“Huh…, hanya segitu kemampuanmu Wisang? Keluarkan kekuatanmu yang selama ini kamu banggakan, saat ini kekuatan yang kamu miliki tidak lebih dari anak usia 5 tahun!” tampak seorang anak muda yang bernama Sentono mencemooh kekuatan Wisanggeni, saat mereka terlibat adu pertarungan. Adu kekuatan dengan bertarung memang sering dilakukan di Klan Birowo saat mereka berlatih bersama.
“Ha..ha..ha.., selalu kalah, dan kalah lagi si Wisang.” suara ejekan dan gemuruh seperti tawon muncul di area tersebut, yang dilontarkan oleh saudara-saudara sepadepokan.
“Kemana hilangnya kekuatan Wisanggeni, dan apakah itu tidak berarti memalukan Tuan Mahesa?”
“Iya, apakah anak muda itu sedikitpun tidak memiliki rasa malu terhadap kedua kakaknya. Kakaknya yang pertama Wijanarko sudah menjadi Ketua Klan di wilayah Barat.”
Wisanggeni hanya tersenyum saat saudara seperguruannya itu mencemooh, dia tidak terpancing emosinya. Dia hanya mengambil nafas dalam, saat rasa nyeri muncul di ulu hatinya. Sebelum kekuatannya hilang, dulu Sentono berada jauh dibawahnya jika mereka melakukan latihan adu kekuatan, tetapi saat ini baru saja tahap pemanasan, Wisanggeni sudah jatuh terkapar kena tendangan Sentono.
Seorang laki-laki paruh baya berjenggot, datang menghampiri Wisanggeni, dan membantunya untuk berdiri kembali. Kemudian laki-laki tua yang bernama Hapsoro itu mendudukkan Wisanggeni di dhingklik atau kursi kecil tanpa sandaran yang terbuat dari kayu.
“Yah, mau bagaimana lagi? Aku juga merasa sudah berusaha untuk berlatih, tetapi seperti ada yang menghambat dalam peredaran darahku. Energi yang akan aku keluarkan seperti mampat tidak mau keluar.” keluh Wisanggeni sambil tersenyum kecut pada Hapsoro, abdi dalem yang sudah mendampingi dan merawatnya sejak dia masih kecil.
“Sabar Den Bagus, mungkin pada saatnya, energi Aden akan keluar dengan sendirinya. Mungkin belum saatnya dikeluarkan oleh Yang Maha Punya.” dengan sabar dan pelan, Hapsoro menenangkan perasaan Wisanggeni.
“Iya paman, aku selalu berusaha untuk berprasangka baik dengan kekuatan yang dianugerahkan oleh Ilahi. Terkadang memang muncul sedikit rasa kecewa juga. Tetapi Wisang tetap akan terus berlatih paman, dan tidak boleh cepat putus asa.” Sedikit merasa tidak enak hati dengan respon dari pengasuhnya sejak kecil, Wisanggeni berusaha membesarkan hati Hapsoro.
“Paman pijat sekarang ya Den, agar persendian Aden saat bertarung tadi, dapat segera longgar. Nanti malam, Aden bisa istirahat dengan nyenyak.”
“Tidak perlu Paman Hapsoro, Wisang baik-baik saja kok. Wisang pergi dulu ya paman, mau jalan-jalan dulu mencari udara segar di pinggir sawah.”
“Oh iya, hati-hati di jalan ya Aden! Jangan pergi jauh-jauh, khawatirnya sore ini Ketua Klan bangun dari semedinya. Karena Paman hitung, sore ini sudah jatuh pada hari ketujuh.”
“Baik Paman, Wisang jalan dulu.”
Sambil berjalan, Wisanggeni teringat dengan kekuatannya di masa lalu. Untuk anak muda seusianya di Klan Birowo, dia memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Bahkan, dia selalu diminta oleh ayahnya untuk membantu melatih adik-adik dalam klannya. Tetapi, sudah hampir setahun dia kehilangan semuanya. Tiba-tiba kekuatannya seperti ada yang menghisap dan membawanya pergi.
Sesampainya di pinggir sawah, Wisanggeni turun ke pematang sambil merentangkan kedua tangannya ke
kanan dan ke kiri untuk mengambil udara segar. Dia memejamkan matanya, dan merasakan udara segar terasa masuk ke paru-parunya. Setelah menghirup udara segar tersebut, rasa gundah yang sempat mengganggunya seperti hilang terbawa hembusan nafas keluarnya.
“Kang Wisang.., tunggu Rengganis kang!” tiba-tiba Wisanggeni dikejutkan oleh teriakan perempuan. Dia menoleh ke belakang, dan melihat Rengganis mulai turun ke pematang sawah.
Wisanggeni tersenyum dan menunggu kedatangan gadis cantik itu.
“Akang mau kemana, kenapa jalan sendiri? Biasanya ajak-ajak Rengganis.” protes gadis itu.
“Akang lagi pingin sendiri Anis, mau cari udara segar. Anis mau ikut akang?”
“Mau kang, memangnya mau kemana?”
“Akang mau ke punthuk itu, disana udaranya segar sekali. Kita bisa duduk di atas dahan pohon trembesi yang tumbuh itu!” sahut Wisanggeni sambal menunjuk Punthuk yang ada di tengah sawah.
Rengganis melihat ke arah punthuk yang sangat rindang, kemudian gadis itu menganggukkan kepalanya. Wisanggeni dan Rengganis menyusuri pematang sawah dengan hati-hati menuju ke punthuk. Wisanggeni berjalan di belakang Rengganis, sambil sesekali melempar burung yang mengambil hasil panen petani di sawah.
******************
“Kang Wisang kecewa ya dengan hasil pertarungan tadi?” dengan hati-hati Rengganis menanyakan pada Wisanggeni sambal menatap wajah laki-laki muda di depannya.
Hanya Rengganis yang tidak menjauhi Wisanggeni karena hilangnya kekuatan, dia tetap berteman dan selalu berusaha mendekati pria itu. Sebenarnya Rengganis tidak memiliki darah dari Klan Birowo, tetapi orang tuanya menginginkan dia untuk menuntut ilmu di klan tersebut. Belajar ilmu kanuragan di klan tersebut, sebagai persiapan awal kekuatan Rengganis untuk dikembangkan lebih lanjut di klannya nanti.
“Kenapa Anis bertanya seperti itu sama Akang? Yah, kecewa ada sih sedikit. Tetapi ya mau gimana lagi.
Akhirnya harus bisa menerima, karena akang yakin jika semua sudah digariskan oleh Ilahi.”
Wisanggeni menjawab sambil tatapan matanya diarahkan ke depan. Dia tidak mampu menatap mata gadis di depannya itu. Seorang gadis cantik dengan sepasang mata yang indah dan jernih, yang selalu menjadi sasaran para pria di Klan Birowo.
“Mungkin Akang baru mendapatkan ujian, tetapi Anis yakin, suatu saat Akang menunjukkan kekuatan Akang yang hilang. Pada saatnya, orang-orang yang saat ini mengejek Akang, akan merasa malu telah menganggap rendah Akang selama ini.” kata Rengganis, sambil menyandarkan kepalanya di bahu Wisanggeni.
Wisanggeni menengok sebentar ke arah Rengganis, kemudian tersenyum dan kembali menatap hamparan sawah di depannya.
“Kamu tidak malu untuk berteman denganku Anis? Kamu berteman dengan anak muda yang tidak memiliki kekuatan apapun.”
“Untuk apa Anis harus malu kang? Waktu Anis lahir, sedikitpun tidak ada kekuatan yang Anis miliki. Anis merasa senang saja, jika selalu berada di dekat akang. Hanya Akang di Klan Birowo yang membuat Anis merasa betah. Anis merasa memiliki kakangmas yang baik, yang selalu menghibur dan mendampingi Anis.”
Mendengar perkataan gadis cantik itu, hati Wisanggeni merasa damai dan sejuk. Sesekali tangan Wisanggeni
menyingkirkan rambut panjang gadis itu yang terkena angin dan menutup wajah cantiknya. Awal kedekatan hubungan antara Wisanggeni dan Rengganis, terjadi saat Rengganis pertama kali ditinggalkan keluarganya di Klan Birowo. Setiap hari Wisanggeni yang menemaninya berlatih dan melakukan kegiatan apapun. Jika ada orang yang mengganggunya, mereka akan lari ketakutan karena datangnya Wisanggeni. Bahkan pada malam hari, Wisanggeni selalu berada di kamarnya, dan baru akan pergi jika Rengganis sudah tertidur. Rengganis tersenyum sendiri mengingat masa-masa kecil mereka.
“Kenapa tersenyum Anis? Apakah ada yang lucu atau menarik hatimu?” dengan lembut Wisanggeni bertanya pada gadis di bahunya itu.
“Tidak apa-apa Kang, kebetulan Anis lagi pingin tersenyum saja.” kata Rengganis dengan pipi memerah tersipu malu.
****************
Wisanggeni duduk bersila di atas ranjangnya, kedua tangannya dia letakkan di kedua lutut kanan dan kirinya. Dia mencoba mengambil nafas untuk mengolah rasa pernafasan dan meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi lagi-lagi belum sampai dia merasakan hembusan nafas yang membawa aliran tenaga dalam sampai ke puncak, tiba-tiba kekuatan itu langsung menghilang. Dia membuka matanya, tetapi hanya keheningan malam kosong yang bisa dia lihat.
“Aah.., sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku?” gumam Wisanggeni sambil memukulkan kepalan tangannya ke tembok.
Dia merasa lelah, setiap malam tanpa didampingi guru, dia selalu berusaha untuk mencoba berlatih sendiri mengembalikan kekuatannya, tetapi jika sudah terkumpul saat akan dilepaskan, kekuatan itu seperti terbang dengan sendirinya. Baru saja dia akan mulai lagi latihannya, tiba-tiba.
“Tok.., tok.., tok..,” terdengar suara ketukan pintu kamarnya.
"Masuk, pintu tidak terkunci.” Wisanggeni langsung pura-pura tidur rebahan.
Tetapi melihat siapa yang mendorong pintu dan masuk ke dalam, membuatnya sedikit gugup. Akhirnya dia bangun dan duduk dengan meletakkan kedua kakinya menggantung ke bawah ranjang. Dia melihat Rengganis datang membawa nampan berisi cangkir yang terbuat dari kaleng.
“Akang, kebetulan Anis membuat jahe serai gula merah. Ini satu cangkir untuk Akang ya, mumpung masih panas ayo diminum!”
“Aduh, terima kasih Anis. Kamu memang selalu memperhatikanku.” Wisanggeni mengambil cangkir yang diulurkan Rengganis, kemudian langsung menyesapnya.
Rengganis kemudian duduk di samping Wisanggeni.
“Manis, seperti yang membuatnya, dan pedas jahenya pas di badan, jadi hangat.” Puji Wisanggeni, kemudian meletakkan cangkir di atas meja.
Rengganis merona pipinya tersipu malu.
“Ini sudah malam, kenapa Anis masih repot membuat jahe? Apakah tidak merasa capai, seharian berlatih?”
“Tidak Kang, masak Anis tidur awal, padahal Akang saja masih sibuk latihan di dalam kamar sendirian.”
“Jadi kamu tahu, kalau malam hari Akang berlatih untuk mengembalikan kekuatan Akang?”
Rengganis tidak menjawab, tetapi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar Wisanggeni meraih bahu gadis
itu, kemudian mendekatkannya ke badannya, dan mencium pucuk kepala Rengganis. Gadis itu terdiam dan tampak kaget dan tersipu malu. Tetapi dia membiarkan perlakuan yang diberikan Wisanggeni, dan tampak seperti menikmatinya.
“Bagaimana Kang, apakah ada peningkatan di kekuatan akang?” tanya Rengganis memecah kesunyian, dan menyadarkan Wisanggeni yang langsung melepaskan pelukannya pada gadis itu.
“Belum Nis, Akang sedikitpun belum merasakan ada peningkatan kekuatan. Padahal setiap malam, Akang sudah mencoba untuk berlatih, tetapi memang kesabaran ini masih harus diuji.” jawab Wisanggeni sambil menghela nafas.
“Akang sabar saja. Anis yakin, suatu saat Akang akan berhasil meningkatkan kekuatan Akang kembali.”
“Iya Nis.” Sahut Wisanggeni singkat dan melamun,
“Sudah malam akang, Anis balik ke kamar dulu ya!” tiba-tiba Rengganis membuyarkan lamunannya.
Wisanggeni menahan tangan Rengganis yang sudah berdiri. Tiba-tiba anak muda itu mencium tangan Rengganis, baru kemudian melepaskannya.
“Terima kasih Anis.”
Rengganis menganggukkan kepala, kemudian membuka pintu. Wisanggeni mengantarkan gadis itu sampai di pintu masuk pendhopo untuk para gadis.
“Wow.., ternyata ada yang jadi Don Juan malam ini? Mungkin menurutnya kekuatan itu tidak penting, asalkan
punya keberanian mengantar seorang gadis malam-malam itu jauh lebih penting.” tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari atas pohon mangga yang berada di dekat pintu masuk.
Wisanggeni menoleh ke sumber suara, dan melihat Wisnuadji sedang duduk di atas dahan. Melihat Wisanggeni menatapnya, Wisnuadji langsung melompat turun dan berdiri di depannya.
“Ada apa melihatku, sudah memiliki keberanian untuk melawanku malam ini?” tanya Wisnuadji.
“Adji, apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu selalu berusaha memancing gara-gara denganku?” Wisanggeni balik bertanya.
“Ha.., ha.., ha.., kenapa? Kamu takut ya denganku?” Wisnuadji mendekat ke arah Wisanggeni dan memegang kerah bajunya.
Wisanggeni paham jika kekuatannya jauh berada dibawah laki-laki itu, maka dia diam tidak menjawab. Menghindari konflik dengan Wisnuadji sepertinya merupakan cara jitu untuk menghindarinya dari perkelahian.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku Wisang?”
Wisanggeni menggeser kepalanya ke samping, saat tangan Wisnuadji hendak memegang dagunya. Tetapi tiba-tiba laki-laki itu merasa kesakitan.
“Aduh, siapa yang melemparku?” teriak Wisnuadji sambil melepaskan tangannya dari dagu Wisanggeni, karena kesakitan dan memegang belakang kepalanya.
“Hai keluar, siapa kamu? Tunjukkan badanmu, jangan beraninya main sembunyi?” Wisnuadji mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tetapi dia tidak melihat siapapun disitu.
Saat tahu Wisnuadji lengah, Wisanggeni langsung berlari meninggalkan laki-laki itu, kemudian langsung masuk kembali ke kamarnya. Wisnuadji tidak mampu mengejar Wisanggeni, karena saat dia sadar, laki-laki itu sudah masuk ke dalam kamarnya. Akhirnya diapun mengikuti langkah Wisanggeni, Kembali ke kamarnya karena memang malam sudah semakin larut. Wisnuadji adalah saudara sepupu dari Wisanggeni, dia adalah putra dari adik perempuan Mahesa. Saat kekuatan Wisanggeni belum hilang, dia sangat takut padanya, tetapi saat tahu jika kekuatan Wisanggeni hilang, selalu ada saja masalah yang dia cari darinya.
********************************
Hapsoro tersenyum saat melihat Wisanggeni berhasil melarikan diri dari gangguan Wisnuadji. Dia tadi yang melempar kerikil ke kepala Wisnuadji, karena tidak mungkin dia terang-terangan menolong Wisanggeni dari gangguan anak laki-laki itu. Dia hanya bisa membantunya secara diam-diam.
Setelah memastikan anak asuhnya itu memasuki kamar, Hapsoro berjalan menuju ruang semedi Mahesa ayah
dari Wisanggeni. Malam ini adalah malam terakhir, Mahesa melakukan semedi selama tujuh hari. Sesampainya di depan pintu yang terbuat dari kayu berukir, Hapsoro mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk!” terdengar perintah dari dalam kamar, kemudian laki-laki tua itu mendorong pintu dan masuk ke dalamnya.
“Sudah selesai Tuan semedinya?” Hapsoro bertanya pada Mahesa, sambil menyiapkan air minum yang diambil dari kendi yang diletakkan di atas nakas.
“Sudah dari tadi.., bagaimana keadaan padepokan selama aku semedi?”
“Aman Tuan.., apakah Tuan akan makan malam ini? Jika iya, saya siapkan dulu Tuan.”
“Tidak perlu Hapsoro. Aku akan mandi dulu saja, agar segar badanku. Siapkan saja air dan pakaianku!”
“Baik Tuan.., saya akan mengisi air di jeding dulu.”
“Ya pergilah, aku akan meregangkan otot-ototku dulu.”
Hapsoro segera meninggalkan kembali Mahesa, dan segera pergi ke sumur untuk menimba air.
******************************
“Ada apa Ki Narendra, malam-malam Aki menemui Anis?”
“Mohon maaf Roro Ayu, Aki hanya mau minta ijin untuk meninggalkan wilayah ini untuk sementara waktu. Aki harus kembali menyampaikan barang yang diminta oleh ayahanda Roro Ayu?”
“Barang? Ayah kenapa meminta pada Aki, bukan kepada Anis putrinya sendiri?”
“Aki tidak bisa menyampaikan barang apa itu pada Roro Ayu. Selama Aki pergi, nanti ada Asoka yang akan mengawasi Roro Ayu. Sampaikan saja pesan padanya, jika Roro Ayu membutuhkan sesuatu!”
“Baik Ki, hati-hati di jalan. Dan sampaikan pesan Anis untuk ayah dan Ibu disana!”
Laki-laki tua yang dipanggil Narendra itu kemudian pamit undur diri, dan sekali lompat sudah hilang di kegelapan malam. Rengganis menengok ke sekitarnya, karena tidak melihat siapapun, akhirnya dia juga segera Kembali masuk ke dalam kamar.
****************************
Seperti biasanya, saat hari berganti menjadi pagi, Wisanggeni sudah melemaskan otot-ototnya di halaman belakang pendhopo. Keringat sudah mengalir keluar dari semua anggota tubuhnya. Setiap hari dia akan bangun saat fajar mulai mengintip. Setelah membersihkan kamarnya, dia akan mengolah raganya di halaman pendhopo tersebut.
“Ternyata badan kekar dan tegap tidak bisa menjamin kekuatannya juga sebanding.” terdengar suara perempuan mengejek di belakangnya.
Wisanggeni menoleh, tetapi dia mengabaikan perkataan perempuan dengan nama Gayatri itu. Seorang perempuan cantik yang selalu berpakaian sedikit terbuka, saat ini sedang melihatnya.
“Kamu sedang apa disitu Gayatri, apakah kamu tertarik dengan Wisang?” tanya perempuan lainnya sambil tertawa mengikik di belakangnya.
“Ah masak aku tertarik dengan laki-laki lemah yang tidak memiliki kekuatan Wulan? Ayo kita segera ke tempat latihan, daripada waktu kita habis hanya untuk melihatnya melakukan perbuatan bodoh!”
“Hi..hi..hi.., kiranya seleramu kali ini sudah berubah.”
Dua gadis itu kemudian meninggalkan Wisanggeni sendiri sambil tertawa cekikikan berdua. Di pertigaan kecil, mereka ketemu dengan Wisnuadji. Sambil berjalan, Wisnuadji meletakkan tangannya di pinggang Gayatri sampai di pendhopo. Gayatri yang memang suka mengagumi laki-laki yang memiliki kekuatan diam saja, malah menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu. Tetapi saat di depan tempat latihan, terlihat Rengganis yang berdiri seperti menunggu kedatangan seseorang, Wisnuadji segera melepaskan tangannya dari pinggang Gayatri. Gayatri sampai kehilangan keseimbangan, karena tanpa peringatan kepalanya yang dia sandarkan di bahu Wisnuadji langsung didorong ke samping.
“Kang Wisnu, kenapa Akang kasar padaku?” protes Gayatri.
Tetapi laki-laki itu dengan cepat meninggalkannya, dan menghampiri gadis yang berkulit putih bersih dengan mata tajam bersinar yang berdiri di depan pendhopo.
“Sedang menunggu siapa Anis? Apakah sedang menunggu kedatanganku?” sapa Wisnuadji pada Rengganis. Tetapi gadis itu hanya melihatnya, dia tidak menjawab sapaan dari laki-laki itu.
Wisnuadji tidak patah semangat, dia kemudian berdiri menjejeri Rengganis, tetapi gadis itu dengan sengit menatapnya, kemudian meninggalkan dia sendiri.
“Hi..hi..hi, rasakan Kang Wisnu. Tahu kan rasanya ditolak sama wanita?” ejek Gayatri dan Wulandari sambil cekikikan.
“Diam kalian semua!” seru Wisnuadji sambil mengacungkan jari pada kedua gadis itu. Mereka langsung berlari menemui Ki Pramono, guru yang melatih peningkatan kekuatan mereka hari ini.
“Sialan.” Teriak Wisnuadji sambal menendang batu kerikil dengan kaki kanannya. Kemudian dia masuk ke dalam pendhopo, kemudian duduk bersila untuk mengatur pernafasannya.
**************************
“Kang Wisang, kenapa berlatih disini? Ayo kita bergabung dengan yang lainnya di pendhopo?” teriak Rengganis menghampiri Wisanggeni.
Melihat kedatangan gadis cantik dengan senyum merekah itu, Wisanggeni menghentikan gerakannya.
“Sepertinya percuma aku berlatih di pendhopo Anis, paling aku hanya akan menjadi bahan olok-olokan disana.”
“Jangan patah semangat Akang! Nanti disana Akang bisa meniru gerakan yang diajarkan oleh Ki Pramono. Gerakan yang diajarkan beliau sangat bagus untuk menjadi dasar-dasar kekuatan kita ke depannya nanti. Tidak perlu menggunakan adu kekuatan besar. Seperti kalau di negeri China, dikenal dengan Gerakan Taichi.” tidak henti-hentinya Rengganis merayu Wisanggeni agar mau berlatih bersama dengan yang lain.
Akhirnya Wisanggeni menyetujui ajakan gadis itu, dan tanpa sadar Rengganis memeluk tubuh Wisanggeni karena laki-laki itu menyetujui ajakannya.
“Anis, lepaskan! Apakah kamu tidak malu memeluk laki-laki yang bahkan membunuh satu ekor burung saja tidak mampu?”
“Ah Akang, Anis jadi malu. Tapi Anis tidak peduli, ayo Kang!” dengan muka memerah, Rengganis melepaskan pelukannya pada tubuh Wisanggeni.
Kemudian mereka berdua berjalan beriringan ke pendhopo. Sesampainya disana, mata Wisnuadji melotot penuh dengan rasa amarah, melihat gadis yang baru saja meninggalkannya, dengan senyum manis berjalan dan datang bersama Wisanggeni. Kedua orang itu kemudian duduk di samping Wulandari, yang agak menjauh sedikit karena khawatir bersenggolan dengan Wisanggeni.
“Baik, semua sudah berkumpul. Sekarang semua duduk bersila, dan pejamkan mata. Resapi sampai 5 menit, kosongkan pikiran. Ayo dimulai dari sekarang!” terdengar tepuk tangan dan suara Ki Pramono agar semua murid mempersiapkan dasar latihan awal.
“Wisnu, ayo yang serius. Jika tidak, sampai satu jam kalian semua akan melakukan gerakan yang sama!” teriak Ki Pramono menegur Wisnuadji.
“Tapi apa manfaatnya hanya dengan duduk memejamkan mata Ki?”
“Kalian lakukan dulu, baru nanti aku beri penjelasan manfaat apa yang bisa diambil dari Gerakan dasar itu!”
Akhirnya Wisnuadji mengikuti gerakan tersebut seperti murid-murid lainnya. Ki Pramono tersenyum mencoba memahami latar belakang yang dibawa oleh masing-masing muridnya.
************************
"Asoka.., bantu Rengganis! Wisanggeni akan latih tanding Wisnuadji, Rengganis harap Asoka tahu apa yang harus dilakukan!" menggunakan telepati Rengganis memanggil Asoka. Ki Pramono melakukan latih tanding antara murid-muridnya, setelah dilakukan pengundian, Wisanggeni berpasangan dengan Wisnuadji, sedangkan Rengganis dengan Niluh.
"Baik Nimas..,"
Dengan langkah lesu Wisanggeni berjalan menuju halaman pendhopo, diikuti dengan Wisnuadji yang berjalan dengan pongahnya.
"Wisnu..., Wisnu.., Wisnu..." teriak dukungan untuk Wisnuadji memenuhi halaman pendhopo. Sedangkan Rengganis hanya mengiringi kepergian Wisanggeni ke tengah halaman dengan senyuman, matanya yang lentik melihat ke atas pohon besar yang tidak jauh dari situ.
Setelah saling memberi penghormatan, tidak mau membuang waktu Wisnuadji ingin mengakhiri pertarungan secepatnya. Dengan genggaman tangannya, dia mengarahkan sekuat tenaga ke arah putra Ketua Klan. Saat tinju hampir menyentuh rahang Wisanggeni, secepat kilat rahang itu bergeser ke kiri, dan tinju Wisnuadji hanya menghantam udara kosong. Berkali-kali tangan Wisnuadji mencoba memukul Wisanggeni dengan kekuatannya, tetapi tidak ada yang berhasil, dan membuat hatinya menjadi kesal.
"Ciaaaattt.." tendangan Wisnuadji kembali diarahkan ke arah Wisanggeni, tetapi dengan cepat tubuh Wisanggeni seperti ada angin yang menggerakkan dengan cepat menghindar, dan tangannya menangkap telapak kaki Wisnuadji kemudian memutarnya ke samping.
"Aakh..., hentikan Wisang!!! tiba-tiba terdengar pekik teriakan Wisnuadji yang merasa kesakitan, dan kakinya terasa terkilir. Wisanggeni melepaskan pegangannya pada kaki Wisnuadji, tetapi dengan cepat telapak tangannya menyambar dadanya. Secepat kilat, tubuh Wisnuadji mundur dan terjatuh di luar halaman.
Terdengar tepuk tangan Ki Pramono dan Rengganis, tetapi Wisanggeni hanya berdiri terpaku di tengah halaman. Dia merasa apa yang baru saja terjadi bukan kekuatannya, ada aliran tenaga dalam yang mengarahkan dan menggerakkan anggota badannya.
"Selamat Kang Wisang.., hari Akang sangat luar biasa, tidak sampai menunggu lima menit sudah bisa mengalahkan Wisnuadji." Rengganis memberi ucapan pada laki-laki itu. Wisanggeni tidak menjawab, dia malah menarik tangan Rengganis ke pinggir lapangan di bawah tatapan keheranan orang-orang disitu.
*********************
Berita tentang berhasilnya Wisanggeni melawan Wisnuadji dengan cepat tersebar ke seluruh padhepokan. Merasa jika itu bukan kekuatan dari dalam tubuhnya, laki-laki itu itu tidak menanggapi ucapan selamat yang diberikan padanya. Sore hari saat Wisanggeni baru membaca buku di kamarnya, tiba-tiba terdengar ketukan tiga kali di pintu.
“Tunggu sebentar!” kemudian dia membuka pintu kamarnya, dan melihat Hapsoro pengasuhnya dari kecil sedang berdiri di depan pintu.
“Ada apa Paman?”
“Den Wisang ditunggu keluarga untuk berkumpul di Pendhopo Utama! Ada tamu dari Perguruan Kilat Merah dan Klan Suroloyo dari daerah Timur yang datang berkunjung mendadak.” Hapsoro menyampaikan maksud kedatangannya pada Wisanggeni.
“Baik Paman, Wisang akan ganti pakaian dulu. Paman bisa tinggalkan Wisang sebentar, atau boleh juga menunggu. Tidak lama kok!” kata Wisanggeni sambal tersenyum.
“Paman tunggu saja Aden. Silakan Aden berganti pakaian!” Hapsoro kemudian duduk di depan kamar, dan Wisanggeni menutup pintu kamarnya untuk mempersiapkan diri.
Setelah berganti pakaian, Wisanggeni berjalan berdampingan dengan Hapsoro langsung menuju pendhopo.
“Ayah sudah bangun dari semedinya Paman?”
“Sudah dari tadi malam Den, apa Aden kangen sama Ketua Klan?”
“Kangen sih paman, tapi ya bagaimanapun Wisang harus menyadari posisi Ayah. Ayah harus berlaku adil pada semua anggota Klan, tidak boleh hanya mengutamakan putranya sendiri.”
“Iya juga ya Den. Tapi Paman bersyukur sekali, Ki Mahesa punya putra yang sangat berbakti dan baik perilakunya.”
“Ah, Paman terlalu membesarkan hati Wisang. Karena Wisang yakin, kalau ayah juga menanggung beban moral yang besar, karena memiliki putra yang tidak memiliki kekuatan seperti Wisang.” Kata Wisanggeni sambil tersenyum kecut.
“Jangan kecil hati Aden, karena paman yakin suatu saat kekuatan Aden akan pulih Kembali seperti semula.”
“Terima kasih Paman atas do.anya!”
Akhirnya mereka berdua sampai di tujuan, sebuah Pendhopo utama yang saat ini sudah penuh dengan semua
anggota keluarga inti dari Klan Birowo. Sedangkan di sisi selatan, duduk serombongan tamu dari Klan Suroloyo. Wisanggeni melirik ada 3 gadis cantik seumuran Rengganis, yang menatapnya dari jauh.
“Aden mau duduk dimana, biar paman carikan tempat duduk!”
“Wisang cari sendiri saja Paman, silakan tetap disini kalau paman ingin tahu maksud pertemuan ini.”
“Tidak Den, Paman mau mengerjakan yang lain saja. Permisi Den.”
Saat Wisanggeni akan duduk di samping Niluh, gadis itu dengan sengit menatapnya. Seakan dia khawatir akan kehilangan kekuatan jika duduk di samping Wisanggeni.
“Kenapa tidak duduk di dekat sini saja Akang?” terdengar suara merdu Rengganis menawari Wisanggeni duduk.
***********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!