NovelToon NovelToon

Mendadak Menikah

Bab 1. Fitnah Berujung Menikah

“Dia Yah! Dia yang hamilin aku!”

Gara-gara kata keramat itu, di sinilah sekarang Amira berada. Di rumah seorang Alaska Lencana, sebagai istri sah di mata agama dan negara. Gadis SMA itu hanya bisa menggigit bibir takut saat tatapan tajam Laska mengarah padanya.

Pria yang baru memasuki usia dua puluh lima tahun itu, menggeram kesal. Menarik paksa tangan Amira agar gadis itu lekas duduk.

“Kamu bahagia bukan? Akhirnya anakmu itu, punya seorang ayah!” ucap Laska penuh penekanan. Bahkan ia menggenggam tangan Amira dengan sangat kuat.

“Aa! Sakit Om. Kira-kira dong kalau mau megang-megang.” Amira langsung menyentak tangan Laska, beranjak berpindah duduk.

Laska melotot, baru kali ini dia menemukan gadis gila. Bahkan mereka sekarang tinggal satu atap. Andai saja dia bisa menjelaskan semuanya kemarin, pasti semua tidak akan seperti ini.

“Dasar gadis egois!” Laska melangkah pergi meninggalkan Amira sendirian di ruang tamu.

Pandangan yang semula menatap punggung lebar terbalut kemeja putih, kini teralih menatap apartemen tempat yang akan ia tinggali ke depannya. Sebenarnya ada rasa bersalah, tidak seharusnya dia melibatkan Laska dalam masalah ini, tapi Amira tidak punya pilihan.

Kemarin, tepatnya jam 10.00 pagi di hari libur. Keluarga Amira tengah berbincang perihal perjodohan yang akan mereka lakukan, yaitu menikahkan Amira dengan anak teman ayahnya. Sayangnya, Amira menolak, dia tak ingin dijodohkan. Dan bodohnya lagi, dia kabur, ke kota. Bertemu Alaska, dan menjadikan pria itu kambing hitam.

“Amira pulang!” suruh sang ayah. Amira menggelengkan kepala, dia tidak mau dijodohkan dengan pria seperti Denon.

“Enggak mau Yah. Amira enggak mau! Lagian, Amira sudah punya kekasih!” teriak Amira menjadi pusat perhatian beberapa orang yang tengah berjalan kaki di depan toko-toko kota.

“Jangan buat malu! Ayo pulang!”

“Enggak mau Yah. Jangan kasar, Amira sedang hamil!”

Sontak. Genggaman itu terlepas. Pedli—ayah Amira menganga tak percaya, rahangnya mengeras mendengar perkataan sang putri satu-satunya. Ia menatap tubuh mungil Amira dari bawah sampai atas. Berbagai pikiran kotor berkecamuk memenuhi ruang pikirannya.

“Jangan ngelantur Amira! Tidak mungkin, kamu melakukan hal bodoh itu!”

“Amira benaran Yah. Amira hamil.”

“Siapa? Siapa yang menghamilimu?” Pedli bertanya dengan suara meninggi, bahkan tangannya sudah mencengkal erat pergelangan tangan Amira.

Amira gelagapan. Gadis itu mengalihkan pandangan dari tatapan nyalang sang ayah. Dia tidak tahu harus apa, padahal semua ini hanya bohongan. Agar dia terhindar dari perjodohan itu, tetapi ... Ayahnya malah menganggap semuanya benaran.

“Amira, katakan!”

Membuang napas kasar. Mata Amira menelusuri setiap sudut jalan raya. Berharap ada seorang pria yang bisa ia jadikan kambing hitam. Seketika senyumnya terbit, saat melihat seorang pria dengan setelan formal berjalan ke arah toko di belakangnya.

“Dia Yah! Dia yang hamilin aku!” teriak Amira sembari menunjuk pria itu.

“Alaska?” Dahi Pedli mengerut. Ia memandangi putrinya dan pria di depan sana secara bergantian.

“Aku tidak tahu namanya, tapi iya, dia yang ngehamilin aku.”

Mendengar ucapan kedua kalinya Amira, Pedli benar-benar naik pitam. Menghampiri Alaska dengan amarah yang sudah memuncak. Ia mendaratkan satu tinjuan tepat di samping bibir Laska. Amira menjerit, berlari menghampiri sang ayah.

“Ayah sudah! Ayah!”

Laska yang mendapat serangan secara tiba-tiba, kaget. Pasalnya dia tak memiliki salah sedikit pun. Dengan menahan sakit di sudut bibir, Laska bangun.

“Pak Pedli? Apa maksud Bapak?” Jujur, Laska sangat bingung. Partner kerjanya tiba-tiba berlaku kasar.

“Jangan pura-pura bodoh! Apa yang telah kamu lakukan dengan putriku? Ha!”

“Saya tidak mengerti maksud Bapak. Memangnya putri Bapak kenapa?”

“Jangan berlagak bodoh! Kamu ‘kan yang telah menghamili Amira? Jawab Laska!”

“Tidak! Itu tidak benar! Bahkan saya tidak mengenalnya.” Laska mencoba membela diri.

“Bohong! Aku ingat betul, kamu iya kamu yang ngehamilin aku! Waktu itu kamu mabuk.” Amira menggigit bibir bawahnya saat melihat tatapan tajam Laska, namun ia tetap berusaha terlihat tersakiti. Jika tidak, rencananya akan gagal.

“Kamu, nikahi dia!”

“Tapi Pak—“

“Alaska Lencana, pria bertanggung jawab yang selalu di puji banyak orang akan menghancurkan harga dirinya sendiri! Iya kah Alaska?”

Pedli tertawa miris. Ia menatap anaknya dengan sakit, hatinya hancur. Kini tatapannya tertuju pada perut rata Amira. Apakah benar, di sana ada benih Laska?

“Baiklah, saya Alaska Lencana akan menikahi anak Anda.”

Amira melotot mendengar ucapan Laska. Berulang kali matanya mengerjap tak percaya. Bohongan berakhir benaran?

**

“Buat sarapan!” Laska membuyarkan lamunan Amira. Gadis berambut sebahu itu mengerjapkan matanya lalu menatap Laska yang sudah berganti pakaian menjadi piama.

“Apa sarapan? Buat sendiri!” Tanpa memedulikan tatapan tajam Laska, Amira berjalan santai meninggalkan pria itu.

Suasana berubah menegangkan, Laska meraup udara dengan rakus. Menatap jengkel pintu kamar di sebelah kamarnya.

Dasar gila!

Bersabar, hanya itu yang Laska bisa lakukan. Benar kata sang abi, menikah dengan gadis SMA harus mempunyai banyak kesabaran. Ia beranjak menuju dapur, menenggak air minum lalu kembali ke ruang keluarga.

**

Pagi menyapa dengan cahaya matahari yang sudah hampir terang. Laska masih sibuk menata makanan di meja, setelah itu dia beranjak untuk memanggil Amira. Bagaimanapun gadis itu butuh makan, dan dia yang harus bertanggung jawab.

Dua piring nasi goreng sudah terhidang di atas meja. Harum yang menggugah selera menyebar di udara, masuk ke dalam cela-cela kamar Amira. Gadis yang tengah baringan di ranjang, sontak melompat dan berdiri. Seragam yang semula rapi jadi berantakan.

“Harum apa ini? Aih, aku jadi lapar,” ucapnya sembari mengendus-endus.

“Tapi jangan Amira! Gengsi dong sama Om Kulkas itu, masa iya kamu minta sama dia. Ayolah, tahan,” monolognya lagi. Kembali berbaring sambil menutupi hidung dengan tangan.

Tok

“Keluar. Makan.”

Hahaha. Amira tertawa terpingkal-pingkal. Apakah pria yang berstatus sebagai suaminya itu benaran kulkas berjalan? Bahkan menyuruh saja, suaranya terdengar datar dan dingin. Cukup, Amira harus serius sekarang ini. Mumpung mendapat tawaran makan dari Laska, tidak mungkin disia-sia kan oleh seorang Chelsi Amira Putri.

“Ini benaran Om yang buat?” Amira bertanya menggebu-gebu seraya terus menyuapkan nasi goreng buatan Laska.

“Hmm.”

“Enak banget! Gak salah jadiin suami,” ucap Amira dengan santainya.

“Maksudnya?” Dahi Laska mengerut.

“Ya maksudnya, itu, ‘kan enak ada yang masak. Lagian ya, aku sih ogah ke dapur.”

“Kamu—“

“Uda ya Om, Amira sudah selesai. Mau ke sekolah, dadah, muach.” Amira terus melambaikan tangannya, justru semakin membuat Laska menggeram kesal.

Laska memijat pelipisnya, sembari terus menghembuskan napas kasar. Ia beranjak dari duduk, berniat mengambil laptop dan hp, agar segera meluncur ke kantor.

Matanya tak sengaja menangkap sebuah kertas di bawah laptop, mengambil dan membawanya ke ranjang.

Laska terkejut ketika mendapati sebuah tulisan, namun detik berikutnya, dia tahu siapa penulis kertas ini.

Maaf ini ya Om, karena tanpa izin masuk kamar. Tapi, Amira cuma mau bilang, jangan galak, jelek tahu! Dan satu lagi, datar dan dinginnya buang aja, soalnya percis-cis kayak kulkas, bedanya situ lumayan ganteng.

Hemm, kayaknya ada satu lagi deh, ah, iya. Nanti jangan jemput Amira ya, soalnya aku mau senang-senang dulu bareng teman. Eits, gak boleh khawatir, Amira pasti jaga diri baik-baik. Gomawo. Muach

Laska mendecih, apa-apaan ini? Surat yang sangat tidak jelas, menurutnya. Dasar Amira.

 

 

 

Bab 2. Kenyataan Pahit

Kaki jenjang melangkah pelan menelusuri lorong sekolah, Amira terus menebar senyumannya. Membuat beberapa siswa yang berada di sana, kelepek-kelepek. Dalam soal paras, Amira memang sangat cantik. Bibir tipis merah ranum, hidung mancung, mata bulat dengan iris indah dan wajah yang begitu imut dan menggemaskan. Tak heran jika dia jadi primadona sekolah.

“Hay guys!” teriaknya ketika sudah sampai di dalam kelas. Tersenyum sembari memandangi satu persatu teman sekelasnya.

“Pagi cantik,” sapa Adnan balik. Pria yang menjabat sebagai ketua kelas.

Amira kembali berjalan, melewati beberapa bangku dan meja yang berjejer. Ia menghampiri gadis berhijab segitiga yang tengah membaca buku. Siapa lagi kalau bukan Cinta Amara—teman sekaligus saudari bagi Amira.

“Assalamu’alaikum Ukhty Cinta,” sapa Amira sambil senyum-senyum ke arah Cinta.

“Wa’alaikum salam. Kemarin ke mana? Kok enggak sekolah?” Cinta memberondong Amira dengan pertanyaannya.

“Oke, oke. Sabar ya, aku duduk dulu, nanti aku ceritain deh,” ucap Amira sambil mengambil bangku untuk dia duduki.

Cinta langsung meletakkan buku dalam genggaman. Ia benar-benar penasaran dengan Amira, dan enggak biasanya juga, gadis itu terlihat begitu bahagia.

“Jadi apa? Kenapa kamu tidak sekolah kemarin?”

“Elah, Cinta Amara, sabar napa. Belum juga napas,”

“Aku penasaran,”

“Iya iya. Jadi gini. Aku—“

“Selamat pagi murid-murid.” Ucapan Amira terhenti saat mendengar sapaan guru perempuan yang sudah masuk dan akan segera memulai pelajarannya.

“Pagi Bu!”

“Nanti ya, pas ngantin.”

**

Sepasang mata tertutup perlahan, masih dengan tangan yang setia memijat pelipis dengan gerakan perlahan. Laska merasa kurang enak badan, berulang kali ia menghirup udara dan mengeluarkannya dengan pelan. Semua perkataan abi dan uminya kemarin, masih terus terngiang-ngiang ditelinganya.

“Abi tidak pernah menyangka, kamu, yang Abi pikir bisa menjadi imam yang baik. Ternyata ... Sangat buruk!” Pria paruh baya membuang napas kasar. Muhammad Akbar, abi Laska memilih memijat pelipisnya setelah mengucapkan kalimat itu.

“Tidak Abi! Laska tidak pernah melakukan itu, ini, hanya salah paham. Umi yakin ‘kan? Laska bukan pria seperti itu?” Laska mengalihkan pandangan ke arah Kia, di sana wanita itu, tengah menangis sesenggukan.

“Umi tidak tahu, semua ini di luar pikiran Umi. Kamu ... Menghamili Amira, yang bahkan belum tamat SMA,” ucap Kia dengan terbata-bata. Berulang kali ia menutup mulut, menahan tangisannya.

“Umi, Abi, percayalah. Laska bukan pria seperti itu, bahkan Laska tidak pernah sekali pun mengonsumsi minuman keras! Tidak pernah!”

“Sudahlah, semuanya sudah menjadi bubur. Kamu, tetap harus bertanggung jawab, nikahi Amira. Secepatnya.”

“Bos!”

Laska tersentak, dia langsung membuka matanya. Terlihat seorang pria berpakaian OB tengah berdiri di depan mejanya dengan segelas kopi panas.

“Ya?”

“Ini kopinya. Apakah Bos sedang sakit?” tanya OB itu.

“Tidak! Kamu bisa kembali sekarang,” perintah Laska.

“Baiklah, permisi.”

Se-peninggalan OB bernama Dedi tadi, Laska meraih gelas berisi kopi, meniupnya pelan lalu menyesap dengan perlahan. Seketika hangat menjalari kerongkongannya, dan membuatnya sedikit rileks.

Kini tatapan matanya mengarah pada benda pipih yang tergeletak di meja. Seketika keinginan menelepon sang umi begitu menggebu, dia ingin mengucapkan maaf entah untuk ke berapa kalinya.

“A-asalamu’alaikum Umi.” Laska langsung mengucap salam ketika panggilan sudah mendapat jawaban dari Kia.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Kia dari seberang sana, suaranya terdengar parau dan serak. Laska tahu betul apa yang terjadi dengan sang umi. Pasti terus menangisi dirinya yang sangat bodoh ini, ditipu seorang gadis kecil dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Seketika bayangan-bayangan bahagia bersama sang umi menghampiri Laska. Sebuah keharmonisan yang saat ini begitu dia rindukan.

“Laska janji akan selalu bahagiain Umi. Apa pun itu. Laska nggak akan pernah buat Umi nangis,”

Laska mengusap sudut matanya, dia tak bisa menepati janji itu. Dia gagal.

“Laska, Nak.”

Panggilan dari sang umi membuyarkan lamunan Laska, dengan gesit pria itu kembali menempelkan benda pipih di genggamannya ke telinga.

“Ah, iya Mi. Maaf Laska lupa kalau lagi teleponan sama Umi,” ucap Laska dibarengi dengan tawa renyahnya. Berusaha memecahkan keheningan.

“Kenapa Sayang, telepon Umi? Rindu tidur di peluk ya?” Terdengar kekekan dari seberang sana, seketika membuat hati Laska menghangat.

“Hahaha, iya Mi. Rindu banget,”

“’Kan sudah punya istri, peluk istri dong.”

Iya banget. Tidur aja pisah.

“Enggak deh, dia bocil Mi. Takutnya entar teriak-teriak, ‘kan Laska malah bahaya.”

Keduanya tertawa bersamaan di tempat yang berbeda. Tetapi menit berikutnya, Laska terpaksa mengakhiri sambungan karena akan melakukan meeting.

“Nanti lagi ya Mi, soalnya Laska mau meeting. Assalamu’alaikum Umi Sayang.”

“Wa’alaikumussalam Sayang.”

**

Saat sudah masuk ke dalam dan merasakan udara yang cukup dingin, keramaianlah yang pertama kali menjadi pandangan Amira. Gadis itu semakin bersemangat menyerbu berbagai pakaian yang saat ini tengah ada diskon, karena mereka sekarang tengah berada di mal. Ternyata benar, gadis ini pergi bersama para temannya. Dia dan Cinta, perempuan, yang lainnya pria.

“Kamu mau beli apa sih Ra?” tanya Cinta yang sejak tadi hanya mengekor Amira tanpa mau memilah satu pakaian saja.

“Bajulah, apalagi,” acuh Amira masih tetap sibuk dengan kegiatannya.

“Iya aku tahu, tapi baju apa?”

“Apa aja deh. Kamu bawel tahu nggak.”

Cinta hanya bisa membuang napas kasar, ia memilih duduk di kursi yang sudah tersedia. Mengambil satu buku dari dalam tas dan mulai membaca kelanjutannya tadi. Sebenarnya dia sempat syok tadi, saat Amira cerita tentang pernikahan mendadak gadis itu. Tapi detik berikutnya dia langsung istigfar dan memarahi tingkah konyol Amira yang menjadikan Laska bermasalah terhadap ayahnya.

Tak bisa Cinta pungkiri, Amira bisa senekat itu. Berpura-pura hamil dan menuduh Laska hanya untuk bebas dari perjodohan yang sudah disepakati dua keluarga. Ah, Cinta benar-benar pusing dengan Amira, menurutnya gadis itu terlalu bar-bar.

“Ta, kamu nggak beli?” Amira mendongakkan kepalanya untuk melihat Cinta yang tengah fokus dengan buku.

Cinta mengalihkan pandangan ke arah Amira, lalu berkata, “Tidak. Aku masih punya banyak baju.”

“Ah, baiklah.”

Amira kembali fokus memilih baju, ia ingin membeli baju yang sangat cantik dan tentunya menggoda. Banyak rencana dalam otak yang sudah ia susun. Malam ini, Amira ingin menggoda Laska dengan pakaian yang terbuka, ingin memastikan, pria dingin itu tertarik atau tidak.

Dia tersenyum miring, membayangkan betapa tegangnya wajah Laska nanti. Ah, rasanya dia sudah tak sabar.

Sebenarnya rencana ini tiba-tiba saja datang, yang sebelumnya dia hanya cuek, tapi terpikir untuk mencoba. Sesekali enggak apa lah ya.

“Ya Allah, Amira lama banget sih. Kebiasaan.” Cinta mencebik kesal, memperhatikan Amira yang masih belum juga selesai memilih baju.

Beranjak dari duduk, Cinta berniat berkeliling sebentar sembari menunggu Amira selesai. Dia sangat hafal betul dengan kebiasaan Amira saat memilih barang apa pun itu, pasti akan membutuhkan waktu yang begitu lama.

Pandangan gadis berhijab putih begitu berbinar ketika mendapati banyak sekali barang-barang yang sangat bagus. Dari sepatu hingga tas beranded. Hingga tanpa sadar, di depan sana ada seorang pria yang juga tak fokus dengan jalannya.

“Auh!” adu Cinta saat merasakan sakit di kepalanya akibat terbentur dengan benda yang cukup keras.

Ralat, bukan benda melainkan dada bidang. Cinta membulatkan mata saat mendapati sepasang mata melotot ke arahnya.

“Kalau jalan itu pakai kaki, lihatnya pakai mata. Jangan terbalik! Dasar gadis aneh!”

 Bersambung

Jangan lupa like, komen dan vote temen-temen.

Bab 3. Menggoda

Antara iya dan tidak, Amira sangat bingung. Ia tatap lagi pakaian transparan yang sering disebut lingeri itu. Sudah ada berbagai jenis, dengan warna yang berbeda-beda.

Pantas saja tadi penjaga toko begitu gencar menanyainya, ternyata kalau digunakan lebih terlihat ekstrem. Hahaha. Amira tertawa terpingkal-pingkal mendapati tubuhnya yang terbalut lingeri. Sangat ... Tidak lucu.

“Bajunya aneh banget. Bakalan masuk angin gak ya, kalau aku pakai?” Dia kembali tertawa, tetapi langsung terhenti ketika mendengar suara pintu kamar di ketuk.

Tanpa mengganti lingeri dengan piama, dia langsung berlari dan membuka pintu dengan cepat. Sontak membuat kedua bola mata di depannya melotot sempurna.

“Eh, Om Laska, selamat malam Om.” Amira sengaja tersenyum menggoda. Sia-sia jika dia tak melanjutkan aksinya, karena Laska juga sudah melihatnya.

“M-malam,” jawab Laska terbata. Niat hati ingin memanggil Amira untuk makan malam, malah mendapat santapan yang lebih memuaskan. Ais, ada apa denganku?

“Ada apa ya Om?” tanya Amira seraya berjalan mendekati Laska. Memegang pipi Laska dengan lancang.

“Tidak ada,” ucap Laska cepat. Dengan gerakan cepat dia membalikkan badan dan bersiap pergi, tapi sayang, tangannya di cengkal lebih dulu oleh Amira.

Gadis itu tersenyum dengan begitu menggoda. “Mau ke mana sih? Sini, senang-senang yuk!”

Amira tertawa dalam hati dengan puas, mendapati wajah tegang Laska. Dapat ia lihat, pria itu meneguk salivanya berulang kali. Tak sia-sia rencana yang sudah ia pikirkan, ternyata si Kulkas Berjalan benaran tergoda.

“Maaf. Rata kaya tripleks begitu, kamu pikir saya tergoda?” Laska langsung pergi meninggalkan Amira yang terbengong dengan mulut ternganga.

Apa kata pria itu? Tripleks? Aih, Amira terus mengumpat dalam hati.

Masih dengan perasaan yang begitu kesal, Amira menutup pintu dengan membanting. Lalu berdiri di depan kaca rias, menatap pantulan tubuhnya sendiri. Sebenarnya dia tidak terlalu rata, menurutnya malah terlihat begitu menggoda malam ini. Apalagi lingeri ini tali satu, merespon bahunya yang seputih salju dengan jelas.

“Dasar Om-Om kelainan! Bagus aku baik, kasih lihat yang bening-bening!”

**

Kamar bernuansa biru langit menjadi saksi atas sakitnya Laska. Pria itu baru saja mandi, terpaksa dia melakukan itu agar gejolak dalam diri tidak lagi meminta lebih. Dan semua ini karena Amira—si gadis bar-bar itu.

Laska pikir, Amira polos bahkan sangat polos. Nyatanya, bisa berbuat lebih. Ah, untung saja Laska tidak sampai menerkam, entah apa jadinya, jika benar ada benih yang tertanam di sana. Laska tak bisa membayangkan itu.

“Dasar gadis bar-bar!”

**

Angin malam begitu sepoi menerpa wajah, terasa dingin saat mengenai kulit. Namun, sang empu belum juga beranjak dari duduknya. Masih betah menikmati udara yang bergerak cukup kencang.

Cinta lebih memilih menggenggam buku novel dari pada membacanya. Gadis itu berinisiatif untuk melihat bintang yang bertabur indah di langit saja, matanya juga cukup lelah membaca buku terus menerus.

Tiba-tiba pikirannya melalang buana, mengingat kejadian sore tadi di sebuah pusat perbelanjaan. Pria dingin dengan wajah datar, yang dengan enaknya memarahi dia. Padahal pria itu juga bersalah. Cinta tak habis pikir, dan dengan seenak jidatnya, mengatai bahwa Cinta buta.

“Astagfirullah.” Cinta mengelus dadanya dengan perlahan, lalu kembali fokus pada langit.

“Kenapa ngelus dada begitu Dek?”

Cinta tersentak kaget, bahkan sampai beranjak dari duduknya. Pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitam itu hanya bisa cengengesan sambil mengangkat dua jari tangan.

“Abang! Ngagetin aja sih!” ucap Cinta dengan wajah cemberut. Ia memukul pelan lengan sang abang.

“Hahaha, maaf. Abisnya kamu aneh banget, ngomong sendiri. Ngerih,”

“Aish, suka-suka dong.”

“Iya iya. Jaga diri baik-baik di rumah ya, Abang mau keluar bentar,” ujar sang abang sembari memakai helm.

“Ingat! Jangan pulang malam-malam!”

“Iya iya, bawel deh.”

Setelah kepergian abangnya, Cinta memilih masuk ke dalam rumah. Sendirian di luar juga begitu menakutkan. Ia memilih tidur, sebelum itu tak lupa mengambil wudu dan membaca doa.

**

Gedoran pintu yang begitu keras dan berisik mengganggu tidur seorang gadis, yang kini tengah bergelung selimut tebal. Menutup telinga, Amira tertidur kembali. Tetapi gedoran itu terus terdengar hingga mau tak mau Amira bangun. Dengan perasaan yang begitu kesal, ia membuka pintu.

“Apa sih Om? Pagi-pagi sudah gedor-gedor pintu?” tanya Amira, menguap berulang kali.

“Salat!”

“Om aja deh, aku ngantuk banget,” ucap Amira berniat ingin menutup pintu, tetapi ditahan oleh Laska.

“Salat! Sudah banyak dosa juga, mau nambah dosa lagi?”

“Is. Iya iya, uda sana pergi!” usir Amira sambil mendorong Laska, tetapi pria itu tetap kekeh berdiri di depan pintu kamar Amira.

“Enggak. Takutnya kamu malah tidur lagi. Uda sana wudu, saya tunggu,” kata Laska. Dengan lancang pria itu masuk ke dalam kamar Amira, lalu duduk di ranjang milik gadis itu.

Amira melotot, melihat kelakuan Laska. “Ngapain Om di situ? Sana pergi!”

“Kenapa? Kamar-kamar saya, kenapa kamu yang ngatur?”

“Aish, serah deh!”

Terpaksa Amira masuk ke dalam kamar mandi, mengambil wudu sambil meringis karena dinginnya langsung menusuk tulang-tulang. Padahal matanya masih sangat mengantuk, butuh istirahat lebih lama lagi sebelum nanti bangun untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

“Ayo, salat berjamaah.” Ternyata Laska sudah mengambil sajadah dan membentang untuknya dan Amira. Bahkan pria itu sudah mengenakan sarung dan peci.

Amira mengakui pesona Laska kali ini. Wajah pria itu tampak bersinar dengan peci yang menutupi kepalanya. Tampannya ala kadar, dengan kulit putih bersih.

“Hemm.” Amira hanya berdehem sembari memakai mukena yang sudah disiapkan Laska.

Bukan hanya ketampanan pria itu saja yang dapat memikat Amira seketika, tetapi bacaan salatnya dan suaranya yang begitu merdu juga dapat membuat Amira melayang setinggi langit. Menikmati setiap ayat demi ayat yang menyentuh kalbu.

“Assalamu’alaikum, assalamu’alaikum.”

Setelah mengucapkan salam, Amira langsung melepas mukena dan beranjak untuk kembali tidur.

“Kamu mau ngapain?” Laska menatap Amira dengan wajah bingung.

“Tidur. Mau ngapain lagi memangnya?” Amira balik bertanya dengan santainya. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Enggak baik setelah salat Subuh kembali tidur, nanti rezekinya hilang,”

“Di patok ayam? Halah, biarin aja.”

Astaga, Laska hanya bisa mengusap wajah, frustrasi. Melihat kelakuan istri kecilnya. Hahaha, iya istri, yang malah dia anggap sebagai adik saja.

“Om ngapain masih di situ? Keluar sana!” usir Amira, ternyata gadis itu belum tertidur kembali.

“Kamu pikir saya om kamu!”

“Enggak sih. Cuma, ya ... terima aja. Umur juga sudah tua.”

“Saya masih dua puluh lima tahun, itu tidak tua!”

“Apanya tidak tua? Justru sudah sangat tua. Kalau muda itu, kayak aku, masih imut-imut.”

“Itu menurut kamu saja,”

“Memang benar. Teman cowokku yang bilang. Bilang saja Om iri, karena enggak aku respons sama sekali. Sorry ya, aku enggak suka Om-Om.” Amira tertawa cekikikan.

“Kamu—“

“Sudah sana, keluar. Masak kek apa kek, yang penting enggak di sini.”

Dengan wajah yang sudah memerah menahan amarah, Laska keluar dan menutup pintu kamar Amira dengan membanting. Ia tak habis pikir dengan gadis itu, sangat menyebalkan.

 Bersambung

Jangan lupa like, komen, dan vote guys.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!