...What did I do wrong? I'm only fall in love. Why are you treating me so bad? —Ellena Clark...
...—–—...
Jam istirahat sudah nyaris habis. Namun, Elle masih berdiri di depan pintu lokernya yang terbuka. Menatap kotak berwarna merah muda dengan pita merah di atasnya. Ia mengigit bibir bawahnya resah.
Elle hendak memberikan hadiah itu kepada Bren Hudson. Cowok yang ia taksir sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Elle hendak menyatakan perasaannya kepada Bren di hari valentine ini.
Bren begitu populer, dan Elle tidak berharap Bren membalas perasaannya. Ia hanya ingin membuat perasaannya lega. Itu saja.
Awalnya Elle mau meletakkan saja hadiah berisi coklat tersebut di loker Bren dan menyelipkan sepucuk surat yang menyiratkan perasaannya kepada Bren. Akan tetapi, karena Bren begitu populer, saat hari valentine seperti ini lokernya sudah pasti terisi penuh dengan hadiah-hadiah dari para gadis di sekolah.
Hadiah dari Elle pasti tidak akan terlihat dan akhirnya akan terbuang jika Elle meletakkannya bersamaan dengan hadiah dari para gadis lainnya.
“Ellena Clark!” Sebuah tangan menyentuh pundak Elle. Elle berjengit kaget. Ia memutar tubuhnya dan segera menutup pintu lokernya dengan buru-buru.
“Jackson! Kau mengejutkanku!” seru Elle kepada cowok yang sekarang sudah berdiri di hadapannya.
Jackson mengangkat satu alisnya. “Aku memanggilmu sejak tadi. Apa yang kau lamunkan di depan loker hingga tidak mendengar panggilanku?”
Elle meringis canggung karena merasa bersalah. “Maaf.”
Jackson Rivera adalah satu-satunya teman yang Elle miliki. Cowok itu sangat ramah kepada semua orang. Jadi, Elle tidak merasa heran saat Jackson mau berteman dengannya.
Jackson mengibaskan tangannya di depan wajah. “Sudahlah.”
“Kenapa mencariku?”
Jakson mengedikkan kedua bahunya. “Tidak ada. Hanya saja sebentar lagi jam istirahat akan habis. Karena kita secara kebetulan berada di kelas yang sama, aku hanya ingin mengajakmu pergi ke kelas bersama.”
“Jam istirahat sudah mau habis?” tanya Elle panik sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Bersamaan dengan itu, bel masuk kelas berbunyi.
Elle mengembuskan napasnya pelan. Kedua bahunya merosot. Rencananya tentang memberi hadiah untuk Bren Hudson secara langsung, terpaksa gagal karena bel sudah berbunyi.
“Kau tampak lesu,” komentar Jackson saat mereka berdua sudah berada di dalam kelas. Seprti biasa Elle mengambil tempat duduk paling belakang di pojok dekat jendela.
“Kau baik-baik saja?”
Sembari menatap kosong keluar kelas melalui jendela bening di sampingnya. Elle menompang wajah dengan kedua tangannya. “Aku baik-baik saja,” gumamnya pelan.
Elle berjalan sambil menunduk. Menatap ke arah kedua kakinya yang melangkah bergantian. Hingga suara cowok yang tidak asing di telinganya membuat Elle mengangkat pandangannya. Ia melihat Bren berada tak jauh darinya yang baru saja hendak masuk ke dalam mobil.
“Bren Hudson! Tunggu!”
Entah mendapatkan keberanian dari mana, Elle berteriak memanggil nama Bren. Hal itu membuat Bren yang baru saja hendak masuk ke dalam mobil, mengurungkan niatnya. Ia menatap ke arah Elle penuh tanya.
Elle berlari-lari kecil medekat ke arah Bren. Setelah sampai di hadapan Bren, Elle segera membuka tasnya dan memberikan kotak hadiah yang sejak tadi gagal ia berikan kepada Bren di jam istirahat.
Elle tidak berani menatap ke arah Bren. Jadi ia menunduk untuk menghindari tatapan Bren. Kedua tangannya yang terulur lurus ke arah Bren, ia tarik setelah merasakan Bren menerima kotak hadiahnya. Elle merasakan debar jantungnya meningkat.
Apa Bren sudah membuka kotak hadiahnya? Apa Bren sudah membaca surat cintanya? Elle tidak tahu, dan terlalu takut untuk mencari tahu.
Suara pintu mobil dibuka membuat Elle mengangkat wajahnya. Teman-teman Bren sudah berdiri di sekitar Bren. Ada Sara, Tyler dan beberapa cowok lain yang Elle tidak tahu namanya.
Bren membuka kotak pemberiannya dan tertawa. Entah apa yang ia tertawakan. Teman-temannya pun ikut tertawa saat Bren memperlihatkan isi kotak hadiah Elle. Elle rasanya ingin menghilang saja. Sara dengan lancang mengambil surat yang Elle selipkan di dalam kotak hadiahnya.
“Surat cinta, huh?” tanya Sara kepada Elle.
“Satu hal yang harus kau tahu, aku mencintaimu,” Sara membaca akhir surat Elle dengan lantang. Semua orang tertawa.
Elle sangat malu. Benar-benar malu. Rasanya ia ingin berlari pulang ke rumah dan bersembunyi di balik selimut. Namun, kakinya membeku. Wajahnya sudah memerah. Hingga Elle merasa bahwa warna merah di wajahnya lebih terang daripada warna rambutnya.
Elle berusaha merebut kertas di tangan Sara. Namun, Sara mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat Elle yang lebih pendek dari pada Sara kesulitan merebut kertas tersebut. Semua orang tertawa seolah-olah Elle adalah lelucon paling konyol.
Saat surat di tangan Sara sudah hampir berhasil Elle rebut, Sara menendang tulang kering kaki Elle dengan sangat keras menggunakan ujung sepatunya, hingga membuat Elle jatuh bersimpuh di atas rumput. Tawa semua orang semakin nyaring terdengar.
Elle nyaris saja menangis. Tapi, berusaha menahan air matanya agar rasa malunya tidak semakin bertambah.
Baru saja hendak bangkit berdiri dan pergi, mata Elle menangkap coklat-coklat buatannya berjatuhan di atas rumput di hadapannya. Elle mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah Bren yang menatapnya datar.
Bren menjatuhkan kotak hadiah pemberian Elle yang sudah kosong untuk bergabung bersama coklat-coklat yang sudah berhamburan di atas rumput.
Bren melangkahan kakinya mendekat ke arah Elle yang masih terduduk di atas rumput. Kakinya menginjak coklat-coklat pemberian Elle. Ia lalu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan Elle. Satu tangannya terulur untuk mengangkat dagu Elle agar Elle menatapnya. Tanpa Elle sadari, ternyata murid-murid lain sudah ramai berdiri di sekitarnya untuk menyaksikan pertunjukkan antara dirinya dan Bren.
“Aku tidak menyukaimu sama sekali. Bahkan tahu namamu saja tidak. Jadi, kuharap aku tidak akan pernah lagi mendapatkan surat cinta atau pernyataan cinta atau pun hadiah konyol darimu. Dan kau tahu… baru saja kau berhasil membuat waktu berhargaku terbuang.” Bren melepaskan wajah Elle dengan kasar, dan beranjak pergi.
Namun, langkah kaki Bren berhenti sejenak. “Ah… dan juga kuberi saran padamu.” Ia menoleh ke arah Elle yang masih diam dan belum juga beranjak dari posisinya. Menatap Elle dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Sebelum kau menyatakan perasaanmu, kau sebaiknya berkaca terlebih dahulu. Karena wajahmu sama buruknya dengan penampilanmu,” imbuh Bren dengan sangat kejam.
Terdengar gelak tawa di sekitar Elle. Berserta gumaman-gumaman mengejek. Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil Bren menjauh.
Elle kembali menunduk. Ia mengigit bibir bawahnya berusaha keras menahan tangisnya agar tidak pecah. Beberapa anak menepuk pundak Elle pelan sebelum beranjak pergi. Mungkin merasa iba atau bagaimana, Elle juga tidak tahu. Sebagian lainnya berbisik membicarakan keberanian konyol Elle untuk menyatakan perasaan kepada Bren.
Air mata yang Elle tahan sejak tadi akhirnya luruh juga. Elle berusaha menghapusnya dengan punggung tangannya tapi entah mengapa air mata tersebut malah mengalir semakin deras tak terbendung. Tangannya terulur memunguti coklat-coklat buatannya yang sudah hancur dan memasukkannya ke dalam kotak.
Sambil terisak Elle membawa kotak di tangannya menuju tong sampah dan memasukkannya ke sana. Ia menatap nanar ke arah tong sampah di depannya. Padahal ia sudah susah payah membuat coklat-coklat itu.
Sementara ia meratapi coklat-coklatnya, para murid lain yang belum meninggalkan halaman sekolah, menatap Elle dengan tatapan bervariasi. Mulai dari tatapan penuh iba hingga tatapan mencemooh, semua Elle dapatkan.
“Elle!” Suara Jackson membuat Elle mengangkat pandangannya.
Jackson sudah berdiri di hadapan Elle dengan napas yang terengah. Tatapan matanya terlihat khawatir. Ia berusaha menghapus sisa-sisa air mata di wajah Elle. Jackson memegangi pundak Elle dan menatap Elle dengan tatapan intens. “Are you ok?”
Tidak dapat menjawab pertanyaan Jackson, Elle hanya menangis semakin kencang. Jackson segera menarik Elle ke dalam pelukkannya dan mengusap punggung Elle lembut. Berharap dapat meredakan tangis Elle.
.
.
.
Penggambaran tokoh:
..."Aku baik-baik saja," merupakan kalimat kebohongan yang banyak digunakan oleh manusia....
...—––...
“Aku akan membunuh Hudson!” geram Jackson saat ia sudah berhasil menenangkan Elle.
Elle menggelengkan kepalanya. “Bren tidak salah, Jackson. Aku hanya sedih karena coklat-coklatku terbuang. Padahal aku bisa saja menghabiskannya jika mereka tidak hancur.”
“Kau masih membelanya?!” Jackson tidak habis fikir dengan Elle. Setelah ditolak dan dipermalukan oleh Bren Hudson di depan banyak orang, masih saja Elle membela cowok brengsek itu.
Elle mengangkat kedua bahunya. “Memang begitu kenyataannya. Aku tidak berbohong. Aku baik-baik saja.”
“Ayolah Elle, kita semua tahu—”
“Aku akan marah padamu jika kau berani macam-macam dengan Bren karena apa yang baru saja terjadi,” pungkas Elle tanpa bisa ditolak.
Jackson mengusap wajahnya kasar. Ia kehabisan kata-kata. Napas kasar berhembus dari hidung dan mulutnya secara bersamaan. “Baiklah. Dengan satu syarat. Jangan pernah lagi mengejarnya bahkan dekat-dekat dengannya dan kawanannya.”
Elle menganggukkan kepalanya dan tersenyum untuk menenangkan Jackson. “Sepakat.”
Elle berhasil pulang sendiri dengan mobilnya setelah sukses melewati perdebatan panjang dengan Jackson. Ia akhirnya berhasil lepas dari paksaan Jackson yang bersikeras untuk mengantarnya pulang.
Setalah sampai di rumah Elle segera berlari masuk ke kamarnya dan menutup kamarnya rapat-rapat. Lalu bersembunyi di bawah selimut.
Siapa bilang Elle baik-baik saja? Elle tidak baik-baik saja. memri kejadian yang baru saja ia alami masih terus terputar jelas di kepalanya. Elle menangis lagi dengan gamblang. Kali lebih kencang. Lagi pula, ibu dan kakaknya belum pulang. Jadi, ia bisa lebih leluasa menangis di kamar.
Hati Elle terasa sakit. Apa salahnya ia menyatakan perasaan? Elle tidak menganggu siapapun. Ia juga tidak pernah mengusik kehidupan Bren sedikitpun. Kenapa Bren harus sekejam itu pada dirinya? Apakah mencinta seseorang yang tidak menyukainya adalah sebuah dosa?
Elle menangis hingga napasnya menjadi putus-putus dan ia akhirnya jatuh tertidur.
Hari sudah gelap ketika Elle keluar dari kamarnya. Walaupun sedih, Elle tetap dapat merasakan kelaparan. Apalagi setelah ia menuruni tangga, aroma masakan dari arah ruang makan menguar memasuki hidungnya.
“Kau seperti zombie yang baru bangkit dari kubur,” komentar Yellena saat Elle memasuki ruang makan.
Yellena Clark adalah kakak perempuan Elle. Berusia 24 tahun dan berkerja di labolatorium yang sama dengan ibunya-Cathrine Clark. Cathrine dan Yellena berprofesi sebagai Arkeolog. Yellena benar-benar mirip dengan ibunya. Mulai dari wajah hingga warna rambut. Sedangkan Elle, tidak mendapatkan gen ibunya sama sekali. Elle jauh lebih mirip dengan mediang ayahnya.
Elle mengabaikan komentar Yellena. Ia sedang tidak dalam mood ingin bertengkar.
“Apa ada yang menganggumu di sekolah? Jika ada yang menganggumu kau seharusnya melawan.” Yellena meletakan panci berisi mac and cheese di atas meja.
Wajah Elle semakin kusut mendengar ocehan kakaknya yang menurutnya terdengar sangat berisik.
“Oh, Dear. Kau baik-baik saja?” tanya Cathrine saat mendapati wajah Elle yang kacau.
Cathrine menghampiri kedua putrinya dengan membawa mangkuk-mangkuk di tangan. Ia lalu menuangkan mac and cheese buatannya dan meletakkannya di hadapan Elle yang sedang bertopang dagu dengan kedua tangan.
“Aku baik-baik saja, Mom.” Elle menyendok malas makan malamnya dan memasukkanya ke dalam mulut dengan gerakkan lambat. Ia mengunyah dengan tak bersemangat sambil menatap kosong ke arah mangkuk makanannya.
“Elle jelas berbohong, Mom. Tidak ada orang baik-baik saja yang menatap makanan kesukaannya dengan tatapan kosong.”
Elle mengangkat pandangannya dan melotot ke arah Yellena. Kakaknya benar-benar berisik dan menganggu.
“Yellena, berhenti mengangggu adikmu!” tegur Cathrine.
Yellena hanya mengangkat bahunya dan kembali meneruskan makan malamnya.
Elle sedang mencuci peralatan bekas makan malamnya. Ibunya dan Yellena sudah pergi ke ruangan mereka karena nampaknya ada penelitian yang sedang mereka kerjakan bersama. Elle sedang tidak dalam suasana hati ingin peduli dengan apapun yang Yellena dan ibunya kerjakan.
Hatinya masih terasa sakit, dan bayangan kejadian tadi siang masih belum mau hilang dari ingatannya.
Terdengar suara pintu kulkas dibuka saat Elle sedang mengeringkan sendok-sendok yang baru saja selesai ia cuci. Tiba-tiba Yellena sudah berdiri di samping Elle dengan mangkuk penuh berisi es batu. Ia menyalakan keran wastafel untuk mengisi air ke dalam mangkuk es batunya. Kemudian dia memasukkan sapu tangan ke dalam mangkuk tersebut, dan menyodorkannya kepada Elle.
“Kau tentu tidak ingin pergi ke sekolah besok dengan keadaan mata yang masih membengkak. Orang yang menganggumu akan sangat senang jika melihat keadaanmu yang seperi ini.”
Elle mengambil mangompres matanya dengan sapu tangan yang sekarang sudah terasa dingin dan basah akibat direndam dengan air dingin. “Terima kasih,” katanya pelan.
“Haruskah aku menghabisi anak yang menganggumu?”
“Tidak. Yang perlu kau lakukan sekarang hanya pergi saja dari hadapanku,” ucap Elle tanpa menoleh ke arah Yellena.
Yellena terkekeh. “Baiklah. Sepertinya kau sudah mulai baik-baik saja sekarang.” Yellena segera pergi meninggalkan Elle. Karena jika Elle sudah membalasnya dan tidak hanya diam saja seperti tadi, itu artinya perasaan adiknya tersebut sudah mulai membaik.
Elle merasa jengah menjadi pusat perhatian. Semua orang seperti sedang menilai apa saja yang ia lakukan walau ia hanya diam sekalipun. Ia yang sebelumnya tidak terlihat menjadi terkenal seketika hanya dalam waktu sehari. Semua orang yang ia lewati berbisik tentangnya. Elle benar-benar malu.
Haruskah ia membolos saja hari ini? Tidak. Elle tidak pernah membolos satu kali pun dalam hidupnya.
Saat Elle memasuki kelas, semua orang melirik ke arahnya. Dengan wajah masih menunduk, Elle segera berjalan ke kursi favoritnya. Kursi di sudut kelas. Ia berusaha mengabaikan orang-orang yang mulai ramai membicarakannya.
“Dia yang kemarin nembak Bren, kan?”
“Gosh… berani banget dia.”
“Dia sadar tidak, sih, kalau dia sudah pasti ditolak?”
“Mungkin dia penggemar cinderella story. Jadi dia pikir cowok populer kayak Bren bakalan mau sama dia.”
Suara nyaring mereka tidak dapat dikatagorikan sebagai berbisik karena Elle bisa dengan sangat jelas mendengarnya.
Elle memejamkan mata lelah. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Berusaha keras mengabaikan keributan di sekitarnya. Hanya satu hal yang sekarang Elle inginkan. Kelas segera dimulai.
Tanpa Elle sadari kelas sudah menjadi hening. Apa gurunya sudah datang? Elle mengangkat kepalanya. Matanya membulat saat melihat Bren yang masuk ke kelas dan berjalan mendekat ke arahnya.
Bisa-bisanya Elle lupa jika ia mengambil kalas yang sama dengan Bren untuk kelas biologi hari ini. Elle kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya. Ia benar-benar malu hanya dengan melihat Bren. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk bertemu dengan Bren. Ia harusnya membolos saja hari ini.
Seseorang menyentuh pundak Elle.
“Siapa pun yang menyentuh pundakku. Pergilah!” rutuk Elle dalam hati. Ia sangat membeci segala bentuk perhatian dari semua orang hari ini.
Saat Elle tidak juga bergeming, tangan tersebut kembali menyentuh pundaknya. “Clark….” Suara yang tidak asing membuat Elle mengangkat wajahnya. Bren sudah berdiri menjulang di sampingnya. Membuat Elle yang sedang duduk perlu mendongak untuk menatap ke arah wajah Bren.
Namun tatapan Elle terhadap Bren tidak bertahan lama. Karena Elle segera membuang wajahnya. Ia menghindari tatapan Bren padanya.
Apa yang Bren inginkan? Apa cowok ini berniat mempermalukan Elle lagi? Apa Bren belum puas mempermalukannya kemarin?
“Maafkan aku….”
Elle mengerutkan dahinya tak mengerti mendengar ucapan permintaan maaf Bren. “Hah?” Apa Elle tidak salah dengar?
“Maafkan aku….”
Elle mengerutkan dahinya tak mengerti mendengar ucapan permintaan maaf Bren. “Hah?”
Apa Elle tidak salah dengar? Bren meminta maaf padanya? Baru saja kemarin ia bersikap brengsek dan sekarang dengan secara tiba ia meminta maaf pada Elle?
Para siswa di kelas kembali berbisik. Bahkan dari sudut mata Elle dapat melihat beberapa siswa mengitip dari luar jendela yang berhadapan dengan lorong dan juga dari ambang pintu kelas. Ia benar‐benar menjadi pusat perhatian sekarang.
Tidak ada respon apapun dari Elle. Ia hanya menatap tak percaya ke arah Bren. “Apa sebenarnya mau cowok ini?” Pikiran Elle bertanya-tanya.
Tidak mendapat respon dari Elle membuat Bren kembali berkata, “Maaf karena bersikap kasar kepadamu kemarin.”
Elle tetap tidak merespon apapun. Ia berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya.
“Kemarin hariku buruk, dan tanpa sengaja aku malah melampiaskan kekesalanku kepadamu. Aku tidak bermaksud menyakitimu ataupun melakukan hal-hal buruk kepadamu. Aku tahu perbuatanku kemarin tidak bisa dimaafkan. Tapi kuharap kau mau memaafkanku.”
Serius? Seorang Bren Hudson meminta maaf padanya? Apa Elle masih belum bangun dari tidurnya? Tidak ada yang pernah melihat seorang Bren Hudson meminta maaf di depan umum seperti ini. Di depan semua orang dengan suara lantang.
“Haruskah aku berlutut agar kau mau menerima permintaan maafmu?” Perkataan Bren sukses membuat Elle panik.
“Woaah....” Terdengar sorakkan dari orang-orang yang sejak tadi menonton mereka.
“T-ti-tidak!” seru Elle.
Elle segera berdiri untuk mencegah Bren berlutut padanya. Tapi, ia terlambat. Karena Bren sekarang sudah melipat kedua lututnya di lantai. Elle menarik-narik lengan Bren gelagapan. Ia tidak menduga bahwa Bren akan melakukan hal gila seperti ini. Hal ini hanya akan membuat dirinya dan Bren semakin menjadi pusat perhatian.
“Berdirilah. Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Elle panik.
“Hanya jika kau mau memaafkanku.”
Belum saja Elle sempat menjawab pernyataan Bren, Mr. Reynolds sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas. Membuat semua murid kembali ke tempat duduknya masing-masing. Hanya Elle yang masih berdiri dan Bren yang masih berlutut di atas lantai.
“Clark! Hudson! Apa yang kalian lakukan?” tegur Mr. Reynolds.
Bren bangkit berdiri. “Aku sedang meminta maaf kepadanya, Sir. Tapi, sepertinya aku butuh usaha lebih keras lagi.”
Elle segera duduk di bangkunya dan berusaha mengabaikan Bren. Ia menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke arah Bren. Samar-samar Elle mendengar Bren mengusir murid yang duduk di kursi samping Elle agar ia bisa duduk di sana.
Siswa yang Bren usir pindah ke kursi depan dengan wajah masam. Bren menatap ke arah Elle, yang Bren tahu sekarang sedang berusaha mengabaikannya. Bren mengangkat salah satu sudut bibirnya hingga tertarik ke atas. Ia tidak menduga bahwasannya gadis di hadapannya ini jauh lebih menarik dari yang ia kira.
[Sehari yang lalu setelah Bren menolak Elle di halaman sekolah]
Bren berlatih dengan teman-temannya sepulang sekolah di studio pribadi rumahnya. Mereka memang sering berlatih walaupun tidak akan tampil. Karena mereka memanglah benar-benar mencintai musik dan menikmati bermain musik.
Ayah Bren yang juga merupakan musisi membuatkan studio itu khusus untuk Bren setelah mengetahui bahwa Bren memiliki ketertarikan yang sama seperti dirinya dalam hal musik.
Bren dan teman-temannya sudah membentuk band ini sejak Middle School(SMP). Mereka menamai band mereka dengan nama Direction. Direction terdiri dari lima anggota. Tyler Ford sebagai Basis. Adam Laurent sebagai Gitaris. Joe Hemmings sebagai Drummer. Sara Turner yang merupakan satu-satunya cewek yang bergabung dalam Direction berperan sebagai Keyboardist. Kemudian yang terakhir ada Bren yang berperan sebagai Vokalis utama.
“Bren, gadis yang kau tolak tadi menarik,” ucap Tyler saat mereka baru saja selesai berlatih.
Wajah Bren berubah menjadi masam ketika mendengar topik pembicaraan yang diambil Tyler.
“Kau tahu siapa namanya?” tanya Sara.
Tyler mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak tahu.”
“Namanya Ellena Clark. Aku beberapa kali sekelas dengannya. Dia bukan cewek cupu tapi juga bukan cewek populer. Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Dia hanya terlalu biasa sehingga membuatnya tidak terlihat di sekolah,” sahut Joe memberi informasi kepada teman-temannya. Joe memanglah mengenal hampir semua murid di sekolah mereka.
“Bagaimana jika kau memacarinya?” usul Tyer kepada Bren.
“Kau gila,” komentar Bren singkat sambil menatap sinis kepada Tyler.
“Bren benar. Kau gila, Tyler.” Adam yang sejak tadi sibuk dengan gitarnya akhirnya buka suara.
Sara terkekeh. “Bren mana mungkin mau dengan gadis seperti dia. Kalian tahu sendiri kalau Bren membenci cewek berambut merah.”
Sara benar. Bren membenci cewek dengan rambut merah. Bukan tanpa alasan. Bren punya alasan mengapa ia membenci cewek berambut merah. Hanya saja ia belum pernah membicarakannya kepada siapapun. Bahkan teman-temannya sekali pun tidak tahu alasan Bren membenci cewek berambut merah.
“Padahal ini seru. Kau bisa berpacaran dengannya semalam dua atau tiga bulan, kemudian mencampakannya,” kata Joe dengan penuh semangat.
“Kalau kau tidak mau. Biar aku saja yang berpacaran dengannya. Aku belum pernah berpacaran dengan gadis polos. Kurasa akan sangat menyenangkan jika aku berpacaran dengannya.” Tyler tersenyum menyeringai.
“Jika aku berhasil berpacaran dengannya, apa yang aku dapatkan dari kalian?” tanya Bren cepat.
“Apa saja yang kau minta. Tiket perjalanan ke Hawai pun akan kuberikan untukmu secara cuma-cuma!” Joe semakin bersemangat.
“Ya! Apapun yang kau minta!” sahut Tyler.
“Apapun yang kuminta?” tanya Bren.
Sara menatap tak percaya ke arah Bren. “Kau serius ingin berpacaran dengannya?”
“Tapi dengan satu syarat. Kau harus bertahan berpacaran dengannya paling sebentar selama tiga bulan. Jika kau mampu berpacaran dengannya sampai tiga bulan lamanya bahkan lebih, maka seperti yang aku dan Joe katakan, kami akan menuruti apapun yang kau minta.”
Bren tidak meragukan apa yang baru saja Tyler katakan. Karena mereka semua berasal dari kalangan orang-orang yang super duper kaya, maka melakukan taruhan seperti ini bukanlah apa-apa.
“Sepakat. Aku harus merekam pernyataan kalian. Agar aku mempunyai bukti jika taruhan ini sudah berakhir. Dan kalian tidak bisa kabur dari kewajiban kalian membayarku.”
Bren mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mulai merekam kesepakatan yang ia, Tyler dan Joe buat.
“Aku tidak ingin ikut terlibat," ucap Adam saat Bren menyodorkan ponselnya ke arah Adam, agar dapat merekam kesepakatan antara dirinya dan Adam.
“Aku juga! Aku tidak ingin terlibat! Kenapa juga kau mau berpacaran dengan gadis aneh itu, heh?” seru Sara yang terlihat sangat kesal. Sara beranjak dari duduknya dan segera bergegas keluar dari studio dengan menghentakkan kaki. Ia sukses membuat pintu ruangan berdebum ketika menutupnya.
Bren menggedikkan bahunya tidak peduli. Ia segera mengakhiri rekaman di ponselnya, dan menyimpan ponselnya tersebut kembali ke saku celana. Tyler dan Joe saja sudah cukup. Ia akan memenangkan taruhan ini bagaimana pun caranya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!