Hujan deras mengguyur disertai dengan suara gemuruh petir dan angin melanda hutan Pancer, Menjadikan hutan Pancer yang tanpa kabut dan hujan sudah mencekam menjadi lebih mengerikan, Ditambah dengan turunnya sang raja siang di peraduan sehingga makin gelap lah suasana di hutan Pancer yang membuat kesan angker hutan itu.
Ribuan para pengungsi dari kerajaan Gading Padas yang mengungsi karena sebab serbuan pasukan kerajaan Selo Cemeng di bawah kekuasaan raja Danujaya, Raja yang bengis dan haus akan penaklukan kerajaan kerajan sekitarnya, Ambisi raja Danujaya lah yang menginginkan semua kerajaan-kerajaan di sekitarnya untuk tunduk di bawah kerajaan Selo Cemeng.
Para pengungsi yang berdesak-desakan agar sesegera mungkin bisa keluar dari tengah hutan Pancer, Semakin menjadikan keadaan tidak terkendali. Sapi, kerbau dan harta benda yang mereka bawa, Membuat perjalanan menjadi lebih berat, Ditambah jalan tanah yang licin akibat hujan deras dan jurang yang berada di sisi kanan mereka yang dalam, Menjadikan langkah mereka harus lebih berhati-hati.
Di tengah lautan manusia yang begitu banyak, Terdapat seorang laki-laki tampan berusia sekitar 35 tahun sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia 5 tahun di punggungnya.
"Cakra,, Ikutlah bersama biyung mu,,! Romo akan mencoba mengatur rombongan agar tidak berpencar dan berdesak-desakan, " kata laki-laki itu kepada anak yang di gendong itu yang ternyata bernama Cakra Wiryamanta.
"Cakra bisa berjalan sendiri Romo, Kasihan biyung jika harus menggendong Cakra, Biarkan cakra berjalan sendiri Romo" jawab Cakra.
"Dinda Galuh, Bawalah anak kita ini, Aku akan mencoba mengatur orang-orang agar lebih cepat perjalanan kita" ucap laki-laki itu kepada Galuh istrinya.
Namun Cakra tetap bersikukuh untuk tetap berjalan kaki sendiri dari pada digendong oleh biyungnya, Dia tidak mau menjadi beban bagi biyungnya, Karena dia tau bahwa biyungnya sedang kelelahan. Akhirnya Galuh pun menuruti keinginan anaknya dan hanya memegang erat tangan Cakra agar tidak terpisah darinya.
"Kang Bajra berhati-hatilah, Aku dan anakmu membutuhkanmu juga" ucap Galuh pada suaminya.
"Baik dinda, jaga baik-baik anak kita, Maafkan aku jika aku harus mendahulukan para pengungsi dari pada keluargaku sendiri," ucap Bajra dengan berat hati meninggalkan istri dan anaknya, Kemudian ia berjalan kebelakang rombongan untuk mengatur para pengungsi.
Bajra adalah seorang lurah prajurit di kerajaan Gading Padas, Sebenarnya dia ingin maju di medan perang untuk bersama dengan semua prajurit kerajaan Gading Padas dan raja Arya Jaya yang bijaksana untuk menghadapi serangan kerajaan Selo Cemeng. Namun atas perintah senopati Jolo Wojo atasannya untuk memimpin para pengungsi untuk pindah ke kerajaan Tirta Kencana, kerajaan yang menjadi sahabat dari kerajaan Gading Padas yang terletak di seberang hutan Pancer, Sehingga tidak ada pilihan lain bagi bajra untuk memimpin para pengungsi dan meninggalkan teman-teman prajurit dan rajanya yang dia cintai.
"Berjalanlah dengan hati-hati dan cepat, Jangan sampai kita terkejar oleh pasukan kerajaan Selo Cemeng" Teriak Bajra menggunakan tenaga dalamnya agar suaranya bisa terdengar oleh semuanya mengalahkan gemuruh suara hujan dan petir.
Bajra yang di bantu oleh para prajurit anak buahnya, Mencoba membantu dan mengarahkan pengungsi agar jalannya semakin cepat.
Disisi lain di tengah gelombang pengungsi yang di tinggalkan oleh Bajra, Galuh yang tenaganya mulai melemah karena berjalan seharian sejak tadi pagi, Tidak sadar jika karena desakan orang banyak, Pegangan tangannya terlepas dari tangan Cakra, yang dengan perlahan menjadikan Cakra terpisah agak jauh dari biyungnya. Tanpa sengaja sedikit demi sedikit Cakra mengarah kepinggir jalan mendekati jurang yang curam di penuhi semak yang menutupi tepian jurang itu sehingga jika jatuh sulit untuk melihat dasarnya.
Cakra yang tidak sadar dirinya dalam bahaya, Terus berjalan mendekati pinggir jurang, Apes bagi Cakra yang tubuh mungilnya terserempet pedati yang di tarik dua sapi, terpental lah tubuh mungil itu ke dalam jurang tanpa ada orang yang menyadari karena terhalangi oleh pedati yang cukup besar.
Kepanikan terjadi di salah satu bagian dari rombongan pengungsi, Nyai Galuh yang baru menyadari anaknya sudah tidak ada lagi di sampingnya dengan panik dia menerobos melawan arus para pengungsi, Dia mencari keberadaan Cakra, dengan panik dia memeriksa anak kecil yang dia temui, Dia berusaha mendatangi setiap anak kecil yang berjalan bersama orang-orang dewasa sambil berharap bahwa anak itu adalah cakra anaknya, Namun usaha tersebut masih belum membuahkan hasil, Setiap anak yang di hampirinya ternyata bukan Cakra, Sampai pada suatu saat dia berjumpa dengan salah satu prajurit anak buah suaminya.
"Ada apa nyonya ? kenapa nyonya terlihat panik seperti ini ? " tanya prajurit itu kepada nyai Galuh yang dia kenali sebagai istri atasannya.
"Aku terpisah dengan anakku Cakra, Aku berusaha mencarinya, Tolong bantu aku mencarinya ! " jawab Galuh.
"Tenang nyonya, Kami akan segera berusaha mencarinya, Semoga aden Cakra baik-baik saja, Sebaiknya nyonya kembali jalan sesuai arah kita agar kita semakin cepat bisa keluar dari hutan ini" jawab prajurit itu menenangkan Galuh.
Prajurit itupun mengabarkan kepada semua teman prajurit bahwa anak dari atasan mereka telah terpisah dari biyungnya, Sehingga di sela-sela tugas mereka mengatur para pengungsi, Mereka juga berusaha mencari tahu keberadaan Cakra. Mereka mencoba menyisir setiap tempat yang di harapkan bisa menemukan Cakra, setiap sisi di periksa, sebagian menyisir pinggiran jurang meneliti jika ada tanda-tanda keberadaan Cakra di situ. Namun usaha mereka belum membuahkan hasil.
Tepat dengan terbenamnya matahari yang menjadikan alam menjadi gelap, Rombongan para pengungsi telah keluar dari hutan Pancer yang angker, Lurah Bajra memutuskan untuk mengistirahatkan para pengungsi di pategalan yang cukup luas untuk menampung para pengungsi yang ribuan itu, Disitu Braja terkejut menerima laporan dari prajurit anak buahnya bahwa Cakra anaknya telah terpisah dari biyungnya dan sampai saat ini masih belum ditemukan, Braja kemudian mencari Galuh istrinya.
Galuh memeluk suaminya sambil terisak, Air matanya meleleh penuh kekhawatiran dan penyesalan terhadap hilangnya Cakra.
"Maafkan aku kakang, Aku yang bersalah telah teledor dalam menjaga anak kita" kata Galuh sambil menangis di pelukan suaminya.
"Tenangkan hatimu istriku, Aku akan mencoba mencari anak kita, Tidak ada yang perlu di salahkan dalam kondisi seperti ini, kita semua tahu kita dalam keadaan kelelahan, Semoga anak kita baik-baik saja dan segera bisa kita temukan" ucap Bajra menenangkan istrinya.
Niat hati lurah Braja ingi kembali menyusuri jalan hutan Pancer yang gelap dan licin, Namun hal itu di segera di cegah oleh para sesepuh yang ikut didalam rombongan pengungsi itu, Tentu cukup berbahaya bila malam-malam seperti ini memasuki hutan Pancer.
Dengan berat hati lurah Braja mengurungkan niatnya untuk menyusuri hutan Pancer mencari anaknya, Kemudian dia memberi perintah untuk menginap di tempat itu dan melanjutkan perjalanan esok hari setelah tenaga mereka pulih karena keselamatan para pengungsi lebih utama baginya dan dia menempatkan beberapa prajurit di tepi hutan agar lebih awal mengetahui jika ada pasukan musuh yang datang.
Esok paginya, Setelah semua pengungsi sarapan dari bekal yang mereka bawa kemaren, Lurah Braja memerintahkan Narto, Wakilnya di pasukan prajurit untuk memimpin rombongan melanjutkan perjalanannya, Dia sendiri dengan di bantu lima orang prajurit kembali menyusuri jalanan hutan Pancer yang kemaren mereka lalui, mereka berharap mendapatkan jejak keberadaan Cakra.
......
Byuuuurrrrr...
Suara benda jatuh di mata air yang jernih, Mau tak mau suara itu mengusik seorang kakek berusia 65 tahun yang sudah lama bertapa di bawah cekungan jurang yang tidak jauh dari mata air yang tertimpa benda tadi, Dengan perlahan pertapa yang bernama ki Bagaskara itu membuka mata dan secepat angin ki Bagaskara melesat kearah mata air itu, Dengan sigap ki Bagaskara mengangkat tubuh kecil yang baru saja jatuh di mata air itu untuk di bawa ke tempat yang teduh dan terlindungi dari kucuran air hujan yang turun dengan cukup deras.
Beruntung bagi Cakra, Dia terjatuh di jurang yang agak miring tidak di jurang yang curam, Dia terjerembab dan tubuhnya menggelinding kebawah, Menerobos semak dan membentur pohon yang cukup menjadikan Cakra tidak sadarkan diri, Dia menggelinding jatuh di mata air yang cukup dalam hingga memperkecil cidera yang dialami oleh Cakra, Yang kemudian berakhir tubuhnya di gendong dan di bawa ke tempat teduh oleh ki Bagaskara.
Sungguh luar biasa anak ini, struktur tulangnya sangat kuat dan kokok, sangat cocok anak ini untuk belajar beladiri dan kanuragan, semoga ini adalah jawaban atas doa-doa yang aku panjatkan kepada Sang Hyang Widi di dalam semedi yang aku lakukan bertahun tahun, semoga dia memang anak yang telah di ilhamkan kepadaku untuk aku tunggu di dasar jurang ini selama bertahun-tahun.
Dia sangat tepat mewarisi semua ilmu-ilmuku, aku akan mengangkat murid dan melatihnya, menjadikan dia pendekar pilih tanding yang menegakkan kebenaran dan memerangi keangkara murkaan.
Sangat beruntung anak ini tidak mengalami tidak mengalami cedera yang parah pada saat jatuh dari jurang, hanya luka memar di tubuhnya yang mungkin 3 hari akan segera menghilang, tidak ada patah tulang atau benda lancip yang menancap di tubuhnya, beruntunglah dia.
Namun ada satu hal yang di khawatirkan oleh kakek pertapa itu, walaupun tidak ada luka yang berarti di tubuh anak ini, tapi kenapa anak ini masih belum siuman dari painsannya ?, apakah ada organ dalam dari anak ini yang terluka ?, tapi tidak mungkin karena kakek itu sudah memeriksanya sambil memborehkan ramuan di tubuh anak itu yang memar, namun semua baik-baik saja.
"Iiikhhh... sakit biyung" terdengar rintihan dari mulut Cakra yang tengah terbaring, membuyarkan lamunan dan aktifitas memborehkan ramuan sang pertapa.
Dengan cekatan kakek pertapa itu memberikan air rebusan jahe yang telah dia buat sebelumnya sambil mengangkat sedikit kepala anak tersebut.
"Minumlah air jahe ini anakku !, agar tubuhmu kembali menjadi segar bugar dan rasa sakit yang ada di tubuhmu menjadi hilang," ucap pertapa itu.
"Terima kasih eyang, aku dimana ini eyang ? " tanya dia
"Tiga hari yang lalu kau terjatuh dari jurang hutan Pancer ini anakku, selama itu pula kau tidak sadarkan diri, " jawab kakek pertapa.
"Oh, bagaimana dengan Romo dan Biyungku kek? " tanya anak itu karena dia baru tersadar kalau dirinya sudah terpisah dari Romo dan Biyungnya.
"Tenang saja anakku, aku yakin mereka baik-baik saja, tinggalah bersamaku disini, jadilah muridku untuk ku warisi ilmu-ilmu kanuragan yang aku miliki! " pinta pertapa itu.
"Tapi aku merindukan Romo dan biyungku eyang, aku ingin berkumpul lagi dengan mereka" ucap anak itu.
"Belajar kanuragan dululah bersamaku, setelah itu baru carilah orang tuamu!, agar kamu bisa melindungi orang tuamu, menegakan keadilan, menyebar kedamaian dan mempersatukan bumi Nusantara"
Mendengar itu Cakra menjadi bersemangat, dengan susah payah dia berusaha duduk di depan kakek pertapa walau sambil menahan rasa sakit di tubuhnya untuk memberikan sembah bekti kepada kakek yang sekarang menjadi gurunya.
"Siapa namamu ? " tanya Ki Bagaskara.
"Namaku Cakra Wiryamanta eyang, biasanya di panggil Cakra" jawab Cakra.
" Cakra sekarang kau resmi menjadi muridku, panggil saja aku eyang Bagaskara," ucap Ki Bagaskara.
"Terima kasih eyang, Cakra berjanji akan menjadi murid yang taat dan patuh kepada eyang, Cakra akan berusaha menjadi murid yang berbakti kepada eyang, " jawab Cakra sambil meletakan dahinya di tanah sebagai bentuk bakti kepada gurunya.
"Bangunlah Cakra, kau telah menyenangkan hatiku, aku akan sepenuh hati mengajarimu sehingga kamu menjadi seorang pendekar yang pilih tanding dan berhati mulia, "
"Minumlah dan makanlah singkong bakar ini Cakra ! " perintah Ki Bagaskara sambil menyodorkan singkong bakar yang baru matang di atas daun pisang.
Cakra pun segera menerimanya, dengan lahapnya dia memakan seluruh singkong bakar itu sampai habis, karena selama tiga hari dia tidak sadarkan diri, tidak sedikitpun makanan masuk ke dalam perutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!