NovelToon NovelToon

Menggantikan Kembaranku

Kehilangan Lagi.

Aku duduk menatap layar komputer, sedikit mengendurkan dasi. Pandanganku sedikit buyar kala melihat angka-angka di depan layar.

Sejenak mengistirahatkan tubuh, ku sandarkan punggung di kursi kebangsaanku.

Ku pijat pangkal hidung untuk sedikit menghilangkan penat, hingga suara dering telepon menggangguku.

Ibu?

Wanita yang telah melahirkan aku dan juga adikku kedunia tak biasa-biasanya menghubungiku di jam kerja seperti ini.

Dia tau jam kerjaku, dan biasanya akan menghubungi malam hari selepas aku kembali dari bekerja.

Gegas ku angkat panggilannya, tak ingin membuat wanita paruh baya yang masih saja cantik bagiku menunggu lama.

"Iya Bu?"

Terdengar suara isakan ibuku yang membuat jantungku berdenyut nyeri.

"Bu ada apa?" tanyaku panik.

"Nara ... Bara kecelakaan," lirihnya.

Nara dan Bara ibu selalu memanggilku dengan nama belakang kami. Namaku Ettan Naraya dan adik kembarku Nathan Baraya.

Hanya keluargaku yang memanggilku dengan nama belakang, teman-teman kami tetap memanggil dengan nama depan kami.

"Apa?!" ucapku terkejut.

Aku memegang kepalaku yang terasa semakin sakit. "Bu, gimana keadaan Nathan?"

"Dia masih di ruang ICU," ucap ibuku lemah.

Tak lama suara berat seorang lelaki menggantikan suara ibuku yang terdengar kembali terisak.

"Ettan, pulanglah, Ibumu membutuhkan mu," pinta Paman Wira.

Paman Wira adalah orang kepercayaan keluargaku. Dia juga yang membantu Nathan merawat kebun teh peninggalan mendiang ayah kami. Meski bukan bagian keluarga kami, tapi aku menghormatinya.

"Baik Paman, tolong jaga Ibu. Aku pulang sekarang."

Aku bergegas menuju ruangan atasanku yang juga sahabatku Saka.

Dia adalah sahabatku semasa kuliah, dia anak tertua di keluarganya, otimatis menjadi penerus perusahaan tempatku bekerja, baru satu tahun ini dia menjabat sebagai Direktur utama, sebelumnya dia menduduki posisiku dan aku bawahannya.

Tak ada nepotisme saat aku melamar kerja, aku mengikuti tes sama seperti pelamar lainnya. Aku di terima memang karena kemampuanku.

Satu lagi, dia adalah kakak dari kekasihku Sherly. Hubungan kami selama ini tidak mendapat hambatan apapun. Keluargaku dan keluarga Sherly menyetujui hubungan kami.

Sherly berusia lima tahun lebih muda dariku, saat ini dia tengah menempuh pendidikan S2 nya.

Aku sangat mencintainya, gadis cantik dan manis itu sangat ceria dan periang.

Kami menjalani hubungan sudah lima tahun ini, dan kami berencana untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius. Pernikahan menjadi tujuan kami tahun depan setelah dia lulus.

Ku ketuk pintu ruangan Saka, bagaimana pun attitude tetap ku junjung meski kami berkawan.

Di kantor, dia atasanku dan aku bekerja padanya. Dan aku akan memanggilnya Pak, meski terkadang jika hanya kita berdua aku akan memanggilnya nama saja.

"Siang bos, sory ganggu," ucapku sesaat setelah di izinkan masuk olehnya.

Lelaki berwajah tegas itu menatapku heran. "Mo ngajak makan siang lu?"

Ah, aku lupa jika sebentar lagi waktunya makan siang. Tapi aku sedang terburu-buru, meski perutku mengamuk minta di isi tapi pikiranku kalut memikirkan adik kembarku.

"Gue ijin balik cepet bos, kemungkinan sekalian ijin cuti juga," ucapku setelah berhasil duduk di hadapannya.

"Tumbenan ada apaan?"

"Ade gue kecelakaan, gue harus balik sekarang."

Saka melempar bolpoin ke arahku dan dengan sigap aku menangkapnya.

"Ade di rumah sakit elu malah santai minta ijin, sinting emang lu! Sana cabut! Ajak Arman, gue takut lu kagak konsen nyetir lagi."

"Thanks boss. Ngga usahlah biar dia bantu kerjaan gue, cabut ya," gegas aku melangkah menuju pintu.

Aku segera mengemudikan mobil dengan kecepatan standar, meski banyak pikiran aku mencoba untuk tetap tenang.

Beruntung hari ini tidak macet jadi aku bisa melaju dengan lancar.

Kota kelahiranku berjarak tiga jam dari kota tempat tinggal sekaligus tempatku bekerja.

Namun jika macet, bisa dua kali lipat waktu yang di perlukan. Aku langsung menuju rumah sakit tempat Nathan di rawat, tak perlu lah mampir kerumah, sebab tujuanku adalah menjenguk adik kembarku itu.

Meski kembar aku tak identik dengan adikku Nathan, kulitku putih seperti ibuku. Kulit Nathan kuning langsat seperti ayahku.

Banyak yang mengatakan jika aku lebih tampan dari Nathan, tapi bagi orang tua kami, kami sama-sama tampan. Jelas saja orang tua kami tak membedakannya, bagi mereka kami sama-sama tampan.

Aku menyayangi adik kembarku, sedari kecil kami tak pernah bertengkar hal besar, hanya pertengkaran anak kecil pada umumnya, berebut mainan dan berebut perhatian ibu kami.

Saat mendengar dia kecelakaan tentu saja aku sangat shock. Ingin bertanya lebih pada paman, tapi aku urungkan, lebih baik bergegas melihat keadaannya dari pada harus berlama-lama mendengarkan penjelasannya.

Aku memarkirkan mobil di parkiran rumah sakit, beruntung Paman Wawan sudah mengirimkan alamat rumah sakit tempat adiku di rawat.

Aku mendengus kesal, mengapa harus rumah sakit kecil, di kota kelahiranku ada rumah sakit besar dengan peralatan lengkap, tapi aku yakin pasti ada alasan adiku Nathan di rawat di sana.

Aku bergegas menghampiri meja resepsionis, seorang wanita berdiri hendak menyapa tapi langsung terperangah. Hal biasa yang selalu aku alami jika berhadapan dengan wanita. Mereka pasti terpesona.

"Maaf Mbak, saya mau tanya ruang ICU di mana?"

Dia seperti terkejut dari lamunannya, meski sebal aku tetap tersenyum.

"Eh iya Mas, di ujung lorong sana Mas," ucap gadis di hadapanku dengan mata berbinar, seperti melihat malaikat.

Aku bergegas menuju arah yang di tunjukan oleh resepsionis tadi.

Ternyata ada ibuku dan juga paman Wawan yang tengah menatap pintu ruangan itu.

"Bu ...," Ibuku berbalik dan bergegas memeluku. Tangisnya kembali pecah.

"Nara ... Nathan, Nak," isaknya tak bisa berkata-kata. Aku tau hatinya terluka melihat anaknya terbaring lemah.

Aku mengintip melalu kaca yang berada di pintu. Terlihat adiku di pasangi berbagai selang, dan ada perban yang menutupi kepalanya. Ada juga selang oksigen untuk membantunya bernapas.

Aku berpikir apa adikku mengalami luka parah di kepalanya?

"Bu, Nathan kenapa? Kenapa harus di rumah sakit ini, ayo kita pindahkan Nathan ke rumah sakit besar," ajakku.

"Ibu juga ngga tau Nara, adikmu di temukan oleh warga sekitar. Ibu takut Nara," ucap ibuku tak lama kemudian dia jatuh tak sadarkan diri.

"Bu! Ibu! Suster tolong!" pekikku.

Tak lama para perawat datang dan aku bergegas membawa tubuh ibuku ke ranjang rawat di ruang UGD.

Menurut Dokter jaga, ibuku hanya tertekan dan kurang istirahat.

Sampai suara isakan seorang gadis membuatku menoleh, aku melihatnya tadi sekilas, gadis itu duduk di depan ruangan ICU. Saat ini gadis itu sedang menangis di sebelah ranjang ibuku.

"Kamu siapa?" tanyaku saat aku berdiri berseberangan dengannya.

"A-aku Fatmala Mas. Mas lupa?" ucapnya tergugu.

Ah aku baru ingat gadis ini, dia adalah keponakan dari paman Wawan, seseorang yang sejak kecil mengikutinya. Aku tak terlalu dekat dengannya, karena dia lebih sering berada di dapur bersama para pelayan rumahku.

Bibinya juga bekerja di rumah orang tuaku, jadilah dia sering berada di kediaman kami.

Tapi sudah hampir sepuluh tahun aku tak melihatnya langsung, jadi aku lupa akan wajahnya.

Tak lama paman Wawan menghampiriku dan berkata jika Dokter ingin bertemu denganku mengenai keadaan Nathan.

"Fatma, tolong jaga Ibuku, aku harus menemui Dokter," pintaku.

"Iya mas," jawabnya lirih.

Gegas aku kembali menuju ruang ICU. Namun tak ada Dokter di sana. Ranjang Nathan sudah tertutup oleh hordeng dan terlihat ada bebebrapa orang di sana. Sepertinya tengah melakukan sesuatu pada adikku.

Hingga tak lama salah seorang Dokter datang dan mengatakan bahwa mereka tak bisa menyelamatkan nyawa adikku.

Aku tak bisa berkata apa-apa, aku shock, hingga jatuh terduduk. Aku menangis, mengutuk Tuhan yang tak adil pada keluargaku.

Dulu ayahku dan kini adikku juga di panggilnya, bagaimana nanti perasaan ibuku mendengarnya.

.

.

.

Tbc.

Jangan lupa tinggalin Love, like dan komen ya buat dukungannya terima kasih🥰

Kejanggalan

Aku berjalan gontai mendekati tubuh adikku. Dokter sedang mencatat waktu kematiannya, dan memberi waktu kepadaku untuk melihatnya.

Kudekati tubuh Nathan yang dingin dan kaku. Kupeluk erat tubuhnya, orang yang aku sayangi telah pergi meninggalkanku.

Senyumnya menghilang, berganti dengan bibir pucat dan diam membisu.

"Kenapa ... apa yang terjadi, Bara!" ucapku sambil menggoyang tubuhnya.

Paman Wira menyentuh bahuku. "Ikhlaskan, supaya Nathan tenang di sana," ucapnya.

"Aku harus cari tau kematian Bara, Paman!" ucapku penuh keyakinan.

Kuseka air mata ini. Cukup, menangis juga tak akan membuatnya kembali pada kami. Aku harus mencari tahu penyebab kematiannya.

Kulihat paman Wira bergeming di tempatnya. Aku tak tau kenapa.

Pandangan kami teralihkan saat mendengar suara isakkan di belakang.

"Mas Nathan," ucap Fatmala sambil melangkah mendekat.

Aku menyingkir memberinya jalan, dia sepertiku tadi, memeluk tubuh kaku Nathan dan mengguncangnya.

Tangisannya sangat pilu, seolah-olah gadis itu telah kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidupnya.

Paman Wira memeluk tubuh keponakannya. Hingga tubuhnya meluruh dan tak sadarkan diri.

Aku terkejut, lekas keluar untuk memanggil perawat. Fatmala dibaringkan pada ranjang yang bersebelahan dengan ibuku.

Aku memilih mengikuti para perawat ke kamar mayat untuk memandikan jenazah Nathan.

Aku bersikeras meminta agar aku ikut dalam memandikan jenazah adikku itu.

Air mata tak henti menetes dari pelupuk mataku. Saat kulihat banyak bekas luka di sana. Dia seperti habis di hajar hingga babak belur.

Ku usap kulitnya secara perlahan, membayangkan betapa tersiksanya dia saat menerima perlakukan biadab itu.

"Mas ... sudah selesai. Biar kami saja yang mengafani," ucap salah satu perawat laki-laki yang membantuku.

Aku mengangguk lemah dan meninggalkan kamar mayat. Melihat bangku di taman dekat kamar mayat, aku pun mendekat dan mendudukkan diri. Berusaha menenangkan batinku yang berkecamuk.

Aku sudah meminta paman Wira untuk menyiapkan semuanya di rumah. Agar selesai dari sini, Nathan bisa segera di makamkan.

Bersyukur aku sudah meminta Dokter untuk memvisum adikku.

Tak ingin berlama-lama, aku memilih kembali ke dalam rumah sakit untuk menemui ibuku dan Fatmala.

Ternyata mereka telah siuman, Fatmala masih terisak, sedangkan ibuku masih terbaring lemah, terdengar dia tengah berusaha menenangkan Fatmala.

"Sudahlah Fatmala, Ibu yakin Nathan baik-baik saja. Doakan dia agar segera pulih, ya?" ucapnya.

Hatiku seperti akan copot dari tempatnya, ibuku belum mengetahui jika Nathan tak terselamatkan.

Aku dilema, apa aku harus memberitahunya kabar yang menyakitkan itu. Tapi aku tak suka membohongi ibuku.

Lebih baik jujur dari pada membuatnya kecewa nantinya. Setidaknya, aku berharap ibuku bisa melihat wajah Nathan untuk terakhir kalinya.

"Bu," lirihku. Seperti ada biji salak tersangkut di sana yang membuatku tercekat.

"Kamu kenapa di sini? Sana temani Bara!" usir Ibuku.

"Bu, Bara ... udah ngga ada." Akhirnya dengan bersusah payah aku mampu berkata jujur.

"APA!! Kamu jangan bohong, Nara. Ngga mungkin! Dokter tadi bilang keadaannya stabil! Kamu bohong Nara!" Ibu mengamuk bersusah payah aku memeluk tubuh kurusnya.

Ibu menangis memukul-mukul punggungku. "Maafkan aku Bu, aku ngga mampu jaga dia," ucapku.

Pukulan ibu melemah, dia lantas melonggarkan pelukan dan menatapku.

"Ibu ingin bertemu dengannya, Nara," pintanya.

"Baik Bu." Aku lantas meminta perawat untuk membantu ibu.

Aku meletakan tubuh ibuku di kursi roda. Selang infus masih terpasang, hanya di matikan sementara alirannya.

Sebelum pergi, kami menatap Fatmala yang masih menangis dengan menutup mulutnya.

"Istirahatlah. Kami tinggal dulu," ucapku padanya. Tak ada jawaban.

Aku lantas mendorong kursi roda ibuku menuju kamar mayat tempat jenazah Nathan berada.

Aku memilih menghentikan kursi roda ibuku tepat di depan pintu masuk kamar mayat.

"Ibu yakin mau melihat Bara?"

"Ibu mau lihat putra Ibu terakhir kalinya, Nara," kekehnya.

Tanpa menjawab, aku kembali mendorong. Ruangan itu kosong dan sangat mencekam. Di ujung sana terdapat pembaringan terakhir yang menopang tubuh adik kembarku.

Aku berjalan dengan pandangan kosong. Belum apa-apa ibuku sudah terisak kembali.

Saat ini tubuh Nathan sudah di balut kain kafan putih. Aku bersyukur ibu tak melihat semua luka di tubuh Nathan. Itu hanya asumsiku, aku tak tau apa ibu sudah pernah melihat atau belum.

"Bara ... kamu janji mau jagain Ibu. Kenapa kamu langgar. Nak?" ucapnya yang sangat menyedihkan.

Ibu memeluk tubuh Nathan dan menciumi pipinya. Aku lantas mendudukkan diri, mensejajarkan dengan tubuh Ibuku.

"Bu, kita harus ikhlas, Bara udah tenang sama Ayah di sana. Ibu mau ikut pemakaman Bara?" ucapku dengan sedikit tercekat.

"Iya Nak, maafkan Ibu, dia udah tenang, udah ngga kesakitan lagi," ujarnya sambil menepuk punggung tanganku yang menggenggamnya.

Ku kecup tangan ibuku dengan takzim, menitikkan air mata yang tersisa, aku tau hatinya lebih terluka dariku.

Aku tau dia berusaha tegar demi aku, anak satu-satunya yang tersisa.

Lantas ku dorong kembali kursi rodanya keluar dari kamar mayat. Kami berjalan menuju ruang administrasi. Sebelum pulang semua biaya harus segera aku bereskan.

Aku juga sekalian meminta daftar biaya administrasi perawatan Fatmala, sebab aku merasa gadis itu juga bagian dari keluargaku.

Aku juga meminta agar surat hasil visum segera keluar agar aku bisa mulai proses pelaporan, karena aku memang curiga dengan kejanggalan pada kematian Nathan.

Aku sudah menghubungi Saka dan Arman, mereka berkata akan segera datang.

Aku mendorong kembali kursi roda ibuku. Kini dia tengah di tangani oleh perawat yang akan membuka selang infusannya.

Dari bilik yang tertutup tirai hijau itu, aku masih mendengar isakkan Fatmala.

Ku lihat ibuku berulang kali menghembuskan napasnya. Aku pikir dia mengkhawatirkan gadis itu.

Setelah infus di tangannya selesai di lepas, ibu memintaku untuk mendatangi bilik Fatmala.

Saat kami menyibaknya, dia tengah meringkuk dan menangis pilu.

"Sabar Fatma, kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang, Ibu doakan semoga kamu bisa segera menemukan pengganti Bara," ucap Ibuku sambil mengusap bahu dan lengan Fatmala.

Aku mengernyit heran, berpikir jika Fatmala dan Nathan memiliki hubungan spesial.

"Kami akan pulang untuk memakamkan Bara, kamu istirahatlah," pinta Ibuku.

Namun, Fatmala sontak bangkit terduduk, matanya membelalak. Rambutnya kusut masai, matanya sembab dan hidungnya memerah.

"Aku ikut Bu, aku mau lihat Mas Nathan," pintanya.

"Nara, coba kamu tanyakan Dokter apa Fatmala bisa ikut pulang?"

Aku mengangguk dan mendekati meja panjang dimana para Dokter dan perawat sedang berjaga di ruang Unit Gawat Darurat ini.

"Permisi Dok, saya mau tanya, apa saudari saya bisa pulang? Kami sedang bergegas melakukan pemakaman," ujarku.

"Keadaannya sedikit lemah, sebenarnya kami ingin mengeceknya secara lebih dalam, tapi karena sedang berduka, saya akan izinkan pulang. Jika nanti pasien merasa pusing, tolong segera antar kembali ke sini ya Pak," ucap Dokter berkaca mata.

Kami kembali menunggu penanganan Fatmala. Obat-obatan Ibu dan Fatmala biar saja nanti di ambil oleh orang rumah.

Kami sudah tak punya banyak waktu. Kami pulang beriringan dengan ambulans yang membawa jenazah Nathan.

Rumahku sudah dipasangi bendera kuning, banyak para tetangga sudah hadir.

Para petugas rumah sakit lantas menurunkan jenazah Nathan dan meletakannya ke dalam rumah.

kami sudah bersiap untuk menyalatkan jenazah Nathan. Lagi, Ibuku dan Fatmala kembali terisak.

.

.

.

Tbc.

Pemakaman.

Setelah menyalatkan, kami bergegas membawa keranda jenazah Nathan menuju kuburan yang letaknya tak jauh dari kampung kami.

Aku memilih berjalan kaki dari pada harus menggunakan iringan mobil ambulans karena memang jaraknya yang tak begitu jauh.

Aku, Saka, Arman dan Paman Wira-lah yang mengangkat keranda, beruntung sahabat-sahabatku meski orang hebat mereka tak keberatan melakukan hal itu.

Padahal aku sudah menolaknya, biarkan aku beserta Paman Wira dan warga yang mengangkat, tapi mereka menolak dan bersikukuh membantuku.

Bagi mereka, Nathan juga sahabat mereka. Meski hanya sesekali bertemu, tapi mereka juga merasa kehilangan sama sepertiku.

Bahkan mereka mau turun ke liang Lahat untuk membantuku, ucap syukur tak henti-hentinya aku panjatkan pada Tuhan karena banyak yang menyayangi mendiang adikku.

Para warga sudah membubarkan diri, hanya tersisa aku, ibu, Fatmala, Paman Wira dan juga sahabat-sahabatku tentunya.

Ibu masih menangis di atas nisan Nathan. Aku duduk di sebelahnya mencoba menenangkannya sekali lagi.

Fatmala terisak di seberang kami. Ia mungkin sangat kehilangan Nathan sebab dari perbincangan yang kudengar kemarin, aku menduga ia kekasih Nathan.

"Ayo Bu, kita pulang. Ibu harus ikhlas," bujukku. Ibu lantas bangkit, aku memapah tubuhnya.

Fatmala di bantu oleh Paman Wira agar ikut kami pulang juga.

Baru saja kami hendak meninggalkan makam Nathan, datanglah orang yang paling di hindari olehku dan keluargaku. Siapa lagi kalo bukan Paman Zafran beserta sepupuku Nasya dan Akbar.

Paman Zafran adalah adik tiri ayahku. Mereka satu ayah tapi beda ibu. Paman Zafran adalah orang yang selalu memperebutkan perkebunan teh kami.

Padahal sudah dijelaskan berulang kali bahwa tanah perkebunan itu adalah murni milik ayahku, sebab itu adalah warisan mendiang nenekku dari nenek buyutku. Bukan harta bersama yang di hasilkan Nenek kakekku.

"Mayang, Ettan, maaf, Om baru datang sekarang, kami baru mendengar kabar duka ini pagi tadi," ujarnya.

"Terima kasih Om. Maaf, silakan Om ke makam Bara, saya harus membawa Ibu pulang."

Paman Zafran mengangguk, dan memberi kami jalan untuk melewati mereka.

"Setelah dari sini, kami akan mampir ke rumahmu." Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapannya. Dia lantas menepuk bahuku saat aku berlalu melewatinya.

Netraku bertemu pandang dengan Nasya sepupu tiriku. Seperti dahulu, tatapan memuja selalu ia perlihatkan padaku.

Meski kami sepupu tiri, tidak seharusnya dia menatap penuh minat padaku. Tapi peduli apa aku, tak mungkin juga aku jatuh hati padanya.

Mengingat dulu dia dengan tak tahu malu menyatakan perasaannya padaku. Aku tentu saja langsung menolaknya, berkata bahwa dia tak seharusnya menyukaiku. Namun ia tak peduli, dia berdalih jika rasa yang dimiliknya bukan sesuatu yang bisa ia kontrol.

Dalam perjalanan, Fatmala masih tampak terisak. Tak ada yang berusaha menenangkannya. Hanya Paman Wira yang sesekali terdengar memintanya untuk mengikhlaskan kepergian Nathan.

Sebegitu cintanya gadis itu pada adikku hingga ia selalu menangis.

Sesampai di rumah, aku meminta asisten rumah tangga ibuku untuk membantu membersihkan tubuh ibu. Bagaimanapun kami baru saja kembali dari pemakanan sudah menjadi tradisi untuk segera membersihkan diri selepas pulang dari tempat itu.

Saka dan Arman aku minta untuk membersihkan diri di kamarku. Biar aku membersihkan diri di kamar Nathan.

Kupandangi setiap sudut kamar adik kembarku. Tak ada yang berubah, sudut kamarnya di dominasi warna abu seperti biasa. Cat, gorden bahkan sepreinya berwarna abu-abu. Hanya meja kerja dan nakasnya yang berwarna putih. Berbeda denganku yang lebih menyukai warna putih dan hitam.

Aku duduk di ranjang miliknya, bahkan harum parfumnya masih terasa di indra penciumanku.

Kuambil pigura foto yang terletak di atas nakas tempat tidurnya. Itu foto keluarga kami, ayah, ibu, aku dan dia.

Sekarang hanya tinggal aku dan ibuku. Ayah dan Nathan sudah berbeda alam dengan kami. Air mata kembali menetes di sudut mataku.

Mengingatkanku dengan pertemuan terakhir kami bulan lalu. Kuletakan kembali foto itu. Laci nakas Nathan menarik perhatianku seperti magnet. Kuikuti naluriku, tak ada yang menarik di sana hanya sebuah buku catatan, majalah dan beberapa bolpoin di sana.

Tetap saja buku catatan itu menarik untuk kulihat isinya. Andaikan Nathan ada, bisa jadi adikku itu akan marah karena telah lancang membuka buku hariannya, mungkin.

Ah apa kau seperti gadis Bar, apa kamu menulis semua kegiatanmu di sini? Aku lihat ya. Batinku meminta izin.

Tak ada yang menarik, hanya beberapa catatan kegiatannya. Dia memang sangat teratur dalam manajemen waktu.

Namun saat aku membalik dengan cepat buku itu, ada ketas terjatuh dari sana. Saat kupungut, terdapat foto Fatmala yang tersobek. Aku lantas mencari sisanya potongan lainnya. Dan saat aku menemukannya yang terselip di antara lembar lainnya aku pun menyatukan keduanya. Itu adalah foto Nathan dan Fatmala.

Ada apa dengan Nathan, apa dia bertengkar dengan Fatmala. Tak mau ambil pusing segera ku kembalikan ke tempatnya.

Aku memilih bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aliran air dingin tidak menenangkan otakku. Aku justru terus berpikir pada siapa aku harus menanyakan keadaan Nathan sebelumnya.

Ibu? Tentu saja dia pasti akan menangis sebelum bisa menjawabku.

Paman Wira, ya, dia pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Nathan.

Aku harus bergegas membersihkan diri, sebab tak ingin membuat sahabat-sahabatku menunggu.

Meski aku merasa sangat lelah tapi mereka tamuku. Belum lagi, Paman Zafran dan anak-anaknya yang akan mengunjungi kami. Tak akan kubiarkan lelaki tua itu menyudutkan ibuku.

Beruntung istrinya tak turut serta, perempuan paruh baya seumur ibuku yang selalu tampil glamor itu selalu saja berkata kasar dan menghina kami.

Entah ke mana Bibiku itu hingga Paman Zafran tak mengajaknya.

Saat aku keluar dari kamar mandi, bertepatan dengan Fatmala datang ke kamar Nathan. Kami sama-sama bergeming karena terkejut. Dia bahkan sampai menganga melihatku.

Astaga, aku lupa jika aku hanya melilitkan handuk di pinggangku.

Sadar apa yang di lihatnya, aku bergegas masuk kembali ke kamar mandi.

Dia juga berbalik dan menutup matanya menggunakan kedua telapak tangan. "Maaf Mas, aku keluar dulu," ucapnya dan berlalu meninggalkan kamar.

Aku mencebik, apa gadis itu selalu masuk ke kamar Nathan sesuka hati?

Lekas aku keluar dan mengenakan pakaian Nathan, tubuhnya tak jauh berbeda denganku. Tinggi kami hanya berbeda beberapa senti, aku 180 cm dan Nathan 175 cm.

Baju Nathan yang di dominasi warna hitam dan abu. Itu memang ciri khasnya. Kuambil yang paling atas. Beruntung dia memiliki pakaian dalam baru yang belum di pakai.

Keluar dari sana, ternyata Fatmala masih berdiri di depan kamar. Sepertinya ia menungguku keluar.

"Kamu mau masuk ke kamar Nathan?" tukasku.

Dia menggigit bibir bawahnya. Terlihat sekali dia merasa gugup dengan pertanyaanku.

Belum juga menjawab, panggilan ibu membuat kami berdua menoleh.

"Bara?" ucapannya dengan air mata yang sudah menggenang.

Aku sudah menduga jika aku memakai pakaian Nathan maka ibu pasti akan salah paham padaku.

"Bu, ini aku Nara," jelasku.

"Nara?" dia mengusap lembut kedua pipiku.

Aku memeluknya, dia pasti sangat merindukan Nathan. Aku sampai lupa ingin menanyakan tujuan Fatmala mendatangi kamar Nathan karena ibu.

.

.

.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!