“Lepaskan aku, Dirga! Aku lagi capek, lain kali saja.” Tangan Alika mendorong kuat-kuat dada suaminya hingga bergeser dari posisi yang nyaris menindihnya. Alika bangun dan duduk di tepi pembaringan, kemudian memasang kembali kancing-kancing kemeja yang baru saja dibuka dengan sedikit memaksa oleh suaminya.
Wanita cantik bak model terkenal itu pun beranjak dari tempat tidur yang tampak berantakan setelah pergulatan berujung penolakan, menuju meja rias untuk menyisir rambutnya yang kusut.
Ekspresi kesal, marah dan kecewa terlukis di wajah Dirga. Untuk kesekian kali, Alika menolak saat ia meminta haknya sebagai suami. Dirga bahkan hampir lupa kapan terakhir kali Alika menjalankan kewajibannya sebagai istri di tempat tidur.
“Kamu kapan sih punya waktu luang untuk aku?"
Alika menatap Dirga melalui pantulan cermin sambil menyisir rambut panjangnya. Kendati dapat membaca raut kekecewaan di wajah sang suami, nyatanya Alika tak begitu peduli.
“Kamu yang harusnya lebih mengerti aku, Dirga. Aku capek habis kerja! Apa itu tidak bisa kamu pahami?”
“Alika ... Aku tidak pernah meminta kamu untuk bekerja. Aku lebih dari mampu untuk membuat kamu hidup nyaman.” Meskipun kesal dan kecewa, tetapi Dirga selalu berbicara dengan nada lembut terhadap istrinya.
Ya, Anggareksa Dirga Mahendra, pria berusia 29 tahun yang merupakan seorang pengusaha di bidang konstruksi. Tentu saja ia sanggup membuat istrinya hidup nyaman dengan harta yang dimilikinya. Namun, memiliki harta berlimpah nyatanya tak cukup untuk membuat rumah tangganya jauh dari pertengkaran.
“Aku sedang tidak mau ribut dengan kamu. Dua jam lagi jadwal pesawat aku.”
“Apa, kamu mau keluar kota lagi?” Mata Dirga berkilat marah. Tatapannya menikam dengan tajam. “Apa-apaan kamu, Al? Bukannya baru minggu lalu kamu pulang dari luar kota?”
“Lusa ada Wedding Expo. Aku sudah daftar dari jauh-jauh hari. Tidak mungkin kan, aku batalkan. Ini adalah kesempatan besar aku untuk mengenalkan diri di dunia WO.”
Dirga tak habis pikir dengan rencana keberangkatan Alika keluar kota demi mengikuti sebuah ajang Wedding Expo. Karena Alika tidak pernah memberitahu tentang rencana itu sebelumnya.
Dirga mendesahkan napasnya frustrasi. Selama beberapa bulan ini, Alika berbuat sesukanya. Ia datang dan pergi seenaknya sendiri tanpa memikirkan suaminya.
“Tapi, Alika … Aku kan juga butuh menghabiskan waktu bersama kamu. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kamu melayani aku!”
“Apa kamu menikahi aku hanya sebagai pemuas di ranjang saja?” tanya Alika seolah menantang.
“Dan kamu sendiri bagaimana? Menurut kamu pernikahan itu apa? Kamu selalu beralasan capek, kerja, sakit dan banyak alasan lain untuk melalaikan tugas kamu sebagai istri. Sekarang kamu seenaknya mau keluar kota tanpa minta izin dari aku,” ujar Dirga dengan amarah yang tertahan.
"Stop, Dirga! Stop!” pekik Alika dengan kemarahan memuncak.
Keduanya saling diam selama beberapa saat. Dirga menarik napas dalam-dalam sebelum berkata,
"Alika ... jujur saja, aku mulai capek sama kamu. Ingat, jangan salahkan aku jika selingkuh!”
Dirga pun memilih keluar dari kamar dengan membanting pintu keras, sehingga Alika terlonjak dibuatnya.
Wanita itu menghempas tubuhnya di pembaringan. Ucapan Dirga sebelum keluar kamar terus terngiang di telinga.
"Ingat, jangan salahkan aku jika selingkuh!"
"Tidak!" Dirga sangat mencintai aku. Dia tidak akan pernah selingkuh," gumam Alika meyakinkan dirinya.
****
Setelah pertengkaran hebat dengan Alika, Dirga enggan pulang ke rumah, sebab kepulangannya hanya akan berujung pada pertengkaran saja. Malam ini Dirga memilih beristirahat di ruko milik Alika.
Ia memasuki bangunan berlantai tiga itu. Baru saja membuka pintu besi, hal tak terduga tiba-tiba terjadi.
Bugh Bugh Bugh
Serangan bertubi-tubi mendarat di tubuh Dirga. Keterkejutan membuatnya tak memiliki waktu untuk bertanya apa yang terjadi. Yang ia pikirkan hanyalah rasa sakit dari hantaman benda tumpul yang sialnya semakin lama semakin kuat. Dirga hanya dapat melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
“Mau maling ya, kamu?! Rasakan ini!” teriak seorang wanita dalam pencahayaan temaram—yang terus memukul-mukul punggung Dirga dengan gagang sapu.
“Stop! Apa-apaan ini? Kamu siapa dan sedang apa di ruko istri saya?”
Hah istri? Orang ini suami Bu Alika? Gawat. dalam batin Lula.
Serangan itu tiba-tiba terhenti. Dirga merampas paksa benda yang digunakan orang itu untuk memukulinya, menghempasnya ke lantai hingga patah jadi dua bagian. Kemudian berjalan menuju sudut ruangan dengan terburu-buru dan menyalakan lampu.
Tampak seorang gadis muda berdiri di sana. Dirga menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Siapa kamu?”
Gadis itu menundukkan kepala, setelah menyadari kesalahannya menyerang suami dari bosnya.
“Ma-maaf, Pak. Saya karyawan baru di sini. Saya sedang lembur. Saya pikir yang buka pintu ... maling.”
“Enak saja kamu mengira saya maling.” Dirga mengusap bagian tubuhnya yang tadi menjadi sasaran empuk gadis itu. “Kamu baru berapa lama kerja di sini?”
“Satu minggu, Pak.”
“Oh ...” Dirga menganggukkan kepala pelan. “Nama kamu?”
“Lu-Lula,” jawabnya terbata. “Saya minta maaf. Tolong jangan minta Bu Alika memecat saya.”
Meskipun kesal, namun Dirga tertawa dalam hati setelah melihat wajah gadis itu tampak memucat dan ketakutan. Mungkin sedikit menjahilinya akan sangat menyenangkan, sebagai pembalasan atas serangan mendadak tadi.
“Kenapa? Kamu takut kehilangan pekerjaan? Saya akan bilang ke istri saya, bahwa karyawannya sudah berani memukuli saya dengan gagang sapu sampai patah,” ancam Dirga seolah bersungguh-sungguh.
Jantung Lula seolah sedang berlomba. Ia melirik sapu di lantai yang sudah patah. "Tapi bukan saya yang bikin sapunya patah. Kan Bapak yang banting."
"Tapi kira-kira istri saya akan lebih percaya siapa? Kamu atau saya?"
Lula mengusap punggung lehernya yang terasa meremang. Ia lalu mengatupkan tangan di depan dada.
Lupakan harga diri, Lula! Kamu butuh pekerjaan ini untuk bertahan hidup.
"Ampun, Pak! Saya benar-benar minta maaf," ucap Lula dengan mata berkaca-kaca, yang mana membuat Dirga terkekeh. Menjahili gadis itu cukup menghiburnya.
Lula menatapnya tanpa berkedip, seolah senyuman menawan Dirga menghipnotisnya.
Kalau senyum ganteng sekali. Bu Alika beruntung ya punya suami ganteng begini. pikirnya dalam benak.
"Woy! Malah melamun."
Lula mengerjapkan mata, tersadar dari lamunan. Dirga kembali terkekeh dibuatnya, entah mengapa gadis itu sangat menggemaskan baginya.
“Saya akan memaafkan kamu dengan satu syarat.”
"Apa, Pak?" tanya Lula penuh semangat.
“Jangan bilang siapa-siapa kalau saya di sini. Termasuk istri saya.”
“Ba-baik, Pak.”
Dirga lalu meninggalkannya menuju ruangan pribadi Alika. Sementara Lula masih mematung di tempatnya berdiri. Sorot matanya mengikuti kemana Dirga melangkah. Tatapannya menyiratkan rasa kagum. Tidak pernah ia bertemu secara langsung dengan pria setampan suami bosnya itu.
Hidung mancung, alis tebal dan garis rahang kuat. Selain itu, Dirga memiliki postur tubuh tinggi dan atletis.
Kening Lula pun berkerut saat melihat Dirga membawa sebuah paper bag dan Lula dapat melihat itu adalah beberapa botol minuman beralkohol.
Ia tiba-tiba merinding.
***
Assalamu Alaikum teman-teman. Selamat datang di karya baruku.
Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam cerita ini.
terima kasih Readerlicious Cantikly
.........
...salam hangat...
...Otorlicious Lovely...
.........
...Wassalam...
Malam itu hujan turun dengan deras disertai badai. Kilatan cahaya dari langit menyambar diiringi gemuruh petir yang menggetarkan Bumi.
Lula menatap keadaan di luar melalui kaca jendela, sejak tadi ingin pulang, namun diurungkan mengingat cuaca buruk. Tiba-tiba lampu padam disusul oleh suara petir bergemuruh.
“Aaaa!” pekik Lula menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Ia berjongkok di sisi sebuah lemari etalase sambil menangis. Gadis itu sangatlah takut dengan kegelapan yang mencekam.
“Kamu kenapa?” Sosok tangan menepuk pundak Lula yang membuat gadis itu terjingkat. Ia refleks menutup hidung dengan jari ketika bau alkohol menyeruak.
“Ba-Bapak mabuk ya?” tanya Lula menyadari suara berat Dirga.
“Tidak, saya hanya minum sedikit.” Dirga memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Ini adalah pertama kali dirinya menyentuh minuman haram itu demi melupakan masalah rumah tangganya.
Ia berusaha berdiri, namun hampir saja terjatuh. Beruntung Lula memegangi tangannya.
“Kamu bisa bantu saya ke dalam. Kepala saya pusing.”
“Ba-baik, Pak.”
Lula akhirnya membantu Dirga kembali ke dalam ruangan pribadi Alika. Sebuah ruangan yang sengaja dibuat untuk beristirahat saat merasa lelah. Selama bekerja, Lula baru pertama kali menginjakkan kaki di ruangan itu. Sebab Alika tidak mengizinkan sembarang orang memasuki ruangan pribadinya.
"Duduk di situ aja, Pak!" Lula membantu Dirga duduk di tepi pembaringan. Ia hendak meninggalkannya dan segera keluar, namun Dirga menarik tangannya hingga jatuh ke pangkuannya.
Deg!
Jantung Lula terasa akan keluar dari rongga dadanya saat tatapan mereka saling bertemu. Sorot mata Dirga seolah menghipnotisnya.
Tangan laki-laki itu terulur membelai wajah Lula dan detik itu juga membenamkan ciuman di bibirnya. Bola mata Lula pun melebar karena terkejut.
“Ja-jangan, Pak!” pekik Lula berusaha melepas pangutan itu. Namun Dirga seakan tak peduli. Ia memeluk Lula erat, kemudian menghempasnya hingga terjerembab ke tempat tidur.
"Kamu keterlaluan, Alika!" gumam Dirga membuat mata Lula melotot. Ia merangkak ke atas tubuh mungil gadis itu.
“Jangan, Pak! Tolong jangan! Saya bukan Bu Alika, Pak!” Lula berusaha memberontak, namun tenaganya kalah jauh dari Dirga meskipun laki-laki itu sedang dalam keadaan mabuk.
Derasnya hujan dan sambaran petir seolah menjadi saksi malam nahas itu.
_
_
_
Perlahan hujan mulai mereda menyisakan gerimis. Tetapi tak dapat menghilangkan kesunyian yang mencekam. Hawa dingin pun merambat.
Di dalam sebuah ruangan, hanya ada isak tangis memilukan yang memenuhi setiap sudut ruangan.
Lula mariana adalah seorang gadis yatim piatu berusia 22 tahun, tidak pernah menyangka malam nahas itu akan menimpanya. Sejak ibunya meninggal beberapa bulan lalu, ia tinggal seorang diri dengan menyewa sebuah kamar kost. Boleh jadi Lula menyesali kejadian malam ini. Dirga yang sedang dalam keadaan mabuk tanpa sadar telah merenggut kesuciannya.
“Saya minta maaf, saya tidak sengaja,” ucap Dirga penuh sesal dengan sisa-sisa mabuk. Ia mengutuk perbuatan bejatnya dalam hati. “Saya akan ganti kerugian kamu berapa pun itu.”
Lula menyeka air mata dengan selimut putih yang membalut tubuhnya. Melirik pakaian mereka yang masih teronggok di lantai.
“Apa uang Bapak bisa mengembalikan kehormatan saya?”
Dirga memijat kepalanya yang terasa berdenyut. “Lalu pertanggungjawaban seperti apa yang kamu inginkan dari saya? Selain uang, apa yang bisa saya berikan? Saya tidak mungkin menikahi kamu, karena saya sudah menikah. Selain itu saya sangat mencintai Alika. Saya tidak mungkin bisa mengkhianati dia dengan menikah lagi.”
Perasaan Lula semakin hancur rasanya. Jika tidak berdosa dan terjerat hukum, ia pasti sudah membunuh Dirga saat itu juga.
“Lula ... Saya tahu, berapa pun jumlah uang saya tidak akan sanggup mengembalikan kesucian kamu. Untuk itu saya minta maaf. Tapi hanya itu yang bisa saya berikan kepada kamu.”
“Saya tidak butuh uang Bapak.”
Dengan menahan air mata, Lula menggulung selimut hingga batas leher, lalu beranjak dari tempat tidur. Meraih pakaian yang teronggok di lantai, kemudian masuk ke kamar mandi. Dirga pun seolah tenggelam dalam rasa lautan rasa bersalah.
"Bagaimana ini. Kalau Alika tahu, dia akan kecewa dan tidak akan memaafkan aku?" gumam Dirga.
"Maafkan aku, Alika."
*****
Suasana temaram yang gempita di balik keheningan malam, menjanjikan ilusi semu bagi penikmatnya. Remangnya membisikkan secarik dosa dalam hura-hura dan aroma alkohol. Dari sebuah kursi terlihat beberapa perempuan cantik dengan pakaian minimnya, menyajikan dada terbuka dan pa*ha mulusnya yang menggoda. Tak jarang mereka membuang malunya demi sebuah hasrat surgawi yang murah.
"Kamu mulai mabuk, Al!" ucap seorang wanita yang mencoba memperingatkan temannya, tanpa sadar bahwa dirinya pun dalam keadaan setengah mabuk.
"Memangnya kenapa kalau aku mabuk, Yeni? Di sini kita bebas!" balasnya seraya menuang minuman ke dalam gelas.
Alika baru tiba di Bali beberapa jam lalu. Ia langsung disambut oleh teman-temannya, sekelompok wanita kelas atas yang gemar berpesta dan menghamburkan uang dan bertolak menuju sebuah klub malam.
"Ngomong-ngomong kamu pakai alasan apa lagi untuk bisa melarikan diri?"
"Aku bilang mau ikut ajang Wedding Expo dan dia percaya," jawab Alika santai.
"Kalau suami kamu tahu, kamu ke Bali bukan untuk ikut ajang Wedding Expo malah clubbing di sini, kamu bisa digantung."
"Haha, itu tidak akan terjadi, karena Dirga itu terlalu mencintai aku. Lebih tepatnya ... bodoh!" Tawa renyah menggema bercampur alunan musik DJ. Alika begitu menikmati dunia gemerlap itu.
"Sebenarnya aku penasaran, kamu cinta tidak sih sama suami kamu itu? Dia ganteng dan kaya. Kalau kamu bukan temanku, mungkin aku sudah jadi pelakor."
Alika kembali tertawa seraya menenggak minuman. "Aku hanya mencintai uang keluarga Mahendra saja. Tentang Dirga aku tidak peduli."
"Jadi selama ini suami kamu tidak sadar kalau kamu hanya memanfaatkan dia untuk bisa hidup mewah?" tanya Yeni.
"Dia bahkan tidak curiga kalau Wedding Expo hanya sebuah alasan. Padahal aku ke Bali hanya untuk bersenang-senang."
"Memangnya kamu tidak takut kalau nanti Dirga selingkuh atau jatuh cinta dengan perempuan lain karena keseringan kamu tinggal?"
Seketika senyum yang menghiasi wajah cantik Alika meredup. Berganti menjadi raut penuh keraguan. Ia masih ingat beberapa jam sebelum keberangkatannya ke bandara, ia bertengkar hebat dengan Dirga.
"Jangan salahkan aku jika selingkuh!" ucapan itu terus terngiang. Namun, kepercayaan dirinya yang begitu tinggi telah melambungkannya.
"Dia tidak akan pernah bisa berpaling dari aku. Karena dia terlalu mencintai aku," ujarnya penuh keyakinan.
****
Sejak kejadian malam itu, Lula mengundurkan diri dari Wedding Organizer milik Alika. Dirga juga beberapa kali menghubunginya karena rasa bersalah dan ingin menebus dengan memberikan kompensasi berupa sejumlah uang, namun Lula terus menolak karena tidak ingin harga dirinya terinjak oleh uang.
Dua bulan berlalu dengan cepat tanpa adanya komunikasi antara Dirga dan Lula. Lula seolah menghilang ditelan bumi. Selama itu pula Dirga terus dihantui rasa bersalah yang terkadang membawa dampak buruk dalam kesehariannya. Ia menjadi mudah marah dan banyak diam. Tak jarang hal itu menjadi pemicu pertengkaran dengan Alika.
Siang itu di sebuah gedung perkantoran ...
Dirga dan beberapa rekan kerja sedang berjalan menuju lobby. Siang ini mereka ada rapat penting dengan klien di sebuah restoran mewah. Namun, saat akan melewati pintu kaca otomatis, pandangannya teralihkan pada sosok gadis yang berdiri tak jauh darinya.
“Lula?”
Dirga mematung, begitu pun dengan Lula. Gadis itu menundukkan pandangannya.
Malu ....
Dirga melirik beberapa rekan kerja yang berdiri di sisinya. “Maaf, saya ada urusan sebentar. Kalian bisa berangkat lebih dulu, nanti saya menyusul.”
“Baik, Pak,” jawab salah seorang pria di antaranya.
Setelah kepergian beberapa rekan, Dirga pun mendekati Lula, yang mana membuat wanita itu menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. Terlihat beberapa orang yang berada di lobby saling berbisik satu sama lain seraya menatapnya penuh tanya.
“Ada yang perlu saya bicarakan, Pak.”
Dirga menganggukkan kepala. “Bisa ikut ke ruangan saya? Tidak enak di sini, banyak staf yang melihat.”
_
_
_
Lula belum dapat membendung luapan air mata sejak tiga puluh menit lalu. Tangannya gemetar mencengkram kuat bantalan kursi yang berada dalam pangkuannya. Betapa tidak, ia nekat mendatangi Dirga dengan membawa sesuatu yang sama sekali tak pernah ada dalam rencana.
Kehamilan ...
Malam nahas itu telah menumbuhkan bibit kehidupan baru dalam rahimnya. Bagaimana Lula bisa menanggungnya seorang diri, sementara ia hanyalah seorang gadis sebatang kara yang belum mendapatkan pekerjaan. Sebab setelah berhenti bekerja dari Wedding Organizer milik Alika, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan lain.
“Lula ... Maaf kalau saya lancang. Tapi apa kamu yakin janin yang kamu kandung itu anak saya?”
Seolah Dirga telah menyiram air garam pada luka menganga, Lula merasakan perih tak terkira. Ia memberanikan diri menatap Dirga dengan berderai air mata.
“Maksud Bapak apa? Saya mau menipu Bapak, begitu?”
“Maaf, bukan begitu.”
Lula meletakkan bantal ke kursi dengan pasrah, lalu mengusap air matanya. “Saya juga tidak mau terjadi seperti ini. Lalu saya harus apa?”
Dirga mengusap wajahnya demi mengurai rasa frustrasi yang tiba-tiba melumpuhkan akal sehatnya. Ia memang menginginkan seorang anak, tetapi bukan dengan orang lain, melainkan dengan Alika yang merupakan istri sah-nya.
“Lula ... Kamu tahu saya sudah menikah dan saya sangat mencintai Alika. Tidak mungkin saya menikah lagi. Apa kamu bisa menggugurkan janin dalam kandungan kamu?”
Bagai tersambar petir, tubuh Lula semakin gemetar. Tidak ada yang dapat terucap dari bibirnya. Hanya air mata yang mampu melukiskan betapa hancur perasaannya.
“Kamu tenang saja, saya akan memberikan apapun yang kamu inginkan. Uang, rumah, mobil, akan saya berikan semua untuk kamu. Tapi saya tidak bisa menikahi kamu.”
Lula mengusap air mata yang meleleh di pipinya, penolakan itu menciptakan rasa sakit bagai disayat belati tajam. Bukannya bertanggungjawab, Dirga malah memintanya menggugurkan janin dalam rahimnya.
“Maaf, Pak. Sepertinya saya melakukan kesalahan dengan datang kemari. Lupakan saja apa yang tadi saya katakan. Anggap saya tidak pernah kemari dan tidak pernah terjadi apapun di antara kita.” Ia berdiri dan beranjak keluar begitu saja dari ruangan itu. Dirga berusaha mengejarnya, namun dengan cepat Lula masuk ke dalam lift.
Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk lagi, ia mengejar dengan menggunakan lift lain. Tiba di lobby kantor, Dirga mempercepat langkah ketika Lula hendak keluar.
"Lula!" panggil Dirga membuat langkah Lula terhenti.
Dirga berjalan ke arah Lula, yang mana membuat tatapan beberapa staf mengarah padanya, namun kali ini Dirga tampak tak begitu peduli.
"Mari kita bicara, tapi jangan di sini."
_
_
_
Saat ini Dirga dan Lula tengah berada di
private room sebuah restoran mewah tak jauh dari kantor. Dirga memilih berbicara di tempat tertutup agar tak ada yang mendengarkan pembicaraan rahasia itu.
“Sebagai laki-laki yang bertanggungjawab, saya akan menikahi kamu.” Dirga membuka suara, membuat Lula memberanikan diri menatapnya.
Lula terdiam. Jari-jari tangannya saling meremas satu sama lain di bawah meja. Ia hanya menatap pria yang sedang duduk di hadapannya dengan datar tanpa ekspresi.
“Tapi saya ada satu permohonan dan saya harap kamu mengerti."
Lula masih diam.
"Saya hanya akan menikahi kamu secara siri dan status pernikahan kita tidak boleh diketahui orang-orang. Termasuk Alika dan keluarga besar saya,” ujarnya. "Maafkan saya, Lula. Kamu tahu saya sangat mencintai Alika dan saya tidak bisa menyakiti dia dengan pernikahan kita."
"Baik, Pak. Saya mengerti."
Meskipun lega, namun rasa bersalah yang membelenggu hati Dirga semakin besar terhadap Lula.
Melalui sebuah kesepakatan, Dirga pun menikahi Lula secara diam-diam tanpa seizin Alika dan keluarga besarnya.
*
*
*
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Dirga tiba di rumah setelah melakukan pernikahan rahasianya dengan Lula.
Satu hal yang mengejutkan Dirga, untuk pertama kali Alika menyambut kepulangannya.
"Kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Alika.
"Aku ada rapat penting dan tidak bisa ditunda." Dirga melepas jas dan kemeja yang membalut tubuhnya, kemudian memasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor, lalu masuk ke kamar mandi tanpa melirik Alika sedikit pun.
Alika pun merasa aneh dengan sikap dingin sang suami. Wanita itu menatap pantulan dirinya di cermin. Sangat cantik dan se*xy dalam balutan lingerie tipis yang menampakkan lekuk sempurna tubuhnya.
Tak berselang lama, Dirga keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk putih di pinggang. Ia beranjak menuju lemari dan mengenakan setelan piyama.
Alika segera menghampiri dan memeluknya dari arah belakang.
"Aku setuju untuk punya anak," ucap Alika.
Dirga tercengang mendengar ucapan Alika, namun tak berani menatap matanya. "Aku pikir kamu tidak mau ada anak di antara kita."
"Sekarang aku menginginkannya, Dirga. Kamu benar, rumah tangga itu terasa hampa tanpa kehadiran seorang anak."
Paling tidak, dengan adanya anak di antara kita, aku bisa mengikat kamu selamanya. batin Alika.
Ia berjalan ke hadapan suaminya. Memeluk, menciumi pipi dan bibir berulang-ulang.
"Aku sudah siap," bisik Alika dengan mesra dan menggoda.
Dirga menarik napas dalam. Melepas tangan Alika yang melingkari tubuhnya.
"Maaf, Al ... Sekarang aku sangat lelah. Lain kali saja ya." Tanpa menunggu jawaban dari Alika, Dirga beranjak menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya membelakang. Menarik selimut hingga batas leher.
Menyadari gelagat aneh suaminya, Alika menatap curiga. Bahkan Dirga sama sekali tak tergoda dengan rayuannya. Sia-sia saja berdandan cantik dan menggunakan lingerie tipis.
Ada apa dengan Dirga? Ini pertama kalinya dia menolak aku.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!