PUTIH & ABU-ABU,
Pagi itu hujan begitu deras mengguyur sebagian wilayah kota yang terkenal dengan kesibukan luarbiasa itu.
Bel berbunyi tepat pukul 07.40 pagi. Seluruh siswa dan siswi terlihat bergerombol memasuki kelas mereka masing-masing.
Langkah tegap seorang guru memasuki ruang kelas II IPA - A, mengikuti dibelakangnya seorang siswa pindahan dari salah satu sekolah di luar kota. Seisi kelas menjadi hening dari suara - suara sumbang didalamnya saat pak Heri memperkenalkan anak baru itu.
"Teman baru untuk kalian. Silahkan perkenalan diri dulu sama yang lain."
"Saya Gerald william. Biasa dipanggil Willi, salam kenal." Anak lelaki itu membukukan sedikit tubuhnya sebagi salam.
Sebagian siswi dibuat terpesona oleh tampangnya yang sedikit kebule-bulean. Wajah Wili merupakan wajah campuran antara asia timur dan jerman maka tak heran jika ia selalu menjadi pusat perhatian dimana pun dirinya berada. Rasanya sungguh menggelikan saat memandangi rupa-rupa gadis labil yang selalu mencuri-curi pandang terhadapnya.
Willi mendapat tempat duduk tersisa yang berada dipaling ujung deretan belakang. Satu bangku di sebelahnya nampak kosong namun ada buku yang tersimpan di laci meja itu dan sebuah pencil case dengan gantungan kepala minnie mouse. Willi bisa menebak jika yang duduk disebelahnya adalah seorang perempuan.
Hingga jam istirahat tiba tak juga ada tanda-tanda pemilik bangku itu akan datang.
Sebagian siswa ada yang mencoba untuk berteman dengan willi, mengajaknya bercerita didalam kelas karena dari semula willi menolak tawaran mereka untuk pergi ke kantin dan mereka memaklumi itu mengingat jika willi berwajah bule dan kemungkinannya dia tidak makan nasi atau mie telor ala kantin sekolah.
Keseruan mereka harus berhenti sesaat ketika seorang gadis cantik menghampiri kursi kosong yang tengah diduduki oleh salah satu dari teman baru Willi.
"Eja bisa minggir bentar?." Ucap Hanna.
"Eh, si nona udah balik."
"Mampir bentar. Mumpung lewat." Jawabnya tanpa melihat sang lawan bicara.
Gadis itu tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam buku yang tersimpan dilaci mejanya dan memasukannya kedalam tas jinjing yang sedari tadi ia bawa.
"Duluan ya. Eh ja, entar tolong titipin ke Ria ya kalo aku belum balik sampe mapel terakhir, Hp aku ketinggalan di mobil bu Desi." Ucapnya sembari berlalu meninggalkan kerumunan.
"Duuhhh,,, cantiknya ayank bebeb akoh!." Celetuk salah satu dari mereka.
"Ngipi lo oneng!." Bams yang tadi mengucapkan kata-kata pujian langsung saja mendapat toyoran dari Eja disertai gelak tawa dari yang lain.
Sedangkan Willi, ia hanya diam mengamati tanpa memberikan komentar apapun hingga tepukan dipundaknya membuatnya sedikit terkejut disertai ejekan manis dari Bams.
"Ciee, diem-diem ada yang ngamatin!. Alamaak, bule kita langsung kepincut ni kayaknya!." Gelak tawa memenuhi seisi ruangan.
Untuk pertama kalinya Willi menyukai seorang perempuan tepat pada pandangan pertama.
______***______
Hari - hari Willi berlalu begitu saja dengan rasa suka yang terus ia simpan dalam hati tanpa berani untuk mengungkapkannya.
Ia selalu teringat akan cerita-cerita para teman konyolnya yang suka membahas para wanita di satu sekolah mereka. Salah satunya adalah Hanna Joy Adam.
Kurang lebih sebulan yang lalu,
×××××
"Elu ya, jangan harap bisa dapetin hati cewek kayak Hanna kalo kelakuan lu kaya cakar ayam." Ucap jaka.
"Iya!. Euh, kalo aku sih mending cari yang lain." Timpal Bams.
"Asli, burik kita ini dimatanya sudah!." Rendi menambahi dan membuat sebagian tertawa.
Hingga kata 'kenapa?' Terucap begitu saja dari mulut Willi yang tampak ingin sekali tahu alasan mereka mengatakan hal itu.
"Hanna itu bisa ngebaca tipe dan watak seseorang. Dia bisa paham kalo kita lagi ada masalah apa dan bagaimana solusinya. Dan dia juga gak pernah mau dideketin ama yang namanya cowok. Padahal kalo lagi ngobrol gitu rasanya seneng banget, kita berasa dimanjain sama dia. Pendengar yang baik lah pokoknya!. Tapi ya itu tadi, gak mungkin kan dia mau sama kita selain jadi teman." Jelas Eja dengan sangat meyakinkan.
"Bener, secara kita-kita o'on." Bams mendengus pelan.
"Yee... itu mah elu kali, gue kagak!." Rendi menolak kata-kata Bams untuk mereka.
"Cantik, pinter, supel, pendengar setia plus pemberi solusi yang praktekable. Mudahan jodoh gue" Jaka menghitung dengan jemarinya.
"Tapi mohon maap elu gak masuk kriteria_ jiaaah!." Eja dengan semangatnya mematahkan harapan Jaka begitu saja.
Dan tawa mereka pecah bersamaan setelahnya.
××××××
Dua tahun berlalu,
Masih dengan rasa yang sama. Willi benar-benar menyimpan rasa itu sampai detik dimana hari kelulusan mereka tiba dan perpisahan pun terjadi.
Tak ada lagi dia yang selalu menghibur hari-hari lelahnya saat tiba disekolah. Benar apa kata Eja, Hanna merupakan tipe perempuan setia yang sangat sulit didapat. Terlebih jika kita tidak benar-benar berkelakuan baik dan hal itulah yang membuat Willi memendam perasaan cintanya sampai waktu memisahkan mereka.
*******
Seorang Gerald William yang selalu menjadi idola para kaum hawa dimanapun ia berada nyatanya hidupnya berbanding terbalik dengan paras tampannya.
Willi yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibunya dibesarkan oleh seorang waria dengan lingkungan yang minim akan perbuatan baik dan menjadikannya pribadi yang misterius.
Ia hidup dengan bantuan para wanita malam yang tinggal di area pemukiman itu. Hingga suatu hari seorang pria kaya datang mengambilnya untuk dijadikan budak **** lantaran pria itu adalah penyuka sesama.
Dengan iming-iming kehidupan mapan dan seluruh biaya pendidikan dibayarkan, Willi muda pun tersihir oleh tawaran luarbiasa itu dan ikut bersamanya, meninggalkan para orang tua asuhnya yang juga penjelajah malam.
.
.
Selama dua tahun ia tinggal bersama pria kaya itu dirinya selalu mendapat siksaan dan membuatnya tak bertahan lama. Entahlah mungkin itu pula yang menyebabkan pria kaya itu tak memiliki kekasih karena ia gemar menyiksa 'teman' mainnya.
Dari pria itu pula Willi banyak mengenal orang dengan kecenderungan yang sama dan membuatnya terus terlibat bersama mereka hingga tanpa sadar rasa cinta murninya sebagai seorang pria perlahan mulai terkikis.
Kehidupan Willi bukan lagi seperti kaum recehan yang gemar nongkrong di cafe-cafe layaknya anak muda pada umumnya. Ia tak akan pernah terlihat oleh teman-teman normalnya jika mereka bukan dari kalangan tangan emas.
Willi bak seekor kelelawar yang hanya akan menyapa dunia kala malam tiba. Parasnya, gaya berpakaiannya memperkuat auranya sebagai seorang_
Sekilas untuk mereka kaum hawa yang tak mengerti maka akan melihatnya sebagai pria yang luar biasa tampan dan cocok untuk menjadi pasangan. Namun di lain sisi ada sesuatu yang lebih mencengangkan dari sekedar tampan dan husbandable.
________*****________
Beberapa tahun terlewati dan kini Willi bukan lagi seorang peliharaan seperti sebelumnya. Ia mendirikan sendiri bisnisnya dari hasil yang ia kumpulkan selama beberapa waktu dengan menjadi teman barmain pria - pria kaya yang memiliki kebutuhan menyimpang.
Bar dan lounge sekelas hotel bintang lima adalah tongkrongannya. Seringnya berkumpul dengan mereka membuatnya tak pernah memikirkan seluk beluk kehidupan seperti pernikahan terlebih memiliki keturunan. Hal itu sama sekali tak pernah terlintas dibenaknya.
Sampai pada suatu masa dimana ia memilih pindah ke negara kanguru untuk memperluas jaringan bisnisnya dan takdir mempertemukannya kembali dengan cinta pertamanya.
"Hanna."
.
.
.
.
.
Tbc.
Sudah hampir dua tahun ini Hanna berada di negeri kanguru untuk melanjutkan studi magister psikologi profesinya. Entah mengapa pilihan terakhirnya lima tahun lalu jatuh kepada program studi psikologi. Menurutnya mengetahui kepribadian seseorang itu sangatlah menarik terlebih jika kita bisa memberinya bantuan untuk mengatasi masalah dalam diri mereka.
Saat ini sudah berada akhir mei dan akan segera memasuki awal juni dimana musim dingin akan tiba. Udara menjadi sedikit lebih dingin dari biasanya.
Hanna menggunakan mantel tebalnya untuk menghalau udara dingin yang terasa begitu menusuk kulit, sembari memeluk tas karton ditangannya ia berjalan menyusuri ruko dan beberapa cafe hingga sampai pada sebuah kantor kecil yang berada disebuah ruko berlantai dua.
Hanna menambah kesibukannya dengan bergabung bersama Healing flower untuk membantu mereka yang membutuhkan bimbingan atau sekedar menjadi tempat curhat layaknya teman.
"Hai Hanna. Apakah diluar bertambah sejuk?." Tanya salah satu rekan kerjanya yang kini tengah menyalakan penghangat ruangan.
"Udara diluar cukup bagus untuk kita berlibur kepantai saat ini juga." Ujarnya sembari terkekeh.
"Kau serius?. Ah, kau benar-benar sudah gila sepertinya. Kurasa pekerjaan kemaren membuat kecerdasanmu sedikit tersumbat."
"Aku setuju dengan itu." Kedua wanita itu tertawa.
Tak lama telepon kantor diruangan itu berdering.
"Hallo, disini dengan healing flower apa yang bisa kami bantu?." Tanya wanita bernama Jannet yang tadi sempat bercanda dengan Hanna.
"A, kau ingin mengatur jadwal pertemuan. Baiklah Mr. William kami akan membuatkannya untuk mu. Apa kau bisa mengirimkan alamatmu melalui email?. Yah kami akan menghubungimu disana. Terimakasih dan selamat menikmati hari mu." Telepon tertutup.
Jannet memeriksa jadwal beberapa anggota healing flower yang bisa membantu kliennya kali ini. Karena ini merupakan klien pria ia menargetkan seorang pendamping pria juga untuknya tetapi semua penuh.
"Ada apa?." Tanya Mery, anggota club yang baru saja tiba.
"Ah, kita baru saja mendapat tambahan klien. Seorang pria dan aku sedang mencarikan pendampingnya tapi semua kolom telah terisi.
Mery tampak manggut-manggut isyarat bahwa ia mengerti. Namun sesuatu melintas dikepalanya.
"Bagaimana jika Hanna saja!." Ucapnya cepat.
"Kau gila, dia wanita. Bagaimana kita bisa menyuruhnya masuk ke kandang singa?."
"Apa yang sedang kalian ributkan?." Yang disebut tetiba saja muncul tanpa suara dari arah belakang.
"Kau disini?." Mery terkejut saat mendapati wanita cantik berwajah asia itu menatapnya penuh curiga.
"Baiklah, aku baru saja mengutarakan ide ku kepada Jannet untuk menjadikanmu pendamping klien pria yang baru saja memesan jadwal untuk bantuan kita."
"Tak masalah, aku bisa." Dengan santainya Hanna menjawab usulan Mery yang seolah dengan sengaja memasukkannya kedalam kandang singa.
"Kau setuju?." Mery pun ikut terkejut.
"Ya, ada masalah apa dengan 'setuju'?." Tanya Hanna.
"Klien kita adalah pria dan aku sangat hawatir, sesuatu bisa saja terjadi_." Jannet berusaha memberinya pemahaman.
"Kalau dia macam-macam maka aku akan mematahkan lehernya." Hanna bergerak meninju udara yang seakan-akan adalah lawannya.
"Waw, kau terlalu berani!." Jannet menggeleng.
"Baiklah, berikan alamatnya padaku." Pinta Hanna kepadanya.
"Apa kau perlu alat bantu untuk berjaga-jaga?." Tanya Mery
"Tidak perlu, aku sudah mengatakannya tadi jika dia berani macam-macam akan ku buat dia berhenti menjadi laki-laki." Selorohnya.
*********
Willi tengah berada di apartemen yang baru sebulan ini dibelinya. Ia baru saja menyelesaikan aktifitasnya bersama sang 'kekasih' yang juga seorang bule.
Selama berhubungan dengan semua teman 'mainnya' Willi memang tak banyak bicara. Ia cenderung menjadi pribadi yang dingin.
"Apa kau akan menemui seseorang?." Tanya Drew yang merupakan kekasihnya. "Sampai-sampai kau menyuruhku pergi."
"Ya."
"Dia seorang pria?."
"Apa pedulimu jika dia seorang pria atau bukan?." Willi menatap dingin kearahnya.
"Baiklah terserah kau. Tapi yang jelas jangan berikan hati mu padanya." Drew pergi meninggalkan apartemen dipenuhi rasa kesal.
Willi tak lagi menanggapi celotehan Drew. Pria itu memilih mengecek pesan masuk pada emailnya. Ia mendapatkan balasan atas permintaanya kemarin.
Pagi ini pukul 10.00 waktu setempat. Suara bel pada pintu apartemennya berbunyi.
Willi melangkahkan kakinya mengarah ke pintu untuk menyambut kedatangan seseorang dari Healing Flower.
Wajah tampan itu seketika membeku. Tenggorokannya terasa begitu cekat hingga tak ada kata yang terucap darinya.
"Hanna?."
^^^^^^^^^^^^^^
"Hei, kau sedang melamun?." Hanna mengibaskan tangannya dihadapan pria bertubuh tinggi itu. "Apa kita akan mengadakan sesi tanya jawab diluar?."
"Ak _ aku. Ah ayo masuk, maaf membuatmu bingung."
Hanna tak menyadari tentang siapa pria itu sebelumnya. Ia hanya membaca biodata kliennya tanpa mencurigai sesuatu sampai ia bertemu dengan pria itu sendiri.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?." Tanya Hanna sedikit was-was.
"Kau sungguh tak mengenali ku?." Willi menaikan sebelah alisnya.
"Maaf, kurang dari dua tahun belakangan aku banyak menemui wajah-wajah asing yang membuat ku sulit mengingat seseorang yang pernah ku temui sebelumnya." Jawab Hanna jujur.
"Ah iya aku mengerti." Dalam hitungan detik Willi mengubah bilingualnya menjadi bahasa indonesia dan itu membuat Hanna seketika menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Oh God, kau!. Maaf aku sedikit lupa dengan wajah mu. Jika aku tidak salah ingat kau teman satu kelas ku bukan?."
Willi tersenyum disertai kekehan kecil setelahnya.
"Akhirnya kau mengingat ku. Aku sudah membayangkan jika wanita cantik sepertimu akan melupakan orang-orang sepertiku dengan begitu cepat." Ada rasa hangat dalam hatinya ketika Hanna mau mengingat tentangnya.
"Apa kau sedang mengejek ku karena ingatan ku yang lemah?." Wanita cantik itu tampak menggembungkan kedua pipinya dengan bibir terlipat.
"Tidak, aku baru saja akan memujimu." Willi tergelak karenanya.
Hanna melihat jam yang melekat dipergelangan tangannya.
"Kau memiliki waktu dua jam untuk mengeluarkan pikiran yang membuat mu terganggu belakangan. Apa bisa kita memulainya?."
"Kau sungguh bekerja diwaktu pertama pertemuan kita?. Tidak kah kau rindu dengan teman lama mu ini?." Willi mendengus pelan dan menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Lalu bagaimana aku harus bersikap?. Bukankah kau meminta bantuan untuk membuang sampah?."
"Tapi kita baru saja bertemu."
"Baiklah, kau selalu mengiba untuk hal-hal receh seperti ini." Hanna kembali memasukan catatan ditanganya.
Willi berjalan ke arah pantry dan membawa dua buah kaleng soda ditangannya.
"Apa kau akan membuatkan ku barbeque?." Tanya Hanna dengan tatapan remehnya.
Willi yang tak mengerti pun hanya mengangkat kedua alisnya tanpa sepatah kata.
"Minuman ditangan mu, bukankah itu akan cocok dengan barbeque di musim seperti ini?."
Pria itu tertawa karena memikirkan hal yang sama sekali tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Kau mau?. Aku akan memesankannya."
"Tidak. Aku hanya bercanda." Kini berganti Hanna yang tertawa. "Sepertinya minuman hangat akan lebih baik untuk hari ini." Ucapnya tanpa malu.
"Tapi aku tidak bisa membuat sesuatu seperti itu." Willi mengusap tengkuknya.
"Wah, kau sungguh terlalu. Apa pasangan mu tak pernah mengajari mu untuk menyeduh coklat panas?." Hanna sadar dengan adanya perubahan aura pada wajah lawan bicaranya.
"Aku belum menikah, dan tak memiliki pacar seperti apa yang kau maksud." Willi menjawab pertanyaan Hanna dengan santai.
"Baiklah aku tak ingin berdebat lebih panjang dengan mu." Wanita itu tampak bersiap dengan Coat hitamnya dan melilitkan syal dileher putih miliknya.
"Kau marah padaku?." Tanya Willi dengan wajah bersalah.
"Apa aku terlihat sedangkal itu?." Hanna terkekeh. "Aku akan pergi keluar untuk mencari cokelat hangat. Kau bisa tunggu sebentar."
Ia baru akan menarik gagang pintu saat seorang pria lain mendorong pintu besi itu dari arah luar.
"Oh maaf, aku mengejutkan mu." Gaya berbicara Drew yang manis memberikan kesan bahwa ia adalah orang yang baik namun mata seseorang adalah yang paling bisa berkata jujur mengenai siapa dirinya.
Hanna memberikan senyuman terbaiknya untuk menanggapi kata-kata manis pria dihadapannya.
"Apa kau teman Willi?." Hanna tengah basa-basi untuk mengetahui seberapa berani pria itu mengakui dirinya.
"Iya, namaku Drew. Aku datang untuk berkunjung dan aku tidak tahu jika dia sedang kedatangan tamu."
"Tak apa, kami hanya teman lama dan aku akan pergi keluar sebentar untuk mencari cokelat hangat. Apa kau juga menginginkannya?. Akan lebih seru jika kita bisa ngobrol bersama." Hanna memancing kepolosan Drew.
"Baiklah, aku tak bisa menolak tawaran dari wanita cantik seperti mu. Apa kau butuh aku temani?." Tawarnya.
"Tidak usah, aku tidak akan hilang meski seseorang menculik ku." Hanna terkekeh.
"Wah, kau sungguh wanita pemberani nona."
________******________
Hanna membeli beberapa keperluan untuk membuat sebuah permainan bersama dua pria tampan yang sangat membuatnya pusing itu.
Sebenarnya ia sudah mulai membaca masalah apa yang tengah dihadapi oleh Wili sejak ia menyimpan kembali buku catatannya beberapa waktu lalu.
Ia juga mengamati interaksi antara Drew dengannya tadi. Hanna yakin pria itu merupakan pasangan Willi. Jika tidak bagaimana dia dengan mudahnya membuka pintu mengingat kepribadian Willi yang tertutup sejak dulu.
'Dasar' gumamnya sembari memijit pangkal hidungnya yang terasa sedikit berdenyut.
*********
Diapartemen,
Willi yang dingin tengah menatap jengah wajah Drew yang selalu membuatnya ingin marah.
Drew melihatnya sebagai pasangan yang gemar mendua.
Hei? Kau! Jika saja Hanna berada disitu ia pasti akan memukul kepala kalian dengan barbel agar cepat sadar dan kembali pada kodrat kalian sebagai pria.
Pertengkaran baru saja terjadi beberapa menit lalu sebelum Hanna kembali dengan tiga cup cokelat hangat dan dua buah plastik belanjaan ditangannya.
"Apa aku mengganggu kalian?." Ucapnya sedikit ragu saat merasakan ketegangan didalam ruangan sempit itu. Hanna dengan kikuk melangkah menuju sofa yang tadi ia duduki.
"Tidak, kami baru saja membahas masalah tak penting." Drew menengahi. "Wah sepertinya kau akan mengadakan pesta disini."
"Iya, kau tahu ini reuni kami dan kau anggota baru kami. Setidaknya kita bisa menjadi teman." Hanna tersenyum.
Hanna sadar jika pria bernama Drew ini tidak menyukainya. Bahkan sejak pertama mereka bertatap muka.
Drew lebih vocal dibanding Willi. Pria itu dengan penuh semangat mengikuti permainan yang dibuat Hanna. Sedangkan Willi, ia tampak malas dengan kegiatan mereka. Hingga sebuah pertanyaan dari Drew untuk Hanna membuatnya menatap wanita itu dengan tatapan tak menentu.
_________///_________
"Apa kau sudah menikah?."
.
.
.
Tbc
"Apa kau tertarik padaku?." Hanna menatap wajah Drew yang juga menatapnya. Sungguh kesombongan hakiki seorang wanita kini sedang ditampakannya.
"Kau bisa saja, aku tidak berani menyukai wanita secantik dirimu." Pria itu terkekeh.
"Sungguh?. Lalu bagaimana dengan mu Willi?. Apa kau juga beralasan sama dengannya?."
Willi yang ditanya dengan tiba-tiba membuatnya linglung. "Haruskah ku katakan?."
"Cukup!. Kalian membuatku sedih. Sepertinya hatiku telah patah."
"Kau belum memiliki kekasih?." Kali ini Willi yang bertanya dan itu sukses membuat wajah Drew secara reflek menoleh kepadanya.
Ingin sekali Hanna tertawa saat itu juga melihat kejanggalan yang terjadi begitu nyata dihadapannya.
"Aku belum berfikir untuk menjalin sebuah hubungan dengan seseorang." Hanna menggedigkan bahunya sesaat.
Kelegaan Willi bisa terlihat dari caranya memalingkan wajah tampannya yang dulu selalu menjadi fokus pembicaraan para gadis disekolah mereka.
Matahari mulai menampakan sinarnya siang itu meski tak terasa panas sama sekali. Hanna sekali lagi melihat jam dipergelangan tangannya untuk beberapa saat.
"Kau sudah akan pergi?." Drew bertanya dengan nada yang sarat akan sebuah harapan.
"Apa kau mengusir ku?. Ah, kau jahat sekali." Wajah cantiknya nampak cemberut dengan pipi yang menggembung.
"Bukan, hanya saja aku bisa mengantar mu jika kau tak keberatan."
Hanna tengah membaca ekspresi yang ditampilkan pria bersuara lembut dihadapannya. Ia seperti tengah merencanakan sesuatu terhadap dirinya, entah apa tetapi yang jelas itu bukan lah hal baik jika sampai Hanna menyetujui tawarannya.
"Tidak perlu, karena aku masih ada janji dengan teman-teman ku untuk belanja bersama." Tolaknya sopan.
"Baiklah, aku mengerti. Kalian para wanita memang suka melakukannya."
"Apa itu termasuk sebuah sindiran?." Hanna memicingkan matanya.
"Tidak, maksud ku biasanya para wanita memang suka berkumpul untuk memanjakan diri mereka. Ya seperti yang kau tahu." Drew meralat ucapannya.
"Baiklah, aku pergi. Selamat menikmati hari kalian."
Hanna pergi begitu saja tanpa ucapan sampai jumpa dari Willi. Pria itu hanya duduk menetap diposisinya seperti pajangan tetapi sorot matanya bisa berbicara jujur mengenai keadaan didalamnya.
_________*****__________
Pintu besi itu bergetar begitu kuat saat seseorang dengan penuh emosi membantingnya.
Drew. Pria itu terlihat kesal menatap wajah tampan bermata biru dihadapannya.
"Apa kau menyukainya?." Satu kalimat penuh tekanan ia tumpahkan kepada Willi yang terlihat enggan untuk sekedar melihat bagaimana dia berbicara.
"Dia berkata jika kalian adalah teman lama, apa wanita itu juga pernah mengisi hatimu?." Sangat jelas pria itu dalam keadaan dimana ia tengah terbakar oleh rasa cemburunya dan Willi sama sekali tidak perduli dengan itu.
"Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan, pergilah. Aku bosan melihat mu." Dengan santainya pria itu beralih memasuki kamar pribadinya meninggalkan amarah Drew begitu saja.
_______*****_______
"Hanna. Apa yang terjadi?." Mery menatapnya penuh selidik.
"Apa klien itu berbuat sesuatu padamu?." Jannet menimpali.
"Tidak, sama sekali tidak ada."
Hanna menghempaskan dirinya diatas sofa empuk yang berada dilantai atas kantor mereka.
'Tidak ku sangka ternyata apa yang pernah aku lihat tujuh tahun lalu bukanlah sebuah ilusi, itu adalah kenyataan.' Hanna terus bermonolog dengan pikirannya sendiri.
Tujuh tahun lalu saat Hanna dan Eva, seorang gadis yang merupakan saudara sepupunya baru saja selesai menghadiri pesta ulang tahun teman Eva yang berada disalah satu hotel berbintang secara tak sengaja melihat kejadian yang menurutnya sangat tak pantas.
Hanna melihat pria berwajah blasteran digiring masuk oleh seorang pria lain kedalam sebuah mobil mewah yang berada di area parkir basement. Awalnya ia tak peduli dengan hal itu namun saat sorot dari lampu salah satu mobil melintas didepannya ia baru menyadari jika wajah itu tidaklah asing. Ia mengenalinya dari jarak kurang dari duapuluh meter.
Dan apa yang membuat Hanna tercengang adalah perbuatan yang mereka lakukan diarea umum tersebut. Meskipun sepi tetapi itu sangat memalukan. Kedua pria itu saling memagut satu sama lain. Seperti sepasang kekasih yang tengah diliputi asmara.
Ia tak pernah menduga sebelumnya jika teman yang ia pikir adalah pria pendiam ternyata menyimpan banyak misteri didalamnya. Dan mulai saat itu ia menjadi sedikit lebih dekat dengan Willi, meski tak banyak bicara ia tahu jika pria itu telah mencoba yang terbaik dari dirinya untuk berteman.
Hanya saja keberadaan Hanna yang memang jarang masuk kelas membuat pertemuan mereka bisa dihitung jari karena gadis itu memiliki kesibukan selain mengikuti pembelajaran tatap muka.
*****
Hanna memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing akibat terlalu banyak berfikir.
Akhir pekan ini Willi kembali menghubunginya untuk melanjutkan sesi healing yang sempat tertunda beberapa hari lalu dan Hanna menyanggupinya meski ia sedikit enggan jika harus bertemu dengan Drew si pria posesif.
"Jannet, besok aku akan pergi mengunjungi Mr. William." Hanna menitipkan kunci loker padanya.
"Apa kau ingin bertukar tempat dengan Jhon?. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan kurasa ia tidak akan keberatan dengan itu."
"Tidak perlu, aku bisa menanganinya. Sampai jumpa hari senin."
"Bye, hati-hati."
______***______
Tiba diapartemen Hanna segera melucuti pakaiannya dan langsung mengisi bathub dengan air hangat. Kebiasaan ditanah air tidak bisa ia tinggalkan meski kini berada di negara dengan iklim berbeda.
"Sungguh nikmat membasahi tubuh dengan air hangat. Aku tidak tahu bagaimana rasanya tidak mandi dalam sehari." Ia terus bergumam dengan menggosok area lipatan ditubuhnya.
"Sangat disayangkan, banyak sekali pria tampan disini tetapi jarang_****_."
"Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi disini, meskipun disini sangat menyenangkan."
Hanna memang tak pernah ingin berlama-lama berada dinegara itu. Ia yang cinta dengan kebersihan tubuh itu awalnya sempat bingung jika harus membawa air setiap kali ia pergi keluar. Karena ia yang biasa membersihkan kotoran dengan air dan kini hanya tersedia tisu toilet itu membuatnya sedikit tersiksa.
"Maaf kan aku wahai pecinta tisu toilet. Tapi aku tidak menyukai pria yang tidak pernah menyiram anu mereka dengan air." Gadis itu menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Normalnya seorang wanita dewasa, Hanna juga senang dengan wajah-wajah tampan pria namun ingatanya kembali pada sosok Wili dan Drew.
Drew dan Wili itu tampan dengan versi yang berbeda. Jika Wili memiliki aura yang dingin maka Drew adalah hangat. Ia bisa menebak mana yang berperan sebagai wanita.
Teringat akan kesan pertamanya terhadap pria blasteran yang dulu menjadi tetangga mejanya. Ia sempat terpesona dengan wajah Gerald William. Siapa yang bisa menolak jika dia memanglah tampan?. Namun sebagai gadis dengan intuisi tinggi ia mampu menghalau perasaan sukanya agar tak lebih dari sekedar mengagumi ciptaan tuhan dan itu benar terbukti adanya.
"Mari kita lihat besok hal apakah yang membuat mu tertekan Mr. William." Hanna terkekeh membayangkan seorang pria dengan wajah tampan dan cool sedang curhat masalah percintaannya.
"Sepertinya ini akan menarik."
.
.
.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!