Hai. Selamat datang di cerita baru aku. Jangan lupa dukungannya ya Kak. Like dan ramaikan dengan komentar. Terima kasih, selamat membaca 🙏
Harusnya ruangan kerja menjadi tempat favorit untuk mencari inspirasi dan ide-ide baru yang cemerlang demi kemajuan perusahaan yang sedang Resta pimpin. Meski tergolong perusahaan kecil di bidang percetakan, tapi penghasilannya dari usaha yang diwarisi sang papa kepadanya, bisa menghidupi dirinya dan juga memberinya kehidupan yang mewah untuknya.
Tapi, inpirasi yang datang seringkali terhalang keadaan, seperti saat ini misalnya. Menghadapi seseorang yang sangat posesif memang membingungkan dan membuat sakit kepala. Selama menjalin hubungan, entah sudah ke berapa kali mereka bertengkar, rasanya tak terhitung lagi. Pria bernama lengkap Faresta Aditya itu sedang mengatur napas, meredakan emosinya menghadapi Nadine. Lelaki itu memijat keningnya pelan, hal yang pernah terjadi beberapa bulan lalu di ruangan ini, kembali terulang. Menatap Nadine yang sedang mengacak-acak rambutnya sendiri, wanita itu selalu bersikap berlebihan jika sudah bertengkar. Seakan-akan dia adalah korban dan yang paling tersakiti. Padahal, Resta tidak melakukan hal yang menyakiti, hanya karena cemburu tanpa dasar dan menuduh Resta yang tidak-tidak.
“Jangan berlebihan, Nadine. Kamu begitu seolah aku udah ngelakuin hal yang jahat sama kamu.” keluh Resta, tatapan yang dia lemparkan adalah tatapan penuh peringatan pada Nadine.
Tidak menjawab, Nadine justru menangis. Andai bisa berkata jujur, Resta cukup muak dengan semua ini. Ingin mengakhiri, tapi tidak bisa semudah itu, karena ada sesuatu yang sangat mengikat di antara Resta dan Papanya Nadine.
“Cukuplah, jangan menangis,” ujar Resta, seraya menghampiri Nadine. “Kalau sikapmu begini terus, bukankah berarti kepercayaan dirimu turun? Apa kamu pikir, aku akan tergoda dengan wanita lain, sementara aku punya wanita secantik kamu?” jurus yang Resta keluarkan tiap kali mereka bertengkar.
Nadine menggeleng, “Aku tau, tapi aku tetap mau kamu cari yang lain, mereka terlalu berbahaya.” rengek Nadine.
Bertengkar hebat dengan Nadine hanya karena wanita itu cemburu tanpa dasar. Resta tidak selingkuh, Resta juga tidak genit pada wanita lain, mengobrol seperlunya dan masih dalam batas wajar. Tapi, Nadine selalu menaruh curiga dan cemburu padanya. Terkadang, Resta muak dan kesulitan menghadapi emosi Nadine yang meluap-luap hanya karena alasan takut Resta tergoda.
“Jadi, kamu mau aku memberhentikan mereka bahkan sebelum di interview?” tanya Resta dengan nada yang tak ramah. Sedari tadi, Resta sudah bersikap sangat sabar, tapi tingkah Nadine semakin menjadi-jadi saat dia berani merobek daftar riwayat hidup dari dua kandidat sekretarisnya yang di anggap Nadine cantik.
“Sayang, coba kamu pikirkan dengan akal sehatmu! mereka itu, nggak ada apa-apanya di banding kamu. Kamu cantik, pintar, anak dari keluarga terpandang. Jangan anggap mereka saingan—“
Wanita yang sedang duduk di sofa itu, kini bangkit. Dengan amarah yang tak kalah sama dengan sang kekasih. “Resta, jaman sekarang itu, perempuan penggoda nggak harus lebih cantik, asalkan ada niat dan tertanam jiwa pelakornya, kamu yang nantinya sehari-hari sama salah satu dari mereka, bisa saja tergod—“
“Cukup Nadine, aku muak dengar itu-itu saja dari kamu. Sekretaris lama juga aku berhentikan karena permintaan kamu.” Resta mendengkus kesal. Lalu memilih keluar dari ruangannya. Jika tidak segera dihentikan dan tidak ada yang mau mengalah di antara mereka. Perdebatan ini tak akan berakhir.
Next nggak nih? 😆
Wanita berpenampilan seksi itu menggeram kesal saat merasa sang kekasih mengabaikannya.
“RESTA!!!” Nadine berteriak kencang, tak lama kemudian Resta kembali masuk dan mendekat pada wanita itu. Menutup mulut Nadine dengan telapak tangannya.
“Nggak usah teriak-teriak di sini! Malu-maluin.” Resta memberi peringatan, di sertai tatapan tajamnya. Lalu menjauhkan tangannya dari wajah Nadine.
Baru kali ini, Resta bersikap sekasar itu. Biasanya dia selalu baik dan lembut pada Nadine. Tapi, kali ini sepertinya wanita itu sudah terlalu berlebihan, benar-benar menyulut emosi Resta.
“Kamu kasar, kamu jahat, RESTA!” hentak Nadine.
Wanita yang sudah dia pacari selama tiga tahun itu pun menangis sejadi-jadinya, terduduk lemah di atas sofa. Resta, paling tak bisa melihat wanita menangis, apalagi itu kekasihnya sendiri. “Udah…” Resta sudah duduk tepat di samping Nadine, meraih tubuh kekasihnya itu ke dalam pelukannya. “Maafin aku, sayang. Aku akan turuti kemauan kamu, aku akan cari sekretaris yang nggak bepenampilan menarik sama sekali.” Resta mengecup kepala Nadine singkat.
“Beneran, kamu janji sama aku?” Nadine memasang tampang memelas, tangisnya mulai mereda.
“Aku janji,” sahut Resta. “Tapi, aku juga minta tolong, sama kamu. Please…” Resta menjeda kalimatnya. “Percaya aku, secantik apapun wanita di luaran sana, kamu tetap yang paling cantik di mataku, kamu yang terbaik.” Resta meraih dagu Nadine dan mengecupnya dengan lembut, hingga Nadine terbuai.
Entah itu hanya buaian semata agar Nadine tenang, atau Resta memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Yang jelas, Nadine tidak bisa mempercayai ucapannya begitu saja. Nadine selalu merasa takut kehilangan Resta, lelaki tampan yang berhasil membuatnya terpikat dari awal hingga sekarang. Pesona Resta tak di ragukan lagi. Bukan Nadine tidak tahu, bahwa banyak karyawannya yang sering mencuri perhatian pada Resta. Maka Nadine sesering mungkin mengunjungi kekasihnya itu ke tempat kerjanya.
“Sekarang, kamu percaya, sama aku, kan?”
Nadine mengangguk, lalu mendongakkan kepalanya, untuk saling bertatapan dengan Resta yang kini masih memeluknya. Resta mendekatkan wajahnya pada Nadine, lalu mengecup bibir wanita itu, dan langsung di sambut oleh Nadine dengan lebih bergairah. Wanita itu mengalungkan kedua lengannya di leher Resta. Nadine selalu tidak bisa menahan, jika Resta sudah memulai. Nadine terbuai hingga pertahanannya melemah, dengan satu gerakan tangan Resta, dia sudah terbaring di atas sofa. Tempat yang sudah biasa menjadi saksi percintaan mereka. Resta berhenti saat dorongan kuat dia rasakan pada dadanya. “Ada apa?” tanya lelaki itu setelah melepaskan tautan bibir.
“Pintunya belum di kunci,” ucap Nadine, mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan.
Resta tersenyum, dia menegakkan tubuh yang sempat menindih Nadine, jemarinya pun bergerak untuk melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Pria mesum dan berengsek, adalah julukan yang cocok untuk Resta, karena selama berpacaran dengan Nadine, dia selalu mengambil keuntungan untuk menikmati tubuh wanita itu sesering mungkin jika ada kesempatan.
\~
“Aku cuma nggak mau kehilangan kamu, itu aja kok. Bukannya aku lebay.” Nadine memulai lagi pembicaraan tentang Resta yang menuduhnya sebagai perempuan paling posesif yang dia kenal.
Kini, mereka sedang makan di sebuah cafe, sudah menjadi kebiasan bagi Resta, selain membuai wanita itu dengan keahliannya di atas ranjang, Resta selalu mengajak Nadine untuk makan makanan kesukaannya jika dia sedang merajuk.
“Tapi, tetap aja kamu berlebihan, kamu meragukan perasaanku, Nadine?”
Wanita itu menggeleng, “Aku yakin kok sama kamu, meski sampai sekarang hubungan kita masih belum jelas!”
Resta membuang pandangannya ke arah lain, ketika Nadine mulai membahas soal kelanjutan hubungan mereka. Ya, meski sudah terjalin selama bertahun-tahun, Resta masih belum yakin untuk menjadikan Nadine istrinya. Banyak hal yang harus dia pertimbangkan. Sebab sikap Nadine yang selalu berlebihan dan sering menuduhnya selingkuh, atau semacamnya. Benar-benar membuatnya tidak nyaman dan seakan kesulitan bergerak.
Laki-laki mana yang betah jika ruang geraknya selalu diawasi. Bahkan, Resta sering diejek oleh teman-temannya, karena ketika mereka sedang berkumpul untuk sekadar minum bersama, Nadine selalu mengawasi melalui telepon atau video call. Benar-benar membuatnya malu.
***
Jangan lupa like dan komen, supaya lapak aku nggak sepi ya 🤭
Tawa Endri menggelegar di ruang kerja Resta. Resta merasa tidak punya tempat berkeluh kesah lain selain pada Endri, sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya untuk saat ini. Meski resiko curhat dengan Endri adalah mendapat tertawaan penuh ejekan seperti sekarang ini, Resta terima itu. Lelaki itu sering datang mengunjungi Resta, tanpa membuat janji terlebih dahulu. Jika saat dia datang Nadine juga berada di sini, sudah pasti Endri akan langsung pamit karena tidak ingin mengganggu mereka berdua sekaligus melihat kemesraan mereka. Tapi, kali ini Endri bebas masuk, karena Nadine sudah pasti tidak akan datang, sebab wanita itu sedang liburan ke luar negeri.
“Jadi, Nadine maunya lo memilih sekretaris yang gimana?” tanya Endri, setelah Resta bercerita panjang lebar. Sudah lebih dari lima hari, dia belum menemukan sekretaris pengganti. Pekerjaan semakin banyak, dia kesulitan menghandlenya sendiri.
“Yang bisa meyakinkan dia, kalau gue nggak mungkin tergoda sama sekretaris gue sendiri,” ucap Resta, berharap membuka cerita pada Endri bisa menemukan solusi.
“Gue bantu cari?” usul Endri, dia berniat membantu.
“Boleh,” sahut Resta. “Pokoknya yang nggak seksi, nggak cantik, tapi pintar dan bisa bekerja. Gue nggak terlalu mempermasalahkan latar belakangnya sarjana apa, yang penting cepat paham,” jelas Resta lagi.
“Oke, ada.”
Karena dua kata dari Endri barusan, Resta langsung berdiri dari kursi kebesarannya. Menghampiri Endri yang terlihat berpikir.
Kening Resta berkerut, menatap lurus pada Endir yang sedang duduk di sofa. “Ada? lo bahkan belum nyari-“
“Pokoknya ada, besok gue suruh dia temui lo, di sini, kan? Gimana?” Endri meyakinkan, tiba-tiba dia terpikir seseorang yang sedang membutuhkan pekerjaan.
“Boleh, kalau bisa hari ini, lebih bagus lagi-“
“Nggak bisa bro, gue kan harus bicara dan memastikan dulu, sama orangnya.”
Resta mengangguk, “Oke, gue tunggu besok-“
“Tapi, jangan terlalu berharap, kalau dia sudah nemu kerjaan di tempat lain, ya berarti-“
“Tawarkan dulu kerjaan di tempat gue, gue bayar lebih dari gajinya yang biasa,” sahut Resta cepat. Apapun itu akan dia lakukan, yang penting bisa bekerja dengan aman tanpa di usik oleh Nadine, tanpa harus Nadine melakukan video call padanya tiap satu jam sekali hanya untuk memantau apa yang sedang dia lakukan. Hal itu benar-benar memuakkan.
“Hahaha,” Endri tertawa lagi. “Sumpah ya, ini gara-gara cewek lo ribet banget!” ledek Endri.
“Asli, kalau nggak karena utang budi, dari dulu sudah gue putuskan.” tegas Resta dengan nada kesal. Ya memang benar, Resta terlanjur termakan utang budi dengan keluarga Nadine, terutama pada papanya yang kala itu membantu menghidupkan kembali perusahaan milik keluarga Resta yang sedang di ujung kehancuran.
“Intinya gue muak dengan sikapnya,” keluh Resta lagi. Bahkan, ketika Nadine pergi jauh darinya seperti ini, tak ada rasa rindu menggebu dan niat untuk menghubungi duluan. Hidupnya justru aman, tentram tanpa kehadiran Nadine.
“Toxic banget hubungan kalian.” Endri menyimpulkan, “Lama-lama nggak sehat, bukannya makin harmonis, justru sebaliknya,” lanjutnya.
“Benar banget, gue yakin, perasaan gue ke Nadine memudar,” sahut Resta.
“Nggak mau nyoba selingkuh?” Endri kembali tertawa lepas setelah melontarkan pertanyaan konyol itu.
“Sinting lo, enggak lah. Cowok akan hilang harga dirinya kalau sampai ngelakuin itu-“
“kita lihat nanti!” sangkal Endri. “Apakah ucapan lo bisa dipegang? gue yakin, lo cuma belum nemuin seseorang yang tepat aja. Karena terlalu takut dengan Nadine, jadi lo menutup mata seakan-akan perempuan di dunia ini hanya dia.” Endri terus mencoba mengobarkan amarah Resta, dari kejauhan dia menatap Resta yang tengah terdiam, entah sedang memikirkan apa.
***
Jangan lupa dukungannya kakak🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!