Langit berpayung awan kelabu tatkala gerombolan manusia-manusia berpakaian hitam itu tiba di tanah lapang yang dipenuhi oleh batu-batu nisan. Setelah singgah sejenak di kediaman Dewa, kini tubuh oma Widuri tiba di peristirahatannya yang terakhir. Tempat peristirahatan yang akan menjadi gerbang untuk bertemunya dengan sang suami yang telah lebih dahulu menghadap Tuhan.
Oma Widuri, wanita berusia senja yang memiliki hati yang begitu baik kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya, kini telah tiada. Salah satu wanita tangguh yang dengan setia mendampingi dan mendukung apa yang dirintis oleh sang suami hingga menyisakan sebuah keberhasilan yang dapat dinikmati oleh penerusnya saat ini.
Wanita pemberani, yang berani menentang apapun yang melenceng dari nuraninya. Wanita yang memiliki selera humor yang tinggi sehingga membuat siapapun merasa dekat dengannya. Dan wanita yang tidak pernah membedakan dalam memperlakukan setiap orang yang berada di sekitarnya. Tidak ada kesan yang tersisa bagi orang-orang yang berada di dekat oma Widuri, selain betapa wanita ini adalah wanita yang sangat baik.
Hingga alam pun berbahasa, jika mereka ikut larut dalam duka itu. Langit menampakkan wajah muram sebagai pertanda jika ia ikut merasakan apa itu kehilangan.
Perlahan, tanah cokelat menutupi tubuh oma Widuri yang sudah berada di dalam liang lahat ini. Hingga hanya menyisakan sebuah gundukan tanah basah yang kelak akan menjadi tempat untuk didatangi para kerabat untuk menjenguk dan melepas rindu kepada wanita itu.
Satu persatu orang-orang yang berkerumun di tempat ini membubarkan diri setelah acara upacara pemakaman ini usai. Mereka yang kebanyakan rekan-rekan bisnis Dewa dan juga seluruh staf dan karyawan PT WUW seakan tidak ingin melewatkan hari terakhir mereka bisa melihat wanita berhati mulia itu.
Air mata Mara, Dewa, Wisnu, mbok Darmi, pak Kasim, Krisna dan juga Sekar masih saja mengalir deras dari pelupuk mata mereka. Mereka dirundung duka, menerima kenyataan bahwa oma Widuri benar-benar telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Krisna yang sebelumnya berada di Jogja, karena mendapatkan tugas khusus dari Dewa, gegas memilih untuk segera kembali ke kota ini. Pastinya untuk bisa melihat wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai neneknya sendiri yang selalu memperlakukannya dengan baik. Bahkan cara oma Widuri memperlakukannya sama dengan cara oma Widuri memperlakukan Dewa.
"Mas ... Oma..."
Sembari menggendong tubuh Nendra, Mara ikut menumpahkan segala dukanya di atas tempat peristirahatan terakhir oma Widuri. Sedari tadi, wanita yang baru saja menyandang gelar mama muda itu tiada henti menangis, sebagai salah satu bentuk ungkapan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Dewa merangkul pundak sang istri dan mengecup pucuk kepalanya dengan intens. "Ikhlaskan kepergian oma ya Sayang ... oma pasti sudah tenang di sana. Dan pasti oma juga sudah berbahagia karena bisa berkumpul bersama opa."
Meski didera oleh rasa sesak yang begitu menyeruak, namun Dewa harus menguatkan istrinya ini. Berkali-kali Dewa mengusap pundak Mara, untuk menenangkannya.
"Tapi Oma belum sempat ikut menimang Nendra, Mas. Padahal dulu beliau selalu mengatakan bahwa ingin sekali menimang Nendra sebelum Nendra tidur."
Potongan-potongan percakapan yang pernah terjadi diantara dirinya dengan oma Widuri kembali berlalu lalang di dalam otaknya yang semakin menyeretnya masuk ke dalam kesedihan itu.
"Setidaknya oma sudah melihat wajah Nendra, Sayang. Pastinya membuat oma berbahagia. Kamu ingat bukan, bagaimana bahagianya oma tatkala melihat Nendra untuk pertama kalinya?"
Mara hanya mengangguk samar.
Tetes air langit mulai turun perlahan. Seperti menjadi tanda bahwa sebentar lagi rintik ini akan melebat hingga menjadi hujan lebat.
"Ayo semua kita pulang. Hujan akan segera turun!"
Dewa bertitah untuk mengajak semua yang masih berada di tempat ini untuk segera kembali. Khawatir jika akan kehujanan dan pastinya akan menyisakan sesuatu yang buruk dalam tubuh. Seperti terkena pilek, flu, atau mungkin meriang.
Mara, Krisna, Sekar, mbok Darmi dan pak Kasim menurut. Mereka mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan tempat pemakaman ini. Dewa yang sudah mengayunkan langkah kakinya, tetiba ia hentikan langkah kakinya itu. Ia membalikkan badan dan terlihat Wisnu masih terduduk di atas pusara oma Widuri.
"Kak, mari kita pulang. Hujan akan segera turun!"
Wisnu menggelengkan kepalanya. "Tidak Wa, aku masih ingin berada di tempat ini untuk menemani oma."
"Tapi Kak..."
"Pulanglah terlebih dahulu Wa. Aku masih ingin di sini."
Dewa hanya bisa membuang nafas kasar. Pada akhirnya, ia pun mengalah. Tidak ingin memaksa kakaknya ini. Perlahan, tubuhnya menjauh dari Wisnu dan ikut menyusul sang istri dan yang lainnya yang sudah berada di area parkir.
Tidak perlu menunggu waktu lama, hujan turun dengan derasnya. Wisnu masih terduduk di atas gundukan tanah milik oma Widuri. Lelaki itu menangis tergugu menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Namun sebentuk perasaan yang terasa begitu kentara. Rasa sesal yang masih begitu membelenggu hati dan juga jiwanya.
"Maafkan Wisnu, Oma ... maafkan Wisnu. Wisnu telah melewatkan kesempatan untuk bisa berbakti kepada oma di akhir hidup oma ini. Seandainya saja dulu Wisnu tidak pergi meninggalkan oma, pasti..."
Suara Wisnu tercekat di tenggorokan. Jika teringat akan masa yang telah lalu, ia semakin merasakan sesal yang teramat dalam. Tidak ada lagi yang dapat diucapkan oleh lelaki itu selain hanya lelehan air mata yang mengalir deras dan ditemani oleh air hujan yang membasahi tubuhnya.
"Wisnu juga minta maaf karena telah salah memilih cucu menantu untuk oma. Wisnu sungguh merasa sangat berdosa kepada oma. Karena dia lah yang menyebabkan oma pergi secepat ini dari sisi Wisnu."
Aliran air hujan yang memeluk tubuh Wisnu, seketika tak lagi ia rasakan. Wisnu terkesiap. Hujan masih deras mengguyur bumi, namun ia sama sekali tidak merasakan belaian air langit itu. Kepala yang sebelumnya menunduk, sedikit ia dongakkan. Dan terlihat ada seorang gadis kecil dengan rambut dikucir kuda melindungi tubuhnya dengan payung hitam yang ia bawa.
"K-kamu siapa?"
Gadis itu hanya tersenyum simpul. "Mengapa Paman hujan-hujanan seperti ini? Kata Bunda, jika kita hujan-hujanan pasti bisa membuat kita sakit."
Wisnu semakin terperangah. Gadis kecil berpayung hitam ini tidak langsung menjawab pertanyaannya namun justru mengatakan hal lain. "Kamu siapa? Dan mengapa kamu ada di tempat ini? Di mana rumahmu?"
"Paman ingin tahu siapa aku?"
Wisnu hanya mengangguk samar. "Ya, aku ingin tahu siapa kamu!"
Gadis kecil berusia enam tahun itu tersenyum simpul. "Aku bukan siapa-siapa, Paman. Aku hanyalah seorang gadis kecil penjual bunga di depan pintu makam ini."
"Lalu di mana Bundamu? Mengapa bundamu membiarkanmu hujan-hujan seperti ini?"
"Paman sungguh ingin tahu di mana Bundaku?"
Wisnu menganggukkan kepala. "Ya, aku ingin tahu di mana bundamu. Mengapa dia membiarkanmu hujan-hujan seperti ini!"
Lagi, gadis kecil itu mengulas sedikit senyumnya. "Mari ikut aku Paman. Aku akan menunjukkan kepada Paman, di mana ibu berada."
Entah apa yang terjadi dengan Wisnu. Duda berusia empat puluh tahun itu dengan penuh semangat mengekor di balik punggung gadis kecil itu. Di bawah payung hitam, dua manusia berbeda generasi itu melangkahkan kaki mereka untuk menyusuri pemakaman ini.
"Bundaku ada di sini Paman!"
Ucapan lirih gadis kecil ini sukses membuat Wisnu terkesiap. Langkah kakinya terhenti di sebuah gundukan tanah yang dihiasi oleh rumput hijau.
"M-maksud kamu, bundamu sudah meninggal?"
Gadis kecil itu hanya memandang gundukan tanah di hadapannya ini dengan tatapan menerawang dan sukar untuk diartikan. Gegas, ia merendahkan tubuhnya dan berjongkok di sisi gundukan tanah ini.
Gadis itu menggeleng samar. "Tidak Paman, bundaku tidak meninggal. Bunda mengatakan bahwa Bunda hanya sedang beristirahat di sini karena kelelahan. Dan bunda mengatakan bahwa suatu hari nanti aku pun akan berada di tempat yang sama dengan bunda. Tempat yang bernama surga."
Hati Wisnu mencelos kala mendengar celotehan-celotehan polos gadis kecil ini. Ternyata nasib gadis kecil ini hampir sama dengan nasib yang ia alami di masa kecil. Ditinggal pergi orang tua untuk selamanya.
"Lalu, saat ini kamu tinggal dengan siapa Sayang? Dan kamu tinggal di mana?"
Sungguh hati duda berusia empat puluh tahun itu terasa kian berdenyut nyeri kala membayangkan bagaimana caranya gadis kecil ini bertahan untuk tetap melanjutkan hidupnya.
"Aku tinggal bersama nenek, Paman. Tidak jauh dari pemakanan ini."
"Lalu, apa yang dilakukan oleh nenekmu setiap harinya? Apakah beliau bekerja untuk menghidupimu?"
Gadis kecil itu menundukkan kepalanya dan menggeleng samar. Seakan mencoba untuk menahan segala sesak bergelayut manja dalam dada.
"Biasanya nenek mengumpulkan barang-barang bekas, namun saat ini nenek tengah sakit, jadi nenek hanya bisa berbaring di atas tempat tidur."
Tes... Tes... Tes
Kristal bening yang berkumpul di pelupuk mata Wisnu, perlahan mulai jatuh lagi. Tangisan hati yang sebelumnya telah reda, kini sepertinya akan kembali mengalir saat mencoba menyelami kehidupan gadis kecil ini. Sebuah kehidupan yang terlihat begitu pelik dan dipenuhi oleh kerikil-kerikil tajam yang terasa menggerus hati tatkala dilalui oleh gadis kecil yang bahkan mungkin belum paham seutuhnya akan apa itu kehidupan.
Wisnu menyeka bulir-bulir bening yang berjatuhan dari jendela hatinya. Ia mencoba sekuat tenaga untuk mengurai rasa sesak yang membelenggu dada. Pertemuannya dengan gadis kecil ini seakan semakin menampar keras mata dan juga hatinya. Bahwa sesungguhnya masih banyak orang-orang di sekitarnya yang berada di dalam kesusahan dan kepelikan.
"Siapa namamu Sayang?"
Gadis kecil itu menautkan pandangannya tepat ke arah manik mata Wisnu dan menatapnya intens. "Namaku, Citra, Paman. Citra Ayu Andadari."
Sekilas, Wisnu menampakkan senyum termanis yang ia punya sembari mengusap-usap rambut ikal gadis kecil bernama Citra ini. Tak selang lama, ia mengulurkan tangannya. "Perkenalkan nama Paman, Wisnu. Wisnu Kunto Aji."
Citra menyambut uluran tangan Wisnu seraya tersenyum simpul. "Paman Wisnu, jangan bersedih dan hujan-hujanan lagi ya!"
Senyum penuh kegetiran terlukis di bibir Wisnu. Ia mengambil posisi jongkok, untuk bisa mensejajarkan tinggi badannya dengan Citra. "Bolehkah Paman memeluk Citra?"
Citra mengangguk mantap. "Tentu boleh Paman."
Tak kuasa menahan segala gejolak emosi dalam dadanya, Wisnu menarik tubuh kecil Citra untuk ia bawa ke dalam pelukannya. Semua rasa dalam dadanya bercampur menjadi satu. Dan air matanya kembali tumpah ruah di atas bahu gadis kecil ini.
"Tinggallah bersama Paman, Sayang. Paman akan merawat dan membesarkan Citra dengan penuh cinta dan kasih sayang!"
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Assalamu'alaikum para pembaca semua... Bertemu lagi di tulisan saya yang ke-7. Bagaimana? Bosan? Semoga tidak ya...☺☺ Seperti yang ada di dalam sinopsis depan, novel ini merupakan season kedua dari Terjerat Cinta Sang Duda ya, dan akan bercerita tentang kehidupan Wisnu Kunto Aji (Kakak dari Dewa)
Sebelum Cahaya Cinta untuk Seroja tamat, novel ini akan slow update. Belum bisa saya pastikan kapan akan update. Bisa slow dan mungkin bisa juga fast, hiihihi tergantung mood dan inspirasi yang ada di kepala saya😄 Maka dari itu jangan lupa untuk klik icon ❤️ agar tidak ketinggalan ya Kak...
Terima Kasih banyak untuk kakak-kakak yang masih setia menemani perjalanan saya berada di platform ini. Sungguh, tanpa para pembaca semua, saya bukanlah siapa-siapa dan apa-apa. Sehat selalu untuk Kakak-kakak semua ya. Dan semoga senantiasa berada di dalam keberkahan Allah SWT. 🥰🥰
Salam love, love, love❤️❤️❤️
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Wisnu PoV
Semua manusia yang tinggal di bumi ini pasti pernah merasakan apa itu penyesalan. Sebentuk rasa yang datang di akhir dan tidak akan pernah bisa diputar, diulang, dan diperbaiki kembali. Serta mungkin hanya menyisakan sebuah angan untuk dapat memutar dan mengulang kembali, namun itu semua hanyalah kemustahilan semata. Ya, saat ini aku tengah merasakan penyesalan itu.
Hari ini, tepat hari ke tujuh oma Widuri meninggalkanku. Jika sebelumnya akulah yang meninggalkan beliau di saat aku pindah ke Surabaya, kini beliau lah yang meninggalkan aku untuk menghadap Tuhan. Jika kepergianku saat itu bisa kembali, namun kepergian oma sungguh tidak akan pernah bisa kembali lagi. Karena memang aku dan oma sudah berada di sebuah kehidupan dan tempat yang berbeda.
Tubuh yang berbalut bathrobe warna putih ini aku bawa untuk mendekat ke arah jendela lebar yang berada di sudut kamar. Dari tempat ini, aku bisa melihat dengan jelas suasana yang tersaji di luar sana. Suasana malam yang terasa begitu hening dan menenangkan, yang seketika hanya menyisakan seberkas rasa damai yang memeluk raga. Meski didera oleh rasa lelah dan kantuk yang luar biasa setelah perjalanan dari Jogja, namun aku sungguh masih ingin menikmati suasana malam hari ini dari balik jendela kamar.
Sebelumnya, rumah besar peninggalan oma ini terasa begitu ramai kala Dewa, Mara serta Nendra masih tinggal bersamaku. Namun, seketika berubah seratus delapan puluh derajat kala mereka memilih untuk pindah ke kota Jogja. Sebuah kota yang kata adikku merupakan kota impian di mana akan ia habiskan masa tuanya di sana. Kota asal seorang wanita yang begitu ia cintai. Siapa lagi jika bukan sang istri, Nismara Dewani Hayati.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mengisi rongga-rongga dadaku yang terasa sedikit sesak dengan oksigen. Keheningan rumah ini semakin menyeretku untuk kembali meluruh ke masa-masa pahit yang pernah terjadi di rumah ini. Pastinya jejak-jejak kepahitan yang disisakan oleh mantan istri.
Tidak pernah aku sangka jika wanita yang selama ini aku nikahi adalah salah satu wanita ular yang berhasil memporak-porandakan kehidupanku. Wanita yang sangat aku cintai bahkan melebihi rasa cintaku terhadap diriku sendiri justru menjadi seorang wanita yang paling dalam menancapkan luka dalam dada. Bukan hanya aku saja yang terluka, namun juga semua anggota keluarga terlebih kehadirannya lah yang menjadikan satu-satunya sebab kepergian oma untuk selamanya.
Ambisinya untuk menguasai harta oma yang membuat mantan istriku buta. Buta, jika sesungguhnya harta itu hanyalah sebuah titipan yang tidak akan pernah dibawa ketika pulang ke pangkuan Tuhan. Harta yang selama ini menjadi ambisi dalam hidupnya, kini harta pulalah yang juga menyeretnya untuk mendekam di balik penjara.
Aku sedikit mengacak rambutku kasar. Apa yang pernah aku lalui bersama Dira, justru semakin membuatku berpikir jika tidak ada wanita di dunia ini yang tulus mencinta. Semuanya terbukti, di saat aku berupaya mati-matian untuk membahagiakan Dira dengan cinta yang aku miliki, ia justru memiliki sebuah niat buruk untuk menguasai apa yang oma miliki. Dan yang lebih tidak pernah aku sangka, ia memiliki segudang cara dan rencana untuk menjalankan itu semua, hingga pada akhirnya oma lah yang menjadi korban dari keserakahan dan ketamakan seorang wanita yang bergelar istri.
Kupandang hamparan langit yang menghitam di atas sana. Kulihat wajah oma terbias di sela awan tipis yang berada di sana. Bias wajah yang semakin menyeretku dalam perasaan bersalah karena telah salah memilihkan cucu menantu untuk beliau. Untuk menebus semua rasa bersalahku itu, aku mengucap sebuah janji untuk menutup pintu hati. Tidak akan pernah aku buka untuk siapapun lagi.
🍁🍁🍁🍁🍁
Author PoV
"Silakan dinikmati sarapannya Tuan!"
Sarapan pagi dengan menu nasi pecel lengkap dengan telur mata sapi dan rempeyek kacang, telah tersaji di atas meja makan. Terlihat mbok Darmi masih sibuk kesana kemari, padahal pekerjaannya untuk membuat sarapan pagi sudah selesai.
"Mbok, duduklah di sini!"
Mbok Darmi yang baru saja akan menuju dapur, seketika menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik badan dan mendekat ke arah Wisnu yang tengah duduk anteng di kursi makan.
"Ya Tuan? Apa masih ada yang Tuan perlukan? Mungkin Tuan Wisnu ingin lauk ayam goreng? Tempe atau tahu?"
Wisnu hanya tergelak lirih. Padahal ia sengaja memanggil mbok Darmi bukan untuk sibuk lagi. "Tidak Mbok, lauk telur mata sapi ini sudah cukup. Aku memanggil mbok Darmi untuk menemani aku sarapan pagi."
Darmi terperangah kala mendengar majikannya memintanya untuk menemaninya sarapan pagi. Asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun ikut di keluarga ini pun hanya bisa tersenyum kikuk. "Tapi Tuan, apakah pantas simbok ikut sarapan pagi di meja makan ini? Simbok ini hanya asisten rumah tangga Tuan. Biarkan simbok makan di dapur saja."
"Mbok Darmi ini bicara apa? Bagiku mbok Darmi dan pak Kasim bukanlah asisten rumah tangga dan juga penjaga rumah. Bagiku kalian berdua adalah keluargaku. Keluarga yang saat ini tinggal bersamaku."
"T-tapi Tuan...."
"Sudah Mbok. Panggil pak Kasim sekalian dan kita sarapan pagi sama-sama. Apakah simbok tahu? Aku ini pasti akan sangat kesepian tinggal di rumah ini jika tidak ada mbok Darmi dan pak Kasim. Jadi mulai hari ini, kita sarapan sama-sama setiap pagi. Dan jika malam, kita juga makan malam sama-sama di meja ini."
Sudah tidak bisa dibantah, pada akhirnya Darmi menyerah. Ia berlalu dari hadapan Wisnu untuk memanggil Kasim. Ya, inilah yang membuat Darmi begitu betah bekerja di keluarga oma Widuri. Mulai dari almarhum oma Widuri hingga ke cucu-cucunya selalu memperlakukan pekerja di rumahnya dengan baik. Tidak ada kasta yang membedakan. Mereka selalu berperilaku baik kepada siapapun tanpa memandang status sosialnya.
Tak selang lama, Darmi kembali ke ruang makan dengan membawa Kasim. Lelaki paruh baya yang sedang sibuk memotong rumput, gegas ia hentikan pekerjaannya. Dan mengekor di balik punggung Darmi untuk menuju ruang makan.
Wisnu tersenyum simpul. "Mari pak Kasim, mbok Darmi, kita sarapan sama-sama!"
Darmi dan Kasim hanya mengangguk patuh. Kedua orang itu mengambil posisinya untuk duduk di tempat masing-masing, dan mulai menyantap hidangan sarapan pagi ini bersama sang majikan.
"Mbok Darmi dan pak Kasim merasa sepi tidak tinggal di rumah ini?"
Di sela-sela sarapan paginya, Wisnu mencoba untuk membuka obrolan dengan Darmi dan Kasim. Kedua orang itu hanya bisa saling melempar pandangan dan menatap dengan tatapan yang sukar diartikan.
"Iya Tuan, simbok memang merasa sepi. Terlebih tatkala Tuan Dewa, nyonya Mara dan Aden kecil tinggal di Jogja. Rasa-rasanya rumah ini begitu sepi," ucap Darmi mengutarakan argumentasi.
"Saya pun juga merasa begitu Tuan. Rumah ini terasa sepi sekali. Bagaimana jika Tuan Wisnu menikah lagi saja. Setelah menikah, Tuan pasti akan memiliki anak. Sehingga tidak sepi lagi!"
Uhuk... Uhuk... Uhukk...
Usulan Kasim sukses membuat Wisnu tersedak daun bayam. Buru-buru ia meneguk air putih yang ada di hadapannya. Baru saja semalam ia berjanji untuk memutup pintu hati dan pagi ini justru penjaga rumahnya memberikan sebuah usulan untuk menikah lagi.
Darmi melirik ke arah Kasim dengan tatapan membidik. Ia merasa bahwa ucapan Kasim lah yang telah membuat majikannya tersedak. Wanita itu memberikan sebuah isyarat agar Kasim segera meminta maaf.
"Uppsss .... maafkan saya Tuan, saya tidak bermaksud untuk lancang. Namun sepertinya usulan saya bisa Tuan pertimbangkan. Karena Tuan pantas untuk berbahagia."
"Pak Kasim!" kedua bola mata Darmi melotot ke arah Kasim. Ia kira lelaki ini tidak lagi membahas perihal jodoh, ini malah membahas lagi.
Kasim tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah, maafkan saya Tuan. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Tuan Wisnu."
Wisnu berupaya untuk mengatur nafasnya setelah tersedak daun bayam. Lelaki itu hanya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa Pak. Santai saja. Aku memang berencana untuk menambah satu anggota keluarga lagi untuk masuk ke rumah ini."
Ucapan Wisnu sukses membuat Darmi dan Kasim terkejut setengah mati. Mungkin dua orang itu sama-sama memikirkan hal yang sama.
"Tuan Wisnu benar akan menikah lagi?" ucap Darmi memastikan.
Wisnu terkekeh geli mendapati ekspresi Kasim dan Darmi. Mereka pasti berpikir jika rencananya untuk menambah satu anggota keluarga baru itu dengan menghadirkan sosok seorang nyonya di rumah ini.
"Bukan Pak, Mbok. Aku tidak akan mencari istri baru lagi. Namun aku akan mengadopsi salah satu anak yang tinggal tidak jauh dari makam oma."
🍁🍁🍁🍁
Jangan lupa like dan komentarnya ya Kak..
Salam love, love, love ❤️❤️❤️
"Apa lagi yang harus saya persiapkan Tuan? Di sini sudah ada semua bahan kebutuhan pokok dan yang lainnya!"
Bima, asisten pribadi Wisnu melayangkan sebuah pertanyaan kepada bosnya untuk memastikan barang apa lagi yang harus ia persiapkan untuk dibawa sang bos ke sebuah tempat. Lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun yang baru satu minggu menjadi asisten pribadi Wisnu itu sedikit keheranan karena sedari tadi ia memintanya untuk mempersiapkan segala kebutuhan pokok seperti beras, telur, gula, susu, daging, buah dan yang lainnya. Entah, akan dibawa ke mana dan diberikan kepada siapa semua barang itu. Namun jika dilihat, barang-barang ini akan diberikan kepada salah seorang yang spesial bagi sang bos.
Wisnu nampak memperhatikan dengan lekat beberapa tote bag yang sudah tersusun rapi di dalam bagasi mobilnya ini. Ia rasa barang-barang ini sudah sangat cukup untuk ia berikan kepada gadis kecil berpayung hitam yang beberapa waktu yang lalu ia temui di pemakaman oma Widuri itu. Cukup untuk satu minggu mendatang.
"Sepertinya sudah cukup Bim. Ini pasti akan sangat bermanfaat untuk Citra dan keluarganya."
"Citra? Citra siapa Tuan? Apakah Citra adalah salah satu kerabat Tuan Wisnu? Atau mungkin kekasih Tuan Wisnu?"
Entah mengapa nama Citra sedikit membuat jiwa keingintahuan Bima semakin meronta. Sejauh ini sang bos tidak pernah bercerita akan hal di luar urusan bisnis, namun kali ini sepertinya ada sebuah nama baru yang begitu asing dan tiba-tiba disebut oleh Wisnu. Ia yakin jika Citra merupakan salah satu orang yang spesial di hidup bos nya ini.
Wisnu hanya tergelak lirih. Seperti inikah perjalanan hidup seorang duda? Setiap ia melibatkan salah satu nama seorang wanita, pasti akan selalu dikaitkan dengan kata kekasih ataupun calon istri. Padahal baru beberapa saat ia menyandang status sebagai seorang duda. Dan rasa-rasanya sangat sulit baginya untuk kembali membuka hati namun entah mengapa di mata orang, menjadi hal yang sangat mudah untuk mencari wanita pengganti.
"Bukan Bim. Citra adalah gadis kecil penjual bunga yang tinggal di sekitar pemakaman oma. Aku berencana membawa barang-barang ini untuknya."
"Oh, saya kira Citra adalah nama kekasih Tuan Wisnu."
"Hemmmm kamu ini ada-ada saja. Aku berniat mengadopsi Citra dan memboyong ia dan juga neneknya untuk tinggal bersamaku. Namun, gadis itu masih belum mau. Ia masih ingin tinggal di tempat yang saat ini ia tinggali."
Memori otak Wisnu kembali mengulang saat pertama ia bertemu dengan Citra. Sejak pertemuan pertama itu, ia menyampaikan maksud dan keinginannya kepada si gadis kecil untuk memboyongnya tinggal di kediamannya. Namun, gadis itu kekeuh untuk tetap tinggal di sana. Dan hari ini, ia akan mencoba untuk kembali membujuknya. Barangkali, ia berubah pikiran dan mau untuk diajak tinggal dengannya.
Bayang-bayang kondisi tempat tinggal yang ditinggali oleh Citra kembali mengusik ketentraman batinnya. Kondisi tempat tinggal yang terbuat dari papan triplek yang sungguh tidak pantas jika disebut sebagai rumah. Lingkungan yang sedikit kotor karena merupakan kawasan di mana banyak orang yang menggantungkan kehidupan mereka dengan bekerja menjadi pengepul barang-barang bekas dan di mata Wisnu lingkungan seperti itu sungguh sangat tidak sehat bagi anak seusia Citra. Hal itulah yang membuat duda berusia empat puluh tahun itu bersikeras untuk membujuk si gadis kecil agar mau ia ajak untuk pindah. Sungguh, gadis kecil itu sangat pantas untuk mendapatkan kehidupan yang jauh lebih layak daripada saat ini.
"Ini sudah jam sepuluh, lalu kapan Tuan Wisnu akan berangkat?"
"Aku akan segera berangkat Bim. Tolong handle terlebih dahulu pekerjaanku. Setelah selesai semua urusanku, aku akan segera kembali ke kantor."
"Baik Tuan. Hati-hati di jalan."
Wisnu yang sebelumnya berdiri di dekat bagasi, ia ayunkan kakinya untuk bisa menjangkau pintu kemudi. Ia masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan kendaraannya. Perlahan, mobil yang dikemudikan oleh Wisnu bergerak meninggalkan pelataran kantor dan mulai hilang dari penglihatan Bima.
🍁🍁🍁🍁
Wajah duda berusia empat puluh tahun itu nampak begitu berseri kala mobil yang ia kendarai berhenti tepat di area parkir pemakaman. Ia turun dari mobil kemudian menuju bagasi untuk mengambil semua barang yang tersimpan di sana. Setelah semua totebag berhasil ia genggam, ia mulai melangkahkan kaki untuk menuju tempat tinggal si gadis kecil penjual bunga.
Jejak langkah kaki duda itu terlihat begitu bersemangat menyusuri jalanan sempit ini. Jalan sempit yang di sisi kanan kirinya terlihat bangunan-bangunan semi permanen yang hanya terbuat dari papan triplek. Meski terlihat sedikit kumuh namun sama sekali tidak menyurutkan niat baik sang duda untuk bisa segera bertemu dengan gadis kecil itu.
Entah apa yang terjadi kepadanya. Semenjak bertemu dengan Citra, ada sesuatu berbeda yang terjadi dalam dirinya. Ia merasa benar-benar menyayangi gadis kecil itu. Dan ia ingin agar kehidupan Citra senantiasa berada di bawah kata bahagia. Mungkin menjadi hal sangat wajar bagi Wisnu. Karena selama ini, ia tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan Dira. Sehingga kehadiran Citra bisa membuatnya merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ayah yang senantiasa mencurahkan cinta kasihnya untuk sang putri. Sungguh kebahagiaan yang begitu sederhana. Dapat mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya untuk gadis kecil yang bahkan sama sekali tidak memiliki hubungan apapun terhadapnya.
Langkah kaki yang sebelumnya terlihat begitu tergesa-gesa agar dapat segera tiba di tempat tinggal Citra, kini mulai melandai kala sorot mata Wisnu menangkap suasana ramai di sekitar tempat tinggal Citra. Dan yang lebih membuatnya tercengang adalah ketika manik matanya menangkap bayang orang-orang yang memakai pakaian serba hitam. Keadaan seperti inilah yang seketika membuat jantungnya berdegup kencang tiada beraturan. Tangan yang sebelumnya begitu erat menggenggam beberapa totebag, perlahan mulai mengendur dan benar saja, apa yang ada di dalam genggaman tangannya jatuh begitu saja.
"Citra!!"
Tanpa memperdulikan totebag yang isinya mulai berserakan di atas tanah, Wisnu mengambil langkah kaki lebar untuk bisa menjangkau rumah gadis kecil itu. Tidak perduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya, Wisnu mulai menerobos kumpulan orang yang berlalu lalang di kediaman Citra. Sekelebat bayangan buruk terlintas di dalam benak Wisnu. Ia sungguh khawatir jika sesuatu yang buruk telah menimpa gadis kecil itu.
Derap langkah kaki Wisnu terhenti kala ia telah sampai di ambang pintu. Manik matanya menangkap sesuatu yang telah terbujur kaku yang di tutupi dengan kain jarik. Dan di sisi tubuh yang terbujur kaku itu nampak seorang gadis kecil yang mengisakkan tangisnya pilu.
"Citra?"
Panggilan lirih Wisnu sukses membuat kepala Citra yang sebelumnya menunduk, kini sedikit terangkat. Dan tatapan matanya bersirobok dengan tatapan Wisnu.
"Paman Wisnu .... Nenek!"
Tak kuasa menahan segala rasa yang bergejolak dalam dada, Wisnu kembali mengayunkan langkah kakinya untuk mendekat ke arah gadis kecil itu. Tubuhnya sedikit membungkuk dan ia luruhkan di sisi tubuh kecil Citra. Tanpa membuang banyak waktu, Wisnu menarik tangan gadis kecil itu dan ia bawa ke dalam dekapannya.
"Sabar ya Sayang .... sabar!"
🍁🍁🍁🍁🍁
Tangis pilu dari bibir kecil Citra masih terdengar begitu menyayat hati. Sedari tadi, ia bahkan tiada henti menangis, menumpahkan segala duka dan lara yang mungkin terasa menggerus batinnya. Dan di sini, di samping gundukan tanah yang masih basah ini, Citra masih menangis tergugu.
"Paman .... apakah Tuhan tidak menyayangi Citra? Mengapa Tuhan meminta orang-orang yang Citra sayangi untuk beristirahat terlebih dahulu? Dulu bunda, dan sekarang nenek. Apakah Tuhan memang menginginkan Citra untuk hidup sendiri di dunia ini?"
Dengan derai air mata yang mengalir deras dari jendela hati, Citra mencoba untuk mencurahkan segala rasa yang ia rasakan. Meski terdengar begitu polos namun sungguh, hanya menyisakan kepedihan di hati Wisnu.
Wisnu kembali menarik tubuh kecil Citra dan ia dekap dengan erat. Ternyata apa yang beberapa waktu yang lalu terjadi kepadanya, kini terjadi kepada gadis kecil ini. Ya, mereka sama-sama ditinggalkan oleh nenek tercinta. Namun, yang membuat Wisnu merasakan kepedihan yang mendalam, adalah saat gadis kecil seusia Citra sudah ditinggalkan oleh orang-orang yang ia cintai. Yang kini membuatnya hidup sebatang kara, tiada satu pun yang menemani dan yang menjadi teman untuk berbagi.
"Yang kuat ya Sayang. Citra harus tetap kuat. Percayalah jika apa yang Citra alami ini merupakan salah satu cara Tuhan menunjukkan kasih sayangNya kepada Citra."
"T-Tapi mengapa Tuhan mengambil semua orang yang Citra miliki, Paman? Mengapa Tuhan tidak membiarkan orang-orang yang Citra sayangi untuk tetap berada di dekat Citra."
Wisnu mengusap-usap punggung Citra dan mengecup pucuk kepalanya dengan intens. Berupaya untuk memberikan kekuatan. "Tuhan jauh lebih mengetahui apa yang terbaik untuk nenek Citra. Citra lihat bahwa beberapa hari ini nenek terlihat kesakitan bukan?"
Masih berada di dalam dekapan Wisnu, Citra menganggukkan kepalanya. "Iya Paman. Nenek memang sakit."
"Nah, sekarang Tuhan memanggil nenek untuk beristirahat agar nenek tidak lagi kesakitan. Tuhan memberikan sesuatu yang baik untuk nenek, Sayang. Jadi Citra harus yakin akan hal itu, bahwa Tuhan menyayangi bunda, nenek dan Citra sendiri."
"Tapi, sekarang Citra akan tinggal bersama siapa, Paman? Citra sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Citra pasti akan kesepian."
Wisnu mengurai sedikit pelukannya. Ia tersenyum penuh arti di hadapan Citra sembari menyeka kristal bening yang mengalir deras di pipi gadis ini. "Citra jangan bersedih lagi ya. Citra masih memiliki Paman Wisnu yang akan selalu menemani Citra."
Citra terperangah. "P-Paman..."
"Paman kembali memintamu Sayang. Tinggallah bersama Paman. Paman berjanji akan mencurahimu dengan kasih sayang dan cinta kasih yang tidak akan pernah berhenti mengalir."
"T-Tapi Paman..."
Wisnu menggeleng pelan. "Sudah, Citra tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Setelah ini Citra ikut Paman untuk tinggal di rumah Paman. Di sana, Citra akan mendapatkan apa yang selama ini belum pernah Citra dapatkan."
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Kita fokus ke kehidupan Wisnu dan Citra dulu ya Kak.. Sebelum duda itu bertemu dengan seorang wanita yang berhasil mengusik ketentraman batinnya... Hihihi hihihi sabar yah😘😘😘
Jangan lupa like dan komentarnya Kakak..
Salam love, love, love❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!