan orang tua itu.
"Maaf, Mi ...." Eh, gimana ngomongnya yah? Tampak sedikit berpikir. "Emm, Rossa gak sengaja ketemu temen di sini, Mi. Kangen banget, jadi ... lupa sama, Mami."
Bumil cantik itu tertawa kecil, yang terkesan dipaksakan menutupi dalil.
Teman? Aku dianggap teman?
Wanita asing di sampingnya terkejut dengan ucapan Rossa. Baru pertama kali bertemu, dan langsung dianggap teman? Yang benar saja. Begitu yang dipikirkan wanita tadi.
Bukannya dia tidak pernah akrab dengan yang lain, selain dua sahabatmnya dulu?
Sedikit banyak selama enam bulan ini, mami Lusy telah mengenal menantunya dengan baik. Ia tahu bahwa calon ibu muda itu tengah berbohong. Entah untuk alasan apa.
...🦋🦋🦋...
Di tempat lain, dalam sebuah ruangan kerja yang cukup besar dan terkesan mewah. Ruangan yang didesain dengan warna-warna tegas dari lantai granit lava black. Chandelier berbahan kuningan dan akrilik, menggantung manis di bawah drop ceiling dengan sisi-sisi LED yang menguar hangat, menghadirkan kenyamanan tersendiri bagi dia yang menempatinya.
Kenyataannya, kenyamanan itu tidaklah serta-merta mampu membunuh lara, yang berbulan-bulan bersarang dalam hati pemilik ruangan ini.
Beberapa kali suara ketukan pintu terdengar, tapi tidak ada respon dari yang di dalam.
Ceklek.
"Ekhem, Selamat siang, Tuan!"
"Keluar!" Pelan tapi tegas.
Tidak ada bantahan lagi. Lelaki yang baru saja masuk itu, langsung berjalan ke luar. Setelah menutup pintu, terdengar suara ketukan lagi.
"Masuk!"
Lelaki tadi kembali membuka pintu, dan melangkah masuk sambil menahan geram.
"Kebiasaan," ucap lelaki tampan yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
Ia menatap teman baik sekaligus sekretarisnya dengan tatapan kesal. Lelaki itu mendengus, lalu meletakkan pulpen di tangannya dengan gaya malas.
"Maaf, Tuan!" Sedikit membungkuk.
Apaan? Orang pintunya tadi diketuk gak denger. Dasar!
Meletakkan sebuah map di atas meja kerja atasannya.
"Jangan mengumpat! Gue tau apa yang di pikiran, lo."
Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Bicaranya kini tak lagi formal. Akan seperti itu bila di luar jam kantor, atau sedang berdua saja dengan teman yang merangkap sebagai sekretaris setia ini.
Sektretaris itu tergelak. "Lo sih, serius amat. Orang gue udah ketok pintu juga." Membalikkan tubuh dan berjalan ke arah sofa panjang yang tersedia dalam ruang kerja tersebut. Ia lalu menghempaskan tubuhnya di sana.
Jika sang atasan sudah berbicara dengan mode *lo-gue*, artinya mereka sedang mengobrol sebagai teman. Sekretaris setia ini pun akan bersikap biasa saja, selayaknya teman tanpa menaruh rasa hormat lagi.
"Serius sih serius, Vin. Tapi ingat istirahat juga. Ini aja udah hampir lewat jam makan siang," kata Alex menasehati teman sekaligus atasannya. Selalu saja seperti itu.
"Come on, Bray. Lupakan dia! Lo udah punya istri, dan …."
Ucapan Alex terhenti ketika Alvino mengangkat tangannya. Lelaki tampan yang duduk di balik meja kerja itu, menatap jam tangan bermerek Rolex Submariner Date, di pergelangannya.
Sudah pukul 12.30. Ia bangkit dari kursi kebesarannya dan hendak berjalan keluar. Ia malas untuk mendengar omongan dan pendapat orang. Lelaki dengan sejuta pesona itu nampak berbeda sekarang.
Sejak menjabat sebagai seorang Direktur PT. Dharma Jaya, Alvino kerap menyembunyikan identitasnya. Ia lebih tertutup dan pendiam sekarang. Tidak banyak menebar pesona seperti dulu. Malahan kini, ia menjauhkan diri dari yang namanya kaum hawa. Trauma maybe? Who knows.
"Gue cuman mau ngingetin sebagai teman lo. Gadis itu cantik dan baik. Terkadang apa yang kita miliki tidak menarik di mata sendiri, tapi sebaliknya, menarik di mata orang lain. Jangan sampai menyesal untuk yang ke dua kali, Bro!"
Alvino menoleh dengan wajah datar yang terkesan malas. "Gak usah bacot. Laper nih, gue makan juga pala lo, akh!" Menggerutu kesal dan kembali melangkah pergi. Pastinya disusul Alex dari belakang.
Keduanya berjalan meninggalkan gedung perkantoran tersebut, dengan tatapan kagum para karyawan wanita. Ya, walaupun pada tahu bahwa atasan handsome itu telah beristri, tapi pesona yang ia miliki, tak lantas menyusut hanya dengan sebuah status.
Dia masih tetaplah Alvino yang dulu, digilai banyak kaum hawa. Apalagi wajah istrinya belum pernah terlihat sama sekali. Ini sering menjadi bahan kasak-kusuk kala ketidakhadirannya di kantor.
Benarkah ia telah beristri?
Tidak terlihat cincin sebagai bukti pernikahan di jari manisnya sama sekali.
Wajah istrinya seperti apa sih?
Apa ini hanya sebuah status untuk bisnis saja?
Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul di setiap perbincangan para karyawan, karena pernikahan atasan di perusahaan itu, hanya diumumkan tetapi tidak disorot.
Tidak membutuhkan waktu lama, Alvino dan Alex tiba di sebuah restoran yang jaraknya tidak begitu jauh dari kantor.
Alvino yang terkesan cuek, tidak menghiraukan sekitarnya. Namun, tidak demikian dengan Alex. Tampak ia sedikit terusik dengan keberadaan seorang wanita yang tengah menangis sendirian di sana.
"Lo kenapa, sih?" Alvino terganggu dengan temannya yang terlihat tidak tenang.
"Gue kasihan liat dia, Vin." Alex menunjuk seorang wanita yang duduk di pojokan. Dia memang tipikal penyayang, tidak seperti atasannya. "Tapi …." Sengaja menggantung ucapannya.
Alvino hanya menoleh sekilas.
"Gak penting!" Tidak menggubris lagi.
Entah kenapa, Alex merasa ada sesuatu yang aneh.
Perasaan gue aja kali, yah ….
...🦋🦋🦋🦋🦋...
Jarum jam berputar dengan cepat, hari senja kembali menyapa. Rossa baru saja terbangun dari tidurnya karena kelelahan, setelah kembali dengan mami Lusy siang tadi. Gadis itu melirik pada mesin waktu yang terpatri di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 16.30.
Ia bergegas turun dari ranjang dan hendak ke kamar mandi. Baru saja melangkah, pintu kamarnya di ketuk.
Ceklek!
"Eh, udah bangun, Sayang?"
Sang mertua langsung masuk tanpa menunggu persetujuan menantunya. Selalu seperti itu, karena Rossa tidak sekamar dengan Alvino.
Sepanjang pernikahan mereka selama sudah enam bulan ini, Alvino dan Rossa tidur terpisah. Tantu saja atas permintaan Alvino. Meski sempat ditentang orangtua, tetapi pada akhirnya terlaksana dengan sempurna karena kesepakatan Rossa.
"Maaf, Mi! Kecapean." Rossa tersenyum kecil dengan muka bantalnya.
"Gak papa, mami tau itu." Mendekat lalu hendak menuntun Rossa untuk duduk di sofa.
"Bentar, Mi. Aku ke kamar mandi dulu." Menghentikan ibu mertuanya lalu segera berlalu ke kamar mandi.
Tidak sampai lima menit, ia sudah kembali dan duduk di samping mami Lusy.
"Gak sekalian mandi aja dulu, Nak?" Mengusap surai hitam panjang menantunya.
"Nanti saja, Mi, setelah ini." Bersandar pelan pada sandaran sofa. "Aku tebak, pasti ada yang mau Mami bicarakan." Terbaca jelas niat mertuanya.
Wanita tua itu tertawa kecil.
"Jangan bilang mantu kesayangan mami keturunan cenayang?" Keduanya lalu tertawa bersama.
"Mami mau tanya soal wanita yang tadi di resto." Mode serius on. "Apa mami boleh tau siapa dia?"
..._____🦋🦋MR🦋🦋_____...
...*...
...*...
...*...
...*...
...*...
...Selanjutnya …....
...###...
Holaaaaaaa epribadeeeh 👋
Terima kasih buat yang menyempatkan waktu luang berkunjung dimari 🙏😁
Jangan lupa kasih like dan komen yah, sayang²ku 🥰
Sampai jumpa di episode berikutnya 🤗
Ig author : @ag_sweetie0425
...~ Happy Reading ~...
...________________...
...*...
...*...
...*...
Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa kunci suatu hubungan yang baik adalah komunikasi. Semua orang tahu itu. Namun, hanya sebagian kecil saja yang memaknai satu kata itu dengan sesungguhnya. Perihal berkomunikasi, semua orang bisa saja bukan? Namun, tidak semua bisa berkomunikasi dengan baik.
Bukan sekedar tuntutan berbasa-basi atau sebuah formalitas semata. Bagi mereka yang benar-benar menghargai sebuah hubungan, satu poin penting yang dilarutkan dalam wadah komunikasi adalah kejujuran.
Hal ini yang selalu dipupuk dalam hubungan Rossa dan sang mertua. Walaupun hubungan dengan Alvino tidaklah baik, yang terpenting baginya perhatian dan kasih sayang dari sang mertua. Hal itu selalu dijaganya.
Selain Jenn dan Putri, hanya kedua mertua saja yang dapat dijadikannya tempat berteduh. Tidak ada yang lain lagi.
Kali ini pun, ia memilih mengatakan yang sejujurnya pada mami Lusy.
"Maafin Rossa, Mi! Tadi terpaksa bohong."
Rossa menundukkan kepala sambil memilin ujung bajunya. Sudah merasa bersalah sejak awal, tetap saja nekat. Melihat tidak ada respon di wajah datar mertuanya, Rossa menyesal telah melakukan kecurangan kecil itu.
"Rossa janji gak akan bohong lagi, gak akan menemui dia lagi. Mami boleh marah sama Rossa, tapi jangan diam seperti ini. Ayo, Mi!" Meraih tangan ibu mertuanya.
Ia khawatir, bagaimana jika wanita berusia senja itu marah dan mendiamkannya? Kepada siapa lagi ia bisa bercerita dan berbagi dukanya? Rossa tidak ingin sampai hal itu terjadi.
Mami Lusy menghembuskan nafasnya dengan berat. Ia menatap gadis manis yang tengah mengandung cucunya dengan tatapan lembut.
"Baiklah, mami izinkan kamu berteman dengannya!" Membalas genggaman tangan menantunya lalu tersenyum.
Rossa terbelalak tak percaya, mendapatkan lampu hijau dari mertua yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri.
"Serius, Mi?" tanyanya dengan wajah berbinar.
Ketika mendapat anggukan dari ibu mertua, Rossa langsung bersorak girang. Ia pun berhambur memeluk mertuanya.
"Aaaa, makasih, Mi." Belum pernah ia sesenang ini.
"Tapi ada syaratnya." Rossa melepaskan pelukannya, dan siap mendengarkan. "Yang pertama, jaga cucu mami dengan baik. Jangan lakukan hal aneh yang akan membuat kamu kecapean! Yang kedua, minta izin sama suami kamu."
Rossa terperanjat dengan syarat ke dua. Bukan sesuatu yang mengejutkan memang. Namun, berbicara dengan lelaki itu, adalah hal yang tidak pernah terjadi sepanjang pernikahan mereka.
Belum pernah sekali pun mereka berhadapan dan saling menyapa dengan sewajarnya. Sama-sama berupaya untuk saling menghindar. Itu termasuk dalam salah satu persyaratan Alvino saat awal menikah.
Rossa melepaskan tangan mertuanya. Ia tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa untuk melakukan itu. Baginya, cukup sudah ia menikmati sakitnya kekecewaan dalam diam yang berjarak. Jangan lagi ada luka baru lewat tajamnya lisan.
"Kali ini mami gak mau dengar, kamu bilang gak bisa." Membaca gerak tubuh Rossa.
"Dengarkan mami, Sayang." Menyentuh pundak gadis manis itu. "Mami tau ini sulit buat kamu. Tapi mau sampai kapan kalian seperti ini? Salah satu dari kalian harus menyudahi ini, dan mami mau itu kamu."
Wanita paruh baya itu menggenggam kembali tangan menantunya.
"Lakukan ini untuk cucu mami. Kamu gak mau 'kan, dia lahir nanti dan menjadi asing dengan ayahnya?" Inilah tujuannya.
Sengaja ia melakukan hal itu, hanya untuk mendekatkan keduanya. Wanita cantik di usia senjanya ini tidak ingin keasingan yang dipelihara keduanya, menjadikan mereka semakin jauh dan akhirnya tidak sejalan.
Pikirnya, jika ada komunikasi sedikit saja, meskipun harus dengan berdebat dan bertengkar setiap waktu, akan jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
"Rossa gak yakin, Mi," ucapnya lirih.
"Mami yakin kamu bisa! Bukan sekarang, atau sekali dua kali, tapi lama-lama dia akan luluh. Kamu harus punya keyakinan untuk itu. Jangan hanya mencoba untuk bertahan demi dia!" Menyentuh perut menantunya. "Tapi cobalah untuk berjuang mendapatkan hati suamimu juga."
Rossa terdiam. Ia memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang hanya akan melukainya lagi.
Haruskah aku melakukannya? Apa aku sanggup?
Rossa menarik nafasnya dalam-dalam.
Harus bisa, ya harus!
Bumil itu membatin sembari menghembuskan nafasnya dengan perlahan.
"Akan Rossa coba, Mi," ucapnya pelan dengan senyuman kecil
"Kamu gak sendirian, Sayang. Ada mami dan papi." Tersenyum menyemangati. "Sekarang mandi dulu. Mami tunggu di dapur, kita masakin makanan kesukaan Vino."
"Hah? Gak ah, gak mau! Tiap Rossa masak dia pasti gak mau sentuh." Mengerucutkan bibirnya dengan sedikit kesal.
Wanita cantik di usia yang tak lagi muda itu tertawa kecil.
"Tinggal bilang aja mami yang bikin, repot banget sih. Udah sana mandi!" Langsung berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar sang menantu.
Selepas kepergian ibu dari suami di atas kertasnya, Rossa pun berlalu ke kamar mandi.
Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit untuk Rossa mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, ia langsung beranjak menuju dapur.
"Ma-mi …." Ucapannya menggantung begitu tiba di dapur.
Mata indahnya menyapu meja pantry. Di sana terdapat bahan-bahan makanan yang sudah sangat familiar. Perasaan rindu tiba-tiba menyembul dari balik dadanya.
"Sini, Nak!" Memanggil Rossa mendekat.
Gadis itu menurut. "Mau bikin nasi goreng buat siapa, Mi?" Wajahnya tampak antusias.
"Buat siapa lagi? Buat suami kamu dong." Tertawa lalu mengusap perut buncit menantunya sekilas. "Kenapa? Mau juga kayak papi kamu?" Melanjutkan aktivitasnya kembali.
Rossa mengerutkan keningnya.
Maksudnya? Kok ….
"Ini makanan kesukaannya," ucap mami Lusy dibarengi senyum tulus. "Dia senang sekali dibuatkan menu ini," sambungnya lagi.
"Benarkah?" Rossa terkejut.
Lihatlah, bahkan makanan favorit kalian aja sama.
Bukannya sedih atau sakit hati, senyum manis malah terbit di bibir ranumnya. Ia tersenyum mengingat sahabat baik yang tidak lain adalah mantan kekasih suaminya sendiri.
Penggalan-penggalan kenangan, sekilas menari di ingatannya. Membangkitkan rindu yang telah disematkannya dalam putaran waktu lalu. Tidak suami, tidak juga istrinya. Diam-diam saling menjauh, tapi merindukan dan memikirkan satu orang yang sama. Aneh!
Apa kabarmu? Bohong jika aku baik-baik saja tanpamu. Rindu ini terlalu besar.
"Kok ngelamun?" Suara itu berhasil menariknya kembali. "Nih, duduk manis aja di sini, biar mami yang buatin." Hendak membimbing Rossa untuk duduk, tapi gadis itu menolak.
"Biar Rossa aja yang buatin. Please, yah, Mi, yah!" Mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Cuman ini doang gak bakalan kecapean kok, Mi. Lagian, Rossa biasa masakin menu ini," terangnya sambil tersenyum.
Sering banget buatin untuk si mini.
...*****...
Buana telah diselimuti gulita. Dewi malam kembali menyapa taburan bintang yang bertebaran di hamparan langit. Tampak bahwa kelam tak begitu pekat.
Mesin waktu menunjukkan pukul 8 malam. Alvino baru saja kembali dari kantor. Lelaki itu sengaja berlarut-larut dengan pekerjaannya. Bukan hal baru lagi.
Tanpa memperdulikan keadaan rumah, Alvino terus melangkah menaiki tangga, menuju kamarnya yang terletak di lantai dua bangunan megah tersebut.
Setengah jam kemudian, tampak sosok tampan itu berjalan menuruni tangga dengan wajah segar sehabis mandi.
"Malam, Pi." Menghampiri ayahnya di ruang keluarga. "Mami mana?" Celingukan mencari sosok sang ibu.
"Tumben gak telat lagi." Tuan Dharma melepaskan kacamata lalu menatap putra semata wayangnya. "Mami lagi di dapur, katanya lagi masakin makanan kesukaan kamu tuh," ungkap lelaki berusia senja tersebut.
Mendengar itu, Alvino langsung beranjak ke ruang makan. Di sana sudah ada maminya yang terlihat tangah sibuk menata meja.
Melihat Alvino yang mendekat, Rossa langsung beranjak dari duduknya.
"Mau kemana, Sa?" tanya mami Lusy. Beliau tidak menyadari keberadaan Alvino di belakang.
"Ke kamar bentar aja, Mi." Rossa buru-buru ingin melangkah pergi.
"Kembali ke tempatmu! Kita makan bersama!" Perintah sang ayah mertua yang menyusul Alvino.
Rossa memejamkan matanya kuat, merasa gagal tuk menghindar. Sementara Mami Lusy kaget lalu membalikan tubuh, dan mendapati suami serta putranya di sana. Ia melirik sebentar ke arah Rossa sambil menahan senyum.
Oh, mau kabur lagi? Sayangnya gagal. Makasih, Pi.
Wanita tua itu tertawa dalam hati. Susah sekali baginya mendekatkan sepasang suami-istri itu.
"Vin, pas banget kamu udah pulang. Sini duduk, ada makanan kesukaan kamu." Wanita itu tampak bersemangat.
"Vino udah dapet bocoran dari Papi, makanya langsung ke sini." Menarik kursi di samping ayahnya lalu duduk. Pura-pura tidak melihat Rossa sama sekali. Gadis itu ibarat makhluk transparan di matanya.
Rossa pun kembali kek tempatnya sesuai perintah sang mertua. Pada akhirnya, mereka makan malam bersama. Namun, Rossa tidak bisa menikmati makanannya dengan baik. Debaran di balik rongga dadanya bergemuruh hebat, mengguncang jiwa tenangnya. Makanannya terasa hambar. Selain itu, ia pun sedang cemas menduga-duga tanggapan dari suami di atas kertasnya.
Bagaimana jika dia tidak menyukainya? Aaaaa ….
..._____🦋🦋 MR 🦋🦋_____...
...Selanjutnya …...
...*...
...*...
...*...
...Alvino Dharma...
...(Rossa Glyn)...
Hay semuanya 👋 ketemu lagi 😍
Terima kasih atas kunjungannya 🙏
Jangan lupa like dan komen yah genkz 😘
Mohon dukungannya 🥰
Sampai jumpa di episode berikutnya 🤗
Ig author : @ag_sweetie0425
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!