Ben memandangi pantulan wajahnya didepan cermin, lalu menghela nafas beratnya, pandangannya menyapu seluruh ruangan yang sudah ia tempati selama hampir 12 tahun ini, sebuah apartemen yang diberikan oleh Rama Adiwangsa sang ayah, saat Ben memutuskan untuk tinggal di Bandung dari kelas X SMA.
Hari ini merupakan jadwal ia berkunjung ke Jakarta, dimana orang tua serta saudaranya berada disana.
**********
Siang itu Ben berangkat mengemudikan mobilnya dengan sedikit kencang, karena rencananya sebelum ia menemui kedua orang tuanya ia ingin mampir terlebih dulu kerumah Algar, Raka, dan Arsen sahabatnya, sebelum waktu sore tiba.
Drrtt.. drrtt..
Ponsel Ben yang ia simpan didalam saku kemejanya terus bergetar, membuat ia mau tak mau mengambil ponselnya.
Ben berdecak, saat mencari-cari handsfree nya yang ternyata tak ada disana.
"Hallo ma!"
Prakkk..
"Sial!" umpat Ben, saat ponselnya terjatuh begitu saja mengenai kakinya, sebelah tangan Ben mulai mencari-cari keberadaan ponselnya, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk memegang kemudi.
"Arghhh!" Ben tersentak, saat menyadari kendaraan beroda empat nya mulai tak terkendali, dan..
Brakkkk..!!
Seseorang yang baru saja keluar dari gerbang pabrik terpental jauh tertabrak oleh mobil Ben, semua karyawan pabrik yang hendak berisitirahatpun berteriak histeris, terlebih karena kebanyakan dari karyawan pabrik tersebut adalah seorang perempuan.
Puluhan orang berhamburan, berkerumun mengelilingi gadis malang yang kini seluruh tubuhnya dipenuhi dengan darah, bahkan tidak sedikit beberapa pengendara yang melintasi jalan tersebut berhenti, untuk melihat korban kecelakaan tersebut.
Didalam mobil Ben menggelengkan kepala dengan tubuh gemetar, ia merutuki dirinya yang telah teledor saat berkendara, hingga suara ketukan dikaca mobilnya, membuat lamunan Ben buyar seketika.
"Keluar!" teriak seseorang yang terdengar sangat emosi dan tidak sabaran.
Sebelum membuka pintu mobilnya, Ben menghela nafas beberapa kali, untuk menyembunyikan perasaan gugup serta rasa keterkejutan nya, berusaha terlihat tenang didepan orang-orang yang sudah pasti akan menghakiminya habis-habisan.
"Bajingan!" seseorang menarik kerah kemeja Ben dengan kasar, lalu mendorongnya hingga hampir terjungkal kebelakang.
Beberapa karyawan laki-laki pun berusaha menenangkannya, dan menyuruh beberapa orang untuk mengangkat tubuh gadis malang itu kedalam mobil Ben.
Sengatan dari teriknya matahari siang itu menimpa wajah tampan Ben yang dipenuhi rasa bersalah, bahkan ia berulang kali mengucapkan kata maaf, pada semua orang yang bearada disana, terutama pada gadis yang masih tergeletak tak berdaya itu, meski pada kenyataannya gadis itu tak dapat mendengar ucapannya.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Putri, gue tuntut lo!" ujar laki-laki tadi masih dengan emosi yang Meluap-luap, namun Ben tidak terganggu sama sekali dengan ucapan laki-laki dihadapannya, yang menjadi fokusnya saat ini adalah nama seseorang yang baru saja disebutkan oleh laki-laki itu.
***************
Sesampainya di Rumah sakit, Ben pun segera keluar dan membuka pintu mobil bagian belakangnya, dimana ada Putri dan juga Tiara sahabatnya, yang sudah meminta izin pada Rangga, selaku manager ditempat mereka bekerja untuk menemani Putri dirumah sakit, sebelum kedua orang tuanya datang.
"Dokter suster, tolong!" Teriak Ben memanggil beberapa petugas Medis, sembari menggendong gadis itu dengan kekuatannya yang tersisa.
Dengan sigap para petugas medis pun mendorong brangkar kearahnya, lalu menyuruh Ben meletakkan gadis itu diatasnya.
Hampir 2 jam Ben mondar-mandir didepan ruang IGD, menunggu Dokter selesai menangani gadis yang ditabraknya itu, bahkan ia lupa menghubungi sang mama tentang keadaannya kini.
"Dimana, bagaimana keadaan anak saya?" seorang wanita paruh baya berlari kecil mendekat kearah Ben, bersama seorang laki-laki yang hampir seumuran dengan wanita tersebut.
"S-saya, maksudnya kami adalah kedua orang tua Putri, korban kecelakaan didepan pabrik tadi siang,"
"Saya diberi tahu manager tempat dia bekerja!" ujarnya sambil terisak.
"Oh, eh eummz Putri, saya belum tahu keadaannya, karena sejak tadi Dokter yang sedang memeriksanya belum juga keluar!" balas Ben, yang kemudian memimpin langkah keduanya untuk duduk di kursi tunggu.
"Saya mohon maaf atas kejadian yang disebabkan saya ini, mohon maaf sekali, karena atas keteledoran saya yang tanpa sengaja melukai Putri ibu dan bapak!" ujar Ben penuh penyesalan.
Sementara itu, kedua orang dihadapannya hanya terdiam, lalu duduk di kursi tunggu, tanpa berbicara sepatah katapun.
bersamaan dengan pintu ruang IGD yang kemudian terbuka, menampilkan sosok seorang Dokter muda yang diikuti oleh beberapa perawat dibelakangnya, lalu Ben pun segera menghampirinya.
"Bagaimana kondisi gadis itu Dok, apa baik-baik saja?" ujar Ben dengan raut wajah yang kembali terlihat panik.
"Betul Dokter, bagaimana dengan keadaan putri kami, apakah baik-baik saja?" ujar wanita tadi, yang kini sudah berdiri dibelakang Ben.
"Anda orang tua pasien?" tanya Dokter, yang kemudian memberi isyarat agar segera mengikutinya.
"Bagaimana keadaan Putri bu, apa yang Dokter katakan?" tanya Ben ingin tahu, saat wanita paruh baya itu telah kembali, dan hendak duduk disamping suaminya.
"Ini semua gara-gara kamu!" ujarnya sangat marah.
"Kamu tahu barusan Dokter bilang apa, kedua kaki anak saya mengalami kelumpuhan."
"Dan sekarang, keadaan dia masih keritis!"
Deg!
Tidak hanya Ben yang syok, Arfan selaku ayah Putri pun langsung terduduk lemas, dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Sedangkan Ben, mulutnya mendadak seperti terkunci, ia tak mampu berbicara apa-apa lagi, selain menyesali perbuatannya.
Hari pun mulai berganti malam, namun Ben masih setia duduk disana, bersama dengan kedua orang tua Putri, sedangkan Tiara ia sudah pulang sejak siang tadi.
Setelah ponselnya kembali bergetar untuk yang kesekian kalinya, akhirnya kini Ben memutuskan untuk menerima telpon dari mamanya itu.
"H-halo ma," ucap Ben dengan suara bergetar.
"Kamu dimana sih nak, mama tungguin dari tadi kok nggak nyampe-nyampe, kamu pasti mampir dulu kerumah temen kamu kan?"
"Nggak ma, Ben lagi kena masalah."
"Masalah apa, bilang kemama?"
"Ben nggak sengaja menabrak seorang perempuan, dan ini Ben lagi dirumah sakit."
"Yaampun Ben, yaudah segera kirim alamat Rumah sakitnya ke mama, mama akan segera kesana sekarang!" balas sang mama yang terdengar panik.
tut.. tut*..
Ben menatap layar ponselnya, dengan tatapan sedih, ada rasa penyesalan dalam dirinya karena telah menciptakan kepanikan pada sang mama, seharusnya tadi ia bisa sedikit beralasan, tentang ia yang terlambat pulang.
Seharusnya ia tidak melibatkan sang mama dengan masalahnya.
"Bagaimana keadaan gadis itu nak, apa dia baik-baik saja?" ujar sang mama panik, ketika baru saja sampai, tidak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk sampai disana, karena jarak Rumah sakit tersebut sudah dekat dengan rumahnya.
"D-dia kritis ma, dan_"
"Dan apa?!"
"Kemungkinan besar dia mengalami lumpuh dikedua kakinya!" ucap Ben lirih, yang sontak membuat sang mama menutup mulutnya.
.
.
Selama satu minggu Putri mengalami koma, selama itu juga Ben sering bolak-balik ke Rumah sakit tersebut, bahkan terkadang ia menginap untuk menemani Putri, menggantikan kedua orang tua gadis itu ketika ia merasa kelelahan setelah seharian menjaganya.
"Gimana keadaan gadis itu Ben, papa belum bisa pulang karena masih banyak tugas diluar kota." ujar sang mama saat sore ini kembali menemani Ben di Rumah sakit.
"Yaudah ma nggak Apa-apa, lagi pula ini nggak ada urusan nya sama papa, biar Ben tangani sendiri aja."
"Terus gimana kerjaan kamu di Bandung, beres?!"
"Udah ditangani Rocky ma." balas Ben, yang kemudian duduk dikursi tunggu, sembari memijit dahinya yang terasa berdenyut.
"Pasien yang bernama Putri sudah sadar, dan sudah kami pindahkan ke ruang rawat inap!" ujar suster yang kini tengah menghampirinya, membuat Ben beranjak seketika.
"S-sudah sadar dok?" tanyanya, yang kemudian saling pandang dengan sang mama, kini ada sedikit kelegaan dalam hati Ben, karena setelah satu minggu koma akhirnya gadis itu pun kembali sadar.
Kemudian Suster tersebut mengajak keduanya untuk melihat keadaan Putri.
"Silahkan!" ujar sang suster ramah, sembari membuka ruangan dimana Putri berada, kemudian kembali dengan pekerjaan nya.
Untuk beberapa detik mata keduanya saling bertemu, menatap satu sama lain, hingga beberapa saat kemudian Ben pun kembali tersadar.
"B-bagaimana kabarmu, kau sudah lebih baik?!"
Putri tak menjawab, namun gerakan mengangguk kecil yang dilakukan Putri membuat Ben yakin, bahwa hal itu adalah sebuah jawaban, gadis itu merasakan Baik-baik saja, walau pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar.
"Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"
"Siapa?"
Ben menggerenyit, "Oh iya perkenalkan saya Ben, maafkan saya karena saya sudah membuat kamu jadi seperti ini." ujarnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.
Ben memperhatikan gadis itu yang terlihat sangat tenang dan Baik-baik saja, apa mungkin dia belum mengetahui tentang kelumpuhannya batin Ben.
"Hallo sayang, perkenalkan saya Maura, mamanya Ben!" ujar Maura dengan tangan yang terulur mengusap Lembut kepala Putri yang dikelilingi perban.
"S-saya Putri tante." balasnya lirih, dan sesekali pandangannya mengarah pada Ben, yang juga tengah menatapnya.
"Umur Putri berapa tahun nak, Ben bilang saat Ben menabrak Putri, Putri keluar dari sebuah pabrik saat jam istirahat."
"18 tahun tante, saya memang sudah 6 bulanan bekerja disana!"
"Berarti nggak kuliah dong, sayang?"
"Nggak tante."
"Lho kenapa, sayang banget." ucapnya, namun putri hanya menjawab dengan senyum manisnya.
"Nak?!" Maura menggenggam sebelah tangan Putri, rasanya ia sangat tidak tega untuk menyampaikan hal buruk itu pada gadis kecil yang berada dihadapannya kini.
"Kenapa tante?" tanyanya, saat Maura hanya diam memandangi nya dengan tatapan sedih.
"Maafkan tante sayang, maafkan anak tante, karena dia Putri jadi seperti ini." lanjutnya, dengan air mata yang sudah menganak sungai.
"Soal kaki Putri?"
"Hah?" tangis Maura pun sontak terhenti, kemudian beralih menatapnya bingung.
"Soal kaki saya yang lumpuh ini, saya yakin suatu hari pasti ada keajaiban kok tante." balasnya yang terlihat tenang dan santai, sangat berbeda dengan dirinya yang kini dipenuhi rasa bersalah, serta begitu sedih melihat kondisi gadis dihadapannya saat ini.
"Kamu udah tahu nak, tahu dari mana?"
"Dari suster yang merawat saya tante, karena saya sempat bertanya perihal kedua kaki saya yang memang tidak bisa digerakkan sama sekali."
"Lalu bagaimana perasaanmu saat ini nak?"
"Saya bersyukur karena ternyata saya masih bisa diberikan kesempatan untuk hidup."
Kembali cairan bening membasahi pipi Maura, dan repleks memeluk Putri dengan linangan air mata.
"Tante janji sayang, tante dan Ben akan berusaha agar kamu bisa sembuh seperti sebelumnya ya!"
"Terimakasih banyak tante."
"Kamu sangat cantik, cantik sekali nak, dan tante yakin bukan hanya wajahmu yang cantik, tetapi hatimu juga!" lanjut Maura setelah memandang lekat wajah Putri yang menurutnya memang sangat cantik.
Kemudian Maura menatap Ben, memberi isyarat agar laki-laki itu mendekat kearahnya.
"Tolong kamu jaga Putri, jangan kemana-mana mama ada urusan sebentar diluar."
"Sayang, baik-baik ya disini, tante ada keperluan sebentar, kalau perlu apa-apa minta tolong Ben aja ya!" ujarnya yang langsung bergegas keluar dari ruang rawat tersebut.
*************
"Gimana keadaan gadis itu Ma?" ujar Rama, sembari mengendurkan dasi yang melingkar kuat di lehernya.
"Itu dia pa, makanya mama pengen ngobrol berdua sama papa, ada hal penting yang ingin mama bicarakan, dan ini soal Ben dan gadis itu."
"Papa juga bisa banget sih ngerjain mama, katanya nggak jadi pulang, eh tahu-tahu udah di rumah aja." lanjut Maura dengan raut wajah masam.
"Yaudah, sebelum mama memulai bicara tolong ambilin papa minum dulu gih haus ma, papa baru nyampe dari luar kota lho ini, kalau mama lupa!"
"Ck, iya papa."
5 menit kemudian, Maura kembali dengan membawa segelas besar air teh tubruk favorit suaminya.
"Udah siap kan dengerin cerita mama?"
"Belum lah, orang papa belum minum tehnya."
"Yaudah gih cepetan diminum dulu."
"Ck, mama nggak lihat teh nya masih panas begini?" tunjuknya, pada segelas tehnya yang masih mengepulkan uap panas.
"Ah si papa kelamaan!" balas Maura gemas, pasalnya ia ingin segera mengutarakan beberapa hal yang memenuhi isi kepala dan hatinya.
"Eh papa kapan pulang?" ujar Seseorang yang kemudian melemparkan tubuhnya diatas sofa, dengan wajah tanpa dosanya.
"Kebiasaan kalau dateng tuh main duduk aja, salam dulu kek, salim kek!" gerutu Maura pada Darrel putra bungsunya itu.
"Eh iya lupa ma." ujarnya membuat Maura mendengus.
"Ngomong-ngomong kak Ben nggak balik lagi ke Bandung ma?" tanya Darrel, yang mengetahui kakaknya itu sudah hampir seminggu berada di Jakarta.
"Masalah kak Ben disini belum selesai Darr,"
"Emang cewek yang di tabrak kak Ben itu segimana parahnya sih ma, perasaan lama banget di rumah sakitnya." lanjut Darrel menebak-nebak apa yang didengarnya sekilas, mengenai kakaknya yang telah menabrak seseorang.
"Menurut kamu seseorang yang tertabrak sampai lumpuh itu parah nggak?"
"Ya parahlah, eh parah, berarti parah banget ya ma?"
"Iya Darr, makanya kak Ben sekarang lagi kebingungan, tapi ada bagusnya juga, ini rekor nggak sih dia berada di Jakarta lebih dari seminggu."
"Iya juga sih!" balas Darrel sekenanya.
Sementara di Rumah sakit, didalam sebuah ruang rawat, Ben tampak kebingungan harus berkata apa, pasalnya ia bukanlah tipe laki-laki yang suka berteman dengan perempuan, kecuali mamanya, terlebih ia memiliki masa lalu kelam dengan mantan kekasihnya, dan sejak saat itu Ben tidak mau lagi dekat dengan sembarang perempuan.
.
.
"Nggak ma!"
Ben terlihat begitu murka dan tak terima saat mamanya meminta laki-laki itu untuk menikahi Putri, gadis muda yang telah ditabraknya tepat dua minggu yang lalu.
"Ben, please mama mohon, nikahi Putri nak!"
"Ma, tolong dong jangan main-main, ini tuh hal serius ma, ini bukan lagi soal keinginan mama yang selalu meminta Ben untuk tinggal di Jakarta, ini nggak mungkin ma, apa kata orang, apa kata teman-teman Ben, kalau tahu ternyata Ben menikahi gadis berkursi roda." Balas Ben dengan tatapan mengiba.
"Cukup Ben!" Maura beteriak keras di depan putra keduanya itu.
"Dengan keadaan Putri yang sekarang, kamu pikir itu kemauan dia, kamu lupa keadaan nya jadi seperti itu gara-gara siapa, apa perlu mama ingetin lagi Ben, kalau kamulah penyebabnya, kamu penyebab gadis itu kehilangan masa depannya!"
"Dan ingat Ben, umur kamu sekarang! seharusnya kamu itu sudah memiliki istri dan anak, sampai kapan kamu akan hidup sendiri terus Ben, kamu butuh seseorang untuk mendampingi kamu."
"Tapi nggak harus sama perempuan itu juga kan ma!"
"Pokoknya mama nggak mau tahu, ikuti kemauan mama, atau jangan pernah lagi anggap mama ini sebagai mama kamu!"
"Ma, dari awal mama tahu kan, kalau Ben sudah berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya sama gadis itu, tapi satu hal yang mama harus tahu, Ben tidak akan menikahi gadis itu ma,"
"Dengar mama Ben, apakah sebelum nya mama pernah meminta sesuatu hal dari kamu?"
Ben menggeleng..
"Jadi boleh kan, mama meminta satu aja permintaan dari kamu, dan hanya kali ini aja mama meminta!" lanjut Maura dengan kedua tangan yang dikatupkan, terlihat begitu memohon padanya.
Ben memang laki-laki yang egois, berwatak keras, dan tidak mudah peduli, namun saat melihat sorot mata sendu penuh permohon dari seorang wanita yang berstatus ibunya itu, hati Ben mendadak lemah, dan tak berdaya.
Terlebih saat dia mengingat seberapa besar pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, dan setelah ia mengingat-ingat beberapa waktu kebelakang, hingga umurnya kini menginjak 29 tahun, belum sekalipun ia memberikan sesuatu hal yang membuat mamanya itu tersenyum, kecuali saat ia mendapat kan rangking sewaktu sekolah dulu.
"Mama seneng kalau seandainya Ben menikah dengan gadis itu?" ujar Ben kemudian.
"M-maksud kamu?" Maura tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, namun sorot matanya menunjukkan binar kebahagiaan.
"Mau,?" lanjut Maura dengan sedikit tidak sabaran.
************
"Seharusnya kamu nggak perlu berbicara begitu dengan bu Maura Yan, lagi pula apa salahnya sih jika kita yang merawat Riri sampai dia sembuh!" ujar Arfan pada Yani yang berstatus istrinya itu.
"Ck, kamu pikir dengan semua keterbatasan yang kita miliki, akan cukup untuk mengobati dia mas, nggak akan!"
"Dan jangan lupakan satu hal, anakku Evelyn dan Rena, bukan Putri." balas Yani yang cukup membuat Arfan terhenyak.
"Kita itu sudah cukup susah, dan aku nggak mau jika beban kita semakin bertambah karena anak kamu yang tidak berguna itu." lanjut Yani dengan suara lantangnya.
"Yan, kenapa? kenapa kamu harus bahas ini lagi, bukankah kamu menyayangi Riri sama seperti kamu menyayangi Evelyn dan juga Rena, bukankah kamu juga telah berjanji tidak akan mengatakan bahwa kamu bukanlah ibu kandungnya Yan?"
"Itu dulu, tapi tidak untuk sekarang!"
"Yan, ini nggak adil buat Riri."
"Terserah kamu mau mengatakan apapun, aku sungguh tidak peduli, yang pasti aku tidak sudi merawat anak kamu yang cacat itu lagi mas, jadi sebaiknya kamu segera hubungi keluarga bu Maura, katakan pada putranya, agar bertanggung jawab untuk menikahi Putri, kalau tidak kita akan laporkan mereka ke polisi."
"Yan?"
"Sudahlah mas, bukankah aku sangat baik, seharusnya kamu bersyukur dengan ide yang aku kasih ini, kamu ingat bukan, yang Dokter katakan bahwa Putri kemungkinan mengalami kelumpuhan permanen."
Sementara itu, Putri yang hendak memberi tahu sang ayah bahwa obatnya telah habis pun ia urungkan, dengan pelan ia memutar kursi roda untuk kembali kedalam kamarnya dengan perasaan sedih.
Putri membuka dan menutup kembali pintu kamarnya dengan pelan, kemudian ia memutar kembali kursi rodanya kearah jendela kaca kamarnya, lalu menumpahkan tangisnya disana, rasanya ia tak percaya dengan apa yang ia dengar di dalam kamar ayahnya tadi.
Setelah kepulangan nya dari rumah sakit 3 hari yang lalu, sikap Yani memang sangat berbeda dari biasanya, wanita yang dianggap ibu kandungnya itu, selama ini memang selalu membedakan hal apapun dengan Adik-adiknya, namun Putri tak keberatan, dan selalu menganggap bahwa karena dirinya memang harus mengalah untuk kedua adiknya itu.
Namun hari ini, ia mendapat kejutan tak terduga, bahwa ternyata dirinya memanglah bukan anak kandung Yani, yang menurut Putri adalah wanita hebat kebanggaan nya.
Putri terus memegangi dadanya yang terasa sesak dan ngilu, tak pernah menyangka bahwa ia akan mengalami hidup sepahit ini, dan untuk pertama kalinya ia marah dengan keadaan nya saat ini.
Padahal sebelumnya ia sama sekali tak merasa tertekan dengan keadaan dirinya, saat di nyatakan cacat oleh pihak rumah sakit.
"Apa mungkin laki-laki sedewasa dan setampan kak Ben mau menikahi ku, terlebih aku adalah gadis cacat, rasanya sangat tidak mungkin." batinnya semakin pilu.
Putri mengusap kasar air matanya, bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka, menampilkan sosok Arfan sang ayah dengan raut wajah yang tak kalah sedihnya.
"Sayang, kok mukanya sedih gitu?" ujar sang ayah setelah memperhatikan wajah murung putri pertamanya itu.
"Ayah boleh Riri bertanya?"
"Silahkan sayang, tentu saja boleh!"
"Apa benar yang dikatakan Dokter, bahwa Riri akan mengalami lumpuh permanen yah?" tanya Putri, dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak sayang, itu tidak benar, Riri pasti sembuh nak, ayah yakin!" Arfan pun memeluk Putri berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan untuk anak gadisnya itu, meski sebenarnya ia pun merasakan kesedihan yang begitu mendalam.
"Apa ayah menyesal mempunyai anak seperti Riri yah,?" ujar Putri setelah melepaskan pelukan dari ayahnya.
"Kamu ini bicara apa sih nak, mana ada begitu, apapun yang terjadi kamu itu tetap menjadi Riri anak kebanggaan ayah!"
"Benarkah?" Lagi-lagi cairan bening itu keluar dari kedua bola matanya.
"Maafkan Riri, karena tidak bisa jadi anak yang berbakti, dan berguna untuk keluarga."
"Sudah ya jangan berbicara seperti itu lagi, ayah tidak suka!" balas sang ayah.
"Seandainya hari itu Riri lebih berhati-hati, seandainya saat itu Riri tidak keluar, seandainya_"
"Cukup sayang cukup, itu semua sudah takdir nak, nggak boleh seperti itu ya!"
"Tapi yah?"
"Sudah sudah, ayo Ayah bantu untuk berbaring, ini sudah waktunya kamu beristirahat nak!" ujar sang Ayah yang kemudian membantu Riri untuk berbaring diatas tempat tidurnya.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!